Kamis, 01 Agustus 2013

YOAKIM DAN ANNA BERNAZAR KEPADA TUHAN



Kutipan dari "PUISI MANUSIA-ALLAH"



22 Agustus 1944

Aku melihat bagian dalam sebuah rumah. Di sana ada seorang perempuan paruh baya sedang duduk di belakang alat tenun. Dapat aku katakan, melihat rambutnya yang semula pastilah hitam legam, kini menjadi abu-abu dan wajahnya, meski belum keriput, memiliki wibawa yang datang bersama usia, bahwa usianya pastilah sekitar limapuluh lima tahun. Tidak lebih.

Dalam menaksir usia seorang perempuan, aku mendasarkan perhitunganku pada wajah ibuku, yang gambarannya lebih dari sebelumnya senanitasa hadir dalam ingatanku pada masa-masa ini yang mengingatkanku akan hari-hari terakhirnya di sisi pembaringanku… Lusa adalah setahun sejak aku melihatnya terakhir kali… Ibuku memiliki wajah yang sangat awet muda, tetapi rambutnya menjadi abu-abu lebih awal. Ketika usianya limapuluh tahun, rambutnya sudah abu-abu seperti saat akhir hidupnya. Tetapi, selain dari kematangan penampilannya, tak ada yang menipu usianya. Sebab itu, aku bisa saja keliru dalam memperkirakan usia seorang perempuan paruh baya.

Perempuan yang aku lihat sedang menenun dalam sebuah kamar, terang dengan cahaya yang masuk dari sebuah pintu yang terbuka lebar ke sebuah taman yang luas - sebuah properti kecil aku menyebutnya demikian sebab taman itu dengan lembut terhampar naik dan turun sebuah lereng hijau - perempuan itu cantik dalam ciri khas Yahudinya. Matanya hitam dan dalam, dan sementara aku tidak tahu mengapa, mata itu mengingatkanku akan mata Pembaptis. Akan tetapi, meski mata itu sewibawa mata seorang ratu, namun juga manis, seolah sehelai kerudung biru ditempatkan pada kilatan seekor elang: manis dan agak sedih, seperti seorang yang memikirkan dan menyesali sesuatu yang hilang. Kulitnya coklat, tapi tidak terlalu gelap. Mulutnya, yang sedikit besar, sempurna bentuknya dan tak bergerak dalam posisi tegas, yang, meski begitu, tidak kaku. Hidungnya mancung dan ramping, agak bengkok, seperti paruh rajawali, yang serasi dengan matanya. Perawakannya kokoh, namun tidak gemuk, proporsional dan aku pikir tinggi, dinilai dari posisi duduknya.

Aku pikir ia sedang menenun sehelai tirai atau karpet. Kumparan beraneka warna bergerak cepat pada penenun berwarna coklat, dan apa yang telah ditenun memperlihatkan jalinan cantik hiasan dan bentuk-bentuk mawar dalam karya seni Yunani di mana hijau, kuning, merah dan biru tua saling terjalin dan menyatu seperti pada sebuah mozaik.

Perempuan itu mengenakan pakaian gelap yang sangat sederhana, berwarna merah violet, warna dari suatu spesies istimewa bunga pansy.

Ia berdiri ketika mendengar seseorang mengetuk pintu. Ia memang tinggi. Ia membuka pintu.

Seorang perempuan bertanya kepadanya: "Anna, bisakah kau berikan amphoramu (1) kepadaku? Aku akan mengisinya untukmu."

Bersama perempuan itu ada seorang anak laki-laki manis berumur lima tahun, yang langsung bergelayut pada gaun Anna, dan Anna membelainya sementara pergi ke ruangan lain, dan kembali dengan sebuah amphora tembaga yang indah yang diberikannya kepada si perempuan seraya berkata: "Kau selalu baik kepada si tua Anna ini, sungguh. Semoga Allah mengganjarimu dengan anak ini dan anak-anak lain yang akan kau peroleh, kau beruntung!" Anna menghela napas.

Si perempuan memandangnya dan tidak tahu harus berkata apa dalam situasi demikian. Untuk mengalihkan perhatian dari situasi menyedihkan yang disadarinya itu, dia mengatakan: "Aku tinggalkan Alfeus bersamamu, jika engkau tak keberatan, supaya aku bisa lebih cepat dan aku akan mengisi banyak tempayan dan buyung untukmu."

Alfeus sangat senang tinggal dan alasannya jelas. Begitu ibunya pergi, Anna menggendongnya dan membawanya ke kebun buah, mengangkatnya ke sebuah pergola (2) buah-buah anggur yang keemasan dan berkata kepadanya: "Makan, makanlah, sebab anggur baik," dan Anna mencium wajah si kecil yang belepotan dengan sari anggur yang dimakannya dengan lahap. Lalu Anna tertawa lepas dan seketika ia nampak lebih muda karena barisan gigi indah yang dipertontonkannya, dan sukacita yang terpancar pada wajahnya, mengaburkan usianya, sementara si anak bertanya: "Dan apakah yang akan kau berikan kepadaku sekarang?" dan ia menatap Anna dengan mata biru-abu-abu yang terbelalak lebar. Anna tertawa dan bermain dengannya, berlutut dan berkata: "Apa yang akan kau berikan kepadaku jika aku memberimu? ... jika aku memberimu? ... tebak!" Dan si anak, menepuk-nepukan tangan-tangan kecilnya, dengan seulas senyum lebar menjawab: "Ciuman, aku akan memberimu ciuman, Anna yang manis, Anna yang baik, Mama Anna!"

Anna, ketika mendengarnya mengatakan: "Mama Anna", melontarkan pekik kasih bahagia dan memeluk si kecil seraya mengatakan: "Sayangku! Sayang! Sayang! Sayang!" Di setiap "sayang" sebuah kecupan mendarat di atas pipi-pipi kecil yang kemerahan.

Kemudian mereka pergi menuju sebuah lemari dan dari sebuah piring Anna mengambil beberapa potong kue madu. "Aku membuatnya untukmu, kesayangan si Anna yang malang, karena kau menyayangiku. Tapi katakan, berapa besar kau menyayangiku?" Dan si bocah, berpikir akan apa yang paling berkesan baginya, mengatakan: "Sebesar Bait Allah!" Anna menciumnya lagi pada mata kecilnya yang berbinar, pada bibir kecilnya yang merah dan anak itu memeluk Anna seperti seekor anak kucing.

Ibunya berjalan hilir mudik dengan sebuah tempayan penuh dan tersenyum tanpa berkata apa-apa. Dia membiarkan mereka dengan keasyikan mereka.

Seorang laki-laki tua masuk dari kebun. Ia sedikit lebih kecil dibandingkan Anna, dan rambut tebalnya telah putih sepenuhnya. Wajahnya berwarna cerah dengan jenggot potongan segiempat; matanya bagai batu pirus biru dan bulu matanya coklat muda, nyaris pirang. Jubahnya berwarna coklat gelap.

Anna tidak melihatnya karena punggungnya membelakangi pintu dan laki-laki itu menghampirinya dari belakang seraya bertanya: "Dan tidak ada yang untukku?" Anna berbalik dan berkata: "Oh Yoakim! Apakah pekerjaanmu sudah selesai?" Pada saat yang sama Alfeus kecil berlari ke lutut laki-laki tua itu sambil berseru: "Juga untukmu, juga untukmu." Dan ketika laki-laki itu membungkuk untuk menciumnya, anak itu merangkul lehernya, memainkan janggutnya dengan tangan-tangan mungilnya dan ciumannya.

Yoakim juga membawa hadiah. Ia mengeluarkan tangan kirinya dari belakang punggungnya dan menawarkan kepada si bocah sebuah apel yang cantik, hingga seolah terbuat dari porselen terbaik. Sambil tersenyum ia berkata kepada anak itu yang mengulurkan tangannya dengan penuh hasrat: "Tunggu, akan aku potongkan untukmu! Kau tak dapat memakannya begitu saja. Apel ini lebih besar darimu!" Dengan sebilah pisau kecil, yang ia bawa pada ikat pinggangnya, ia memotong buah itu menjadi irisan-irisan kecil. Ia seolah memberi makan seekor anak burung, begitu hati-hati ia memasukkan potongan-potongan itu ke dalam mulut kecil yang terbuka lebar yang mengunyah dan memamah.

"Lihatlah matanya, Yoakim! Bukankah seperti dua ombak kecil Laut Galilea ketika angin senja menarik tirai awan di atas langit?" Anna berbicara, menempatkan satu tangan pada bahu suaminya, dan ia sedikit menyandar padanya, juga: sebuah sikap yang mengungkapkan kasih mendalam seorang isteri, kasih yang tetap sempurna sesudah mengarungi banyak tahun dalam hidup perkawinan.

Dan Yoakim memandang kepadanya penuh kasih dan setuju, mengatakan: "Sungguh menawan! Dan rambut keritingnya! Bukankah itu warna panenan yang kering oleh terik matahari? Lihat: di sana ada suatu campuran emas dan tembaga."

"Ah! Andai kita punya anak, aku ingin yang seperti dia: dengan mata ini dan rambut ini..." Anna telah membungkuk, sesungguhnya ia berlutut dan dengan helaan napas yang dalam ia mencium kedua mata biru-abu-abu yang besar itu.

Yoakim, juga, menghela napas. Akan tetapi ia ingin menghibur Anna. Ia menumpangkan tangannya pada rambut Anna yang tebal ikal berwarna abu-abu dan berbisik kepadanya: "Kita harus terus berharap. Allah bisa melakukan segalanya. Sementara kita masih hidup, mukjizat bisa terjadi, teristimewa apabila kita mengasihi-Nya dan kita saling mengasihi satu sama lain." Yoakim memberikan tekanan pada frasa terakhir.

Namun Anna diam, sedih, dan ia berdiri, kepalanya tertunduk, untuk menyembunyikan dua tetes airmata yang mengalir di wajahnya. Hanya Alfeus kecil yang melihatnya dan ia tertegun dan sedih sebab sahabatnya menangis, seperti yang terkadang ia lakukan. Alfeus mengangkat tangannya dan menghapus air mata itu.

"Janganlah menangis, Anna! Kita toh bahagia. Paling tidak aku, sebab aku memilikimu."

"Juga aku memilikimu. Tetapi aku belum memberimu seorang anak… Aku pikir aku telah menyedihkan Tuhan, sebab Ia telah menjadikan rahimku mandul…"

"Oh istriku! Bagaimana kau dapat menyusahkan-Nya, kau yang adalah perempuan kudus? Dengarlah. Mari kita pergi sekali lagi ke Bait Allah. Demi tujuan ini. Bukan hanya demi hari raya Pondok Daun! Mari kita memanjatkan doa yang panjang… Mungkin akan terjadi padamu seperti yang terjadi pada Sara… seperti yang terjadi pada Hana isteri Elkana. Mereka menanti untuk jangka waktu yang lama dan mereka menganggap diri malang sebab mereka mandul. Malahan seorang putera kudus tumbuh bagi mereka di Langit Allah. Tersenyumlah, isteriku. Bagiku tangismu merupakan kepedihan yang terlebih dalam dibandingkan tak memiliki keturunan… Kita ajak Alfeus bersama kita. Kita ajak dia berdoa, sebab ia tanpa dosa… dan Allah akan mendengarkan doanya dan doa kita sekaligus dan akan mengabulkannya."

"Ya, marilah kita bernazar kepada Tuhan. Keturunan kita akan menjadi milik-Nya. Sejauh Ia berkenan. Oh, mendengar aku dipanggil "mama"!"

Dan Alfeus, penonton yang heran dan tak berdosa, berseru: "Aku akan memanggilmu mama!"

"Ya, sayangku ... tetapi kau punya mamamu sendiri, dan aku tak punya bayi…"

Penglihatan berhenti di sini.

Aku mengerti bahwa siklus kelahiran Maria telah dimulai. Dan aku sangat bahagia karena aku sangat menginginkannya. Dan aku pikir engkau (3) pun akan bahagia juga.

Sebelum aku mulai menulis aku mendengar Bunda mengatakan kepadaku: "Jadi, puteri-Ku terkasih, tulislah tentang Aku. Seluruh kesedihanmu akan dihiburkan." Dan sembari berkata demikian Ia menumpangkan tangan-Nya ke atas kepalaku dan membelaiku dengan lembut. Lalu penglihatan dimulai. Tetapi pada mulanya, yakni, hingga aku mendengar perempuan limapuluh tahun itu dipanggil namanya, aku tidak menyadari bahwa aku ada di hadapan ibunda Bunda Maria dan dengan demikian rahmat kelahiran-Nya.

(1) Amphora: tempayan dengan dua pegangan yang biasa digunakan oleh orang-orang Yunani dan Romawi.
(2) Pergola: tanam-tanaman anggur yang ditopang oleh tiang-tiang dan membentuk semacam atap dengan dedaunan mereka.
(3) Perlu dicatat bahwa Maria Valtorta kerap menyapa Pater rohaninya dalam karyanya.
Sumber : yesaya.indocell.net

Tidak ada komentar: