Senin, 17 Juni 2013

S U R G A
(Penglihatan Kepada Orang Kudus)



Surga dalam Penglihatan dan Mimpi St Yohanes Bosco

Santo Yohanes Bosco (1815-1888), yang adalah rasul kaum muda dan pendiri Serikat Salesian Don Bosco (SDB) dan Suster-suster Puteri Maria Penolong Umat Kristiani (FMA), dianugerahi banyak penglihatan dan nubuat dalam hidupnya. Berikut adalah tiga penglihatan Don Bosco yang merujuk pada surga.


LUIGI COMOLLO

Yohanes Bosco dan Luigi Comollo adalah dua sahabat karib di sekolah maupun sesudahnya di Seminari Chieri. Kepada Luigi, Yohanes mengutarakan semua cita-cita dan rencananya. Luigi sendiri tidak menyusun banyak rencana seperti Yohanes, ia merasa bahwa hidupnya akan segera berakhir. Tak dikatakannya perasaannya itu kepada sahabatnya, tetapi mereka berdua telah sepakat: siapa pun yang terlebih dahulu meninggal dunia akan memohon kepada Tuhan untuk memberi ijin memberitahukan kepada sahabatnya yang masih di dunia bahwa ia telah masuk dalam kebahagiaan abadi.

Tahun berikutnya, pada tanggal 2 April 1839, hari Kamis sesudah Paskah, Luigi meninggal dunia karena demam. Yohanes amat berduka karena bagian dari dirinya yang berharga telah pergi. Malam sesudah pemakaman duapuluh orang yang tidur dalam satu kamar asrama dengan Yohanes terbangun karena suara aneh. Seolah-olah sebuah kereta kuda, atau kereta api, sedang melaju di lorong, kereta itu menerjang dan menghantam bagaikan gemuruh artileri, menyebabkan lantai dan langit-langit berguncang, pintu kamar terbuka lebar-lebar dan masuklah ke dalam ruangan mereka suatu sinar yang sekonyong-konyong bersinar amat terang. Dan, dalam keheningan, banyak dari mereka yang mendengar suatu suara yang lembut bernyanyi dengan gembira. Tetapi hanya seorang saja yang mendengar perkataan ini:

"Bosco, aku selamat."

Sinar menghilang dan pergi dengan cara yang sama seperti datangnya. Kemudian segala sesuatunya berakhir. Yohanes dipenuhi dengan sukacita dan syukur.


MAMA MARGARITA

Ibunda St John Bosco memainkan peran penting dalam hidup dan karya puteranya. Demikianlah semua orang dengan penuh kasih memanggilnya, Mama Margarita. Setelah wafatnya, Mama Margarita menampakkan diri kepada Santo Yohanes Bosco. Don Bosco menuliskan penglihatannya ini dalam "Kenangan Biografi"-nya:

Pada bulan Agustus 1860, ia bermimpi bertemu dengan ibundanya dekat rumah doa Bunda Penghiburan, di sepanjang tembok yang mengelilingi Biara Santa Anna di sudut jalan sementara ia sedang dalam perjalanan pulang ke Oratorio dari Convitto Ecclesiatico. Mama Margarita kelihatan cantik. "Apa? Apakah Mama sungguh di sini?" tanya Don Bosco. "Bukankah Mama sudah meninggal dunia?"

"Aku mati tapi aku hidup," jawab Mama Margarita.

"Dan apakah Mama bahagia?"

"Sangat bahagia."

Setelah beberapa pertanyaan lain, Don Bosco bertanya apakah Mama Margarita langsung ke surga setelah wafatnya. Mama Margarita menjawab tidak. Don Bosco lalu bertanya apakah beberapa anak laki-laki - yang namanya ia sebutkan - berada di surga, dan ia menerima jawaban ya.

"Sekarang katakan," lanjut Don Bosco, "apakah yang Mama nikmati di surga?"

"Aku tak bisa menjelaskan itu padamu."

"Berilah aku setidaknya suatu gagasan akan kebahagiaan Mama; biarkan aku melihat kilasannya!"

Mama Margarita kemudian tampak bersinarkan kemuliaan dan berbusanakan jubah semarak. Sementara suatu himpunan besar paduan suara berdiri di latar belakang, ia mulai menyanyikan sebuah madah kasih kepada Allah yang begitu manis tak terlukiskan dan langsung menembus hati, memenuhi dan merasukinya dengan kasih. Kedengarannya seperti seribu suara dan seribu nada - dari bass terendah hingga soprano tertinggi - semua berbaur dengan begitu ahlinya, lembut, dan harmonis demi membentuk satu suara tunggal, kendati beragam nada dan titik nada suara yang terdiri dari yang paling kuat hingga ke yang nyaris tak kedengaran. Don Bosco begitu terpesona oleh nyanyian paling merdu ini hingga ia berpikir bahwa ia tak sadar lagi akan dirinya dan tak lagi dapat mengatakan atau menanyakan apapun lagi pada ibundanya. Ketika Mama Margarita selesai bernyanyi, ia berpaling kepada Don Bosco dan mengatakan: "Aku akan menantikanmu. Kita berdua harus selalu bersama-sama." Setelah mengucapkan kata-kata itu, ia pun menghilang.


Santo Dominikus Savio (1842-1857)

St Yohanes Bosco beroleh penglihatan lain mengenai surga dalam bentuk mimpi, yang ia ceritakan kepada anak-anaknya dalam salah satu dari "perbincangan menjelang tidur"-nya yang terkenal.

Pada malam tanggal 6 Desember 1876, seorang muridnya yang telah wafat - Santo Dominikus Savio - menampakkan diri kepadanya dalam sebuah mimpi. Berikut seperti dikisahkannya:

Seperti kalian tahu, mimpi-mimpi datang dalam tidur seseorang. Malam hari pada tanggal 6 Desember, sewaktu aku masih di kamarku, di Lanzo, - entah membaca atau berjalan mondar-mandir atau beristirahat di pembaringanku, aku tak yakin - aku mulai bermimpi.

Sekonyong-konyong tampak olehku bahwa aku sedang berdiri di atas sebuah gundukan bukit kecil, di tepi suatu dataran yang begitu luas hingga mata tak dapat melihat batas-batasnya yang lenyap dalam keluasannya. Semuanya biru, biru bagai laut yang paling tenang, meski apa yang aku lihat bukanlah air. Seperti suatu samudera kaca yang berkilau sangat cemerlang. Terbentang di bawah, di belakang dan di kedua sisiku adalah suatu hamparan luas dari apa yang tampak bagai sebuah pantai.

Jalan-jalan yang luas dan mengagumkan membagi dataran menjadi kebun-kebun besar yang indah tak terkira, masing-masing dipisahkan oleh semak-semak, rerumputan, dan taman-taman bunga dari berbagai bentuk dan warna. Tak satu pun dari tanam-tanaman yang kita kenal dapat pernah memberi kalian gagasan akan bebungaan itu, meski ada kemiripannya. Rerumputan itu sendiri, bebungaan, pepohonan, dan buah-buahan - semua, masing-masingnya sungguh elok. Dedaunannya dari emas, batang dan dahan-dahannya dari berlian, dan setiap detailnya yang kecil selaras dengan kemewahan ini. Beraneka ragam tanam-tanaman tak terbilang banyaknya. Setiap spesies dan setiap tanaman kemilau dengan kecemerlangannya sendiri. Tersebar di segenap penjuru kebun-kebun itu dan terhampar di seluruh dataran aku bisa melihat tak terhitung banyaknya gedung-gedung yang arsitekturnya, kemegahannya, keharmonisannya, keagungan dan ukurannya begitu unik hingga orang dapat mengatakan segala harta kekayaan dunia tidaklah cukup untuk membangun barang satu pun dari gedung itu. Andai saja anak-anakku memiliki satu rumah yang demikian, aku katakan kepada diriku sendiri, betapa mereka akan menyukainya, betapa akan bahagianya mereka, dan betapa mereka akan senang berada di sana! Demikianlah pikiran-pikiran yang melintas di benak sementara aku menatap bagian luar bangunan-bangunan tersebut, akan tetapi betapa akan terlebih lagi semarak bagian dalamnya!

Sementara aku berdiri di sana menikmati keindahan kebun-kebun itu, sekonyong-konyong aku mendengar musik paling manis - suatu melodi yang begitu menyukakan dan mempesonakan hati hingga aku tiada pernah bisa secara memadai menjelaskannya. Dibandingkan dengan musik itu, komposisi Pater Cagliero dan Broeder Dogliani nyaris tak dapat dianggap musik sama sekali. Seratus ribu instrumen dimainkan, masing-masing dengan suaranya sendiri, yang unik berbeda dari semua yang lain, dan setiap suara yang terdengar menghidupkan udara dengan gelombang-gelombang resonansinya. Berbaur dengannya adalah madah paduan suara.

Dalam kebun-kebun itu aku melihat suatu himpunan besar orang yang menyenangkan diri mereka sendiri dengan bahagia, sebagian bernyanyi, yang lain bermain, akan tetapi setiap nada, mendatangkan efek seribu instrumen yang berbeda dimainkan bersama-sama. Pada satu saat yang sama, jika kalian bisa membayangkan hal yang demikian, orang bisa mendengar semua nada dari skala kromatik, dari yang terendah hingga yang tertinggi, namun semuanya dalam harmoni yang sempurna. Ah ya, tak ada pada kita di dunia yang dapat dibandingkan dengan simfoni itu.

Orang bisa tahu dari ekspresi wajah-wajah bahagia itu bahwa para penyanyinya tak hanya menikmati secara mendalam kesenangan dalam bernyanyi, tetapi juga menerima sukacita luar biasa dalam mendengarkan yang lain. Semakin mereka bernyanyi, semakin bangkit hasrat mereka untuk bernyanyi. Semakin mereka mendengarkan, semakin tergetar kerinduan mereka untuk mendengarkan lagi ...

Sementara aku mendengarkan dengan takjub paduan suara surgawi itu, aku melihat suatu himpunan besar tak berujung anak-anak lelaki menghampiriku. Banyak yang aku kenali sebagai anak-anak di Oratorio dan di sekolah-sekolah kami yang lain, tetapi sejauh ini mayoritas dari mereka adalah anak-anak yang asing bagiku. Barisan mereka yang tak berujung semakin mendekat, dipimpin oleh Dominikus Savio, yang segera diikuti oleh Pater Alasonatti, Pater Chiali, Pater Guilitto dan banyak kaum klerus dan imam yang lain, masing-masing memimpin sepasukan anak-anak lelaki ...

Begitu rombongan anak-anak lelaki itu berada sekitar delapan atau sepuluh langkah dariku, mereka berhenti. Ada suatu kilatan cahaya yang jauh lebih cemerlang dari sebelumnya, musik berhenti, dan suatu keheningan yang senyap pun berkuasa. Suatu sukacita yang paling berseri meliputi segenap anak laki-laki dan terpancar di mata mereka, wajah mereka bersinar dengan kebahagiaan. Mereka memandang dan tersenyum padaku dengan sangat menyenangkan, seolah hendak berbicara, namun tak seorang pun mengatakan apa-apa.

Dominikus Savio melangkah maju satu atau dua langkah, berdiri begitu dekat denganku hingga, andai aku mengulurkan tangan, aku pasti akan menyentuhnya. Ia juga terdiam dan menatapku dengan senyum ...

Betapa eloknya dia! Pakaiannya luar biasa; jubah putihnya, yang terjuntai hingga ke kaki, bersulam berlian dan dijahit dengan benang emas. Sebuah ikat pinggang merah lebar melilit pinggangnya, bersulamkan batu-batu mulia yang saling berdekatan hingga bebatuan itu saling bersentuhan. Pada lehernya tergantung sebuah karangan bunga dari jenis yang belum pernah kita lihat; tampak seperti berlian-berlian yang terjalin bersama. Bunga-bunga ini memancarkan cahaya. Di atas kepalanya terdapat sebuah mahkota dari bunga-bunga mawar. Rambutnya yang bergelombang terjuntai ke bahu, dan memberinya penampilan yang begitu elok, begitu memikat hati, begitu menarik hingga ia tampak - ia tampak seperti malaikat. Aku gemetar dan tidak bisa berbicara.

Akhirnya Dominikus Savio berbicara. "Mengapakah engkau berdiri di sana diam seribu bahasa, seolah kau nyaris lumpuh?" tanyanya. "Bukankah kau orang yang dulu tak takut apapun, pantang menyerah terhadap fitnah, aniaya, pertentangan, penderitaan dan segala macam mara bahaya? Di manakah keberanianmu? Katakanlah sesuatu!"

Aku memaksakan diri untuk menjawab dengan terbata-bata, "Aku tak tahu harus mengatakan apa. Apakah kau Dominikus Savio?"

"Ya. Tidakkah kau mengenaliku lagi?"

"Bagaimana kau bisa berada di sini?" tanyaku masih bingung.

Savio berbicara penuh kasih. "Aku datang untuk berbicara denganmu. Kita berbicara bersama begitu sering di dunia! Tidakkah kau ingat betapa kau mengasihiku, atau berapa banyak tanda persahabatan yang kau berikan kepadaku dan betapa baiknya kau kepadaku? Dan betapa aku membalas kehangatan kasihmu? Betapa besar kepercayaanku padamu! Jadi mengapakah kau kelu lidah? Mengapakah kau gemetar? Mari, ajukan barang satu atau dua pertanyaan!"

Dengan mengerahkan keberanian, aku menjawab, "Aku gemetar sebab aku tidak tahu di mana aku berada."

"Kau berada di tempat tinggal kebahagiaan," jawab Savio, "di mana orang mengalami segala sukacita, segala kebahagian."

"Apakah ini ganjaran bagi orang adil?"

"Sama sekali bukan! Di sini kami tidak menikmati kebahagiaan adikodrati melainkan hanya kebahagiaan alamiah, meski sangat berlipat ganda."

"Mungkinkah aku diijinkan untuk melihat sedikit terang adikodrati?"

"Tak seorang pun dapat melihatnya sampai ia telah datang untuk melihat Allah sebagaimana Ia adanya. Berkas paling redup dari terang itu akan membuat orang mati seketika itu juga, sebab indera manusia tak cukup kuat untuk menanggungnya."

"Sekarang katakan, Savio-ku terkasih, apakah yang memberimu penghiburan terbesar di saat ajal?"

"Apa yang paling menghiburku di saat ajal adalah pertolongan dari Bunda Juruselamat yang penuh kuasa dan kasih, Maria Tersuci. Dan katakan ini kepada para pemudamu, agar mereka tidak pernah lupa untuk berdoa kepada Bunda Maria setiap hari sepanjang hidup mereka."

Dengan itu berakhirlah mimpi Don Bosco.


Kemuliaan Maria di Surga

Santa Brigitta dari Swedia (1303-1373) beroleh anugerah penglihatan akan Sang Perawan di surga dalam kemuliaan. Ia melihat Bunda Allah, Ratu Surga, mengenakan sebuah mahkota yang tak ternilai. Rambutnya yang indah kemilau terjuntai di bahu. Sang Perawan mengenakan sebuah jubah keemasan yang cemerlang dan sehelai kerudung sebiru langit. Brigitta tenggelam ke dalam ekstasi kontemplatif, seolah suatu kehidupan batin memisahkannya dari dirinya sendiri.

Sekonyong-konyong Santo Yohanes Pembaptis muncul dan berkata kepadanya: "Dengarkan baik-baik: Aku hendak menyingkapkan makna dari semua ini kepadamu. Mahkota berarti bahwa Santa Perawan adalah Ratu dan Bunda dari Raja para malaikat. Rambutnya menandakan bahwa ia adalah yang termurni dari segala perawan dan mutlak sempurna. Kerudungnya yang berwarna biru langit menunjukkan bahwa segala hal duniawi mati baginya. Jubahnya yang keemasan melambangkan bahwa ia telah membuktikan kasih yang berkobar dan belas-kasih, baik secara lahir maupun batin.

Putranya menempatkan tujuh bunga leli pada mahkotanya: yang pertama adalah kerendahan hatinya, yang kedua adalah takut akan Allah, yang ketiga adalah ketaatannya, yang keempat kesabarannya, kelima ketenangannya; keenam kemanisannya, sebab ia manis dan memberi kepada semua yang berseru kepadanya apabila memohon sesuatu; ketujuh adalah kerahiman dalam kebutuhan: sebab apabila orang berseru kepadanya ia akan memberikan kepadanya apapun yang dibutuhkannya.

Putra Allah telah menempatkan di antara ketujuh leli ini tujuh batu mulia: yang pertama adalah keunggulan keutamaannya, sebab tiada roh yang memiliki keutamaan yang lebih tinggi dibandingkan Santa Perawan; yang kedua adalah kemurniannya yang sempurna sebab Ratu Surga begitu murni bahkan tiada noda dosa setitik pun padanya, dan tak ada setan yang pernah berhasil menemukan ketidakmurnian dalam dirinya. Ia sungguh yang termurni sebab adalah tepat Raja Kemuliaan ditempatkan hanya dalam bejana termurni yang terpilih di atas segenap para malaikat dan segenap umat manusia. Batu mulia ketiga adalah kecantikannya, sebab para kudus memuji Allah karena kecantikan BundaNya dan ini melengkapi sukacita segenap para malaikat dan para kudus. Batu mulia keempat pada mahkota mewakili kebijaksanaan Bunda Perawan sebab didandani dengan semarak dan keelokan ia dipenuhi hingga meluap dan diberkati dengan setiap hikmat Allah. Batu mulia kelima adalah kekuatannya sebab melalui Allah ia cukup kuat untuk menghancurkan dan mengenyahkan segala yang telah diciptakan. Batu mulia keenam adalah kemilau dan terangnya, sebab ia menerangi para malaikat yang matanya lebih cemerlang dari cahaya dan setan tunggang-langgang karena kecantikannya dan tiada berani menatap kemuliaannya. Batu mulia ketujuh adalah kepenuhan dari segala kebahagiaan, dari segala kemanisan rohani, yang ada dalam dirinya dengan kekayaan begitu rupa hingga tiada sukacita yang tak tumbuh darinya, pun tiada kebahagiaan yang tiada disempurnakan dengan menatap kecantikannya."


Catatan  St Faustina Kowalska

Suatu hari, aku melihat dua jalan. Yang satu lebar, berselimutkan pasir dan bunga-bunga, penuh riang-ria, musik dan segala macam kesenangan. Orang berjalan menapakinya, menari-nari dan berpesta-pora. Mereka tiba di ujung jalan tanpa menyadarinya. Di ujung jalan terdapat suatu jurang yang sangat mengerikan; itulah jurang neraka. Jiwa-jiwa jatuh secara membabi-buta ke dalamnya; sementara berjalan, mereka berjatuhan. Jumlah mereka sungguh amat banyak hingga mustahil menghitung mereka. Aku melihat jalan yang lain, atau tepatnya jalan setapak, sebab jalan itu sempit, onak duri dan bebatuan bertebaran di atasnya; orang-orang yang menapakinya bercucuran airmata, segala macam sengsara menimpa mereka. Sebagian terjatuh di atas bebatuan, tetapi segera bangkit dan terus maju. Di ujung jalan terdapat suatu taman yang indah mempesona penuh dengan berbagai macam sukacita, dan segenap jiwa-jiwa ini masuk ke dalamnya. Seketika itu juga mereka lupa akan segala penderitaan mereka. (153)

Ketika aku di Kickers (1930) guna menggantikan salah seorang suster untuk jangka waktu yang singkat, suatu siang aku berjalan melintasi taman dan berhenti di tepi danau; lama aku berdiri di sana, menikmati sekelilingku. Sekonyong-konyong aku melihat Tuhan Yesus di dekatku, dengan lembut Ia berkata, “Semua ini Aku ciptakan untukmu, mempelai-Ku; ketahuilah bahwa segala keindahan ini tak ada artinya dibandingkan dengan apa yang telah Aku persiapkan untukmu dalam keabadian.” Jiwaku diliputi penghiburan begitu rupa hingga aku tinggal di sana sampai sore hari, yang bagiku serasa sekejap saja. Hari itu adalah hari bebasku, yang disisihkan untuk retret satu hari, sehingga aku cukup bebas mempersembahkan diriku dalam doa. Oh, betapa Allah, yang kebaikan-Nya tak terhingga, melimpahi kita dengan kebajikan-kebajikan-Nya! Kerap kali terjadi bahwa Tuhan menganugerahiku karunia-karunia terbesar saat aku sama sekali tak mengharapkannya. (158)

Setelah aku pergi ke refectory pada waktu membaca, seluruh keberadaanku mendapati dirinya tengelam dalam Tuhan. Secara batin, aku melihat Tuhan memandangi kami dengan sukacita yang besar, aku tinggal seorang diri dengan Bapa Surgawi. Pada saat itu, aku mendapatkan pemahaman yang terlebih mendalam akan Ketiga Pribadi Allah, kepada siapa sepatutnya kita mengkontemplasikan segala kekekalan dan, setelah berjuta-juta tahun, akan mendapati bahwa kita baru saja memulai kontemplasi kita. Oh, betapa luar biasa kerahiman ilahi, yang mengijinkan manusia untuk ikut ambil bagian dalam tingkat yang begitu tinggi dalam kebahagiaan ilahi-Nya! Pada saat yang sama, betapa hebat sakit hatiku terkoyak-koyak mendapati begitu banya jiwa telah menolak kebahagiaan ini. (1439)

Februari 1938. Pada waktu meditasi, Tuhan memberiku pemahaman akan sukacita surgawi dan akan para kudus setibanya kita di sana; mereka mengasihi Tuhan sebagai satu-satunya tumpuan kasih mereka, namun demikian mereka juga memiliki kasih yang lembut dan tulus bagi kita. Dari wajah Allah sukacita ini memancar kepada semuanya, sebab kita melihat-Nya muka dengan muka. Wajah Allah begitu manis hingga jiwa jatuh kembali ke dalam ekstasi. (1592)

Ketika pada waktu adorasi aku mengulang-ulang doa, “Allah yang Kudus” beberapa kali, suatu kehadiran Allah yang nyata sekonyong-konyong meliputiku, dan aku terperangkap dalam roh di hadapan keagungan Tuhan. Aku melihat bagaimana para malaikat dan para kudus memuliakan Tuhan. Kemuliaan Tuhan begitu dahsyat hingga aku tak berani untuk berusaha menggambarkannya, sebab aku tak akan mampu melakukannya, dan jiwa-jiwa akan berpikiran bahwa aku sudah menuliskan semuanya. St Paulus, aku mengerti sekarang mengapa engkau tak hendak menggambarkan surga, melainkan hanya mengatakan bahwa apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pernah didengar oleh telinga, dan yang tidak pernah timbul di dalam hati manusia: semua yang disediakan Allah untuk mereka yang mengasihi Dia…. Sekarang aku telah melihat dengan cara bagaimana aku memuliakan Allah; oh betapa suatu kemalangan! Dan betapa bagai setetes kecil air dibandingkan dengan kemuliaan surgawi yang sempurna. (1604)


PENGLIHATAN AKAN SURGA

Theresia Neumann (1898 - 1962), seorang stigmatis dan visionaris, dianugerahi banyak penglihatan semasa hidupnya; di antaranya adalah penglihatan-penglihatan mistik mengenai surga yang dialaminya secara rutin pada Hari Raya Semua Orang Kudus. Pada tanggal 1 November 1928, Pastor Naber, pembimbing rohaninya, menulis di catatan harian sebagai berikut:


"Pagi hari pukul 6, Theresia diperkenankan memandang surga. Dalam penglihatan pertama ia melihat Juruselamat, dikelilingi oleh Maria, Yosef, para rasul, keduapuluh empat tua-tua, ketujuh malaikat agung dan suatu himpunan besar malaikat-malaikat lain. Dalam penglihatan kedua ia melihat Juruselamat di antara jiwa-jiwa perawan (keterangan: para imam, anggota ordo religius, para perawan), dan dalam penglihatan ketiga Juruselamat di antara para kudus lainnya. Ia mengenali beberapa di antara mereka, yang telah ia lihat dalam penglihatan-penglihatan sebelumnya atau yang ia kenal semasa hidup mereka.


Semuanya tampak sebagai makhluk-makhluk murni dan cemerlang; di samping Juruselamat, ia melihat dua yang memiliki tubuh yang ditransfigurasikan, Maria dan Elia. Theresia begitu terpikat oleh apa yang ia lihat, hingga ia merindukan kematian…."


Perantaraan bagi Jiwa-jiwa Menderita juga merupakan kepedulian Theresia. Ia merasakan belas-kasihan yang besar bagi jiwa-jiwa menderita yang malang, dan sepanjang waktu mempersembahkan doa-doa dan kurban-kurban demi pembebasan mereka. Kerap kali, ia dapat membebaskan jiwa-jiwa dari purgatorium dan mengalami, betapa jiwa yang bersangkutan amat berterima kasih kepadanya dan dihantar naik ke surga.

Sumber: yesaya.indocell.net

Minggu, 09 Juni 2013

(Lagi) Kisah-Kisah Menakjubkan
dari Purgatorium (Api Penyucian)


"Aku tahu apabila kalian berdoa untukku, begitu pula dengan semua jiwa-jiwa lain di sini di api penyucian. Sangat sedikit dari kami di sini yang mendapatkan doa-doa; sebagian besar dari kami sama sekali ditinggalkan, tanpa pemikiran ataupun doa yang diperuntukkan bagi kami dari mereka yang di bumi." ~ (Pesan dari suatu jiwa di api penyucian) 

BEATO HENRY SUSO (1295 - 1366)
Kisah berikut diceritakan oleh sejarahwan Ferdinand dari Castile. Tahun 1324-1327 di Cologne ada dua orang rohaniwan Dominikan yang terkenal berbakat, salah satunya adalah Beato Henry Suso. Keduanya menempuh studi yang sama, memiliki cara hidup yang sama, dan di atas segalanya memendam kerinduan yang sama untuk mencapai kekudusan, yang membuat keduanya bersahabat karib. Ketika mereka telah menamatkan studi mereka, melihat bahwa mereka akan segera berpisah untuk kembali masing-masing ke biaranya sendiri, mereka sepakat dan berjanji satu sama lain bahwa apabila salah seorang dari keduanya meninggal, maka ia haruslah dibantu oleh yang lain selama setahun penuh melalui perayaan Misa dua kali dalam seminggu - pada hari Senin Misa Requiem, sebagaimana kebiasaan yang berlaku, dan pada hari Jumat Sengsara, sepanjang keadaan mengijinkan. Mereka saling berikrar satu sama lain bahwa mereka akan melakukan ini, saling memberikan ciuman damai, dan meninggalkan Cologne.

Selama beberapa tahun kemudian mereka berdua terus melayani Allah dengan semangat berkobar. Imam yang namanya tidak disebutkan adalah yang pertama dipanggil Tuhan, dan Pater Suso menerima berita duka dengan penyerahan diri kepada kehendak Allah. Ikrar yang mereka buat, dengan berlalunya waktu, telah terlupakan. Meski demikian, ia banyak berdoa untuk sahabatnya itu, menerapkan matiraga baru pada dirinya dan melakukan banyak perbuatan baik lainnya, namun tak terpikir olehnya untuk mempersembahkan Misa sebagaimana ia ikrarkan beberapa tahun silam.


Suatu pagi, saat undur diri dalam meditasi di kapel, sekonyong-konyong ia melihat muncul di hadapannya jiwa sahabatnya yang telah berpulang, yang, menatapnya dengan lembut, menegurnya sebab tidak setia kepada janjinya yang ia andalkan dengan penuh keyakinan. Beato Suso, yang amat terkejut, berdalih dengan mengatakan betapa banyak doa dan matiraga yang telah ia persembahkan, dan masih terus ia persembahkan, demi sahabatnya itu, yang keselamatannya dianggapnya sebagai keselamatannya sendiri.


"Apakah mungkin, saudaraku terkasih," tambahnya, "bahwa begitu banyak doa dan perbuatan baik yang aku persembahkan kepada Allah tidak cukup bagimu?" "Oh tidak, saudaraku terkasih," jawab jiwa yang menderita itu, "itu belumlah cukup. Adalah Darah Yesus Kristus yang diperlukan untuk memadamkan api-api yang membakarku; adalah Kurban Kudus yang akan membebaskanku dari siksa mengerikan ini. Aku mohon padamu untuk menepati janjimu, dan janganlah menolak memberikan kepadaku apa yang seturut keadilan adalah hutangmu kepadaku."


Beato Suso bergegas menanggapi penampakkan jiwa yang malang itu; ia menghubungi sebanyak mungkin imam dan mendesak mereka untuk mempersembahkan Misa bagi intensi sahabatnya dan, untuk memperbaiki kesalahannya, ia merayakan, dan menyebabkan banyak Misa dipersembahkan pada hari yang sama itu. Keesokan harinya beberapa imam, atas permintaan Pater Suso, bersatu dengannya dalam mempersembahkan Kurban Kudus bagi almarhum, dan dia terus melakukan tindakan amal kasih selama beberapa hari.


Tak berapa lama kemudian imam sahabat Pater Suso menampakkan diri kembali kepadanya, tetapi sekarang dalam kondisi yang sangat berbeda; wajahnya penuh sukacita, dan ia dikelilingi cahaya cemerlang. "Terima kasih, sahabatku," katanya "lihatlah, oleh Darah Juruselamat-ku aku dibebaskan dari penderitaanku. Sekarang aku pergi ke surga untuk merenungkan Dia yang begitu sering kita puja bersama di bawah selubung Ekaristi."


Sesudah itu, Beato Suso prostratio guna mengucap syukur kepada Allah yang kerahiman-Nya tak terbatas, sebab ia sekarang mengerti lebih dari sebelumnya nilai yang tak terhingga dari sebuah Misa.

DAYA KUASA LUAR BIASA MISA BAGI JIWA-JIWA DI PURGATORIUM 

Berikut dikutip dari buku yang sangat bagus "Purgatory - Explained by the Lives and Legends of the Saints" tulisan Pater F.X. Schouppe, S.J., diterbitkan oleh Tan Books, 1986. Kisah di bawah ini merupakan suatu kesaksian tulus dari seorang perempuan yang mendapatkan beberapa kunjungan dari jiwa di api penyucian.

Pada tanggal 13 Oktober 1849, ada yang meninggal pada usia limapuluh dua tahun, di Paroki Ardoye, di Flanders, yakni seorang perempuan bernama Eugenie Van de Kerckove, yang suaminya, John Wybo, adalah seorang petani. Eugenie adalah seorang perempuan saleh dan banyak amal, yang dengan murah hati memberikan amal kasih seturut kemampuannya. Dia, hingga akhir hidupnya, memiliki devosi mendalam kepada Santa Perawan Maria, dan berpantang daging demi menghormatinya setiap hari Jumat dan Sabtu. Meski perilakunya tak lepas dari cacat cela, dia mengamalkan hidup yang patut dianggap sebagai teladan dan panutan. Eugenie mempunyai seorang pelayan bernama Barbara Vennecke, berusia duapuluh delapan tahun, yang dikenal sebagai gadis yang saleh dan berbakti, dan yang melayani majikannya dalam sakitnya yang terakhir, dan setelah kematian Eugenie, tetap melayani tuannya, John Wybo.

Sekitar tiga minggu sesudah kematiannya, almarhumah menampakkan diri kepada pelayannya. Kala itu tengah malam; Barbara tidur nyenyak, ketika sekonyong-konyong ia mendengar namanya dipanggil dengan jelas tiga kali. Dia terbangun kaget, dan melihat Eugenie ada di hadapannya, duduk di sisi pembaringannya, berbalut gaun kerja, terdiri dari rok dan jaket pendek. Barbara terpana takjub atas penglihatan yang luar biasa ini. "Barbara," katanya. "Apakah yang engkau inginkan, Eugenie?" tanya si pelayan.

"Tolong ambil," kata sang nyonya, "penggaruk kecil yang sering aku minta kau letakkan di tempatnya; garuklah tumpukan pasir di ruang kecil itu; kau tahu mana yang aku maksudkan. Di sana kau akan menemukan 500 francs; gunakan itu untuk intensi Misa, 2 francs setiap kali Misa, untuk intensiku, sebab aku masih menderita." "Aku akan melakukannya, Eugenie," jawab Barbara, dan pada saat yang sama penampakan pun berakhir. Sebentar kemudian ia tertidur lagi, dan beristirahat dengan tenang hingga pagi.

Ketika bangun, Barbara berpikir bahwa mungkin itu hanyalah sebuah mimpi, namun demikian kesan itu begitu kuat, hingga tidak dapat tidak ia mengatakan, "Ini pastilah bukan mimpi. Aku melihat nyonyaku secara pribadi; dia sendiri tampil di hadapan mataku dan pastilah ia berbicara kepadaku. Ini bukan mimpi, tapi kenyataan. "

Oleh karena itu ia segera pergi dan mengambil penggaruk sebagaimana diperintahkan, menggaruk pasir, dan menemukan sebuah dompet berisi 500 francs. Dalam keadaan yang tak lazim dan luar biasa seperti itu si gadis yang baik berpikir bahwa adalah kewajibannya untuk meminta nasehat pastor sebelum menggunakan 500 francs untuk intensi Misa, dan ia pun menceritakan kepada pastor semua yang terjadi. Abbe R., Pastor Paroki Ardoye pada waktu itu, mengatakan bahwa Misa yang diminta oleh jiwa yang telah meninggal itu mutlak harus dirayakan, akan tetapi, menggunakan uang sebanyak itu, persetujuan dari suami, John Wybo, diperlukan, sebab uang itu ditemukan di rumahnya. Sang suami dengan suka hati setuju dan Misa pun dirayakan, dengan stipendium dua francs untuk setiap Misa.

Dua bulan setelah penampakan pertama, sementara Misa masih dipersembahkan untuk intensi Eugenie, Barbara sekonyong-konyong terbangun kembali tengah malam. Kali ini kamarnya diterangi suatu cahaya cemerlang, dan majikannya menampakkan diri di hadapannya dengan senyum bahagia, cantik dan segar; penampilannya seperti pada masa mudanya, dan ia berbalut jubah kemilau. "Barbara," katanya dengan suara jelas, "Terima kasih! Sebab aku sekarantelah dibebaskan dari tempat penyucian." Seusai mengucapkan kata-kata ini, dia pun lenyap, dan kamar menjadi gelap seperti sebelumnya. 

EUGENIE VON DER LEYEN (1867 - 1929)
Ada banyak orang kudus yang telah dikanonisasi yang adalah penolong bagi jiwa-jiwa menderita. Yang paling terkenal adalah St Yohanes Macias (yang dikenal membebaskan ribuan jiwa-jiwa dari api penyucian sepanjang hidupnya yang kudus), St Agustinus, St Dominikus, St Fransiskus Xaverius, St Victor, St Fransiskus dari Assisi, St Nicolas dari Tolentino, St Margareta Maria Alacoque, St Katarina dari Genoa, St Bernardus dari Clairvaux, St Gregorius Agung, St Odilon dari Cluny, St Fransiska Romana, St Bridget dari Swedia , St Ambrosius, St Bonaventura, St Thomas Aquinas, St Efraim, St Petrus Damianus, St Fransiskus de Sales, St Katarina dari Genoa, St Gemma Galgani, St Padre Pio, dan St Faustina Kowalska, serta masih banyak lagi.

Karena kerahiman -Nya yang tak terbatas, selain dari orang-orang kudus yang telah dikanonisasi, sejarah penuh dengan orang "sehari-hari" yang diijinkan Allah untuk membantu jiwa-jiwa di api penyucian. Allah mengijinkan suatu jiwa dari purgatorium menampakkan diri agar jiwa dapat dibebaskan dari purgatorium, atau sekurangnya, penderitannya diringankan; dan jiwa pada umumnya menampakkan diri kepada seorang yang saleh dan penuh kasih dalam hidupnya sebab orang yang demikian lebih besar kemungkinannya menanggapi permintaan jiwa dengan mempersembahkan kurban-kurban, penderitaan dan doa-doa yang adalah sarana yang amat berguna bagi jiwa-jiwa malang.


Salah seorang di antara mereka yang kerap dikunjungi jiwa-jiwa dari purgatorium adalah Eugenie von der Leyen. Eugenie adalah seorang perempuan terpelajar dari kalangan bangsawan tinggi Jerman; Eugenie memiliki gelar puteri dan tinggal di kastil leluhur di Waal, Bavaria, Jerman. Seturut perintah bapa pengakuannya, dia menulis buku catatan harian mengenai kontaknya dengan jiwa-jiwa malang di purgatorium. Setelah wafat Eugenie, buku catatan hariannya diserahkan kepada Uskup Eugenio Pacelli, yang kelak menjadi Paus Pius XII.



ST GEMMA GALGANI (1878 - 1903)
Kisah berikut dikutip dari buku yang sangat bagus "The Life of St Gemma Galgani" oleh Venerabilis Pater Germanus Ruoppolo CP.

Gemma melalui inspirasi Ilahi tahu bahwa di Biara Para Biarawati Passionis di Corneto [Italia] ada seorang biarawati yang sungguh berkenan di hadapan Allah sedang mendekati ajal. Dia bertanya kepadaku mengenainya, dan ketika aku menjawab bahwa memang benar, dia segera mulai memohon kepada Yesus untuk membuat sang biarawati menyilih segala kesalahannya di ranjang kematiannya, sehingga saat menghembuskan napas terakhir dia dapat langsung masuk ke Firdaus. Doanya, setidaknya sebagian, didengarkan. Sang biarawati menderita hebat dan meninggal dunia beberapa bulan kemudian. Gemma mengabarkan berita tersebut kepada orang-orang di rumahnya agar mereka dapat mendoakan almarhumah, dan dia memberi nama Maria Teresa dari Kanak-kanak Yesus, sebab ia tidak dikenal di Lucca. Setelah kematiannya, jiwa ini menampakkan diri kepada Gemma dengan diliputi kesedihan, memohon pertolongannya sebab ia sedang mengalami siksaan besar di api penyucian untuk cacat-cela tertentu.

Tidak ada yang lebih diperlukan demi menggerakkan hati Gemma untuk bertindak. Sejak saat itu dia tiada memberi dirinya sendiri istirahat; dia dengan tekun dan sungguh mempersembahkan doa-doa, airmata dan permohonan kasih kepada Tuhan kita.


"Yesus, sudi selamatkan dia," demikian terdengar dia berseru. "Yesus, bawalah Maria Teresa ke Firdaus tanpa berlambat. Dia adalah jiwa yang paling terkasih bagi-Mu. Ijinkan aku menderita banyak demi dia; aku ingin dia ada di surga."


Dan sepanjang waktu itu Gemma menulis dalam buku catatan hariannya sebagai berikut:


"Sekitar pukul 9:30 dan aku sedang membaca; sekonyong-konyong aku diguncang oleh tangan yang dengan lembut beristirahat di bahu kiriku. Aku berbalik takut; aku ketakutan dan berusaha berteriak, tapi aku ditahan. Aku berpaling dan melihat seorang berpakaian putih; aku mengenalinya sebagai seorang perempuan; aku memandangnya dan ekspresi wajahnya meyakinkanku bahwa tak ada yang perlu aku takutkan. 'Gemma,' katanya setelah beberapa saat, 'apakah kau mengenaliku?' Aku katakan tidak, sebab itulah kenyataannya. Ia menjawab: 'Aku adalah Moeder Maria Teresa dari Kanak-kanak Yesus. Aku sangat berterima kasih kepadamu atas kepedulian besar yang engkau berikan kepadaku sebab segera aku akan dapat memperoleh kebahagiaan abadiku.'


Semua ini terjadi ketika aku masih terjaga dan sepenuhnya sadar akan diriku. Lalu ia menambahkan: 'Teruslah, sebab aku masih harus mengalami beberapa hari penderitaan.' Dan sembari mengatakan demikian ia membelaiku dan lalu pergi. Raut wajahnya, perlu aku katakan, mengilhamkan banyak keyakinan dalam diriku. Sejak saat itu aku menggandakan doa-doaku demi jiwanya, agar ia segera mencapai tujuan; akan tetapi doa-doaku terlalu lemah; betapa aku merindukan bahwa bagi jiwa-jiwa di purgatorium hendaknya doa-doaku memiliki kekuatan seperti doa-doa para kudus."


Dan kurban silih yang terkasih ini menderita tanpa henti selama enambelas hari, hingga pada akhirnya Allah berkenan menerima kurbannya dan membebaskan sang jiwa. Beginilah sebagaimana diceritakan Gemma sendiri kepadaku:


'Menjelang setengah dua tampak olehku bahwa Bunda Maria sendiri datang guna memberitahuku bahwa jam suci yang aku panjatkan sudah hampir berakhir. Lalu nyaris seketika itu aku pikir aku melihat Sr. Maria Teresa datang menghampiriku dengan berbalutkan jubah Passionis, dengan disertai oleh Malaikat Pelindungnya dan oleh Yesus. Oh, betapa ia telah berubah sejak hari aku pertama kali melihatnya! Dengan tersenyum, ia mendekatiku dan mengatakan: 'Aku sungguh bahagia, dan aku pergi untuk menikmati Yesus-ku selamanya.' Ia berterima kasih lagi kepadaku. Lalu ia membuat tanda dengan tangannya mengucapkan selamat tinggal kepadaku, beberapa kali, dan bersama Yesus dan Malaikat Pelindungnya ia terbang ke surga. Saat itu sekitar pukul setengah tiga dini hari."


ST. LIDWINA DAN DOSA-DOSA PERCABULAN YANG BELUM DISILIH
Seorang laki-laki yang telah lama menjadi budak iblis ketidakmurnian, pada akhirnya beroleh kebahagiaan dipertobatkan. Dia mengakukan dosa-dosanya dengan sesal mendalam, akan tetapi, karena nyawanya direnggut kematian, dia tak beroleh kesempatan untuk menyilih dosa-dosanya yang banyak itu dengan penitensi yang sepantasnya. Lidwina, yang mengenalnya dengan baik, banyak berdoa untuknya. Duabelas tahun sesudah kematiannya Lidwina masih terus berdoa, ketika, di salah satu ekstasi dan dibawa ke purgatorium oleh malaikat pelindungnya, ia mendengar suara sedih keluar dari sebuah lubang yang dalam. "Ini adalah jiwa dia," kata sang malaikat, "yang untuknya engkau berdoa dengan sungguh dan tekun." Lidwina tercengang melihatnya begitu dalam di purgatorium duabelas tahun sesudah kematiannya. Sang malaikat, yang melihat Lidwina begitu sangat berbelas-kasihan, bertanya apakah ia bersedia menderita sesuatu demi pembebasannya. "Dengan segenap hatiku," jawab gadis yang murah hati itu.

Sejak saat itu Lidwina menanggung penderitaan-penderitaan baru dan siksa yang mengerikan, yang tampaknya melampaui kekuatan daya tahan manusia. Namun demikian, ia menanggungnya dengan keberanian, ditopang oleh cinta kasih yang lebih kuat dari kematian, hingga Allah berkenan mengirimkan kelegaan baginya.


Ia kemudian menarik napas sebagai orang yang dipulihkan ke suatu hidup baru, dan, pada saat yang sama, ia melihat jiwa yang untuknya ia begitu banyak menderita itu muncul dari jurang, putih bagai salju dan terbang menuju surga. (Dikutip dari: "Purgatory Explained" by Father F.X. Shouppe, S.J.)




ST LUTGARDA DAN SI PENGKHOTBAH JOHN DE LIERRE

Seorang pengkhotbah termasyhur bernama John de Lierre, adalah seorang imam yang sangat saleh dan dikenal baik oleh Santa Lutgarda. John de Lierre membuat perjanjian dengan Lutgarda, mereka saling berjanji bahwa barangsiapa meninggal terlebih dahulu, dengan perkenanan Allah, hendaknya menampakkan diri kepada yang lain.


John terlebih dahulu meninggalkan dunia ini. Sesudah melakukan suatu perjalanan ke Roma untuk suatu urusan demi kepentingan religius, ia menemui ajal di antara pegunungan Alpen. Setia pada janjinya, ia menampakan diri pada Lutgarda di biara terkenal Aywieres.


Ketika melihatnya, sang santa yang sama sekali tak berpikiran bahwa ia sudah meninggal, mengundangnya, seturut regula, ke ruang tamu agar ia dapat berbincang dengannya. "Aku tak lagi dari dunia ini," jawab si tamu, "aku datang ke sini hanya demi memenuhi janjiku." Mendengar ini, Lutgarda jatuh berlutut dan beberapa waktu lamanya merasa bingung. Kemudian, mengarahkan mata pada sahabatnya yang terberkati itu, ia bertanya, "Mengapakah engkau berpakaian sebegitu semarak? Apakah yang dilambangkan oleh tiga jubah rangkap tiga yang aku lihat engkau kenakan?"


"Pakaian putih," jawabnya, "melambangkan kemurnian perawan, yang selalu aku pelihara; jubah merah menyiratkan segala kerja dan penderitaan yang menghabiskan kekuatanku sebelum waktunya, dan mantol biru, yang menyelubungi semua, melambangkan kesempurnaan kehidupan rohani."


Setelah mengucapkan kata-kata ini, sekonyong-konyong ia meninggalkan Lutgarda, yang perasaannya terbagi antara sedih sebab telah kehilangan seorang Pater yang begitu baik, dan sukacita yang dialaminya karena kebahagiaan sahabatnya. (Dikutip dari: "Purgatory Explained" by Father F.X. Shouppe, S.J.)

 
ST MALACHY DAN SAUDARINYA
St Bernardus sangat mengagumi St Malachy karena devosinya kepada jiwa-jiwa di purgatorium. Semasa masih seorang diakon, ia suka melayani di pemakaman kaum miskin, menyertai jenazah mereka ke pemakaman dengan semangat pelayanan yang berkobar sebab ia biasa melihat mereka yang malang ini diabaikan sesudah kematian mereka. St Malachy mempunyai seorang saudari, yang dipenuhi roh duniawi dan yang berpikir bahwa saudaranya itu telah merendahkan diri dan keluarga dengan bergaul dengan kaum miskin. Saudarinya ini tidak mengenal cinta kasih Kristiani pun nilai Kurban Kudus Misa. St Malachy menegur saudarinya bahwa ia telah melupakan ajaran Yesus dan bahwa ia akan suatu hari nanti menyesali perkataan-perkataannya yang diucapkan tanpa pikir panjang.

Saudarinya ini mati muda dan pergi mempertanggung-jawabkan hidup duniawinya kepada Hakim yang Mahakuasa. St Malachy mempersembahkan Kurban Kudus dan berdoa banyak untuknya. Sementara itu, karena banyak orang-orang lain yang harus didoakan juga, ia lupa akan saudarinya yang malang. Saudarinya itu menampakkan diri kepadanya pada waktu ia tidur. Ia melihat saudarinya berdiri di tengah suatu area di depan gereja, bersedih, berpakaian kabung, dan memohon belas-kasihannya, mengeluh bahwa tigapuluh hari belakangan ini saudaranya telah melupakannya. St Malachy segera terbangun dan teringat bahwa sesungguhnya tigapuluh hari telah berlalu sejak ia merayakan Misa bagi saudarinya. Keesokan harinya ia mulai lagi mempersembahkan Kurban Kudus untuk saudarinya. Kemudian saudarinya itu menampakkan diri lagi kepadanya di pintu gereja, berlutut di ambang pintu, dan menangis sebab ia tidak diperkenankan masuk. St Malachy melanjutkan doanya. Beberapa hari kemudian ia melihat saudarinya masuk ke dalam gereja dan melangkah maju hingga ke lorong bangku tengah, tanpa dapat mencapai altar. St Malachy menganggap perlu untuk terus bertekun, jadi ia terus mempersembahkan Kurban Kudus demi kedamaian kekal jiwanya. Pada akhirnya, beberapa hari kemudian, ia melihat saudarinya dekat altar, berbusanakan gaun semarak, bercahaya dalam sukacita, dan bebas dari penderitaan.


"Dengan ini kita lihat," tambah St Bernardus, "betapa ampuhnya Kurban Kudus dalam menghapus dosa, dalam memerangi kuasa-kuasa kegelapan, dan dalam membukakan gerbang-gerbang surga bagi jiwa-jiwa yang telah meninggalkan dunia ini."

 

ST PETER CLAVER & DUA PEREMPUAN  
St Peter Claver, dari Serikat Yesus, Rasul Para Negro Cartagena [Kolumbia], membujuk seorang perempuan negro yang saleh, Angela, untuk menerima di rumahnya seorang perempuan negro bernama Ursula, yang lumpuh kedua kaki tangannya dan tubuhnya dipenuhi luka.

Suatu hari ketika ia pergi mengunjungi mereka, seperti yang dilakukannya dari waktu ke waktu untuk mendengarkan pengakuan dosa mereka dan membawakan mereka sedikit perbekalan, nyonya rumah yang murah hati itu mengatakan kepadanya dengan sedih bahwa Ursula berada di ambang kematian. "Tidak, tidak," jawab Pater, "ia masih memiliki empat hari lagi, dan dia tidak akan meninggal sampai hari Sabtu."


Ketika Sabtu tiba, ia mempersembahkan Misa untuk intensi Ursula, dan pergi mempersiapkan kematiannya. Setelah berdoa beberapa waktu lamanya, ia berkata kepada nyonya rumah dengan penuh keyakinan, "Tenanglah, Allah mengasihi Ursula; dia akan meninggal hari ini; dia akan berada tiga jam saja di purgatorium. Kiranya dia mengingatku apabila ia telah berada bersama Allah, kiranya ia berdoa untukku, dan untuk dia yang hingga saat ini telah menjadi seorang ibu baginya." Ursula meninggal dunia siang hari itu, dan pemenuhan satu bagian dari nubuat ini memberikan alasan kuat untuk percaya akan pemenuhan bagian nubuat yang lain.


Suatu hari lain, setelah pulang dari melayani pengakuan dosa seorang miskin yang sakit yang biasa dikunjunginya, St Peter mendapat kabar bahwa perempuan itu sudah mati. Orangtuanya sangat sedih, dan St Peter sendiri, yang tidak percaya bahwa ia telah sebegitu dekat dengan ajal, menjadi gelisah tanpa dapat dihiburkan sebab memikirkan bahwa ia tak dapat membantunya di saat-saat terakhir.


St Peter berlutut untuk berdoa dekat jenazah, ketika sekonyong-konyong ia bangkit; dengan raut wajah tenang ia mengatakan, "Kematian yang demikian ini lebih pantas mendapatkan iri kita daripada airmata kita; jiwa ini dihukum di purgatorium, tapi hanya untuk selama duapuluh empat jam. Marilah kita berusaha mempersingkat waktu ini dengan doa-doa kita yang sungguh. "


Cukup sudah dikatakan mengenai lamanya sakit di purgatorium. Kita lihat rentang waktu itu dapat diperpanjang ke tingkat yang mengerikan; bahkan yang tersingkat, jika kita mempertimbangkan tingkat kedahsyatannya, terasa panjang. Mari kita berupaya mempersingkatnya bagi orang lain dan menguranginya bagi diri kita sendiri, atau terlebih baik lagi mencegahnya sama sekali. (Dikutip dari: "Purgatory Explained" by Father F.X. Shouppe, S.J.)

 

 
ST GERTRUDE DAN JIWA-JIWA MENDERITA  
St Gertrude memiliki cinta kasih yang mendalam kepada jiwa-jiwa di api penyucian. Pada waktu Komuni Kudus ia biasa memanjatkan doa kepada Juruselamat terkasih kita permohonan penuh cinta dan sungguh untuk berbelas-kasihan kepada jiwa-jiwa menderita tersayang ini. Suatu ketika Gertrude berdoa dengan berkobar-kobar bagi jiwa-jiwa menderita kaum beriman. Ia bertanya kepada Tuhan kita berapa banyak jiwa yang akan dibebaskan kerahiman-Nya, dan ia menerima jawaban ini: "Kasih-Ku mendesak-Ku untuk membebaskan jiwa-jiwa menderita. Jika seorang raja yang baik hati meninggalkan temannya yang bersalah di penjara demi keadilan, ia akan menanti penuh harap salah seorang dari para bangsawan memohon dan menawarkan sesuatu demi pembebasannya. Kemudian raja dengan sukacita akan membebaskannya. Demikian pula, Aku menerima dengan teramat senang apa yang ditawarkan kepada-Ku demi jiwa-jiwa menderita, sebab Aku rindu tak terkira mereka - yang untuknya Aku bayar dengan harga begitu mahal - ada dekat-Ku. Dengan doa-doa jiwamu yang penuh kasih, Aku terdorong untuk membebaskan seorang tahanan dari api penyucian sesering engkau menggerakkan lidahmu untuk mengucapkan sepatah kata doa!"

Juruselamat kita juga mengajarkan kepada Gertrude bagi siapa ia harus berdoa paling banyak. Pada hari ketika komunitas memperingati bersama kematian orangtua mereka, santa kita melihat jiwa-jiwa bahagia naik dari kegelapan pekat bagai bunga-bunga api dari bengkel tukang besi. Ia bertanya apakah semua ini adalah sanak kerabat. Yesus menjawab: "Aku-lah kerabat terdekatmu, Bapamu dan Ibundamu. Oleh karenanya, sahabat-sahabat istimewaku adalah sanak kerabat terdekatmu, dan mereka ini ada di antara mereka yang Aku bebaskan." (dikutip dari "St. Gertrude the Great" by Tan Books and Publishers)



 

ST MAGDALENA DE PAZZI
(CATATAN MENGENAI PURGATORIUM)  
Berikut adalah catatan St Magdalena de Pazzi, seorang Karmelit Florentine, sebgaimana diceritakan dalam Riwayatnya oleh Pater Cepare.

Beberapa waktu sebelum wafatnya pada tahun 1607, abdi Allah, Magdalena de Pazzi, yang suatu sore ada bersama beberapa religius lain di taman biara, tenggelam dalam ekstasi, dan melihat purgatorium terbuka di hadapannya. Pada saat yang sama, suatu suara mengundangnya untuk mengunjungi segenap tahanan Keadilan Ilahi, dan melihat bagaimana jiwa-jiwa yang ditahan di sana sungguh layak beroleh kasih sayang.


Pada saat itu terdengar ia berkata, "Ya, aku akan pergi." Dia setuju untuk melakukan perjalanan menyakitkan ini. Sesungguhnya, ia berjalan selama dua jam mengelilingi taman, yang sangat besar, berhenti dari waktu ke waktu. Setiap kali dia berhenti berjalan, mengkontemplasikan dengan penuh perhatian penderitaan yang diperlihatkan kepadanya. Dia kemudian terlihat meremas tangannya dalam kasih sayang, wajahnya menjadi pucat, tubuhnya menjadi bongkok di bawah beban penderitaan, di hadapan penglihatan mengerikan yang ditunjukkan kepadanya.


Dia mulai berseru nyaring dalam ratapan, "Kasihanilah, Allah-ku, kasihanilah! Turunlah, O Darah Mulia, dan bebaskan jiwa-jiwa ini dari penjara mereka. Jiwa-jiwa Menderita! kalian menderita begitu dahsyat, namun begitu kalian merasa puas dan gembira. Ruang bawah tanah para martir dibandingkan dengan ini adalah taman sukacita. Meskipun demikian ada yang lain-lain yang lebih dalam. Betapa aku akan menganggap diriku bahagia andai aku tak harus turun ke sana. "


Walau demikian, dia turun, sebab dia dipaksa untuk melanjutkan perjalanannya. Tetapi ketika dia telah mengambil beberapa langkah, ia berhenti karena ngeri, dan mendesah dalam-dalam, dia berseru, "Apa! Kaum religius juga dalam kediaman suram ini! Allah yang Baik! betapa mereka tersiksa! Ah, Tuhan!" Dia tidak menjelaskan jenis penderitaan mereka; tetapi kengerian yang ia ekspresikan dalam mengkontemplasikannya menyebabkannya mendesah di setiap langkah.


Dia kemudian masuk ke tempat-tempat yang berkurang suramnya. Tempat-tempat ini adalah ruang-ruang bawah tanah jiwa-jiwa sederhana, dan anak-anak yang karena ketidaktahuan dan kurangnya pengertian diperingan dari banyak kesalahan. Siksaan mereka tampak olehnya jauh lebih tertahankan dibandingkan yang lain. Tiada yang lain selain dari es dan api di sana. Dia memperhatikan bahwa jiwa-jiwa ini didampingi para malaikat pelindung mereka, yang sangat menguatkan mereka dengan kehadirannya; tetapi dia juga melihat roh-roh jahat yang bentuk mengerikannya menambah penderitaan mereka.


Maju beberapa langkah, ia melihat jiwa-jiwa yang lebih malang, dan dia terdengar berteriak, "Oh! betapa mengerikan tempat ini; penuh roh-roh jahat mengerikan dan siksa yang luar biasa! Siapakah gerangan, ya Allah-ku, kurban-kurban dari siksaan keji ini? Kasihan! mereka ditembusi pedang-pedang tajam, mereka sedang dipotong-potong." Dia mendapat jawaban bahwa mereka adalah jiwa-jiwa yang perilakunya dicemari dengan kemunafikan.


Maju sedikit, ia melihat suatu himpunan besar jiwa-jiwa yang memar, seolah demikian, dan remuk di bawah sebuah himpitan; dan dia mengerti bahwa mereka adalah jiwa-jiwa yang dikuasai ketidaksabaran dan ketidaktaatan semasa hidup. Sementara mengkontemplasikannya, ekspresinya, desahannya, seluruh sikapnya adalah kasih sayang dan kengerian.


Sesaat kemudian ketegangannya meningkat, dan dia menjerit ngeri. Itu ruang bawah tanah kebohongan yang sekarang terbuka di hadapannya. Setelah memikirkannya dengan seksama, ia berteriak keras, "Para pembohong dikurung di sebuah tempat dekat neraka, dan penderitaan mereka luar biasa dahsyat. Timah cair dituangkan ke dalam mulut mereka; aku melihat mereka terbakar, sekaligus pada saat yang sama gemetar kedinginan."


Dia kemudian pergi ke penjara jiwa-jiwa yang telah berdosa melalui kelemahan mereka, dan dia terdengar berseru, "Kasihan! Aku pikir akan menemukan kalian di antara mereka yang berdosa karena ketidaktahuan, tapi aku salah; kalian dibakar dengan api yang lebih hebat."


Lebih jauh, dia melihat jiwa-jiwa yang memiliki terlalu banyak kelekatan pada barang-barang dunia ini, dan berdosa karena ketamakan. "Betapa buta," katanya, "begitu bersemangat mencari peruntungan yang fana! Mereka yang kekayaannya tak dapat cukup memuaskan dirinya, di sini kenyang dengan siksaan. Mereka dilebur seperti logam dalam tungku api."


Dari situ ia masuk ke tempat di mana jiwa-jiwa yang cemar dengan ketidakmurnian dipenjara. Dia melihat mereka dalam ruang bawah tanah yang begitu kotor dan menjijikkan hingga pemandangan itu membuatnya mual. Dia berpaling cepat dari penglihatan yang memuakkan itu.


Melihat mereka yang ambisius dan sombong, dia berkata, "Lihatlah mereka yang ingin bersinar di hadapan manusia; sekarang mereka dikutuk untuk tinggal dalam keremangan yang menakutkan."


Kemudian kepadanya ditunjukkan jiwa-jiwa yang bersalah karena tidak tahu berterima kasih kepada Allah. Mereka menjadi mangsa siksaan yang tak terkatakan, dan, seolah, tenggelam di sebuah danau timah cair, sebab dengan kedurhakaannya mereka telah mengeringkan sumber kesalehan.


Akhirnya, dalam ruang bawah tanah terakhir, kepadanya ditunjukkan jiwa-jiwa yang belum dikuasai kebiasan buruk tertentu, akan tetapi yang, karena kurangnya kewaspadaan yang pantas atas diri mereka sendiri, telah melakukan segala macam kesalahan sepele. Dia mengatakan bahwa jiwa-jiwa ini ikut ambil bagian dalam hukuman semua kejahatan, dalam tingkat sedang, karena kesalahan-kesalahan itu dilakukan hanya dari waktu ke waktu membuat mereka kurang bersalah dibandingkan mereka yang melakukannya melalui kebiasaan.


Sesudah perhentian terakhir ini sang santa meninggalkan taman, memohon kepada Tuhan untuk jangan pernah lagi menjadikannya saksi dari pemandangan yang begitu menyayat hati: dia merasa bahwa dia tak memiliki kekuatan untuk menanggungnya. Ekstasinya masih berlanjut, dan bercakap dengan Yesus, dia bertanya kepada-Nya, "Katakan kepadaku, Tuhan, apakah gerangan rencana-Mu dalam menyingkapkan kepadaku penjara-penjara yang mengerikan itu, yang begitu sedikit aku ketahui, apalagi aku pahami? ... Ah! Sekarang aku tahu; Engkau ingin memberiku pengetahuan akan kekudusan-Mu yang tak terbatas, dan membuatku semakin dan semakin membenci bahkan dosa yang teremeh sekalipun, yang begitu keji di mata-Mu."

 
VENERABILIS CATHERINE PALUZZI DAN SUSTER BERNARDINE

Catherine Paluzzi mengamalkan hidup saleh di Keuskupan Nepi, Italia, di mana ia mendirikan sebuah Biara Dominikan. Di sana tinggal bersamanya seorang religius bernama Bernardine, yang jauh lebih maju dalam kehidupan rohani. Kedua orang kudus ini saling meneladani satu sama lain dalam semangat, dan saling membantu untuk semakin dan semakin maju dalam kesempurnaan ke mana Tuhan memanggil mereka.


Bernardine wafat karena suatu sakit yang menyakitkan, yang ia tanggung dengan kesabaran Kristiani, yang membawanya ke liang kubur. Ketika akan meninggal, dia mengatakan kepada Catherine bahwa dia tidak akan melupakannya di hadirat Allah, dan, jika Allah mengijinkan, dia akan kembali untuk berbicara dengan Catherine mengenai hal-hal rohani yang akan bermanfaat bagi kekudusannya.


Catherine berdoa banyak bagi jiwa sahabatnya, dan pada saat yang sama ia meminta Allah untuk mengijinkan sahabatnya menampakkan diri kepdanya. Satu tahun berlalu dan almarhumah tidak kembali. Pada akhirnya, pada hari peringatan kematian Bernardine, Catherine yang sedang berdoa melihat sebuah lubang dari mana muncul kepulan asap dan api; lalu dia melihat keluar dari lubang suatu sosok dikelilingi oleh awan gelap. Perlahan awan lenyap, dan penglihatan menjadi bercahaya dengan kecemerlangan luar biasa. Dalam pribadi mulia ini Catherine mengenali Bernardine dan berlari ke arahnya.


"Engkaukah itu, saudariku terkasih?" serunya. "Tetapi dari manakah gerangan engkau datang? Apakah maksudnya lubang ini, asap berapi ini? Adakah purgatoriummu baru berakhir hari ini?"


"Kau benar," jawab sang jiwa; "selama setahun aku ditahan di tempat silih, dan hari ini, untuk pertama kalinya, aku akan masuk surga. Mengenai dirimu, bertekunlah dalam latihan kekudusanmu: teruslah penuh kasih sayang dan berbelas-kasihan, dan kau akan beroleh belas-kasihan." (Dikutip dari: "Purgatory Explained" by Father F.X. Shouppe, S.J.)
  
 

ST NIKOLAUS DARI TOLENTINO Salah satu keutamaan terbesar dari imam Allah yang mengagumkan ini adalah cinta kasihnya dan devosinya kepada Gereja Menderita. Suatu hari Sabtu, pada waktu malam ia melihat dalam mimpi suatu jiwa menderita, yang memohonnya untuk merayakan Misa kudus keesokan paginya untuknya dan beberapa jiwa lain yang menderita hebat di purgatorium. Nikolaus mengenali suaranya, tapi tiada dapat mengingat dengan jelas siapa yang berbicara kepadanya. "Aku adalah temanmu yang sudah meninggal, Pellegrino d Osimo. Sebab Kerahiman Ilahi aku lolos dari penghukuman abadi karena tobat dan berada di penghukuman sementara karena dosa-dosaku. Aku datang dalam nama banyak jiwa yang semalang diriku demi memohon kepadamu untuk mempersembahkan Misa Kudus bagi kami esok hari; dari Misa kami mengharapkan pembebasan kami, atau setidaknya keringanan."

Sang santo menjawab, dengan kelembuatannya yang khas, "Semoga Tuhan kita berkenan membebaskan kalian demi jasa-jasa Darah-Nya Yang Mahasuci! Akan tetapi aku tak dapat mempersembahkan Misa Arwah esok hari; aku harus mempersembahkan Misa Biara di paduan suara." "Ah! Setidaknya marilah pergi bersamaku," pinta sang jiwa di tengah keluhan dan airmata; "Aku mohon kepadamu, demi kasih kepada Allah, datang dan lihatlah penderitaan kami, dan kau tiada lagi akan menolak; engkau terlalu baik hati untuk meninggalkan kami dalam penderitaan yang mengerikan demikian."


Kemudian tampak olehnya ia dibawa ke purgatorium. Ia melihat suatu lapangan yang sangat luas, di mana amat banyak jiwa-jiwa, dari segala tingkat usia dan keadaan, menjadi korban dari berbagai aniaya yang mengerikan. Dengan gerakan tubuh dan kata-kata mereka dengan sangat mengiba memohon pertolongannya. "Lihatlah," kata Pellegrino, 'keadaan mereka yang mengutusku kepadamu. Sebab engkau berkenan di mata Allah, kami yakin bahwa Ia tiada akan menolak apapun pada persembahan Kurban yang engkau sampaikan, dan bahwa Kerahiman Ilahi-Nya akan membebaskan kami."


Melihat pemandangan yang menyayat hati ini sang santo tiada dapat menahan airmatanya. Keesokan paginya ia menghadap Prior, menceritakan penglihatannya dan permohonan yang disampaikan Pellegrino. Pater Prior memberinya dispensasi untuk hari itu, dan sepanjang pekan itu, agar ia dapat mempersembahkan Kurban Kudus bagi jiwa-jiwa, dan membaktikan diri sepenuhnya demi kelegaan jiwa-jiwa menderita. Dengan gembira Nikolaus merayakan Misa dengan semangat yang berkobar. Sepanjang pekan ia terus merayakan Kurban Kudus untuk intensi yang sama, disamping memanjatkan doa-doa pagi dan malam, disiplin dan segala macam perbuatan baik.


Pada akhir pekan, Pellegrino menampakkan diri kembali, tetapi tidak lagi dalam keadaan menderita; ia berbusanakan pakaian putih dan diselubungi cahaya surgawi, ia menunjuk pada sejumlah besar jiwa-jiwa bahagia. Mereka semua mengucapkan terima kasih kepadanya, menyebutnya sebagai pembebas mereka; dan lalu naik ke surga, mereka memadahkan kata-kata dari sang pemazmur (Mazmur 44:8): "Salvasti nos de affligentibus nos, et odientes nos confudisti" [Engkaulah yang memberi kami kemenangan terhadap para lawan kami, dan orang-orang yang membenci kami Kau beri malu.] Para lawan yang dimaksudkan di sini adalah dosa, dan roh-roh jahat adalah penghasutnya. (dikutip dari: "PURGATORY Illustrated by the Lives and Legends of the Saints" by: Father F.X. Shouppe, S.J.)

 
"MERVEILLES DU PURGATOIRE" PATER ROSSIGNOLI

Simak kisah nyata yang diceritakan Pater Rossignoli dalam bukunya "Merveilles du Purgatoire". Seorang pelukis handal suatu ketika mengerjakan sebuah lukisan yang sama sekali tidak sesuai dengan kaidah kesopanan Kristiani. Lukisan itu, atas nama karya seni, dianggap sebagai salah satu yang terbaik dalam kategorinya; lukisan yang menyebabkan sesatnya begitu banyak jiwa yang memandangnya.


Akan tetapi, sang pelukis meninggalkan gaya lukisnya itu, dan membatasi diri dengan mengerjakan hanya lukisan-lukisan religius, atau yang setidaknya lukisan-lukisan yang sempurna tanpa cemar. Pada akhirnya, ia sedang mengerjakan sebuah lukisan besar di Biara Karmelit Tak Berkasut, ketika ia diserang suatu penyakit mematikan. Merasa ajalnya sudah dekat, ia meminta Prior untuk mengijinkannya dimakamkan dalam gereja biara, dan mewariskan kepada komunitas pendapatannya, yang sangat besar jumlahnya, dan meminta mereka mempersembahkan Misa demi kedamaian kekal jiwanya. Ia meninggal dengan saleh, dan beberapa hari berlalu, ketika seorang biarawati yang ada di paduan suara sesudah ibadat pagi melihatnya menampakkan diri di tengah api dan mengeluh mengibakan hati.


"Apa!" seru sang biarawati, "haruskah engkau mengalami sengsara yang demikian, setelah mengamalkan hidup yang begitu saleh dan meninggal dengan kudus?"


"Sayang!" jawabnya, "ini karena lukisan yang tidak sopan yang aku lukis beberapa tahun yang silam. Ketika aku menghadap di hadapan pengadilan Hakim yang Mahakuasa, suatu himpunan pendakwa datang guna memberikan kesaksian melawan aku. Mereka menyatakan bahwa mereka dibangkitkan pada pikiran-pikiran yang tidak pantas dan pada hasrat nafsu jahat oleh sebuah lukisan, yakni karya tanganku. Akibat pikiran dan hasrat buruk itu sebagian dari mereka berada di purgatorium, sementara yang lain di neraka. Mereka yang di neraka berteriak-teriak menuntut balas dendam, mengatakan bahwa, sebagai penyebab hukuman abadi mereka maka aku layak, setidaknya, mendapatkan hukuman yang sama. Kemudian Santa Perawan dan para kudus yang aku muliakan dengan lukisan-lukisanku membelaku. Mereka mengatakan kepada sang Hakim bahwa lukisan itu adalah karya masa mudaku, dan yang telah aku sesali; bahwa aku telah memperbaiki kesalahanku sesudahnya dengan melukis obyek-obyek rohani yang adalah sumber peneguhan iman bagi jiwa-jiwa. Dengan pertimbangan ini dan alasan-alasan lain, Hakim yang Mahakuasa memaklumkan bahwa, mengingat tobatku dan perbuatan-perbuatan baikku, aku dibebaskan dari kebinasaan; tetapi pada saat yang sama Ia menghukumku berada di api ini hingga lukisan itu dibakar, hingga tak lagi dapat menyesatkan siapapun."


Jika yang demikian adalah konsekuensi dari sebuah lukisan yang tidak pantas, lalu, apakah hukuman bagi penyesatan-penyesatan yang masih terlebih celaka yang berasal dari buku-buku, tulisan-tulisan, pergaulan sekolah dan percakapan-percakapan yang tidak pantas? (Dikutip dari: "Purgatory Explained" by Father F.X. Shouppe, S.J.) 
Sumber : YESAYA: yesaya.indocell.net