Senin, 15 April 2013

Segala Sesuatu yang Ingin Kalian Ketahui tentang Para Imam
Bagian 2


1. Siapa itu imam Katolik?

Seorang imam Katolik adalah seorang laki-laki yang dipanggil Tuhan untuk melayani Gereja dalam pribadi Kristus sang Kepala. Ia adalah seorang yang mengasihi Tuhan, Gereja dan Umat yang ia layani. Ia mengamalkan kasihnya ini melalui ikrar setia selibat, ketaatan dan kesahajaan hidup. Ia adalah seorang yang berakar dalam doa, yang dengan sukacita dan semangat rela berkorban memberikan hidupnya bagi sesama.  

2. Siapa itu imam diosesan?

Seorang Imam Diosesan adalah seorang Imam Paroki. “Diosesan” berasal dari kata Yunani yang berarti “menata rumah,” dan kata Yunani “paroki” yang berarti “tinggal dekat.” Seorang imam diosesan adalah seorang imam yang terlibat dalam kehidupan sehari-hari umat. Ia “tinggal dekat mereka” dalam segala hal, dan membantu uskup setempat untuk “menata rumah” dalam keluarga Allah, entah sebagai seorang pastor pembantu atau sebagai pastor kepala paroki (dan kadang kala dalam pelayanan-pelayanan seperti pengajaran, atau melayani sebagai pastor mahasiswa, atau pastor di rumah sakit, di pangkalan militer, atau di penjara). Seorang pastor paroki bertanggung jawab atas segala pelayanan yang diselenggarakan oleh paroki dan atas administrasi paroki.

Sebagian besar imam di seluruh dunia adalah imam diosesan. Mereka ini ditahbiskan untuk berkarya di suatu diosis (= keuskupan) atau di suatu arki-diosis (= keuskupan agung) tertentu.  Seorang imam diosesan merupakan bagian dari satu presbiterium (= dewan imam), yang beranggotakan para imam dari suatu diosis/arki-diosis yang sama, dan karenanya berada di bawah kepemimpinan uskup yang sama.

Pada saat ditahbiskan sebagai diakon (biasanya sekitar satu tahun sebelum ditahbiskan sebagai imam) mereka berikrar setia untuk menghormati dan mentaati uskup diosesan dan para penerusnya. Mereka juga berikrar setia untuk hidup dalam kemurnian, dan sesuai dengan status klerus mereka (termasuk di dalamnya hidup bersahaja). Berbicara secara teknis, para imam diosesan tidak mengucapkan kaul dan tidak berikrar kemiskinan. Mereka menerima gaji sekedarnya dari paroki atau lembaga Katolik lainnya yang mereka layani. Oleh karena tempat tinggal dan kebutuhan-kebutuhan dasar telah dipenuhi oleh paroki di mana mereka berkarya, maka gaji mereka yang sedikit itu lebih dari cukup untuk memenuhi keperluan-keperluan pribadi mereka, misalnya pakaian, biaya berlibur, mobil dan sumbangan amal kasih.   

Dalam tahbisan diakonat, uskup menerima ikrar setia para diakon dan para imam, dan dengan demikian menginkardinasi mereka ke dalam keuskupan. Ini mendatangkan hak-hak tertentu bagi diakon calon imam dan imam diosesan - misalnya hak untuk mendapatkan dukungan dari gereja diosesan - dan mengenakan kepada mereka kewajiban untuk berkarya bagi gereja diosesan di bawah kepemimpinan uskup. Ini merupakan komitmen atas tanggung jawab seumur hidup. Karena sebagian besar karya keuskupan dilaksanakan di paroki-paroki, maka pada umumnya seorang imam diosesan berkarya di suatu paroki. Imam diosesan sering juga disebut imam praja atau imam sekulir, sebab karya utama mereka adalah pastoral, yaitu membantu umat yang berada dalam dunia pada masa sekarang ini (Latin saeculum, artinya dunia, masa).

3. Apa beda imam religius dan imam diosesan?

Seorang imam religius adalah anggota dari suatu ordo atau lembaga religius. Suatu ordo atau lembaga religius adalah suatu serikat yang dibentuk Gereja guna mempromosikan suatu gaya hidup atau suatu spiritualitas tertentu, atau untuk melaksanakan suatu karya tertentu. Sebagian besar anggota komunitas religius berkarya di lebih dari satu keuskupan, dan banyak lainnya berkarya lintas negara. Setiap komunitas religius memiliki konstitusinya sendiri, dan para anggotanya hidup menurut suatu peraturan hidup yang ditetapkan. Sebagian anggota komunitas religius berkarya di paroki-paroki, sedangkan yang lainnya tidak. Para imam religius berkarya sebagai pastor rumah sakit, memberikan retret, mengajar, pembicara, pastor paroki, misionaris dan di berbagai macam bidang lainnya. Setiap komunitas religius memiliki karisma, atau karunia Roh Kudus. Para imam yang adalah anggota suatu komunitas religius membawa karisma itu ke dalam karya mereka.

Uskup diosesan mengawasi para imam religius apabila para imam ini terlibat dalam pelayanan aktif dalam keuskupannya. Tidak ada suatu komunitas pun yang dapat berkarya di suatu diosis tanpa ijin uskup diosesan. Superior komunitas religius mengawasi karya internal komunitas. Jika suatu komunitas religius melayani kebutuhan umat di suatu paroki tertentu, maka komunitas religius tersebut berkarya berdasarkan suatu kesepakatan dengan uskup diosesan.      

Seorang imam religius mengucapkan kaul kemurnian, kaul ketaatan dan kaul kemiskinan; mereka tidak diperkenankan memiliki harta pribadi. Biasanya, imam religius tinggal bersama sejumlah imam atau broeder dari komunitas religiusnya. Pada umumnya, mereka berkarya dalam suatu pelayanan tertentu, misalnya pendidikan, pelayanan sosial, kesehatan atau karya misi. Pelayanannya kepada Gereja dapat menjangkau melintasi batas-batas keuskupan: ia dapat saja diutus ke manapun di suatu pelosok dunia di mana komunitasnya berkarya. Sebaliknya, seorang imam diosesan, pada umumnya melayani sebatas wilayah keuskupan di mana ia ditahbiskan. Ia tunduk pada uskup diosesan. Seorang imam diosesan tidak mengucapkan kaul.  

4. Mengapa menjadi seorang imam?

Seorang laki-laki menjadi imam bukan bagi dirinya sendiri melainkan bagi orang-orang lain. Imamat merupakan suatu cara hidup yang unik dan penuh kuasa demi menyelenggarakan pelayanan bagi kebutuhan-kebutuhan rohani orang-orang lain. Imam adalah sungguh merupakan kehadiran unik Tuhan Sendiri di dunia ini, yang diperlengkapi kuasa untuk menghadirkan Tuhan. Orang tidak ditahbiskan atau orang tidak menjadi imam bagi dirinya sendiri, tetapi ia ditahbiskan bagi orang-orang lain. Seorang imam memberikan hidupnya sendiri agar yang lain dapat hidup.

5. Apakah seorang imam kehilangan kebebasannya?

Seorang imam diosesan berikrar setia secara resmi untuk taat kepada uskupnya. Ikrar ketaatan ini mengikatkan imam kepada uskupnya dalam suatu cara demi menjamin bahwa kebutuhan-kebutuhan umat Allah terpenuhi. Kebebasan dalam kehidupan dan pelayanan imam adalah bagaikan kebebasan anak-anak dalam kehidupan orangtua mereka. Orangtua bertanggung jawab atas anak-anak mereka. Demikian pula, dalam mengambil keputusan seorang imam pertama-tama memikirkan kepentingan yang lain terlebih dahulu, yaitu umat yang dipercayakan kepadanya, dan uskupnya yang bertanggung jawab atas seluruh keuskupan

6. Apa yang dilakukan seorang imam?

Tujuan dasar dari pelayanan seorang imam adalah mewartakan Sabda Allah. Imam melakukannya dengan beragam cara. Ia menghabiskan sebagian besar waktunya demi mempersiapkan dan merayakan sakramen-sakramen (Ekaristi, Tobat, Baptis, Perkawinan, Pengurapan Orang Sakit). Setiap hari selalu diluangkannya waktu untuk berdoa. Mengunjungi yang sakit, mengunjungi umat dan bekerjasama dengan paroki-paroki lain dan dengan berbagai kelompok organisasi merupakan bagian dari pelayanannya pula. Seorang imam diosesan harus siap sedia melayani umat apabila mereka membutuhkan bantuan. Ia kerap kali terlibat dalam konseling pribadi, (masalah perkawinan, obat-obatan terlarang, masalah orangtua/guru, atau sekedar berbagai masalah pada umumnya). Imam memilih untuk tinggal di tengah suatu komunitas iman tertentu (suatu paroki), dan dengan demikian ia bertindak sebagai pemimpin yang memberikan perhatian sosial dan spiritual bagi umatnya. Sama seperti orang lain pada umumnya, seorang imam juga membutuhkan waktu untuk berolah raga, beristirahat dan relaks - waktu di mana ia dapat melakukan apa yang ia sukai; hal-hal seperti sports, hobi, musik, dll.   

7. Bagaimanakah hari-hari seorang imam?

Seorang imam bekerja dan berkarya setiap hari demi membangun jembatan antara langit dan bumi. Imam membawa Tuhan kepada manusia dan manusia kepada Tuhan. Setiap hari berbeda baginya, tergantung pada karya di mana ia terlibat. Namun demikian, satu hal yang pasti bagi setiap imam adalah merayakan Misa. Setiap imam sebisanya merayakan Ekaristi setiap hari. Dengan menghadirkan Yesus dalam Ekaristi, imam dipanggil untuk menghadirkan Yesus pula dalam setiap detik hidupnya. Hal ini mungkin terjadi pada saat pertemuan, kunjungan ke rumah atau rumah sakit, mengajar, menyampaikan khotbah ataupun sekedar hadir bersama yang lain. Sungguh, hari-hari seorang imam adalah hari-hari yang sibuk, melelahkan, beragam variasi, namun mendatangkan keselamatan, yang menuntut stamina fisik, disiplin mental dan kedewasaan rohani. Hidup seorang imam adalah hidup bagi orang lain; hidup bagi pelayanan kasih. Jadi, meski kesibukan dalam hari-harinya tak dapat diprediksi, tetapi wajib senantiasa merupakan pelayanan kasih, pertama-tama bagi Tuhan, dan kemudian bagi sesama.

8. Apakah seorang imam diosesan mendapatkan suatu pelatihan khusus?

Seorang imam diosesan pertama-tama dipersiapkan untuk menjadi seorang imam paroki. Ia mendapatkan pendidikan dan pelatihan untuk melakukan segala hal yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari Gereja. Ia dapat juga menerima pelatihan khusus dalam bidang seperti konseling, pengajaran, pelayanan kaum muda, komunikasi, bekerja untuk orang-orang miskin, dan bidang-bidang lain yang dianggap perlu oleh Gereja.

9. Dapatkah seorang imam diosesan melayani di luar keuskupannya?

Terkadang, seorang imam diosesan dapat meminta ijin kepada uskup untuk melayani di luar keuskupannya. Seorang imam diosesan dapat melayani sebagai guru, misionaris, atau dalam kapasitas lainnya di suatu keuskupan lain.

10. Siapakah yang memiliki kualifikasi menjadi seorang imam?

Seorang laki-laki single dengan intelegensi sekurangnya rata-rata, emosional yang stabil, memiliki kemurahan hati dan kasih yang tulus bagi Tuhan pantas bagi imamat. Ia hendaknya seorang yang menikmati bekerja dengan beragam orang dan memiliki komitmen untuk menjadikan dunia suatu tempat yang lebih baik bagi umat manusia melalui pelayanan imamat. Ia hendaknya seorang individu yang penuh sukacita yang mencintai hidup dan bersedia memberikan segala-galanya bagi apapun yang Tuhan kehendaki darinya. Ia wajib mengejar kekudusan, setia pada ajaran-ajaran Gereja Katolik dan setia kepada Bapa Suci.

11. Bagaimana saya tahu Tuhan memanggil saya menjadi seorang imam?

Satu-satunya cara adalah meluangkan waktu dalam doa dan dalam diskusi dengan yang lain. Hubungi pastor paroki, Komisi Panggilan, atau seorang awam yang engkau percaya di paroki untuk membicarakan perasaan-perasaan dan imanmu. Sering kita mendengar suara Tuhan lewat sharing iman dengan yang lain.

12. Bagaimana jika saya pernah berbuat salah sebelumnya?

Seorang tidak perlu kudus untuk menjadi seorang imam, meski imam wajib merindukan kekudusan. Kemampuan untuk mencari pengampunan Tuhan dan untuk menerima kerahiman ilahi menunjukkan pertumbuhan dalam kekudusan. Seorang pembimbing rohani acapkali merupakan seorang penolong yang tepat bagi mereka yang hendak mengenali kesiapan dirinya bagi hidup dan pelayanan imamat.

13. Apakah saya harus meninggalkan keluarga, teman dan sahabat demi memenuhi panggilan imamat atau hidup religius?

Tidak. Sesungguhnya, keluarga, teman dan sahabat merupakan pendukung yang sangat penting bagi panggilan baik imam, biarawan maupun biarawati. Mereka didorong untuk ambil bagian dalam kejadian dan peristiwa-peristiwa keluarga dan menemukan cara demi mendukung para anggota keluarga melalui doa dan peran mereka. Hendaknya tuntutan Umat Allah atau komunitas religius mendapatkan prioritas dalam hidupmu. Dalam hal ini, engkau “meninggalkan” keluarga, teman dan sahabat. Tetapi, ingatlah akan janji Yesus dalam Injil Matius, “Dan setiap orang yang karena nama-Ku meninggalkan rumahnya, saudaranya laki-laki atau saudaranya perempuan, bapa atau ibunya, anak-anak atau ladangnya, akan menerima kembali seratus kali lipat dan akan memperoleh hidup yang kekal” (Mat 19:29).

14. Bagaimana jika saya merasa tidak layak menjadi seorang imam?

Kamu tidak sendiri! Tak seorang pun yang sesungguhnya “layak”. Bukan dari diri kita sendiri, melainkan Yesus bersabda, “Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap” (Yoh 15:16). Dengan panggilan, datanglah rahmat untuk menanggapi panggilan dengan murah hati dan segenap hati dan untuk masuk ke dalam suatu perubahan sepanjang hidup menjadi serupa dengan Yesus Kristus.
 
Sumber : yesaya.indocell.net 
 
 
Segala Sesuatu yang Ingin Kalian Ketahui tentang Para Imam
Bagian 1
editor: Romo Gregorius Kaha, SVD



1. Apa yang dilakukan seorang imam setiap hari?

Dalam karya pastoral, sebagian besar dari kami mempunyai satu tugas utama, misalnya mengajar, pastor paroki, kerja sosial, bekerja di rumah sakit, yang semuanya mempunyai jam-jam kerja yang tetap dan tuntutan-tuntutan pekerjaan yang dapat diperkirakan.

Hal-hal tak terduga juga menarik serta menantang. Biasanya berkisar sekitar memenuhi kebutuhan umat: mereka yang sakit, menjelang ajal, tua, marah, terluka, lapar, di penjara, bersemangat, gembira. Bersama mereka kami saling berbagi pengertian, semangat, dan dukungan. Kami bersukacita, kami menangis, kami merasakan apa yang mereka rasakan. Peristiwa-peristiwa seperti itu menyakitkan sekaligus mendatangkan kepuasan, melelahkan sekaligus menggugah perasaan.  

2. Berapa pentingkah doa dalam kehidupan seorang imam?

Oleh sebab kami telah memilih jalan hidup di mana pada dasarnya Tuhan adalah yang paling utama, maka doa menjadi pusat hidup kami. Doa adalah berkomunikasi dengan Tuhan yang kami kasihi - dan bagi kami, doa sama pentingnya seperti komunikasi penting bagi dua orang sahabat yang mengharapkan persahabatan mereka terus berlanjut. Dapatkah kalian membayangkan memiliki seorang sahabat yang tidak pernah kalian sapa?

Karena doa begitu penting bagi kami, sebagian besar imam menghabiskan kurang lebih dua jam setiap hari untuk berdoa. Sebagian dari waktu tersebut dilewatkan dengan berdoa bersama-sama dengan yang lain, dalam Misa dan dalam doa lisan. Sebagian lagi dilewatkan seorang diri dengan membaca dan merenung. Mungkin manfaat utama dari doa adalah doa menjadikan kami lebih peka terhadap karya Tuhan dalam diri orang-orang, peristiwa-peristiwa serta kejadian-kejadian setiap hari.

3. Apakah berdoa itu selalu mudah bagi seorang imam?

Tentu saja tidak! Ada banyak kesempatan di mana kami merasa enggan berdoa, sebagaimana juga ada saat-saat tertentu di mana kami merasa enggan melakukan hal-hal lain yang pada dasarnya penting bagi kami - sama seperti seorang atlit tidak selalu bersemangat dalam berlatih; seorang murid tidak selalu bersemangat dalam belajar; seorang pekerja tidak selalu bersemangat dalam bekerja, dsb. Namun demikian, dalam semua kasus tersebut di atas, oleh karena doa, permainan, nilai maupun pekerjaan adalah penting, maka kami bertindak lebih berdasarkan motivasi daripada perasaan, dan kami mengerjakan hal-hal yang kami tahu perlu dilakukan oleh karena komitmen kami kepada Tuhan dan kepada umat-Nya.

Usaha-usaha kami tidaklah selalu sempurna, tetapi kami yakin bahwa kami sangat membutuhkan pertolongan Tuhan, sehingga kami terus berusaha berdoa, tanpa mempedulikan perasaan kami. Kami percaya bahwa Tuhan melihat serta menanggapi usaha-usaha kami untuk berkomunikasi dengan-Nya.

4. Apakah para imam mempunyai masa liburan dan apa yang dilakukan pada masa itu?

Kami memiliki masa liburan yang lamanya kurang lebih sama dengan liburan orang dewasa pada umumnya. Pada masa liburan, kami bebas melakukan apa saja, selama tidak melanggar peraturan, moral dan pantas dilakukan seorang dewasa dalam keadaan kami. Tentu saja, karena setiap imam adalah pribadi yang unik, kami semua tidak akan memilih satu jenis kegiatan rekreasi yang sama, dan tak seorang pun dari kami yang setiap kali memilih kegiatan yang sama. Beberapa aktivitas yang biasanya dipilih adalah olah raga, nonton film, TV, membaca, kumpul-kumpul bersama teman, menikmati kegiatan di luar rumah.

5. Apakah orang bersikap lain ketika tahu bahwa seseorang ternyata adalah imam?        

Sebagian orang memperlakukan kami secara berbeda karena kami adalah imam. Kami tidak ingin dihormati ataupun ditolak hanya karena panggilan hidup kami, tetapi hal-hal seperti ini memang kadang kala terjadi.

6. Apa beda imam diosesan dan imam religius?

Seorang imam diosesan pada umumnya melayani Gereja dalam suatu wilayah tertentu yang disebut Diosis atau Keuskupan. Imam diosesan biasanya melayani umat sebagai pastor paroki, tetapi ia dapat juga terlibat dalam hampir semua bentuk karya kerasulan lainnya, misalnya mengajar, pastor rumah sakit, pastor penjara, pastor mahasiswa, dsbnya. Sebaliknya, seorang imam religius adalah anggota suatu komunitas religius yang karya kerasulannya tidak terikat pada batas wilayah geografis suatu keuskupan.  

7. Apa beda bruder dan imam?

Bruder adalah seorang biarawan yang mempersembahkan dirinya kepada Kristus dengan kaul kemiskinan, kemurnian dan ketaatan. Ia tinggal dalam suatu komunitas religius dan bekerja hampir di segala bidang lapangan pekerjaan: guru, tukang listrik, juru masak, pengacara, ahli mesin, artis, dll. Peran khas imam adalah melayani sakramen-sakramen, yaitu: merayakan Ekaristi, Baptis, Tobat. Imam juga melakukan berbagai macam pelayanan lainnya, tetapi pelayanan sakramen merupakan pusat hidupnya.

8. Siapa itu diakon?

Diakon adalah seorang pria berumur 35 tahun ke atas, menikah ataupun tidak, yang berkeinginan untuk melayani Gereja dalam berbagai macam pelayanan Liturgi, pewartaan Sabda, serta pelayanan umat lainnya. Seorang calon diakon wajib menempuh pendidikan teologi, pastoral dan spiritual selama tiga tahun sebelum ditahbiskan sebagai diakon, dan kemudian melanjutkan dengan pelatihan khusus pada tahun keempat. Pelatihan ini dilakukan sementara ia melanjutkan panggilan hidup dan pekerjaannya sehari-hari. Diakon adalah salah satu tingkatan tahbisan (Diakon - Imam - Uskup). Dalam hal pelayanan sakramen, seorang diakon dapat menerimakan Sakramen Baptis dan Sakramen Perkawinan.  

9. Berapa lamakah waktu yang diperlukan untuk menjadi seorang imam diosesan?

Lamanya waktu yang diperlukan untuk menjadi seorang imam hampir sama dengan waktu yang diperlukan untuk memperoleh suatu profesi tertentu, yaitu sekitar empat tahun sesudah perguruan tinggi atau delapan tahun sesudah SMA (lebih lanjut lih SEMINARI: Apa Ini Apa Itu?).

10. Berapakah batas usia memasuki suatu seminari?

Usia para seminaris berkisar antara 18 hingga 45 tahun. Tidak ada batasan umur - semuanya ditentukan kasus per kasus sesuai dengan batas-batas yang wajar.

11. Apa saja yang dipelajari seorang seminaris?

Ada empat bidang studi utama dan pengembangan dalam pendidikan di seminari: kemanusiaan, spiritual, karya pastoral (melayani dan bekerjasama dengan orang lain) dan akademik. Bidang spiritual, yaitu pendidikan tentang doa dan pengembangan hubungan pribadi dengan Tuhan, sebagian besar ditempuh secara pribadi, di mana seorang seminaris bertemu dengan seorang pastor pembimbing. Kemampuan berpastoral dikembangkan melalui program-program terbimbing. Jika seseorang kuliah di suatu seminari tinggi, ia akan memperoleh pelajaran yang sama dengan pelajaran yang diberikan di perguruan tinggi biasa dengan tambahan pelajaran dalam bidang Filsafat, Eccelesiologi dan Ketuhanan. Setelah seminari tinggi, seminaris akan melanjutkan pendidikan Teologi, di mana ia akan mempergunakan waktunya untuk mempelajari Kitab Suci, ajaran-ajaran Gereja dan segala kecakapan lain yang akan diperlukannya sebagai seorang imam.        

12. Apakah untuk menjadi seminaris, seseorang harus pandai?

Kecerdasan seorang seminaris haruslah rata-rata atau di atas rata-rata. Imam tidak harus memiliki “otak cemerlang”, namun demikian seorang imam haruslah memiliki kemampuan yang memadai untuk menyelesaikan pendidikan di seminari agar dapat melayani komunitas Katolik dengan baik.

13. Apakah kehidupan di seminari itu berat?

Kehidupan di seminari tidak lebih berat daripada kehidupan di sekolah tinggi atau universitas, tetapi tentu saja berbeda. Seminaris mempunyai tanggung jawab tambahan untuk berkembang menjadi manusia pendoa dan pengemban Kabar Gembira. Pergaulan dengan teman-teman, baik lelaki maupun perempuan, memang dianjurkan, tetapi berpacaran bukanlah bagian dari kehidupan seorang seminaris. Sebab, seorang seminaris mempersiapkan diri untuk hidup selibat, tidak menikah. Para seminaris mempunyai tanggung jawab seperti mahasiswa lain manapun, yaitu menunaikan tanggung jawab yang adalah bagian dari persiapan mereka untuk panggilan hidup yang telah mereka pilih.

14. Apakah para seminaris diajar untuk menulis homili?

Para seminaris wajib belajar menulis dan menyampaikan homili. Begitu seorang seminaris ditahbiskan sebagai diakon (± 6 bulan sebelum ditahbiskan sebagai imam), secara berkala ia akan menyampaikan homili dalam perayaan Misa di seminari dan di paroki-paroki. Selama masa diakonat ini, ia akan menerima kritik dan saran atas khotbah-khotbah yang disampaikannya dari umat dalam Misa dan dari imam yang mempersembahkan Misa.

15. Bagaimana seseorang menjadi imam?

Seseorang menjadi imam dengan melewati beberapa tahap. Tahap-tahap ini dapat sedikit berbeda antara keuskupan yang satu dengan keuskupan lainnya dalam lamanya waktu dan prosedurnya. Tahap-tahap di bawah ini disampaikan sebagai gambaran umum:

KONTAK: Seseorang yang tertarik untuk menjadi imam, tetapi masih mencari jawab atas pertanyaan “Apa yang Tuhan inginkan dari saya?” dapat ikut serta dalam program “kontak” dengan keuskupan. Biasanya melalui pastor paroki atau melalui Panitia Pendaftaran Panggilan. Program ini pada umumnya sangat fleksibel, di mana orang tersebut bertemu dengan pastor dan / atau kelompok orang-orang lain yang berminat menjadi imam secara teratur dan membagikan pengalaman doa dan kehidupan komunitas.  

CALON: Hubungan lebih lanjut dengan keuskupan terjadi ketika seseorang telah menjadi calon. Pada masa ini calon mulai menjalani proses wawancara dan menghadap para anggota tim panggilan keuskupan di bawah pimpinan Direktur Panggilan.

SEMINARIS: Calon, dengan sponsor dari keuskupan, masuk seminari untuk mulai diarahkan sebagai imam dan menerima pendidikan teologi. Mulai saat itu, calon disebut seminaris atau frater.

DIAKON CALON IMAM: Sekitar enam bulan hingga satu tahun sebelum ditahbiskan sebagai imam, seminaris ditahbiskan sebagai Diakon Calon Imam (dinamakan demikian sebab ia akan menjadi seorang imam, dan untuk membedakannya dari Diakon Tetap). Ia mengucapkan janji selibat dan ketaatan pada Bapa Uskup.

IMAM: Setelah melewati banyak perjuangan dan dengan banyak doa, Diakon Calon Imam ditahbiskan sebagai Imam Yesus Kristus dengan menerima Sakramen Imamat.

Catatan: Calon Imam Religius pada umumnya menempuh tahap yang sama. Bedanya dengan Calon Imam Diosesan, sebelum ia ditahbiskan sebagai Diakon, ia harus mengucapkan kaul kekal dalam tarekatnya.

16. Apa itu kaul?

Kaul adalah janji kebiaraan di mana seseorang secara sukarela menyerahkan seluruh hidupnya sebagai persembahan kepada Tuhan dalam kemiskinan, kemurnian dan ketaatan.

17. Kaul-kaul apa sajakah yang diucapkan seorang Imam Diosesan?

Imam-imam diosesan tidak mengucapkan kaul. Dalam pentahbisan, secara sukarela mereka mengucapkan janji selibat dan ketaatan pada Uskup mereka.

18. Apakah para Diakon mengucapkan kaul?

Para diakon tidak mengucapkan kaul. Mereka mengucapkan janji ketaatan pada Uskup mereka. Jika mereka masih bujang, mereka berjanji untuk tidak menikah; jika mereka menikah, mereka berjanji untuk tidak menikah lagi seandainya pasangan mereka meninggal dunia.

19. Bagaimana dengan uang yang diterima seorang imam diosesan?

Karena seorang imam diosesan tidak mengucapkan kaul kemiskinan, ia menerima gaji pribadi yang besarnya sesuai dengan standard hidup lokal, yang memungkinkannya membiayai hidupnya: kesehatan, mobil, buku-buku, hiburan, rekreasi dan sumbangan amal kasih. Kebutuhan-kebutuhan dasar disediakan oleh paroki dimana ia berkarya. Besarnya jumlah uang yang diterima seorang imam tidaklah begitu penting. Para imam diosesan telah memilih untuk hidup sederhana, tanpa mengumpulkan banyak barang-barang materi agar memungkinkan mereka lebih mudah memusatkan hidup pada Yesus serta melayani umat-Nya.

20. Bolehkah imam berpacaran?

Tidak, karena berpacaran dimaksudkan untuk menghantar orang pada perkawinan, dan sebagai selibater, kami berencana untuk tidak menikah. Tetapi, kami boleh dan kami mempunyai teman-teman dari lawan jenis.

21. Pernahkah imam tertarik pada seseorang dari lawan jenisnya?

Ya, pernah. Tidak ada hal luar biasa yang meniadakan kebutuhan manusiawi, perasaan, kerinduan, ketika kami masuk seminari. Sebagai kaum selibat, kami memilih untuk menyalurkan perasaan-perasaan dan mengungkapkan cinta kasih kepada sesama dengan cara-cara yang lebih luas daripada ungkapan fisik yang dilarang dan hanya sesuai bagi hidup perkawinan.

22. Apakah yang dilakukan imam jika ia jatuh cinta?

Tanggung jawab pokok dalam situasi seperti itu adalah mempertahankan komitmen semula, yang ada (tetap hidup sebagai seorang imam) dan melakukan segala hal yang perlu untuk itu. Imam wajib memutuskan untuk mengembangkan hubungan tersebut dalam batas-batas dan tanggung jawab terhadap komitmennya untuk hidup selibat, atau sama sekali memutuskan hubungan dengan orang tersebut. Keputusan-keputusan semacam itu tidak selalu mudah dilakukan, tetapi bukan berarti hal itu tidak mungkin dilakukan, dan seringkali pengalaman tersebut akan menjadikan imam lebih kuat dalam panggilannya.

23. Pernahkan imam berangan-angan tentang kehidupan berumah tangga dan memiliki anak-anak?
Ya, merupakan hal yang wajar bahwa sekali waktu imam memikirkan keindahan kehidupan rumah tangga. Namun demikian, kami mengakui juga keindahan serta kebahagiaan jalan hidup yang kami pilih, dan kami dengan sukarela memilih untuk tetap selibat demi Kerajaan Allah.

24. Pernahkah imam merasa kesepian?

Sama seperti panggilan hidup lainnya, ada saat-saat di mana seorang imam merasa kesepian.   

25. Apakah seorang harus perjaka untuk menjadi seorang imam?
Tidak. Masa lalu seseorang bukanlah masalah yang utama. Pertanyaannya adalah: Apakah aku bersedia dan sekarang rela hidup dan mengasihi sebagai seorang selibat demi melayani sesama?

26. Pernahkah imam berkelahi dengan sesama imam?

Semoga, kata “berkelahi” merupakan kata yang terlalu keras; mungkin lebih tepat dikatakan berselisih pendapat. Hal ini wajar, normal serta sehat dalam hidup bersama. Mengandaikan kematangan pihak-pihak yang terlibat, sebagian besar selisih pendapat bisa diselesaikan sesuai kepentingan dan kebaikan semua pihak. Para imam terlibat dalam pekerjaan mengembangkan seni komunikasi dan hal ini membutuhkan kepercayaan, keterbukaan dan kerelaan untuk hidup di dalam ketegangan yang mungkin timbul dalam menyelesaikan suatu selisih pendapat.  

27. Mengapa seseorang mau menjadi imam?

Saya memilih panggilan hidup sebagai imam karena saya merasa inilah panggilan Tuhan bagi saya. Sementara saya semakin mengenal diri saya sendiri, mengenali bakat-bakat serta kemampuan yang Ia anugerahkan kepada saya, dan melihat kebutuhan-kebutuhan dunia, saya semakin yakin bahwa inilah cara terbaik saya dapat menanggapi cinta-Nya pada saya. Saya selalu ingin dapat menolong orang lain, dan dengan menjadi seorang imam dorongan untuk menolong orang lain semakin kuat. Jadi, saya memutuskan untuk setidak-tidaknya mencoba memberikan yang terbaik.

28. Bagaimana reaksi keluarga dan teman-teman terhadap keputusan seseorang untuk menjadi imam?

Sebagian besar dari kami beruntung memiliki keluarga yang mendorong kami untuk melakukan apa saja yang dapat menjadikan kami bahagia. Mereka mendukung pilihan kami tanpa mendesak kami - dan dalam usaha mereka memberikan dukungan, mereka memberondong kami dengan pertanyaan-pertanyaan yang membantu kami berpikir lebih matang tentang apa yang kami pilih.

Reaksi teman-teman sangat bervariasi, mulai dari mengolok-olok, menerka-nerka berapa lama kami dapat bertahan, menolak membicarakannya, cukup mendukung, sangat antusias. Tentu saja, sebagian dari reaksi-reaksi tersebut terasa berat diterima karena datang dari para sahabat yang pendapatnya kami hargai. Kadang kala, kami berkecil hati juga atas pilihan kami karena reaksi teman-teman kami itu, dan kami sungguh berterima kasih kepada mereka yang mengatakan, “Lakukan apa yang terbaik bagimu.”

29. Apakah para imam merasa lebih unggul dari kaum awam?

Tidak. Para imam tidak lebih unggul dari kaum awam. Segala bentuk panggilan merupakan anugerah dari Tuhan dan sama berharganya.

30. Dapatkah imam pensiun dari jabatannya?

Usia pensiun diterapkan bagi para imam. Kami dapat pensiun dari karya kerasulan aktif, tetapi sebagian besar imam akan melibatkan diri dalam karya kerasulan paruh waktu atau pelayanan sukarela lainnya. Para imam tidak dapat pensiun dari jabatan imamat. Para imam tidak pernah pensiun / berhenti mengasihi sesama ataupun berhenti berkarya demi keselamatan orang banyak.

31. Dapatkah imam dipecat dari jabatannya?

Apabila karya seorang imam dianggap tidak memenuhi syarat, ia dapat dipindahtugaskan. Para imam tidak dapat dipecat dari jabatan imamatnya, tetapi ia bisa dilarang untuk melakukan pelayanan publik apabila ia menimbulkan soal-soal besar.

32. Mengapa terjadi penurunan dalam jumlah orang yang menjadi imam?

Menghubungkan berkurangnya jumlah orang yang menjadi imam dengan suatu alasan tertentu akan tampak terlalu menyederhanakan masalah dan juga tak masuk akal. Alasan penyebabnya sangat beragam dan kompleks. Beberapa faktor di antaranya adalah lajunya perkembangan dunia, keengganan banyak orang untuk mengikatkan diri dalam suatu komitmen tetap pada seseorang atau maksud tertentu, kesalahpahaman tentang imamat dan banyaknya kesempatan pewartaan / pelayanan yang sekarang tersedia bagi mereka yang menikah.

Mungkin alasan yang lain adalah panggilan Tuhan jarang sekali bergaung keras, melainkan lebih sering berupa bisikan lembut. Hidup kita sekarang ini sering kali sibuk dan bising, mungkin terlalu bising untuk dapat siap mendengarkan jikaTuhan memanggil. Oleh sebab itu, jika kalian merasa bahwa Tuhan mungkin menghendaki kalian menjadi imam, datanglah pada pastor paroki. Bersama pastor paroki, kalian dapat menembus kebisingan dan melihat rencana Tuhan bagi kalian.

33. Sejujurnya, apakah imam menikmati kehidupan imamatnya?

Ya, benar! Menjadi imam mendatangkan kepuasan mendalam dan sukacita luar biasa dengan berkarya bersama dan bagi umat dengan pelayanannya. Sebagai pewarta Injil, imam menyentuh intisari hidup umatnya. Imam berusaha menyampaikan kasih Yesus yang amat mengagumkan itu kepada manusia, melihat orang-orang menangkap cinta-Nya dan hidup di dalamnya - itulah yang sungguh membuat kami bertahan. Memang, ada saat-saat kami kurang bersemangat, kecewa dan letih - semua orang pasti mengalaminya juga. Tetapi, seandainya saja saya harus mengulangi hidup saya kembali, saya akan memilih panggilan hidup yang sama.
Sumber : yesaya.indocell.net 

Rabu, 10 April 2013

Gambaran Mengenai Neraka
oleh Suster Josefa Menendez (1890 ~ 1923)



Artikel berikut dikutip dari buku "Jalan Kasih Ilahi" ("Way of Divine Love") tulisan Suster Josefa Menendez yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1938 di Perancis dan dengan cepat menyebarluas ke seluruh dunia. Kardinal Eugenio Pacelli, kelak menjadi Paus Pius XI, memberikan berkat pada edisi pertama ini.

Suster Josefa adalah seorang biarawati Spanyol dari Serikat Hati Kudus yang hidup hanya selama empat tahun sebagai seorang religius di Biara Les Feuillants di Poitiers, Perancis, di mana ia wafat dalam usia 33 tahun. "Jalan Kasih Ilahi" sebagian besar terdiri dari catatannya, yang ia tulis di bawah ketaatan kepada Tuhan kita, dengan wahyu-wahyu dari Hati KudusNya, ditambah biografinya.

Tuhan kita Yesus Kristus kerap menampakkan diri kepada Sr Josefa antara rentang waktu tahun 1921 hingga 1923. Beberapa kali Ia mengatakan kepadanya bahwa Ia ingin mempergunakannya untuk "melakukan rancangan-Nya" (9 Februari 1921) demi "keselamatan banyak jiwa yang sangat amat Ia kasihi" (15 Oktober 1920). Pada malam 24 Februari 1921 Yesus menyatakan secara terlebih jelas panggilannya pada waktu ia melakukan Jam Suci: "Dunia tidak mengenal kerahiman HatiKu." "Aku bermaksud menerangi mereka melalui engkau ...  Aku ingin engkau menjadi rasul kasih dan kerahiman-Ku. Aku akan mengajarkan kepadamu apa artinya itu; melupakan diri sendiri." Dan sebagai jawaban atas ketakutan yang dirasakan Josefa, Yesus mengatakan: "Kasih dan jangan takut apapun. Aku menginginkan apa yang tidak kau inginkan, tetapi Aku bisa melakukan apa yang tidak bisa kau lakukan. Bukan engkau yang memilih, engkau hanya perlu berserah diri ke dalam TanganKu."

Beberapa bulan kemudian, pada hari Senin tanggal 11 Juni 1921, beberapa hari sesudah Hari Raya Hati Yesus Yang Mahakudus, ketika Josefa telah menerima banyak rahmat, Yesus mengatakan: "Ingatlah kata-kata-Ku dan percayalah. HatiKu memiliki hanya satu kerinduan, yakni membenamkanmu di dalamnya, memilikimu dalam kasih-Ku, dan lalu menjadikan kelemahan dan ketakberdayaanmu suatu saluran untuk menyampaikan kerahiman bagi banyak jiwa yang akan diselamatkan melalui saranamu. Kemudian, Aku akan menyingkapkan kepadamu rahasia-rahasia penting HatiKu dan banyak jiwa akan beroleh manfaat darinya. Aku ingin kau menulis dan menyimpan semua yang Aku katakan kepadamu. Tulisan itu akan dibaca apabila engkau telah di surga. Janganlah berpikir bahwa Aku mempergunakanmu karena jasa-jasamu, melainkan Aku menghendaki jiwa-jiwa menyadari betapa Kuasa-Ku mempergunakan alat-alat yang malang dan tak berdaya." Josefa bertanya apakah dia harus memberitahukannya kepada Moeder Superior, dan Yesus menjawab: "Tulislah; tulisan itu akan dibaca sesudah kematianmu."

Jadi secara perlahan Tuhan kita menyingkapkan rancangan-Nya: Josefa dipilih oleh-Nya, bukan hanya untuk menjadi korban bagi jiwa-jiwa, terutama untuk jiwa-jiwa yang telah dikonsekrasikan, tetapi melalui dia Pesan Kasih dan Kerahiman Kristus dapat sampai kepada dunia. Sebuah misi ganda - Korban dan Utusan.

Lebih dari sekali, Josefa dibawa ke neraka guna menyaksikan dan secara pribadi merasakan penderitaan neraka. Ketika ia dibawa ke dalam neraka, atau ketika ia kembali ke keadaan sadar setelah suatu ekstasi, para superiornya hadir; mereka mencatat dengan seksama kata-kata yang terlontar dari mulut Josefa pada saat-saat itu. Apabila Josefa berkomunikasi dengan jiwa-jiwa di api penyucian yang datang memohon doa, maka nama, tanggal yang tepat, dan tempat kematian mereka, jika diberikan, selalu didapati benar pada waktu penyelidikan. Tak ada keraguan yang mungkin ada sehubungan dengan penculikan paksa Josefa oleh setan, yang terjadi di depan mata para Superior yang tak berdaya untuk mencegahnya. Pula dampak api yang membakarnya terlihat pada pakaian dan dagingnya; potongan-potongan kainnya yang hangus masih disimpan.

Suster Josefa enggan menulis mengenai neraka, dan melakukannya semata demi memenuhi keinginan Tuhan kita. Pada tanggal 25 Oktober 1922 Bunda Maria mengatakan kepadanya: "Segala sesuatu yang Yesus ijinkan engkau lihat dan derita mengenai siksaan neraka, adalah .. agar engkau memaklumkannya. Jadi, lupakan dirimu sepenuhnya, dan pikirkan hanya kemuliaan ... keselamatan jiwa-jiwa."

Suster Josefa berulang kali tinggal dalam apa yang ia gambarkan sebagai siksaan neraka yang paling ngeri, yaitu ketidakmampuan jiwa untuk mengasihi. Salah satu dari jiwa-jiwa terkutuk itu berteriak: "Inilah siksaanku ... bahwa aku rindu mengasihi tapi tak bisa, tak ada yang tersisa padaku selain dari kebencian dan keputusasaan. Andai salah seorang dari kami bisa melakukan satu saja tindakan kasih ... Tapi kami tidak bisa, kami hidup dalam kebencian dan kedengkian ... " (23 Maret 1922).

Ia mencatat juga dakwaan-dakwaan terhadap diri sendiri yang dilakukan jiwa-jiwa yang tak bahagia ini: "Sebagian berteriak-teriak karena penderitaan tangan-tangan mereka. Mungkin mereka adalah pencuri, sebab mereka mengatakan: 'Di manakah jarahan kita sekarang? ... Tangan-tangan terkutuk ...' Sebagian lain mengutuk lidah mereka, mata mereka ... apa pun yang adalah penyebab dosa ... 'Sekarang, oh tubuh, kau membayar harga kenikmatan yang kau berikan kepada dirimu sendiri! ... dan kau melakukannya dengan kehendak bebasmu sendiri ... '" (2 April 1922).

"Aku melihat beberapa jiwa jatuh ke dalam neraka, dan di antara mereka adalah seorang kanak-kanak berusia limabelas tahun; gadis itu mengutuki orangtuanya sebab tidak mengajarinya takut akan Allah maupun bahwa ada neraka. Hidupnya singkat, katanya, namun penuh dosa, karena ia telah menyerahkan diri pada semua yang dikehendaki tubuh dan nafsunya di jalan kenikmatan ... " (22 Maret 1923).

"Jiwaku jatuh ke kedalaman yang tak terperi, yang bagian bawahnya tak dapat dilihat, karena sangat luar biasa. . . ; Lalu aku didorong masuk ke dalam salah satu relung berapi dan ditindas, seolah, di antara papan-papan berapi, dan paku-paku tajam serta besi-besi merah-membara tampaknya menembusi dagingku. Aku merasa seakan mereka berupaya mencabut lidahku, namun tak dapat. Aniaya ini membuatku tersiksa hebat begitu rupa hingga mataku tampaknya mulai keluar dari rongganya. Aku rasa ini adalah karena api yang membakar dan membakar . . . . tak seujung jari kuku pun terhindar dari siksaan-siksaan yang mengerikan, dan sepanjang waktu orang tak dapat bergerak bahkan menggerakkan jari sekalipun demi  mendapatkan sedikit kelegaan, posisi tak berubah, karena tubuh tampaknya diratakan dan [namun] digandakan dua. Suara hiruk-pikuk dan hujatan tak berhenti barang sekejap. Bau busuk memuakkan menyesakkan dan merusak semuanya, seperti bakaran daging busuk, bercampur dengan ter dan belerang . . . suatu campuran yang tak ada bandingannya di bumi . . . meski siksaan-siksaan itu dahsyat, siksaan akan dapat ditanggung jika jiwa dalam damai. Tetapi jiwa menderita tak terlukiskan . . .  Semua yang aku tulis," katanya, "hanyalah sekedar bayangan dari apa yang diderita jiwa, sebab tak ada kata-kata yang dapat mengungkapkan siksaan yang begitu mengerikan" (4 September 1922).

"Tampak bagiku bahwa mayoritas mendakwa diri mereka sendiri karena dosa ketidakmurnian, mencuri, perdagangan yang tidak adil; dan bahwa sebagian besar dari mereka yang terkutuk berada di neraka karena dosa-dosa ini." (6 April 1922).

"Aku melihat banyak orang duniawi jatuh ke dalam neraka, dan tak ada kata-kata yang dapat mengungkapkan seruan mereka yang menakutkan serta mengerikan: "Terkutuk selamanya ... aku menipu diriku sendiri; aku binasa ... aku di sini selamanya ... Tak ada obat yang mungkin ... kutukan menimpaku ... '

"Sebagian mendakwa orang-orang lain, sebagian keadaan, dan semuanya menghujat penyebab kebinasaan mereka" (September 1922).

"Hari ini, aku melihat sejumlah besar orang jatuh ke dalam lubang api yang bernyala-nyala . . . Mereka tampaknya materialis dan suara roh jahat berseru lantang: "Dunia telah ranum untukku . . . Aku tahu bahwa cara terbaik untuk mencengkeram jiwa-jiwa adalah dengan membangkitkan hasrat mereka akan kenikmatan . . . Nomor satukan aku . . . aku sebelum yang lainnya . . . tak ada kerendahan hati untukku! tapi biarkan aku menyenangkan diriku sendiri . . . Hal macam ini menjamin kemenanganku . . . dan mereka tersandung jatuh ke dalam neraka'" (4 Oktober 1923).

"Aku mendengar roh jahat, dari siapa suatu jiwa berhasil meloloskan diri, dipaksa untuk mengakui ketakberdayaannya,  'Kacau semuanya ... bagaimana begitu banyak jiwa berhasil meloloskan diri dariku? Mereka itu milikku' (dan ia mencelotehkan dosa-dosa mereka) ... 'Aku bekerja keras, namun mereka lolos dari cengkeramanku ... Seseorang pastilah menderita dan menjadi silih bagi mereka'" (15 Januari 1923).

"Malam ini," tulis Josefa, "aku tidak turun ke dalam neraka, tetapi dibawa ke suatu tempat di mana semuanya kabur, tetapi di tengah ada api merah membara. Mereka menelentangkanku dan mengikatku begitu rupa hingga aku tak bisa bergerak barang sedikit pun. Sekelilingku ada tujuh atau delapan orang; tubuh hitam mereka telanjang, dan aku bisa melihat mereka hanya lewat pantulan api. Mereka duduk dan berbincang bersama.

Yang satu mengatakan: "Kita harus sangat berhati-hati untuk tidak diketemukan, sebab kita dapat dengan mudah ditemukan."
"Iblis menjawab: 'menyusuplah dengan membujukkan ketidakpedulian dalam diri mereka ... tetapi tetaplah di belakang, supaya kau tidak diketahui ... dengan semakin meningkatnya ketidakpeduliaan, mereka akan menjadi tak berbelas-kasihan, dan kau akan dapat mencondongkannya pada kejahatan. Cobailah orang-orang ini dengan ambisi, kepentingan diri sendiri, mendapatkan kekayaan tanpa bekerja, entah itu halal atau tidak. Pada sebagian orang bangkitkan hasrat sensualitas dan cinta kenikmatan. Biar butakan mereka ...' (di sini mereka menggunakan kata-kata cabul).

"'Sementara yang lainnya ... masuklah melalui hatinya ... kau tahu kecondongan hati mereka ... buat mereka mencintai ... mencintai dengan nafsu ... bekerja keras ... tanpa istirahat … tanpa belas-kasihan; dunia harus menuju kebinasaan ... dan jangan biarkan jiwa-jiwa ini lolos diriku.'

"Dari waktu ke waktu para pengikut setan menjawab: 'Kami adalah budak-budakmu ... kami akan bekerja tanpa henti, dan meski banyak yang berperang melawan kami, kami akan bekerja siang dan malam. Kami tahu kuasamu!'

"Mereka semua berbicara bersama, dan dia yang aku anggap sebagai setan menggunakan kata-kata penuh kengerian. Di kejauhan aku bisa mendengar kegaduhan seperti pesta, dentingan gelas-gelas ... dan dia berseru: 'Biarkan mereka menjejali diri dengan makanan! Itu akan membuat semuanya lebih mudah bagi kita ... Biarkan mereka melanjutkan pesta-pora mereka. Cinta kenikmatan adalah pintu melalui mana kalian akan mendapatkan mereka ... '

"Dia menambahkan hal-hal yang begitu mengerikan hingga tak mungkin dituliskan atau dikatakan. Lalu, seolah tenggelam dalam suatu pusaran asap, mereka lenyap" (3 Februari 1923).

"Yang jahat meratapi lolosnya suatu jiwa: 'Isi jiwanya dengan ketakutan, hantar dia pada keputusasaan. Semua itu akan hilang jika jiwa menempatkan kepercayaannya pada kerahiman... " (di sini mereka menggunakan kata-kata hujat untuk Tuhan). 'Aku kehilangan; tapi tidak, hantar dia pada keputusasaan; jangan tinggalkan dia barang sesaat, di atas semua itu, buat dia putus asa.'

"Lalu neraka kembali bergema dengan teriakan-teriakan hiruk-pikuk, dan ketika akhirnya iblis melemparkanku keluar dari jurang, ia terus mengancamku. Di antaranya ia mengatakan: 'Apakah mungkin orang yang begitu lemah ini memiliki kekuatan lebih dari aku, yang perkasa ... Aku harus menyembunyikan kehadiranku, bekerja dalam gelap; setiap sudut bisa jadi tempat dari mana mencobai mereka ... dekat dengan telinga … dalam helaian-helaian sebuah buku ... di bawah tempat tidur ... sebagian tidak memperhatikanku, tapi aku akan bicara dan bicara ... dan dengan bujuk rayu, sesuatu akan tinggal ... Ya, aku harus bersembunyi di tempat-tempat yang tak terduga'" (7,8 Februari 1923).

Lagi, ia menulis: "Jiwa-jiwa mengutuki panggilan yang mereka terima, namun tidak mereka ikuti … panggilan mereka telah hilang, karena mereka tak bersedia mengamalkan hidup yang tersembunyi dan bermatiraga ..." (18 Maret 1922).

"Pada satu kesempatan ketika aku berada di neraka, aku melihat banyak imam, kaum religius dan biarawati, mengutuki kaul mereka, ordo mereka, superior mereka dan semua yang dapat memberi mereka terang dan rahmat yang mereka hilangkan ...

"Aku melihat juga beberapa pembesar klerus. Salah seorang mengutuki diri karena telah mempergunakan harta milik Gereja secara tidak sah ... " (28 September 1922).

"Imam -imam mendatangkan kutuk atas lidah mereka yang telah dikonsekrasikan, atas jari-jari mereka yang menggenggam Tubuh Suci Tuhan kita, atas absolusi yang telah mereka berikan sementara mereka kehilangan jiwa mereka sendiri, dan atas kesempatan melalui mana mereka telah jatuh ke dalam neraka" (6 April 1922).

"Seorang imam mengatakan: 'Aku makan racun, sebab aku menggunakan uang yang bukan uangku sendiri ... uang yang diserahkan kepadaku untuk Misa-misa yang tidak aku persembahkan. "

"Yang lain berkata bahwa ia tergabung dalam suatu serikat rahasia yang mengkhianati Gereja dan agama, dan ia telah disuap untuk berkomplot atas profanasi dan sakrilegi yang mengerikan.

"Lagi, yang lain mengatakan bahwa dia dikutuk karena membantu dalam tindakan-tindakan profanasi, di mana sesudahnya ia tidak diperbolehkan mempersembahkan Misa ... dan bahwa ia melewatkan sekitar tujuh tahun dalam keadaan demikian."

Josefa melihat bahwa kebanyakan para religius yang dicampakkan ke dalam api neraka berada di sana karena dosa-dosa ngeri melawan kemurnian ... dan karena dosa-dosa melawan kaul kemiskinan ... karena secara tidak sah menggunakan barang-barang komunitas ... karena kecondongan melawan cinta kasih (cemburu, antipati, benci, dll), karena suam-suam kuku dan kemalasan, juga karena membiarkan diri menikmati kesenangan-kesenangan yang menghantar pada dosa-dosa yang terlebih berat ....

Berikut adalah teks lengkap dari catatan Josefa mengenai "neraka jiwa-jiwa yang dikonsekrasikan." (Biografi: Bab VII - 4 September 1922).

"Meditasi hari itu adalah mengenai Pengadilan Khusus jiwa-jiwa religius. Aku tak dapat membebaskan benakku dari memikirkannya, kendati penindasan yang aku rasakan. Sekonyong-konyong, aku merasa diriku terbelenggu dan dihimpit oleh suatu beban yang sangat berat, hingga dalam sekejap aku melihat dengan terlebih jelas dari sebelumnya bagaimana luar biasanya kekudusan Allah dan kebencian-Nya terhadap dosa.

"Aku melihat dalam suatu kilasan keseluruhan hidupku sejak pengakuan dosaku yang pertama hingga hari ini. Semuanya dihadirkan secara jelas di hadapanku: dosa-dosaku, rahmat-rahmat yang telah aku terima, hari aku masuk kehidupan religius, pakaianku sebagai seorang novis, kaul pertamaku, bacaan-bacaan rohani, dan waktu-waktu doaku, nasehat yang disampaikan kepadaku, dan segala pertolongan dalam kehidupan religius. Mustahil menggambarkan segala kekacauan dan rasa malu yang dirasakan jiwa pada saat itu, ketika jiwa menyadari: 'Semuanya sia-sia, dan aku terkutuk selamanya."

Seperti dalam peristiwa turunnya Josefa ke dalam neraka sebelumnya, Josefa tidak pernah mendakwa diri atas suatu dosa tertentu yang mungkin telah menghantarnya ke malapetaka yang demikian. Tuhan kita bertujuan agar dia hanya merasakan seperti apa konsekuensi-konsekuensi yang akan terjadi, jika ia mendapatkan ganjaran hukuman yang demikian. Dia menulis:

"Seketika aku mendapati diriku di neraka, tetapi tidak dengan diseret ke sana seperti sebelumnya. Jiwa mencampakkan dirinya sendiri ke sana, seolah-olah untuk bersembunyi dari Allah agar bebas untuk membenci dan mengutuki-Nya.

"Jiwaku jatuh ke kedalaman yang tak terperi, yang bagian bawahnya tak dapat dilihat, karena sangat luar biasa ... serta-merta, aku mendengar jiwa-jiwa lain mencemooh dan bersukacita melihatku ambil bagian dalam siksaan mereka. Sungguh suatu siksaan mendengar kutukan-kutukan ngeri dari segala penjuru, namun apakah yang dapat dibandingkan dengan rasa haus untuk mengutuk yang menguasai suatu jiwa, dan semakin jiwa mengutuk, semakin ia ingin melakukannya lagi. Belum pernah aku merasa seperti itu sebelumnya. Sebelumnya jiwaku telah dihimpit kepiluan mendengar hujatan-hujatan ngeri ini, sekalipun tak dapat melakukan bahkan satu tindakan kasih. Tetapi hari ini sebaliknya.

"Aku melihat neraka seperti biasanya, koridor-koridor panjang yang gelap, relung-relung, api ... aku mendengar hujatan-hujatan dan kutukan-kutukan yang sama, sebab - dan mengenai ini aku telah menulis sebelumnya - meskipun tak ada bentuk-bentuk badani terlihat, siksaan dirasakan seolah mereka ada, dan jiwa-jiwa saling mengenal satu sama lain. Beberapa berteriak, 'Halo, kau di sini? Adakah kau seperti kami? Kami bebas untuk mengucapkan kaul-kaul itu atau tidak ... tapi tidak!' dan mereka mengutuki kaul-kaul mereka.

"Kemudian aku didorong masuk ke dalam salah satu dari relung-relung berapi dan dihimpit, seolah, di antara papan-papan yang terbakar, dan paku-paku tajam serta besi-besi merah-membara tampaknya menembusi dagingku."

Di sini Josefa mengulang berbagai siksa aniaya di mana tak satu anggota tubuh pun dikecualikan:

"Aku merasa seakan mereka berupaya mencabut lidahku, namun tak dapat. Aniaya ini membuatku tersiksa hebat begitu rupa hingga mataku tampaknya mulai keluar dari rongganya. Aku rasa ini adalah karena api yang membakar dan membakar . . . . tak seujung jari kuku pun terhindar dari siksaan-siksaan yang mengerikan, dan sepanjang waktu orang tak dapat bergerak bahkan menggerakkan jari sekalipun demi  mendapatkan sedikit kelegaan, posisi tak berubah, karena tubuh tampaknya diratakan dan [namun] digandakan dua.

"Semua ini aku rasakan seperti sebelumnya, dan meski siksaan-siksaan itu dahsyat, siksaan akan dapat ditanggung jika jiwa dalam damai. Tetapi jiwa menderita tak terlukiskan. Sampai saat ini, apabila aku turun ke neraka, aku pikir bahwa aku telah dikutuk karena meninggalkan kehidupan religius. Tapi kali ini berbeda. Aku memiliki tanda khusus, suatu tanda bahwa aku adalah seorang religius, suatu jiwa yang mengenal dan mengasihi Allah, dan ada yang lain-lain juga yang memiliki tanda yang sama. Aku tak dapat mengatakan bagaimana aku mengenalinya, mungkin karena cara penghinaan khusus dengan mana roh-roh jahat dan jiwa-jiwa terkutuk lainnya memperlakukan mereka. Ada banyak imam juga di sana. Penderitaan khusus ini aku tak dapat menjelaskannya. Penderitaan ini sangat berbeda dari apa yang aku alami di waktu-waktu yang lalu, sebab jika jiwa-jiwa mereka yang tinggal di dunia sudah sangat menderita, sungguh terlebih parah tak terperi siksa aniaya bagi mereka yang religius.

Terus-menerus  tiga kata, Kemiskinan, Kemurnian dan Ketaatan, dituliskan pada jiwa dengan penyesalan memilukan.

"Kemiskinan: Engkau bebas dan engkau berikrar! Jadi, mengapa, engkau mencari kenikmatan itu? Mengapa bertaut pada obyek yang bukan milikmu? Mengapakah kau memberikan kesenangan itu pada tubuhmu? Mengapakah membiarkan dirimu sendiri mengingini milik komunitas? Tidakkah engkau tahu bahwa kau tak lagi berhak memiliki sesuatu apapun itu, bahwa engkau telah dengan sukarela menyangkal penggunaan barang-barang itu ... Mengapakah engkau bersungut-sungut apabila ada yang engkau inginkan, atau ketika engkau menganggap dirimu diperlakukan kurang baik dibandingkan yang lain? Kenapa?

"Kemurnian: Engkau sendiri mengikrarkannya secara sukarela dan dengan pengetahuan penuh akan konsekuensinya ... engkau mengikat dirimu sendiri … engkau menghendakinya ... dan bagaimanakah kau melaksanakannya? Dan jika demikian, mengapakah engkau tidak tinggal di mana adalah sah bagimu untuk memberikan kesenangan dan kesukaan bagi dirimu?

"Dan jiwa yang tersiksa menanggapi: "Ya, aku mengikrarkannya; aku bebas ... Aku bisa saja tidak mengucapkan kaul, tapi aku mengucapkannya dan aku bebas ...' Kata-kata apakah yang dapat mengekspresikan derita dari penyesalan yang demikian, "tulis Josefa, "dan sepanjang waktu terus disertai cemoohan dan hinaan dari jiwa-jiwa terkutuk lainnya.

"Ketaatan: Tidakkah engkau sepenuhnya menjaga diri untuk taat pada Peraturan dan Superiormu? Jadi, mengapakah engkau menimbang-nimbang peraturan yang diberikan kepadamu? Mengapakah engkau tidak mentaati Peraturan? Mengapakah engkau mengecualikan diri dari hidup bersama? Ingatlah bagaimana manisnya Peraturan ... dan engkau tak hendak mentaatinya ... dan sekarang," seru suara-suara setan," kau harus mentaati kita bukan untuk satu hari atau satu tahun, atau satu abad, melainkan selama-lamanya; sepanjang kekekalan masa ... Perbuatanmu sendiri ... engkau bebas.

"Jiwa terus-menerus mengenangkan bagaimana ia telah memilih Allah-nya sebagai Mempelai-nya, dan bahwa dulu ia mengasihi-Nya melampaui segala sesuatu ... bahwa bagi-Nya ia telah menyangkal kesenangan yang paling sah dan segala yang ia cintai di bumi, bahwa pada awal kehidupan religiusnya ia telah merasakan segala kemurnian, kemanisan dan kekuatan dari kasih ilahi ini, dan bahwa untuk hasrat yang tak terkendali ... sekarang ia harus untuk selamanya membenci Allah yang telah memilihnya untuk mengasihi-Nya.

"Kebencian hebat ini merupakan dahaga yang menguasainya ... tak ada sukacita masa lalu yang dapat melegakannya barang sedikitpun." "Salah satu dari siksanya yang terbesar adalah aib," tambah Josefa. "Tampak baginya mereka semua yang terkutuk mengelilinginya sembari terus-menerus mengejeknya dengan mengatakan: 'Bahwa kami yang tiada pernah mendapatkan pertolongan seperti yang kau nikmati itu binasa tidaklah mengherankan ... tapi kau ... apakah yang kurang? Engkau yang tinggal dalam istana Raja ... yang berpesta di kalangan kaum terpilih.'

"Semua yang aku tulis," katanya, "hanyalah sekedar bayangan dari apa yang diderita jiwa, sebab tak ada kata-kata yang dapat mengungkapkan siksaan yang begitu mengerikan" (4 September 1922).


Pada tahun 1926, setelah pemeriksaan seksama atas tulisan-tulisan Suster Josefa, seorang Konsultor dari Kongregasi Ritus Suci menyimpulkan laporannya dengan kata-kata berikut: "Saya berdoa kepada Allah agar kiranya hal-hal ini dapat diketahui demi kemuliaan Allah, dan demi memperteguh iman mereka yang jiwanya bimbang dan ragu, dan juga agar si religius suci dari Hati Kudus yang menulisnya dimuliakan."

Sumber : yesaya.indocell.net