Senin, 17 Juni 2013

S U R G A
(Penglihatan Kepada Orang Kudus)



Surga dalam Penglihatan dan Mimpi St Yohanes Bosco

Santo Yohanes Bosco (1815-1888), yang adalah rasul kaum muda dan pendiri Serikat Salesian Don Bosco (SDB) dan Suster-suster Puteri Maria Penolong Umat Kristiani (FMA), dianugerahi banyak penglihatan dan nubuat dalam hidupnya. Berikut adalah tiga penglihatan Don Bosco yang merujuk pada surga.


LUIGI COMOLLO

Yohanes Bosco dan Luigi Comollo adalah dua sahabat karib di sekolah maupun sesudahnya di Seminari Chieri. Kepada Luigi, Yohanes mengutarakan semua cita-cita dan rencananya. Luigi sendiri tidak menyusun banyak rencana seperti Yohanes, ia merasa bahwa hidupnya akan segera berakhir. Tak dikatakannya perasaannya itu kepada sahabatnya, tetapi mereka berdua telah sepakat: siapa pun yang terlebih dahulu meninggal dunia akan memohon kepada Tuhan untuk memberi ijin memberitahukan kepada sahabatnya yang masih di dunia bahwa ia telah masuk dalam kebahagiaan abadi.

Tahun berikutnya, pada tanggal 2 April 1839, hari Kamis sesudah Paskah, Luigi meninggal dunia karena demam. Yohanes amat berduka karena bagian dari dirinya yang berharga telah pergi. Malam sesudah pemakaman duapuluh orang yang tidur dalam satu kamar asrama dengan Yohanes terbangun karena suara aneh. Seolah-olah sebuah kereta kuda, atau kereta api, sedang melaju di lorong, kereta itu menerjang dan menghantam bagaikan gemuruh artileri, menyebabkan lantai dan langit-langit berguncang, pintu kamar terbuka lebar-lebar dan masuklah ke dalam ruangan mereka suatu sinar yang sekonyong-konyong bersinar amat terang. Dan, dalam keheningan, banyak dari mereka yang mendengar suatu suara yang lembut bernyanyi dengan gembira. Tetapi hanya seorang saja yang mendengar perkataan ini:

"Bosco, aku selamat."

Sinar menghilang dan pergi dengan cara yang sama seperti datangnya. Kemudian segala sesuatunya berakhir. Yohanes dipenuhi dengan sukacita dan syukur.


MAMA MARGARITA

Ibunda St John Bosco memainkan peran penting dalam hidup dan karya puteranya. Demikianlah semua orang dengan penuh kasih memanggilnya, Mama Margarita. Setelah wafatnya, Mama Margarita menampakkan diri kepada Santo Yohanes Bosco. Don Bosco menuliskan penglihatannya ini dalam "Kenangan Biografi"-nya:

Pada bulan Agustus 1860, ia bermimpi bertemu dengan ibundanya dekat rumah doa Bunda Penghiburan, di sepanjang tembok yang mengelilingi Biara Santa Anna di sudut jalan sementara ia sedang dalam perjalanan pulang ke Oratorio dari Convitto Ecclesiatico. Mama Margarita kelihatan cantik. "Apa? Apakah Mama sungguh di sini?" tanya Don Bosco. "Bukankah Mama sudah meninggal dunia?"

"Aku mati tapi aku hidup," jawab Mama Margarita.

"Dan apakah Mama bahagia?"

"Sangat bahagia."

Setelah beberapa pertanyaan lain, Don Bosco bertanya apakah Mama Margarita langsung ke surga setelah wafatnya. Mama Margarita menjawab tidak. Don Bosco lalu bertanya apakah beberapa anak laki-laki - yang namanya ia sebutkan - berada di surga, dan ia menerima jawaban ya.

"Sekarang katakan," lanjut Don Bosco, "apakah yang Mama nikmati di surga?"

"Aku tak bisa menjelaskan itu padamu."

"Berilah aku setidaknya suatu gagasan akan kebahagiaan Mama; biarkan aku melihat kilasannya!"

Mama Margarita kemudian tampak bersinarkan kemuliaan dan berbusanakan jubah semarak. Sementara suatu himpunan besar paduan suara berdiri di latar belakang, ia mulai menyanyikan sebuah madah kasih kepada Allah yang begitu manis tak terlukiskan dan langsung menembus hati, memenuhi dan merasukinya dengan kasih. Kedengarannya seperti seribu suara dan seribu nada - dari bass terendah hingga soprano tertinggi - semua berbaur dengan begitu ahlinya, lembut, dan harmonis demi membentuk satu suara tunggal, kendati beragam nada dan titik nada suara yang terdiri dari yang paling kuat hingga ke yang nyaris tak kedengaran. Don Bosco begitu terpesona oleh nyanyian paling merdu ini hingga ia berpikir bahwa ia tak sadar lagi akan dirinya dan tak lagi dapat mengatakan atau menanyakan apapun lagi pada ibundanya. Ketika Mama Margarita selesai bernyanyi, ia berpaling kepada Don Bosco dan mengatakan: "Aku akan menantikanmu. Kita berdua harus selalu bersama-sama." Setelah mengucapkan kata-kata itu, ia pun menghilang.


Santo Dominikus Savio (1842-1857)

St Yohanes Bosco beroleh penglihatan lain mengenai surga dalam bentuk mimpi, yang ia ceritakan kepada anak-anaknya dalam salah satu dari "perbincangan menjelang tidur"-nya yang terkenal.

Pada malam tanggal 6 Desember 1876, seorang muridnya yang telah wafat - Santo Dominikus Savio - menampakkan diri kepadanya dalam sebuah mimpi. Berikut seperti dikisahkannya:

Seperti kalian tahu, mimpi-mimpi datang dalam tidur seseorang. Malam hari pada tanggal 6 Desember, sewaktu aku masih di kamarku, di Lanzo, - entah membaca atau berjalan mondar-mandir atau beristirahat di pembaringanku, aku tak yakin - aku mulai bermimpi.

Sekonyong-konyong tampak olehku bahwa aku sedang berdiri di atas sebuah gundukan bukit kecil, di tepi suatu dataran yang begitu luas hingga mata tak dapat melihat batas-batasnya yang lenyap dalam keluasannya. Semuanya biru, biru bagai laut yang paling tenang, meski apa yang aku lihat bukanlah air. Seperti suatu samudera kaca yang berkilau sangat cemerlang. Terbentang di bawah, di belakang dan di kedua sisiku adalah suatu hamparan luas dari apa yang tampak bagai sebuah pantai.

Jalan-jalan yang luas dan mengagumkan membagi dataran menjadi kebun-kebun besar yang indah tak terkira, masing-masing dipisahkan oleh semak-semak, rerumputan, dan taman-taman bunga dari berbagai bentuk dan warna. Tak satu pun dari tanam-tanaman yang kita kenal dapat pernah memberi kalian gagasan akan bebungaan itu, meski ada kemiripannya. Rerumputan itu sendiri, bebungaan, pepohonan, dan buah-buahan - semua, masing-masingnya sungguh elok. Dedaunannya dari emas, batang dan dahan-dahannya dari berlian, dan setiap detailnya yang kecil selaras dengan kemewahan ini. Beraneka ragam tanam-tanaman tak terbilang banyaknya. Setiap spesies dan setiap tanaman kemilau dengan kecemerlangannya sendiri. Tersebar di segenap penjuru kebun-kebun itu dan terhampar di seluruh dataran aku bisa melihat tak terhitung banyaknya gedung-gedung yang arsitekturnya, kemegahannya, keharmonisannya, keagungan dan ukurannya begitu unik hingga orang dapat mengatakan segala harta kekayaan dunia tidaklah cukup untuk membangun barang satu pun dari gedung itu. Andai saja anak-anakku memiliki satu rumah yang demikian, aku katakan kepada diriku sendiri, betapa mereka akan menyukainya, betapa akan bahagianya mereka, dan betapa mereka akan senang berada di sana! Demikianlah pikiran-pikiran yang melintas di benak sementara aku menatap bagian luar bangunan-bangunan tersebut, akan tetapi betapa akan terlebih lagi semarak bagian dalamnya!

Sementara aku berdiri di sana menikmati keindahan kebun-kebun itu, sekonyong-konyong aku mendengar musik paling manis - suatu melodi yang begitu menyukakan dan mempesonakan hati hingga aku tiada pernah bisa secara memadai menjelaskannya. Dibandingkan dengan musik itu, komposisi Pater Cagliero dan Broeder Dogliani nyaris tak dapat dianggap musik sama sekali. Seratus ribu instrumen dimainkan, masing-masing dengan suaranya sendiri, yang unik berbeda dari semua yang lain, dan setiap suara yang terdengar menghidupkan udara dengan gelombang-gelombang resonansinya. Berbaur dengannya adalah madah paduan suara.

Dalam kebun-kebun itu aku melihat suatu himpunan besar orang yang menyenangkan diri mereka sendiri dengan bahagia, sebagian bernyanyi, yang lain bermain, akan tetapi setiap nada, mendatangkan efek seribu instrumen yang berbeda dimainkan bersama-sama. Pada satu saat yang sama, jika kalian bisa membayangkan hal yang demikian, orang bisa mendengar semua nada dari skala kromatik, dari yang terendah hingga yang tertinggi, namun semuanya dalam harmoni yang sempurna. Ah ya, tak ada pada kita di dunia yang dapat dibandingkan dengan simfoni itu.

Orang bisa tahu dari ekspresi wajah-wajah bahagia itu bahwa para penyanyinya tak hanya menikmati secara mendalam kesenangan dalam bernyanyi, tetapi juga menerima sukacita luar biasa dalam mendengarkan yang lain. Semakin mereka bernyanyi, semakin bangkit hasrat mereka untuk bernyanyi. Semakin mereka mendengarkan, semakin tergetar kerinduan mereka untuk mendengarkan lagi ...

Sementara aku mendengarkan dengan takjub paduan suara surgawi itu, aku melihat suatu himpunan besar tak berujung anak-anak lelaki menghampiriku. Banyak yang aku kenali sebagai anak-anak di Oratorio dan di sekolah-sekolah kami yang lain, tetapi sejauh ini mayoritas dari mereka adalah anak-anak yang asing bagiku. Barisan mereka yang tak berujung semakin mendekat, dipimpin oleh Dominikus Savio, yang segera diikuti oleh Pater Alasonatti, Pater Chiali, Pater Guilitto dan banyak kaum klerus dan imam yang lain, masing-masing memimpin sepasukan anak-anak lelaki ...

Begitu rombongan anak-anak lelaki itu berada sekitar delapan atau sepuluh langkah dariku, mereka berhenti. Ada suatu kilatan cahaya yang jauh lebih cemerlang dari sebelumnya, musik berhenti, dan suatu keheningan yang senyap pun berkuasa. Suatu sukacita yang paling berseri meliputi segenap anak laki-laki dan terpancar di mata mereka, wajah mereka bersinar dengan kebahagiaan. Mereka memandang dan tersenyum padaku dengan sangat menyenangkan, seolah hendak berbicara, namun tak seorang pun mengatakan apa-apa.

Dominikus Savio melangkah maju satu atau dua langkah, berdiri begitu dekat denganku hingga, andai aku mengulurkan tangan, aku pasti akan menyentuhnya. Ia juga terdiam dan menatapku dengan senyum ...

Betapa eloknya dia! Pakaiannya luar biasa; jubah putihnya, yang terjuntai hingga ke kaki, bersulam berlian dan dijahit dengan benang emas. Sebuah ikat pinggang merah lebar melilit pinggangnya, bersulamkan batu-batu mulia yang saling berdekatan hingga bebatuan itu saling bersentuhan. Pada lehernya tergantung sebuah karangan bunga dari jenis yang belum pernah kita lihat; tampak seperti berlian-berlian yang terjalin bersama. Bunga-bunga ini memancarkan cahaya. Di atas kepalanya terdapat sebuah mahkota dari bunga-bunga mawar. Rambutnya yang bergelombang terjuntai ke bahu, dan memberinya penampilan yang begitu elok, begitu memikat hati, begitu menarik hingga ia tampak - ia tampak seperti malaikat. Aku gemetar dan tidak bisa berbicara.

Akhirnya Dominikus Savio berbicara. "Mengapakah engkau berdiri di sana diam seribu bahasa, seolah kau nyaris lumpuh?" tanyanya. "Bukankah kau orang yang dulu tak takut apapun, pantang menyerah terhadap fitnah, aniaya, pertentangan, penderitaan dan segala macam mara bahaya? Di manakah keberanianmu? Katakanlah sesuatu!"

Aku memaksakan diri untuk menjawab dengan terbata-bata, "Aku tak tahu harus mengatakan apa. Apakah kau Dominikus Savio?"

"Ya. Tidakkah kau mengenaliku lagi?"

"Bagaimana kau bisa berada di sini?" tanyaku masih bingung.

Savio berbicara penuh kasih. "Aku datang untuk berbicara denganmu. Kita berbicara bersama begitu sering di dunia! Tidakkah kau ingat betapa kau mengasihiku, atau berapa banyak tanda persahabatan yang kau berikan kepadaku dan betapa baiknya kau kepadaku? Dan betapa aku membalas kehangatan kasihmu? Betapa besar kepercayaanku padamu! Jadi mengapakah kau kelu lidah? Mengapakah kau gemetar? Mari, ajukan barang satu atau dua pertanyaan!"

Dengan mengerahkan keberanian, aku menjawab, "Aku gemetar sebab aku tidak tahu di mana aku berada."

"Kau berada di tempat tinggal kebahagiaan," jawab Savio, "di mana orang mengalami segala sukacita, segala kebahagian."

"Apakah ini ganjaran bagi orang adil?"

"Sama sekali bukan! Di sini kami tidak menikmati kebahagiaan adikodrati melainkan hanya kebahagiaan alamiah, meski sangat berlipat ganda."

"Mungkinkah aku diijinkan untuk melihat sedikit terang adikodrati?"

"Tak seorang pun dapat melihatnya sampai ia telah datang untuk melihat Allah sebagaimana Ia adanya. Berkas paling redup dari terang itu akan membuat orang mati seketika itu juga, sebab indera manusia tak cukup kuat untuk menanggungnya."

"Sekarang katakan, Savio-ku terkasih, apakah yang memberimu penghiburan terbesar di saat ajal?"

"Apa yang paling menghiburku di saat ajal adalah pertolongan dari Bunda Juruselamat yang penuh kuasa dan kasih, Maria Tersuci. Dan katakan ini kepada para pemudamu, agar mereka tidak pernah lupa untuk berdoa kepada Bunda Maria setiap hari sepanjang hidup mereka."

Dengan itu berakhirlah mimpi Don Bosco.


Kemuliaan Maria di Surga

Santa Brigitta dari Swedia (1303-1373) beroleh anugerah penglihatan akan Sang Perawan di surga dalam kemuliaan. Ia melihat Bunda Allah, Ratu Surga, mengenakan sebuah mahkota yang tak ternilai. Rambutnya yang indah kemilau terjuntai di bahu. Sang Perawan mengenakan sebuah jubah keemasan yang cemerlang dan sehelai kerudung sebiru langit. Brigitta tenggelam ke dalam ekstasi kontemplatif, seolah suatu kehidupan batin memisahkannya dari dirinya sendiri.

Sekonyong-konyong Santo Yohanes Pembaptis muncul dan berkata kepadanya: "Dengarkan baik-baik: Aku hendak menyingkapkan makna dari semua ini kepadamu. Mahkota berarti bahwa Santa Perawan adalah Ratu dan Bunda dari Raja para malaikat. Rambutnya menandakan bahwa ia adalah yang termurni dari segala perawan dan mutlak sempurna. Kerudungnya yang berwarna biru langit menunjukkan bahwa segala hal duniawi mati baginya. Jubahnya yang keemasan melambangkan bahwa ia telah membuktikan kasih yang berkobar dan belas-kasih, baik secara lahir maupun batin.

Putranya menempatkan tujuh bunga leli pada mahkotanya: yang pertama adalah kerendahan hatinya, yang kedua adalah takut akan Allah, yang ketiga adalah ketaatannya, yang keempat kesabarannya, kelima ketenangannya; keenam kemanisannya, sebab ia manis dan memberi kepada semua yang berseru kepadanya apabila memohon sesuatu; ketujuh adalah kerahiman dalam kebutuhan: sebab apabila orang berseru kepadanya ia akan memberikan kepadanya apapun yang dibutuhkannya.

Putra Allah telah menempatkan di antara ketujuh leli ini tujuh batu mulia: yang pertama adalah keunggulan keutamaannya, sebab tiada roh yang memiliki keutamaan yang lebih tinggi dibandingkan Santa Perawan; yang kedua adalah kemurniannya yang sempurna sebab Ratu Surga begitu murni bahkan tiada noda dosa setitik pun padanya, dan tak ada setan yang pernah berhasil menemukan ketidakmurnian dalam dirinya. Ia sungguh yang termurni sebab adalah tepat Raja Kemuliaan ditempatkan hanya dalam bejana termurni yang terpilih di atas segenap para malaikat dan segenap umat manusia. Batu mulia ketiga adalah kecantikannya, sebab para kudus memuji Allah karena kecantikan BundaNya dan ini melengkapi sukacita segenap para malaikat dan para kudus. Batu mulia keempat pada mahkota mewakili kebijaksanaan Bunda Perawan sebab didandani dengan semarak dan keelokan ia dipenuhi hingga meluap dan diberkati dengan setiap hikmat Allah. Batu mulia kelima adalah kekuatannya sebab melalui Allah ia cukup kuat untuk menghancurkan dan mengenyahkan segala yang telah diciptakan. Batu mulia keenam adalah kemilau dan terangnya, sebab ia menerangi para malaikat yang matanya lebih cemerlang dari cahaya dan setan tunggang-langgang karena kecantikannya dan tiada berani menatap kemuliaannya. Batu mulia ketujuh adalah kepenuhan dari segala kebahagiaan, dari segala kemanisan rohani, yang ada dalam dirinya dengan kekayaan begitu rupa hingga tiada sukacita yang tak tumbuh darinya, pun tiada kebahagiaan yang tiada disempurnakan dengan menatap kecantikannya."


Catatan  St Faustina Kowalska

Suatu hari, aku melihat dua jalan. Yang satu lebar, berselimutkan pasir dan bunga-bunga, penuh riang-ria, musik dan segala macam kesenangan. Orang berjalan menapakinya, menari-nari dan berpesta-pora. Mereka tiba di ujung jalan tanpa menyadarinya. Di ujung jalan terdapat suatu jurang yang sangat mengerikan; itulah jurang neraka. Jiwa-jiwa jatuh secara membabi-buta ke dalamnya; sementara berjalan, mereka berjatuhan. Jumlah mereka sungguh amat banyak hingga mustahil menghitung mereka. Aku melihat jalan yang lain, atau tepatnya jalan setapak, sebab jalan itu sempit, onak duri dan bebatuan bertebaran di atasnya; orang-orang yang menapakinya bercucuran airmata, segala macam sengsara menimpa mereka. Sebagian terjatuh di atas bebatuan, tetapi segera bangkit dan terus maju. Di ujung jalan terdapat suatu taman yang indah mempesona penuh dengan berbagai macam sukacita, dan segenap jiwa-jiwa ini masuk ke dalamnya. Seketika itu juga mereka lupa akan segala penderitaan mereka. (153)

Ketika aku di Kickers (1930) guna menggantikan salah seorang suster untuk jangka waktu yang singkat, suatu siang aku berjalan melintasi taman dan berhenti di tepi danau; lama aku berdiri di sana, menikmati sekelilingku. Sekonyong-konyong aku melihat Tuhan Yesus di dekatku, dengan lembut Ia berkata, “Semua ini Aku ciptakan untukmu, mempelai-Ku; ketahuilah bahwa segala keindahan ini tak ada artinya dibandingkan dengan apa yang telah Aku persiapkan untukmu dalam keabadian.” Jiwaku diliputi penghiburan begitu rupa hingga aku tinggal di sana sampai sore hari, yang bagiku serasa sekejap saja. Hari itu adalah hari bebasku, yang disisihkan untuk retret satu hari, sehingga aku cukup bebas mempersembahkan diriku dalam doa. Oh, betapa Allah, yang kebaikan-Nya tak terhingga, melimpahi kita dengan kebajikan-kebajikan-Nya! Kerap kali terjadi bahwa Tuhan menganugerahiku karunia-karunia terbesar saat aku sama sekali tak mengharapkannya. (158)

Setelah aku pergi ke refectory pada waktu membaca, seluruh keberadaanku mendapati dirinya tengelam dalam Tuhan. Secara batin, aku melihat Tuhan memandangi kami dengan sukacita yang besar, aku tinggal seorang diri dengan Bapa Surgawi. Pada saat itu, aku mendapatkan pemahaman yang terlebih mendalam akan Ketiga Pribadi Allah, kepada siapa sepatutnya kita mengkontemplasikan segala kekekalan dan, setelah berjuta-juta tahun, akan mendapati bahwa kita baru saja memulai kontemplasi kita. Oh, betapa luar biasa kerahiman ilahi, yang mengijinkan manusia untuk ikut ambil bagian dalam tingkat yang begitu tinggi dalam kebahagiaan ilahi-Nya! Pada saat yang sama, betapa hebat sakit hatiku terkoyak-koyak mendapati begitu banya jiwa telah menolak kebahagiaan ini. (1439)

Februari 1938. Pada waktu meditasi, Tuhan memberiku pemahaman akan sukacita surgawi dan akan para kudus setibanya kita di sana; mereka mengasihi Tuhan sebagai satu-satunya tumpuan kasih mereka, namun demikian mereka juga memiliki kasih yang lembut dan tulus bagi kita. Dari wajah Allah sukacita ini memancar kepada semuanya, sebab kita melihat-Nya muka dengan muka. Wajah Allah begitu manis hingga jiwa jatuh kembali ke dalam ekstasi. (1592)

Ketika pada waktu adorasi aku mengulang-ulang doa, “Allah yang Kudus” beberapa kali, suatu kehadiran Allah yang nyata sekonyong-konyong meliputiku, dan aku terperangkap dalam roh di hadapan keagungan Tuhan. Aku melihat bagaimana para malaikat dan para kudus memuliakan Tuhan. Kemuliaan Tuhan begitu dahsyat hingga aku tak berani untuk berusaha menggambarkannya, sebab aku tak akan mampu melakukannya, dan jiwa-jiwa akan berpikiran bahwa aku sudah menuliskan semuanya. St Paulus, aku mengerti sekarang mengapa engkau tak hendak menggambarkan surga, melainkan hanya mengatakan bahwa apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pernah didengar oleh telinga, dan yang tidak pernah timbul di dalam hati manusia: semua yang disediakan Allah untuk mereka yang mengasihi Dia…. Sekarang aku telah melihat dengan cara bagaimana aku memuliakan Allah; oh betapa suatu kemalangan! Dan betapa bagai setetes kecil air dibandingkan dengan kemuliaan surgawi yang sempurna. (1604)


PENGLIHATAN AKAN SURGA

Theresia Neumann (1898 - 1962), seorang stigmatis dan visionaris, dianugerahi banyak penglihatan semasa hidupnya; di antaranya adalah penglihatan-penglihatan mistik mengenai surga yang dialaminya secara rutin pada Hari Raya Semua Orang Kudus. Pada tanggal 1 November 1928, Pastor Naber, pembimbing rohaninya, menulis di catatan harian sebagai berikut:


"Pagi hari pukul 6, Theresia diperkenankan memandang surga. Dalam penglihatan pertama ia melihat Juruselamat, dikelilingi oleh Maria, Yosef, para rasul, keduapuluh empat tua-tua, ketujuh malaikat agung dan suatu himpunan besar malaikat-malaikat lain. Dalam penglihatan kedua ia melihat Juruselamat di antara jiwa-jiwa perawan (keterangan: para imam, anggota ordo religius, para perawan), dan dalam penglihatan ketiga Juruselamat di antara para kudus lainnya. Ia mengenali beberapa di antara mereka, yang telah ia lihat dalam penglihatan-penglihatan sebelumnya atau yang ia kenal semasa hidup mereka.


Semuanya tampak sebagai makhluk-makhluk murni dan cemerlang; di samping Juruselamat, ia melihat dua yang memiliki tubuh yang ditransfigurasikan, Maria dan Elia. Theresia begitu terpikat oleh apa yang ia lihat, hingga ia merindukan kematian…."


Perantaraan bagi Jiwa-jiwa Menderita juga merupakan kepedulian Theresia. Ia merasakan belas-kasihan yang besar bagi jiwa-jiwa menderita yang malang, dan sepanjang waktu mempersembahkan doa-doa dan kurban-kurban demi pembebasan mereka. Kerap kali, ia dapat membebaskan jiwa-jiwa dari purgatorium dan mengalami, betapa jiwa yang bersangkutan amat berterima kasih kepadanya dan dihantar naik ke surga.

Sumber: yesaya.indocell.net

Tidak ada komentar: