Kamis, 23 Juni 2011

Dukacita Sengsara Tuhan Kita Yesus Kristus (Bagian 2)


Dukacita Sengsara Tuhan Kita Yesus Kristus
mistikus, stigmatis, visionaris (1774 - 1824)



“THE DOLOROUS PASSION OF OUR LORD JESUS CHRIST
FROM THE MEDITATIONS OF ANNE CATHERINE EMMERICK”
as recorded in the journal of Clemens Brentano
 




Pengantar kepada Sengsara Yesus

“Jika engkau tidak tahu bagaimana merenungkan hal-hal yang tinggi dan surgawi, beristirahatlah pada Sengsara Kristus, dan bersukahatilah tinggal dalam luka-luka-Nya yang kudus. Sebab, jika engkau terbang dengan saleh kepada luka-luka dan stigmata Yesus yang mulia, engkau akan merasakan penghiburan yang luar biasa dalam pencobaan.”

~ Mengikuti Jejak Kristus, buku II, pasal I

Sore hari pada tanggal 18 Februari 1823, seorang teman mengunjungi Sr Emmerick di tempat tidurnya, di mana ia terbaring seolah terlelap. Temannya itu terpana mendapati raut wajah Sr Emmerick yang memancarkan keindahan sekaligus sengsara, ia merasakan dalam batinnya suatu dorongan untuk mengangkat hati dengan khusuk ke hadapan Tuhan serta mempersembahkan Sengsara Kristus kepada Bapa Surgawi, dalam persatuan dengan segala sengsara dari segenap mereka yang memikul salib seturut teladan-Nya. Sementara teman itu berdoa, kebetulan ia mengarahkan pandangannya sejenak pada stigmata di kedua tangan Sr Emmerick. Segera biarawati ini menyembunyikan kedua tangannya di bawah selimut, terkejut seolah seseorang baru saja menyerangnya. Temannya heran atas hal ini dan bertanya, “Apakah yang telah terjadi padamu?” “Banyak hal,” jawabnya dalam nada suara penuh perasaan. Sementara temannya mereka-reka apa yang mungkin dimaksudkannya, Sr Emmerick tampak seolah tertidur kembali. Setelah kurang lebih seperempat jam berlalu, Sr Emmerick tiba-tiba terjaga dengan segala kegarangan seorang yang sedang bergulat sengit dengan seorang lainnya, merentangkan kedua tangannya, mengepalkan tangannya, seolah hendak meninju seorang musuh yang berdiri di sisi kiri tempat tidurnya, ia berseru dengan nada jengkel, “Apa maksudmu dengan kontrak Magdala ini?” Lalu, ia berbicara dengan kehangatan seseorang yang ditanyai dalam suatu pertengkaran - “Ya, itulah roh terkutuk - pendusta sejak dari permulaan - setan, yang mengecam-Nya mengenai perjanjian Magdala, dan hal-hal lain serupa itu, dan menuduh-Nya memboroskan segala uang bagi kepentingan DiriNya Sendiri.” Ketika ditanya, “Siapakah gerangan yang dituduh memboroskan uang? Siapakah gerangan yang didakwa begitu rupa?” Sr Emmerick menjawab, “Yesus, Mempelai-ku yang menawan, di Bukit Zaitun”. Lalu, ia berpaling ke kiri lagi dengan gerakan mengancam, dan berseru, “Alangkah liciknya kau, hai bapa para pendusta, dengan kontrak Magdala itu. Bukankah Ia membebaskan duapuluh tujuh tahanan malang di Thirza dengan uang yang diperoleh dari hasil penjualan Magdala? Aku melihat-Nya, dan kau berani mengatakan bahwa Ia mendatangkan kekacauan di seluruh negeri, menghalau segenap penduduknya, dan menghamburkan uang dari hasil penjualannya? Tetapi, waktumu telah tiba, hai roh terkutuk! Engkau akan dibelenggu, dan tumit-Nya akan meremukkan kepalamu.”

Di sini, Sr Emmerick terinterupsi dengan masuknya seorang lain; teman-temannya menyangka bahwa Sr Emmerick sedang mengigau dan mereka merasa iba kepadanya. Keesokan paginya, Sr Emmerick mengakui bahwa malam sebelumnya ia membayangkan dirinya mengikuti Juruselamat kita ke Taman Zaitun, setelah penetapan Sakramen Ekaristi kudus, tetapi tepat saat itu seseorang memandangi stigmata pada kedua tangannya dengan rasa hormat, sehingga biarawati itu merasa terkejut bahwa hal ini dilakukan di hadapan Tuhan kita, karenanya ia cepat-cepat menyembunyikan kedua tangannya dalam kesakitan. Kemudian Sr Emmerick mengisahkan penglihatannya atas apa yang terjadi di Taman Zaitun. Karena ia melanjutkan kisahnya di hari-hari berikutnya, teman yang mendengarkannya dengan seksama dapat merangkaikan penglihatan-penglihatan Sengsara yang berbeda itu menjadi satu. Tetapi, karena selama Masa Prapaskah, Sr Emmerick juga merenungkan pergumulan antara Tuhan kita dengan setan di padang gurun, ia harus menanggung dalam dirinya banyak sengsara dan pencobaan. Sebab itu, terjadi beberapa jeda dalam kisah Sengsara, yang, walau demikian, dapat dengan mudah diisi lewat komunikasi selanjutnya.    

Pada umumnya, Sr Emmerick berbicara dalam bahasa Jerman yang umum, tetapi dalam keadaan ekstasi, bahasanya menjadi jauh lebih murni, dan kisah-kisahnya sekaligus merupakan kesederhanaan kanak-kanak dan ilham ilahi. Temannya menuliskan segala yang dikatakan Sr Emmerick dan segera pulang ke tempat tinggalnya; sebab jarang sekali ia dapat membuat banyak catatan di hadapan sang biarawati. Tuhan, Pemberi segala karunia yang baik, menganugerahkan kepada temannya itu ingatan yang tajam, semangat yang berkobar dan kekuatan untuk menanggung segala macam persoalan serta kepenatan tubuh, hingga ia dapat menyelesaikan tulisannya. Hati nurani sang teman mengatakan bahwa ia telah mempersembahkan yang terbaik, dan dengan rendah hati mohon kepada pembaca, jika pembaca merasa puas dengan hasil kerjanya itu, agar berkenan beramal kasih kepadanya dengan memanjatkan doa baginya.


Bab I


Yesus di Taman Zaitun



Ketika Yesus meninggalkan ruang perjamuan bersama kesebelas rasul, setelah penetapan Sakramen Mahakudus dari Altar, jiwa-Nya begitu tertekan dan dukacitanya semakin mendalam. Ia membawa kesebelas rasul, lewat jalan yang tidak biasanya, ke Lembah Yosafat. Sementara mereka meninggalkan rumah, aku melihat bulan, yang masih belum penuh benar, muncul di balik gunung.

Tuhan Ilahi kita, sementara Ia menyusuri lembah bersama para rasul-Nya, mengatakan kepada mereka bahwa di sini Ia suatu hari kelak akan kembali untuk menghakimi dunia, tetapi tidak dalam keadaan miskin dan hina, seperti Ia saat itu, dan bahwa manusia akan gemetar karena takut dan berseru: “Gunung-gunung, runtuhlah menimpa kami!” Para murid-Nya tidak memahami perkataan-Nya, dan bukan untuk pertama kalinya malam itu, beranggapan bahwa keadaan lelah dan letih pastilah telah mempengaruhi pikiran-Nya. Ia berkata kepada mereka lagi: “Kamu semua akan tergoncang imanmu. Sebab ada tertulis: AKU AKAN MEMUKUL GEMBALA DAN DOMBA-DOMBA ITU AKAN TERCERAI-BERAI. Akan tetapi sesudah Aku bangkit, Aku akan mendahului kamu ke Galilea.”

Para rasul masih dalam tingkat tertentu hanyut dalam perasaan kasih yang berkobar, yang diilhamkan oleh penerimaan Sakramen Mahakudus dan sabda Yesus yang khidmad dan merasuk di hati. Mereka dengan penuh sukacita bergerombol di sekeliling-Nya dan mengungkapkan kasih mereka dengan seribu satu cara, sambil memprotes dengan sungguh bahwa mereka tidak akan pernah meninggalkan-Nya. Tetapi, karena Yesus terus berbicara dalam nada yang sama, Petrus berseru: “Biarpun mereka semua tergoncang imannya, aku tidak.” Tuhan kita menjawab: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya pada hari ini, malam ini juga, sebelum ayam berkokok, engkau telah menyangkal Aku tiga kali.” Tetapi, Petrus masih tetap bersiteguh, katanya: “Sekalipun aku harus mati bersama-sama Engkau, aku takkan menyangkal Engkau.”  Semua yang lain pun berkata demikian juga. Mereka melangkah maju dan berhenti, sebab dukacita Tuhan Ilahi kita semakin bertambah-tambah. Para rasul berusaha menghiburnya dengan argumentasi manusia, meyakinkan-Nya bahwa apa yang Ia nubuatkan tidak akan terjadi. Mereka melelahkan diri mereka sendiri dalam usaha yang sia-sia ini, mereka mulai ragu, dan diserang pencobaan.

Mereka melintasi sungai Kidron, tidak melalui jembatan di mana, beberapa jam kemudian, Yesus digiring sebagai tahanan, melainkan melalui jembatan yang lain, sebab mereka telah menyimpang dari jalan yang lazim. Getsemani, ke mana mereka pergi, sekitar satu setengah mil jauhnya dari rumah di mana mereka mengadakan perjamuan, sebab tiga perempat mil jauhnya dari rumah perjamuan ke Lembah Yosafat, dan sekitar begitu pula jauhnya dari Lembah Yosafat ke Getsemani. Tempat yang dinamakan Getsemani (di mana belakangan ini Yesus beberapa kali melewatkan malam bersama para murid-Nya) merupakan suatu taman yang luas, dikelilingi oleh suatu pagar tanam-tanaman, di dalamnya hanya terdapat beberapa pohon buah-buahan dan bunga-bungaan, sementara di bagian luarnya berdiri beberapa bangunan terbuka yang terbengkalai.      

Para rasul dan beberapa yang lain memiliki kunci masuk ke taman ini, yang terkadang biasa digunakan sebagai taman rekreasi, dan terkadang sebagai tempat beristirahat dan berdoa. Beberapa pondok yang terbuat dari ranting dan dedaunan didirikan di sana. Delapan dari para rasul tinggal di situ, dan beberapa waktu sesudahnya, sebagian murid yang lain bergabung bersama mereka. Taman Zaitun dipisahkan oleh sebuah jalan dari Getsemani, dan merupakan daerah terbuka, yang dikelilingi hanya oleh dinding batu, dan lebih kecil dari Taman Getsemani. Ada gua-gua, petak-petak, dan banyak pohon zaitun dapat dilihat di taman ini, mudah bagi orang untuk menemukan suatu tempat yang cocok untuk berdoa dan bermeditasi. Ke bagian yang paling liarlah Yesus pergi untuk berdoa.

Kira-kira pukul sembilan malam ketika Yesus tiba di Getsemani bersama para murid-Nya. Bulan telah muncul dan menerangi bumi, meskipun malam masih tampak gelap. Yesus sangat berduka, Ia mengatakan kepada para rasul-Nya bahwa bahaya sudah di ambang pintu. Para murid merasa gelisah. Ia mengatakan kepada delapan rasul yang mengikuti-Nya untuk tinggal di Taman Getsemani sementara Ia pergi berdoa. Yesus membawa Petrus, Yakobus dan Yohanes serta-Nya. Mereka berjalan sedikit lebih jauh, memasuki Taman Zaitun. Tak ada kata yang dapat mengungkapkan dukacita yang waktu itu menghimpit jiwa-Nya, oleh sebab masa pencobaan sudah dekat. Yohanes bertanya kepada-Nya bagaimana Ia, yang hingga saat ini senantiasa memberikan penghiburan kepada mereka, sekarang dapat begitu patah hati? “Hati-Ku sangat sedih, seperti mau mati rasanya,” jawab-Nya. Dan Ia melihat sengsara dan pencobaan-pencobaan mengelilingi-Nya dari segala penjuru, dan mereka semakin dan semakin dekat, dalam bentuk sosok-sosok yang mengerikan dalam awan-awan. Pada saat itulah Ia berkata kepada ketiga rasul, “Tinggallah dan berjaga-jagalah bersama-Ku di sini. Berdoalah agar kalian jangan jatuh ke dalam pencobaan.” Yesus maju beberapa langkah ke sebelah kiri, menuruni bukit, dan menyembunyikan diri di bawah sebuah batu karang, dalam sebuah gua yang sekitar enam kaki dalamnya, sementara para rasul tetap berada di lembah atas. Bumi semakin tenggelam sementara kita melangkah semakin jauh ke dalam gua. Tumbuh-tumbuhan yang berjuntai dari atas batu karang menutupi bagian sebelah dalam gua, bagaikan sebuah tirai, dari orang-orang luar.

Ketika Yesus meninggalkan para murid-Nya, aku melihat sejumlah sosok mengerikan yang mengelilingi-Nya dalam sebuah lingkaran yang semakin lama semakin menyempit.

Dukacita dan sengsara jiwa-Nya terus bertambah. Sekujur tubuh-Nya gemetar saat Ia melangkah masuk ke dalam gua untuk berdoa, bagaikan seorang kelana yang letih karena perjalanan jauh bergegas mencari tempat perlindungan dari badai yang datang tiba-tiba. Tetapi penglihatan-penglihatan yang mengerikan itu mengejar-Nya hingga ke sana, dan menjadi semakin dan semakin jelas dan nyata. Sungguh malang! gua kecil ini nampaknya sarat dengan gambaran-gambaran menjijikkan dari segala dosa-dosa yang telah ataupun yang akan dilakukan, sejak dari jatuhnya Adam ke dalam dosa hingga akhir jaman, dan hukuman yang setimpal bagi dosa-dosa itu. Di sinilah, di Gunung Zaitun, Adam dan Hawa melarikan diri ketika diusir keluar dari Taman Firdaus untuk mengembara tanpa tempat tinggal di bumi, dan mereka menangis serta meratapi diri tepat di gua ini.

Aku merasa bahwa Yesus, dalam menyerahkan Diri-Nya pada Keadilan Ilahi demi silih bagi dosa-dosa dunia, membuat keilahian-Nya kembali ke dalam pelukan Tritunggal Mahakudus, begitu rupa, memusatkan Diri, begitulah istilahnya, ke dalam kemanusiaan-Nya yang murni, penuh kasih dan tanpa dosa, serta kuat hanya dalam kasih-Nya yang tak terhingga, dan menyerahkannya kepada dukacita dan sengsara.

Ia jatuh dengan muka-Nya ke tanah, tertindih dukacita yang tak terkatakan. Segala dosa-dosa dunia menari-nari di hadapan-Nya, dalam berbagai bentuk yang tak terhitung banyaknya dan dalam cacat cela mereka yang sesungguhnya. Ia mengambil semuanya dan membebankannya ke atas DiriNya Sendiri. Dalam doa-Nya, Ia mempersembahkan PribadiNya Sendiri yang menawan itu kepada keadilan Bapa SurgawiNya, sebagai pelunasan atas hutang yang begitu besar. Tetapi setan, yang meraja atas segala kengerian ini, dan yang bahkan dipenuhi sukacita bengis melihat-Nya, mengumbar murkanya atas Yesus, dan menghadirkan di hadapan mata jiwa-Nya penglihatan-penglihatan yang terlebih lagi mengerikan. Pada saat yang sama, sesekali setan berbicara kepada kemanusiaan-Nya yang menawan dengan kata-kata seperti: “Adakah Engkau bahkan hendak membebankan dosa ini atas DiriMu? Adakah Engkau bersedia menanggung hukumannya? Adakah Engkau siap menjadi silih atas segala dosa-dosa ini?”

Dan sekarang, seberkas sinar terang yang panjang, bagaikan suatu jalan yang bercahaya di udara, turun dari surga; itulah barisan para malaikat yang datang kepada Yesus untuk menguatkan serta menyemangati-Nya. Selain dari sinar itu, seluruh gua dipenuhi dengan penglihatan-penglihatan akan segala kejahatan kita yang mengerikan; Yesus mengambil semuanya dan membebankannya pada DiriNya, tetapi Hati yang menawan itu, yang meluap dengan kasih yang paling sempurna bagi Tuhan dan manusia, tenggelam dalam dukacita dan tertindih beban dari begitu banyak kejahatan yang memuakkan. Ketika timbunan dosa yang begitu dahsyat, bagaikan gelombang-gelombang dari samudera yang tak terukur dalamnya, lewat di depan jiwa-Nya, setan mengajukan godaan-godaan yang tak terhitung, seperti yang ia lakukan sebelumnya di padang gurun. Ia bahkan berani mengajukan berbagai tuduhan terhadap-Nya. “Adakah Engkau membebankan segala hal ini ke atas DiriMu Sendiri,” serunya, “Engkau yang tanpa noda?” Kemudian, dengan kekurang-ajaran neraka, setan mendakwa-Nya atas berbagai macam kejahatan imajiner. Ia mencela-Nya atas dosa-dosa para rasul, pertentangan yang telah mereka akibatkan, dan kekacauan yang Ia timbulkan di dunia dengan meninggalkan adat istiadat nenek-moyang. Tak seorang Farisi pun, betapa licik dan kejinya dia, dapat mengungguli setan dalam hal ini; ia mempersalahkan Yesus sebagai penyebab terjadinya pembunuhan Kanak-kanak Suci, juga penderitaan kedua orangtuanya semasa di Mesir, karena tidak menyelamatkan Yohanes Pembaptis dari kematian, karena mengakibatkan perpecahan dalam keluarga-keluarga, melindungi sampah masyarakat, menolak menyembuhkan banyak orang yang menderita berbagai macam penyakit, merugikan penduduk Gadara dengan mengijinkan orang-orang yang kerasukan setan menjungkir-balikkan tong-tong mereka*, dan gerombolan setan membuat kawanan babi-babi menceburkan diri ke dalam danau; karena meninggalkan keluarga-Nya, karena memboroskan harta milik orang lain. Singkatnya, setan, dengan harapan menimbulkan keraguan dalam diri Yesus, mengajukan kepada-Nya setiap pemikiran dengan mana Ia akan dicobai pada saat ajal sebagai manusia biasa yang mungkin telah melakukan segala perbuatan ini tanpa suatu tujuan ilahi; sebab disembunyikan darinya bahwa Yesus adalah Putra Allah, dan ia mencobai-Nya hanya sebagai yang paling benar dari antara manusia. Dengan demikian, Juruselamat Ilahi kita mengijinkan kemanusiaan-Nya menguasai keilahian-Nya, sebab Ia dengan rela hati menanggung bahkan pencobaan-pencobaan dengan mana jiwa-jiwa kudus diserang pada saat ajal mereka dalam hal ganjaran akan perbuatan-perbuatan baik mereka. Ia akan minum cawan sengsara bahkan hingga tetes terakhir, Ia mengijinkan roh iblis mencobai kemanusiaan-Nya yang kudus, seperti ia mencobai manusia yang hendak memberikan nilai tinggi terhadap dirinya sendiri dalam segala perbuatan-perbuatan baiknya, melebihi dan di atas apa yang mungkin jika perbuatan-perbuatan itu dipersatukan dengan jasa-jasa Juruselamat kita. Tak ada suatu pun tindakan setan yang tidak dirancangkannya untuk melancarkan tuduhan, dan ia mendakwa Yesus, di antara hal-hal lainnya, dengan tuduhan memboroskan harta milik Maria Magdalena di Magdala, yang Ia terima dari Lazarus.  

* Pada tanggal 11 Desember 1812, dalam penglihatan-penglihatannya mengenai kehidupan Yesus di depan publik, Anna Katharina melihat Tuhan kita mengijinkan gerombolan iblis yang telah Ia usir dari orang-orang yang kerasukan setan di Gadara masuk ke dalam kawanan babi-babi. Ia juga melihat, dalam peristiwa ini, bahwa orang-orang yang kerasukan setan itu pertama-tama menjungkir-balikkan tong-tong besar berisi cairan beragi.  

 Di antara dosa-dosa dunia yang dibebankan Yesus atas DiriNya Sendiri, aku juga melihat dosa-dosaku; dan suatu aliran, di mana aku secara jelas melihat setiap dosa-dosaku, tampak mengalir ke arahku dari pencobaan-pencobaan yang mengelilingi-Nya. Sepanjang waktu itu kedua mataku terpaku pada Mempelai Surgawi-ku; bersama-Nya aku menangis dan berdoa, dan bersama-Nya aku berpaling kepada para malaikat penghibur. Ah, sungguh, betapa Tuhan kita terkasih menggeliat bagaikan seekor cacing terhimpit beban penderitaan dan sengsara-Nya!

Sementara setan terus menyerang Yesus dengan tuduhan-tuduhannya, dengan susah payah aku menahan kejengkelanku. Tetapi, ketika ia berbicara mengenai penjualan harta milik Magdalena, aku tak dapat lagi tinggal diam, dan berseru: “Bagaimana engkau dapat menuduh-Nya atas penjualan harta benda ini sebagai suatu kejahatan? Bukankah aku sendiri melihat Tuhan kita mempergunakan uang yang diberikan kepada-Nya oleh Lazarus untuk karya-karya belas kasih, dan membebaskan duapuluh delapan penghutang yang dipenjarakan di Thirza?”

Pada mulanya Yesus tampak tenang sementara Ia berlutut dan berdoa. Tetapi setelah beberapa waktu jiwa-Nya gemetar karena penglihatan akan kejahatan manusia yang tak terhitung banyaknya, dan atas sikap tak tahu terima kasih mereka kepada Tuhan. Penderitaan-Nya begitu hebat hingga Ia gemetar dan tubuh-Nya berguncang sementara Ia berseru: “Ya Bapa, sekiranya mungkin, biarlah cawan ini berlalu daripada-Ku! Bapa, tidak ada yang mustahil bagi-Mu, ambillah cawan ini dari pada-Ku!” Tetapi sejenak kemudian Ia segera menambahkan: “Tetapi janganlah apa yang Aku kehendaki, melainkan apa yang Engkau kehendaki.”  Kehendak-Nya dan kehendak Bapa adalah satu, tetapi sekarang kasih-Nya menuntut bahwa Ia akan dibiarkan dalam segala kelemahan kodrat manusiawi-Nya. Ia gemetar akan bayangan kematian.

Aku melihat gua di mana Ia berlutut dipenuhi sosok-sosok mengerikan. Aku melihat segala dosa, kejahatan, kelemahan, dan kedurhakaan umat manusia mendera serta meremukkan-Nya ke dasar bumi. Kengerian akan kematian dan teror yang menyiksa-Nya sebagai manusia dalam penglihatan akan sengsara maut yang segera menyongsong-Nya, meliputi serta menyerang Pribadi Ilahi-Nya dalam bentuk iblis-iblis yang menyeramkan. Ia roboh dari satu sisi ke sisi lainnya, menjalin erat jari-jari kedua tangan-Nya, sekujur tubuh-Nya basah oleh keringat dingin; Ia gemetar dan tubuh-Nya berguncang. Lalu, Ia bangkit kembali, tetapi kedua lutut-Nya gemetar dan tampaknya tak mampu menahan tubuh-Nya. Rona wajah-Nya pucat pasi, penampilan-Nya kusut, bibir-Nya biru, dan rambut-Nya acak-acakan. Kira-kira pukul setengah sebelas malam ketika Ia bangkit berdiri dengan bermandikan keringat dingin, mengayunkan langkah-Nya yang gemetar dan lemah menuju ketiga rasul-Nya.

Dengan susah-payah Ia memanjat sisi kiri gua dan tiba di tempat yang permukaannya datar, di mana ketiga rasul-Nya tertidur, kehabisan tenaga karena letih, sedih dan gelisah. Ia menghampiri mereka, bagaikan seorang yang sepenuhnya diliputi dukacita pahit, yang dalam ketakutannya bergegas datang kepada sahabat-sahabatnya. Tetapi juga bagaikan seorang gembala yang baik, yang, ketika diperingatkan akan bahaya yang datang mengancam, bergegas menghampiri kawanannya, yang keselamatannya terancam. Ia tahu benar bahwa para rasul-Nya juga dicobai oleh sengsara dan pencobaan. Penglihatan-penglihatan mengerikan itu tak pernah lepas dari benak-Nya, bahkan saat Ia datang kepada para murid-Nya. Ketika Ia mendapati bahwa mereka tertidur, Ia menjalin erat jari-jari kedua tangan-Nya dan jatuh berlutut di samping mereka. Dikuasai kesedihan dan kegelisahan, Ia berkata: “Simon, sedang tidurkah engkau?” Mereka pun terbangun dan membantu-Nya berdiri. Ia, dalam kesepian dan dukacita jiwa-Nya, berkata kepada mereka: “Apa? Tidakkah kamu sanggup berjaga-jaga satu jam dengan Aku?” Ketika mereka menatap-Nya, pucat-pasi dan kehabisan tenaga, hampir-hampir tak mampu menopang tubuh-Nya Sendiri, bermandikan keringat, gemetar dan berguncang - ketika mereka mendengar bagaimana suara-Nya telah berubah dan lirih hampir-hampir tak kedengaran, mereka tidak tahu harus bagaimana, dan andai tidak masih dikelilingi oleh sinar halo yang mereka kenal, mereka tidak akan pernah mengenali-Nya sebagai Yesus. Yohanes berkata kepada-Nya: “Guru, apakah yang telah terjadi pada-Mu? Perlukah aku panggil para murid yang lain? Apakah sebaiknya kita melarikan diri?” Yesus menjawabnya: “Andai Aku hidup, mengajar, dan melakukan mukjizat-mukjizat selama tigapuluh tiga tahun lagi, itu pun masih belum sebanding dengan apa yang harus Aku genapi sebelum jam ini besok. Janganlah panggil mereka yang delapan itu. Aku tidak membawa mereka ke sini, sebab mereka tak akan sanggup melihat-Ku begitu berduka seperti ini tanpa tergoncang imannya; mereka akan jatuh dalam pencobaan, melupakan sebagian besar masa lalu, dan kehilangan kepercayaan pada-Ku. Tetapi kalian, yang telah melihat Anak Manusia dipermuliakan, akan sanggup pula melihat-Nya dalam keadaan terpuruk dan merasa jiwa-Nya ditinggalkan. Namun demikian, berjaga-jagalah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan: roh memang penurut, tetapi daging lemah.”

Dengan perkataan-Nya ini, Ia menyemangati mereka untuk tetap bertahan, sekaligus menyatakan kepada mereka pergulatan yang diderita kodrat manusiawi-Nya dalam menghadapi kematian, juga penyebab dukacita-Nya. Dalam dukacita-Nya yang teramat dahsyat ini, Ia tinggal bersama mereka hampir seperempat jam lamanya dan berbicara kepada mereka, lalu Ia kembali ke gua. Sengsara batin-Nya masih terus bertambah, sementara para murid-Nya mengulurkan tangan ke arah-Nya, menangis dan saling berpelukan, sembari bertanya, “Ada apa ini? Apakah yang terjadi dengan-Nya? Tampaknya Ia dalam keadaan sama sekali ditinggalkan.” Sesudah itu mereka menyelubungi kepala mereka dan mulai berdoa dengan sedih dan cemas.

Sekitar satu setengah jam berlalu sejak Yesus masuk ke Taman Zaitun. Memang benar Kitab Suci mencatat bahwa Ia mengatakan, “Tidakkah kamu sanggup berjaga-jaga satu jam dengan Aku?” Namun demikian perkataan-Nya ini janganlah diartikan secara harafiah, ataupun menurut cara kita menghitung waktu. Ketiga rasul yang bersama Yesus pertama-tama berdoa, tetapi kemudian mereka tertidur, sebab pencobaan telah datang atas mereka karena kerinduan mereka untuk mengandalkan Tuhan. Kedelapan rasul yang lain, yang tetap tinggal di luar taman, mereka tidak tidur, sebab segala sabda terakhir Yesus akan sengsara dan penderitaan begitu mengesan, sehingga hati mereka dipenuhi prasangka-prasangka yang menakutkan. Mereka berjalan-jalan di Bukit Zaitun, berusaha menemukan tempat perlindungan seandainya bahaya datang mengancam.

Kota Yerusalem amat lengang. Orang-orang Yahudi berada dalam rumah-rumah mereka, sibuk mempersiapkan perayaan. Tetapi aku melihat, di sana sini, beberapa sahabat dan murid Yesus berjalan mondar-mandir, dengan wajah-wajah gelisah, bercakap berkelompok dengan tegang. Nyata mereka berharap-harap cemas akan terjadinya suatu peristiwa besar. Bunda Tuhan kita, Magdalena, Marta, Maria Kleopas, Maria Salome, dan Salome telah kembali dari ruang perjamuan ke rumah Maria, ibunda Markus. Bunda Maria sangat gelisah atas kabar-kabar yang tersiar dan ingin kembali ke kota bersama sahabat-sahabatnya guna mendengar sesuatu tentang Yesus. Lazarus, Nikodemus, Yusuf dari Arimatea, dan beberapa kerabat dari Hebron, datang menemui Bunda Maria dan berusaha keras menenangkannya. Sebab, mengenai nubuat sedih yang diucapkan Yesus di ruang perjamuan, sepengetahuan mereka, baik dari pengetahuan mereka sendiri maupun dari yang diberitakan para murid, pun mereka telah menanyakannya kepada beberapa orang Farisi kenalan mereka, tak terdengar kabar tentang direncanakannya suatu persekongkolan pada waktu itu untuk melawan Yesus. Mereka sama sekali tak tahu-menahu mengenai pengkhianatan Yudas, karenanya mereka meyakinkan Bunda Maria bahwa bahaya yang mengancam tak akan mungkin sebesar itu, dan bahwa para musuh Yesus tidak akan menyerang Yesus, setidak-tidaknya hingga perayaan berakhir. Bunda Maria mengatakan kepada mereka bagaimana pikiran Yudas tampak gelisah dan kacau belakangan ini, dan bagaimana Yudas dengan tiba-tiba meninggalkan ruang perjamuan. Ia yakin bahwa kepergian Yudas adalah untuk mengkhianati Tuhan kita, sebab ia telah seringkali mengingatkan Yudas bahwa ia adalah anak yang payah. Lalu, para perempuan kudus kembali ke rumah Maria, ibunda Markus.

Yesus, yang terus-menerus tersiksa oleh segala beban sengsara-Nya, kembali ke gua. Ia merebahkan diri ke tanah (= prostratio), dengan wajah-Nya mencium tanah dan kedua tangan-Nya terentang. Ia berdoa kepada Bapa-Nya yang Kekal, namun jiwa-Nya masih harus mengalami pergulatan batin yang kedua, yang berlangsung hingga tigaperempat jam lamanya. Para malaikat datang dan menunjukkan kepada-Nya dalam suatu rangkaian penglihatan, segala sengsara yang harus diderita-Nya guna menyilih dosa. Betapa agung keluhuran manusia, citra Allah, sebelum jatuh ke dalam dosa, dan bagaimana keluhuran itu rusak dan binasa ketika dosa masuk ke dalam dunia. Ia melihat bagaimana segala dosa berasal dari dosa Adam, makna dan inti dari concupiscentia (= kecenderungan dosa), dampaknya yang mengerikan atas daya jiwa, demikian pula makna dan inti dari segala penderitaan akibat concupiscentia. Mereka menunjukkan kepada-Nya pelunasan yang harus dipersembahkan-Nya kepada Keadilan Ilahi, dan bagaimana pelunasan tersebut mencakup tingkat sengsara baik jiwa maupun raga yang memahami segala penderitaan sebagai akibat concupiscentia segenap manusia. Sebab hutang segenap umat manusia harus dibayar dengan kemanusiaan yang tak berdosa - yaitu kemanusiaan Putra Allah. Para malaikat menunjukkan kepada-Nya segala hal ini dalam berbagai bentuk yang berbeda, dan aku merasakan apa yang mereka katakan, meskipun aku tidak mendengar suara. Tak satu lidah pun dapat melukiskan sengsara dan kengerian yang meliputi jiwa Yesus atas penglihatan akan silih yang begitu dahsyat - sengsara-Nya begitu hebat, sungguh, hingga keringat darah memancar dari pori-pori di sekujur tubuh-Nya yang kudus.

Sementara kemanusiaan Kristus yang menawan diremukkan begitu rupa ke tanah di bawah beban sengsara yang mengerikan, para malaikat menampakkan diri penuh dengan kasih sayang. Ada jeda, dan aku beranggapan bahwa mereka dengan segenap hati ingin menghibur-Nya dan berdoa untuk itu di hadapan tahta Allah. Segera tampak, seolah-olah, suatu pergumulan antara belas kasihan dan keadilan Allah dengan kasih yang mengurbankan diri. Aku diperkenankan melihat gambaran Allah, tidak seperti sebelumnya, duduk di atas sebuah tahta, melainkan dalam suatu bentuk yang bercahaya. Aku memandang kodrat ilahi Putra dalam Pribadi Bapa, dan seakan-akan, ditarik ke dalam pelukan-Nya; Pribadi Roh Kudus meneruskan dari Bapa dan Putra, dapat dikatakan, di antara mereka, namun demikian semuanya itu merupakan hanya satu Allah - tetapi hal-hal ini tak dapat dilukiskan.

Semuanya ini lebih merupakan persepsi batin daripada penglihatan dalam bentuk yang jelas. Dan tampak kepadaku bahwa kehendak Ilahi Kristus semacam menarik Diri dari Bapa yang Kekal, guna memungkinkan segala sengsara itu dibebankan atas kemanusiaan-Nya saja. Sengsara, yang menurut kehendak manusiawi-Nya hendak dimohonkan kepada Bapa agar dibebaskan dari-Nya. Aku melihat hal itu ketika para malaikat, dengan penuh kasih sayang, berhasrat menghibur Yesus, yang sesungguhnya, sedikit merasa lega saat itu. Lalu, semuanya lenyap, dan para malaikat undur diri dari hadapan Kristus, yang jiwa-Nya akan segera menghadapi serangan-serangan baru.

Di Bukit Zaitun, Penebus kita dengan rela hati mengalami serta mengatasi penolakan kuat dari kodrat manusiawi-Nya untuk menderita dan mati. Sang penggoda diperkenankan untuk melakukan kepada-Nya apa yang ia lakukan kepada semua orang yang rindu mengurbankan diri mereka demi tujuan yang mulia. Dalam bagian pertama sengsara, setan memperlihatkan kepada Tuhan kita betapa besar hutang dosa yang harus Ia bayar. Setan bahkan cukup lancang dan licik untuk mencari-cari kesalahan dalam karya-karya Sang Juruselamat Sendiri. Dalam sengsara kedua, Yesus melihat, hingga keseluruhan kedahsyatan sengsara dan segala kepahitannya, sengsara penebusan yang dituntut guna memuaskan Keadilan Ilahi. Hal ini diperlihatkan kepada-Nya oleh para malaikat; sebab bukan kehendak setan untuk menunjukkan bahwa silih mungkin dilakukan, dan bapa kebohongan dan keputusasaan tak akan pernah dapat memperlihatkan karya-karya belas-kasihan Allah kepada manusia. Yesus dengan gemilang melawan segala serangan ini dengan penyerahan DiriNya secara penuh dan total pada kehendak Bapa Surgawi. Tetapi, serangkaian penglihatan baru yang menakutkan diperlihatkan kepada-Nya. Muncul dalam jiwa Tuhan kita perasaan ragu serta gelisah seperti yang biasa dialami seorang yang hendak melakukan pengorbanan besar. Ia bertanya kepada DiriNya Sendiri: “Dan manfaat apakah yang diperoleh dari kurban ini?” Lalu, sebuah gambaran tentang masa depan yang paling mengerikan diperlihatkan kepada-Nya sehingga melingkupi hati-Nya yang lemah-lembut dengan dukacita yang hebat.

Pada waktu Tuhan menciptakan Adam yang pertama, Ia membuatnya tidur nyenyak, membuka lambungnya, mengambil satu tulang rusuknya, dan darinya dijadikan-Nya Hawa, isterinya, ibu semua yang hidup. Lalu, Ia membawa perempuan itu kepada Adam, yang berseru: “Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.” Itulah perkawinan yang tentangnya ada tertulis: “Inilah sakramen yang agung. Aku berbicara dalam nama Kristus dan Gereja.” Yesus Kristus, Adam yang kedua, juga dengan suka hati membiarkan DiriNya tidur - tidur dalam alam maut di salib. Ia juga dengan rela hati membiarkan lambung-Nya dibuka, agar Hawa yang kedua, Mempelai-Nya yang Perawan, Gereja, ibu semua yang hidup, dapat dibentuk darinya. Adalah kehendak-Nya untuk memberikan kepada Mempelai-Nya: darah penebusan, air pemurnian, dan roh-Nya - ada tiga yang memberi kesaksian di bumi - dan untuk menganugerahkan juga kepada Gereja-Nya sakramen-sakramen yang kudus, agar Gereja-Nya murni, kudus dan tak bercela. Ia akan menjadi Kepala Gereja-Nya, dan kita akan menjadi anggotanya, di bawah ketaatan pada Kepala. Gereja adalah tulang dari tulang-Nya dan daging dari daging-Nya. Dengan mengambil rupa manusia, Ia rela menanggung sengsara dan wafat bagi kita. Ia juga meninggalkan Bapa-Nya yang Kekal, agar dapat bersatu dengan mempelai-Nya, yaitu Gereja, dan Ia menjadi satu daging dengannya, dengan memberi Gereja-Nya makanan Sakramen Mahakudus dari Altar, di mana Ia secara terus-menerus mempersatukan DiriNya dengan kita. Ia dengan suka hati tinggal di dunia bersama Gereja-Nya, hingga kita semuanya dipersatukan oleh-Nya dalam kawanan-Nya. Ia telah bersabda: “alam maut tidak akan menguasainya.” Demi kasih-Nya yang tak terhingga kepada orang-orang berdosa, Kristus telah menjadi manusia dan menjadi saudara dari orang-orang berdosa ini, agar Ia dapat menanggungkan ke atas DiriNya Sendiri hukuman atas segala kejahatan mereka. Yesus telah merenungkan dengan dukacita yang dalam, besarnya hutang ini dan sengsara yang tak terucapkan dengan mana hutang itu dapat dihapuskan. Namun demikian, Ia sepenuhnya bersukacita dalam menyerahkan DiriNya pada kehendak Bapa Surgawi sebagai kurban pepulih. Tetapi sekarang, Ia melihat segala penderitaan, pertikaian dan luka-luka dari Mempelai Surgawi-Nya di masa yang akan datang. Singkat kata, Ia melihat segala kedurhakaan manusia.

Jiwa Yesus melihat segala penderitaan di masa mendatang yang akan menimpa para rasul-Nya, para murid, para sahabat. Sesudah itu, Ia melihat Gereja awali, beberapa tetapi hanya sedikit jiwa-jiwa dalam kawanannya pada mulanya. Kemudian, seiring dengan bertambahnya jumlahnya, Gereja diterpa bidaah-bidaah dan skisma, perpecahan-perpecahan di antara anak-anaknya, yang mengulangi kembali dosa kesombongan dan ketidaktaatan Adam. Ia melihat ketakacuhan, kejahatan dan kebinasaan umat Kristiani yang tak terbilang banyaknya, kebohongan dan penipuan oleh para guru yang sombong, segala sakrilegi oleh para imam yang jahat, konsekuensi fatal dari setiap dosa, dan dukacita ngeri dalam kerajaan Allah, dalam tempat-tempat ibadah manusia-manusia durhaka, yang akan ditebus-Nya dengan darah-Nya dengan sengsara yang tak terkatakan.

Aib-aib segala abad, hingga masa sekarang dan bahkan hingga akhir jaman - segala bentuk dosa, penipuan, fanatisme gila, kedegilan, dan kejahatan - diperlihatkan di hadapan-Nya. Dan Ia melihat, seolah-olah semuanya itu melayang-layang di hadapan-Nya, segenap mereka yang murtad, para bidaah, dan para penggagas reformasi palsu, yang mengelabui manusia dengan penampilannya yang seolah kudus. Mereka yang rusak dan yang dirusakkan tabiatnya dari segala masa menyiksa serta menganiaya-Nya karena Ia tak disalibkan sesuai cara mereka, atau karena tidak menderita sengsara tepat seperti yang mereka tetapkan atau bayangkan bagaimana seharusnya Ia menderita. Mereka bersaing satu sama lain dalam merobek-robek jubah utuh Gereja-Nya. Banyak yang berlaku jahat, menghina serta menyangkal-Nya. Banyak yang merasa jijik, menggelengkan kepala kepada-Nya, mengelak dari pelukan kasih-Nya, dan bergegas menuju jurang yang dalam, di mana mereka pada akhirnya terbenam. Ia melihat mereka yang lain, yang tak terhitung banyaknya, yang tidak berani menolak-Nya secara terang-terangan, melainkan lewat dengan pandangan jijik melihat luka-luka Gereja-Nya, seperti orang Lewi lewat begitu saja melihat orang malang yang jatuh ke tangan perampok. Bagaikan anak-anak yang pengecut dan tak beriman, yang meninggalkan ibu mereka di tengah malam buta, saat melihat para pencuri dan perampok masuk karena kelalaian atau kejahatan mereka. Mereka melarikan diri dari Mempelai-Nya yang terluka. Ia melihat mereka ini semua, terkadang terpisah dari Pohon Anggur Sejati, dan beristirahat di antara pohon buah-buahan liar, terkadang bagaikan domba yang tersesat, yang ditinggalkan dalam belas kasihan serigala-serigala, dihantar oleh orang-orang upahan yang jahat ke padang-padang tandus, dan menolak masuk ke dalam kawanan Gembala Yang Baik, yang memberikan nyawa-Nya bagi domba-domba-Nya. Mereka mengembara tanpa tempat tinggal di padang, di tengah sapuan pasir yang diterbangkan angin. Mereka dengan keras kepala memutuskan untuk tidak melihat Kota-Nya yang ada di puncak gunung, yang tak tersembunyi, Rumah Mempelai-Nya, Gereja-Nya yang dibangun di atas batu karang, dan kepada siapa Ia telah berjanji untuk tinggal hingga akhir jaman. Mereka membangun tempat tinggal yang goyah di atas pasir, di mana mereka terus-menerus harus merobohkan dan membangunnya kembali. Di dalam tempat tinggal mereka tak ada baik altar maupun kurban. Terdapat penjuru angin pada atap-atap rumah mereka, dan ajaran-ajaran mereka berubah-ubah seturut arah angin. Sebagai akibatnya mereka saling bertentangan satu dengan yang lainnya untuk selamanya. Mereka tak pernah dapat sampai pada pemahaman sejati, dan untuk selamanya goyah. Acap kali mereka merobohkan tempat tinggal mereka sendiri dan melemparkan bagian-bagiannya ke arah Batu Penjuru Gereja, yang senantiasa tetap tak tergoyahkan.

Hanya ada kegelapan dalam tempat-tempat kediaman mereka. Banyak di antara mereka, bukannya mengayunkan langkah menuju Lilin yang ditempatkan di atas Kandela di Rumah Mempelai Kristus, malahan mereka mengembara dengan mata tertutup di taman-taman Gereja. Mereka menyambung hidup hanya dengan menghirup harum-haruman yang dihembuskan darinya jauh dan dekat. Mereka mengedangkan tangan-tangan mereka kepada berhala-berhala bayangan. Mereka mengikuti bintang-bintang yang berkelana, yang menghantar mereka ke sumur-sumur tanpa air. Bahkan ketika di tepi jurang yang dalam sekalipun, mereka menolak mendengarkan suara sang Mempelai yang memanggil-manggil mereka. Meskipun sekarat karena lapar, mereka menertawakan, menghina dan mencaci-maki para hamba dan utusan yang diutus untuk mengundang mereka ke Perjamuan Nikah. Mereka bersikukuh menolak untuk masuk ke dalam taman, sebab mereka takut akan duri dari pagar tanam-tanaman. Meskipun mereka tidak mempunyai baik gandum untuk memuaskan rasa lapar mereka, maupun anggur untuk memuaskan dahaga mereka, tetapi mereka sepenuhnya mabuk dengan kesombongan dan harga diri. Mereka dibutakan oleh terang mereka sendiri yang menyesatkan, bersiteguh dalam pendirian mereka bahwa Gereja dari Sabda yang menjadi daging sesungguhnya tak kelihatan. Yesus melihat mereka semuanya. Ia menangis atas mereka, dan rela hati menderita sengsara demi mereka semua yang tidak melihat-Nya dan yang tidak mau memikul salib mereka mengikuti-Nya ke Kota-Nya yang dibangun di atas gunung - Gereja-Nya yang dibangun di atas batu karang, kepada siapa Ia telah memberikan DiriNya Sendiri dalam Ekaristi Kudus, dan kepada siapa alam maut tak akan menguasainya.

Aku melihat setan, yang berperan dalam penglihatan-penglihatan menyedihkan yang disaksikan oleh jiwa Yesus. Setan menyeret dan mencekik begitu banyak orang yang telah ditebus oleh darah Kristus dan dikuduskan oleh pengurapan Sakramen-Nya. Juruselamat Ilahi kita melihat dengan dukacita yang paling pahit kedurhakaan dan kebinasaan umat Kristiani yang pertama dan dari segala abad-abad selanjutnya, bahkan hingga akhir jaman. Sepanjang waktu itu, suara si penggoda tak henti-hentinya mengulang: “Adakah Engkau sanggup menanggung sengsara demi manusia yang durhaka dan durjana?” Berbagai penglihatan muncul silih berganti dengan sangat cepat, dan dengan keji merobohkan serta meremukkan jiwa Yesus, hingga kemanusiaan-Nya yang kudus dikuasai oleh dukacita yang tak terkatakan. Yesus - Yang Diurapi Tuhan - Anak Manusia - bergumul dahsyat. Ia jatuh berlutut, dengan jari-jari kedua tangan-Nya terjalin erat, seolah-olah diluluh-lantakkan di bawah beban berat sengsara-Nya. Begitu dahsyat pergumulan batin yang terjadi antara kehendak manusiawi-Nya dan keengganan-Nya untuk menanggung sengsara yang sedemikian hebat demi umat manusia yang begitu durhaka, hingga dari segenap pori-pori tubuh-Nya yang kudus memancarlah butir-butir darah, yang jatuh menetes ke atas tanah. Dalam dukacita-Nya yang pahit, Ia memandang sekeliling, seakan memohon pertolongan, dan meminta surga, bumi dan bintang-bintang di langit menjadi saksi atas sengsara-Nya.

Yesus, dalam dukacita jiwa-Nya, berteriak dan beberapa kali menyerukan erangan sengsara. Ketiga rasul terbangun, mendengarkan dengan seksama dan berhasrat menghampiri-Nya. Tetapi Petrus menahan Yakobus dan Yohanes, katanya, “Tinggallah kalian di sini, aku akan melihat-Nya.” Lalu, aku melihat Petrus bergegas lari dan masuk ke dalam gua. “Guru,” serunya, “apakah gerangan yang telah menimpa Engkau?” Tetapi, demi melihat Yesus, yang bermandikan keringat darah-Nya Sendiri, dan terpuruk di tanah di bawah beban ngeri dan sengsara maut, Petrus terhenyak ke belakang, sejenak terpana, diliputi kengerian dahsyat. Yesus tidak menjawab dan tampaknya tak menyadari kehadirannya. Petrus kembali kepada kedua rasul lainnya dan mengatakan kepada mereka bahwa Yesus tidak menjawabnya, hanya mengerang dan mendesah. Sesudah itu, mereka menjadi lebih dan terlebih lagi bersedih hati. Mereka menyelubungi kepala mereka dan duduk menangis dan berdoa.

Lalu, aku kembali pada Mempelai Surgawi-ku dalam sengsara-Nya yang paling pahit. Penglihatan-penglihatan mengerikan akan kedurhakaan manusia di masa mendatang yang hutangnya pada Keadilan Ilahi Ia ambil alih dan tanggunggkan atas Diri-Nya Sendiri, menjadi semakin dan semakin hidup dan menakutkan. Beberapa kali aku mendengar-Nya berseru, “Ya BapaKu, mungkinkah Aku sanggup menanggung sengsara demi umat manusia yang tak tahu terima kasih? Ya BapaKu, jika cawan ini tidak mungkin berlalu daripada-Ku, melainkan Aku harus meminumnya, terjadilah kehendak-Mu!”

Dalam semua penglihatan-penglihatan ini, setan berperan penting. Ia menampakkan diri dalam berbagai bentuk yang mewakili macam-macam dosa yang berbeda. Terkadang ia menampakkan diri dalam bentuk sosok hitam raksasa, terkadang dalam bentuk seekor macan, rubah, singa, naga, atau ular. Tetapi, ia tidak sungguh-sungguh mengambil bentuk-bentuk itu, melainkan hanya sebagian dari karakteristik mereka saja, yang digabungkan dengan bentuk-bentuk lain yang menyeramkan. Tak satupun dari penampakan-penampakan ini sepenuhnya menyerupai suatu makhluk pun, melainkan lebih merupakan simbol kejijikan, pertikaian, pertentangan, dan dosa. Singkat kata, sepenuhnya bersifat iblis. Tepat di hadapan Yesus, sosok-sosok setan ini, mendorong, menyeret, dan mencabik-cabik begitu banyak orang yang demi menebus mereka, Yesus masuk ke dalam jalan salib sengsara. Pada awalnya, aku jarang melihat ular; tetapi, segera saja, ia menampakkan diri, dengan sebuah mahkota di atas kepalanya.

Binatang melata yang menjijikkan ini berukuran raksasa. Tampaknya ia memiliki kekuatan yang tak terhingga dan memimpin barisan para musuh Yesus yang tak terhitung banyaknya, terdiri dari berbagai tingkatan usia dan bangsa. Bersenjatakan berbagai macam senjata pemusnah, mereka terkadang saling merobek-robek satu sama lainnya, dan kemudian memperbaharui serangan mereka terhadap Juruselamat kita dengan melipatgandakan murka. Sungguh suatu penglihatan yang mengerikan, sebab mereka menghujani-Nya dengan aniaya yang paling mengerikan, hujat, siksa, luka-luka dan mengoyak-Nya hingga berkeping-keping. Senjata-senjata mereka, pedang dan tombak beterbangan di udara, terus berseliweran di segala penjuru, bagaikan kirikan mesin pengirik di lumbung yang sangat besar; dan amukan segala iblis ini tampaknya semata-mata ditujukan pada Yesus - biji gandum surgawi yang turun ke bumi untuk mati di sana, guna memberi makan manusia untuk selamanya dengan Roti Hidup.

Begitulah penglihatan akan angkara murka gerombolan-gerombolan neraka ini, yang sebagian tampak padaku terdiri dari orang-orang buta seluruhnya. Yesus terluka parah dan memar, seakan-akan serangan mereka nyata. Aku melihat-Nya terhuyung-huyung dari satu sisi ke sisi yang lain. Terkadang Ia bangkit, terkadang terjatuh lagi. Iblis, di tengah-tengah massa yang dipimpinnya untuk melawan Yesus dengan tak kunjung henti, memukul-mukulkan ekornya ke tanah serta mencabik-cabik atau menelan semua saja yang jatuh ke tanah.

Dinyatakan kepadaku bahwa penglihatan-penglihatan ini menyangkut mereka semua yang dengan berbagai macam cara menghina dan menganiaya Yesus, yang sungguh dan nyata hadir dalam Sakramen Mahakudus. Aku mengenali di antara mereka semua yang dengan suatu cara mencemarkan Ekaristi Kudus. Aku melihat dengan ngeri segala aniaya yang dengan demikian ditujukan kepada Tuhan kita, baik dengan keacuhan, tidak hormat dan kelalaian terhadap-Nya; secara terang-terangan menghina, melecehkan, dan melakukan sakrilegi yang paling ngeri; dengan menyembah berhala-berhala duniawi; dengan kegelapan rohani dan pengetahuan sesat; atau, akhirnya, dengan dosa, ketidakpercayaan, fanatikisme, kebencian, dan penganiayaan. Di antara orang-orang itu, aku melihat banyak yang buta, lumpuh, tuli dan bisu, dan bahkan anak-anak. Orang-orang buta yang menolak melihat kebenaran. Orang-orang lumpuh yang menolak untuk maju menurut arah yang benar, di jalan yang menghantar mereka pada kehidupan kekal. Orang-orang tuli yang menolak mendengarkan peringatan-peringatan dan nasehat-nasehat kebenaran. Orang-orang bisu yang tidak pernah mempergunakan suara mereka untuk mempertahankan kebenaran. Dan akhirnya, anak-anak yang dihantar pada kesesatan karena teladan orangtua dan para guru mereka yang dipenuhi rasa cinta akan dunia dan mengabaikan Tuhan, yang rakus akan kemewahan dunia, minum kebijaksanaan palsu, dan jijik pada segala yang berbau agama. Di antara yang terakhir, pemandangan yang teristimewa amat menyedihkan hatiku, sebab Yesus begitu mengasihi anak-anak, aku melihat banyak pelayan-pelayan altar yang tidak hormat dan berkelakuan buruk, yang tidak menghormati Tuhan dalam upacara-upacara kudus di mana mereka ambil bagian. Aku melihat dengan ngeri bahwa banyak imam, sebagian di antaranya bahkan mengangap diri penuh iman dan belas kasih, juga menganiaya Yesus dalam Sakramen Mahakudus. Aku melihat banyak yang percaya dan mengajarkan doktrin Kehadiran Nyata, tetapi tidak cukup menghayatinya dalam hati, sebab mereka melupakan dan melalaikan istana, tahta dan singgasana Allah yang Hidup, yaitu gereja, altar, tabernakel, piala, monstrans, bejana-bejana dan segala perlengkapan liturgi. Singkatnya, semua yang dipergunakan dalam sembah sujud kepada-Nya atau untuk menghiasi bait-Nya.

Kelalaian sepenuhnya merajalela di mana-mana. Segala sesuatu dibiarkan rusak dalam debu dan ngengat. Sembah sujud kepada Tuhan, jika tidak dicemarkan secara batin, setidaknya tidak dihormati secara lahiriah. Bukannya hal ini muncul karena kemiskinan yang sesungguhnya, melainkan karena ketidakpedulian, kemalasan, keterikatan pikiran akan hal-hal duniawi yang sia-sia, dan seringkali juga karena cinta diri dan kematian rohani. Sebab aku melihat kelalaian seperti ini terjadi dalam gereja-gereja di mana para pastor dan umatnya kaya, atau setidak-tidaknya berkecukupan. Aku melihat banyak gereja lain di mana hiasan-hiasan gereja yang duniawi, tanpa citarasa seni, dan tak pantas, telah menggantikan perhiasan-perhiasan gereja yang agung dari masa sebelumnya yang lebih saleh.

Aku melihat bahwa seringkali yang termiskin dari antara manusia tinggal dalam rumah-rumah yang lebih indah dibandingkan Tuhan atas langit dan bumi dalam gereja-gereja-Nya. Ah, betapa dinginnya hati manusia telah secara mendalam mendukakan Yesus, yang telah memberikan DiriNya Sendiri kepada manusia sebagai Makanan! Sungguh, tak perlu kaya agar dapat menyambut Dia, yang mengganjari seratuskali lipat bagi segelas air dingin yang diberikan kepada mereka yang haus. Tetapi alangkah memalukan kelakuan kita dalam memberikan minum kepada Tuhan Ilahi, yang haus akan jiwa kita. Kita memberi-Nya air cemar dalam gelas yang kotor! Sebagai konsekuensi dari segala kelalaian ini, aku melihat yang lemah tergoncang imannya, Sakramen Mahakudus dicemarkan, gereja-gereja ditinggalkan, dan para imam dipandang hina. Sikap ketidakmurnian dan kelalaian ini meluas hingga menjangkiti bahkan jiwa-jiwa umat beriman, yang membiarkan tabernakel hati mereka tidak siap dan tidak bersih saat Yesus hendak masuk ke dalamnya. Persis sama seperti mereka memperlakukan tabernakel-Nya di altar.

Andai aku berbicara sepanjang tahun pun, tak kan pernah dapat aku memerinci segala penghinaan yang dilakukan terhadap Yesus dalam Sakramen Mahakudus, seperti yang dinyatakan kepadaku dengan cara ini. Aku melihat para pemimpin mereka menyerbu Yesus dalam kelompok-kelompok, menyerang-Nya dengan berbagai macam senjata, sesuai ragam penghinaan mereka. Aku melihat orang-orang Kristen yang tidak hormat dari segala abad, para imam yang sembrono dan yang melakukan dosa-dosa sakrilegi, himpunan mereka yang menyambut komuni dengan suam-suam kuku dan tidak layak, para prajurit jahat yang mencemarkan bejana-bejana kudus, dan hamba-hamba setan yang mempergunakan Ekaristi Kudus dalam misteri-misteri mengerikan dari pemujaan setan. Di antara kelompok-kelompok ini, aku melihat sejumlah besar teolog, yang telah terjerat ke dalam ajaran sesat karena dosa-dosa mereka. Mereka menyerang Yesus dalam Sakramen Mahakudus Gereja-Nya, dan dengan bujuk rayu dan janji-janji, mereka merenggut dari Hati-Nya banyak jiwa-jiwa yang untuknya Ia telah menumpahkan darah-Nya. Ah! sungguh suatu penglihatan yang mengerikan. Aku melihat Gereja sebagai Tubuh Kristus; dan segala gerombolan manusia ini, yang memisahkan diri dari Gereja, mengkoyak-koyak serta mencabik-cabik seluruh daging-Nya yang hidup. Sungguh malang! Ia memandang mereka dengan tatapan yang amat memelas, dan Ia berduka sebab dengan demikian mereka mengakibatkan kebinasaan kekal bagi dirinya sendiri. Ia telah menyerahkan DiriNya Sendiri yang Ilahi kepada kita sebagai Makanan dalam Sakraman Mahakudus, guna mempersatukan kita - umat manusia yang terpecah-belah dan terpisah-pisah hingga tak terhingga satu dengan yang lainnya - sebagai satu tubuh - yaitu Gereja, Mempelai-Nya. Dan sekarang Ia melihat DiriNya Sendiri terkoyak dan tercabik dalam tubuh-Nya; sebab karya kasih-Nya yang terutama, Komuni Kudus, di mana manusia seharusnya dipersatukan menjadi satu, sekarang telah menjadi subyek perpecahan akibat kekejian para guru palsu. Aku melihat sekalian bangsa, dengan demikian direnggut dari pelukan-Nya dan dicabut keikutsertaannya dalam harta karun rahmat yang ditinggalkan-Nya bagi Gereja. Akhirnya, aku melihat mereka semua yang terpisah dari Gereja terjerumus ke kedalaman kekafiran, takhayul, bidaah, dan filsafat dunia yang menyesatkan. Dan mereka melampiaskan angkara murka mereka dengan menggalang kekuatan besar untuk menyerang Gereja, dengan didorong oleh ular yang bersorak-sorak di antara mereka. Sungguh malang! seolah-olah Yesus Sendiri yang telah terkoyak hingga hancur berkeping-keping!

Sungguh dahsyat ketakutan dan kengerianku, hingga Mempelai Surgawi-ku menampakkan diri kepadaku dan dengan penuh belas kasihan menempelkan tangan-Nya ke hatiku seraya berkata: “Belum pernah seorang pun melihat segala hal ini, dan engkau, hatimu akan hancur dalam dukacita jika Aku tak memberimu kekuatan.”

Aku melihat tetes-tetes besar darah menuruni wajah Juruselamat kita yang pucat, rambut-Nya kusut, janggut-Nya berlumuran darah dan lengket. Setelah penglihatan yang terakhir aku ceritakan, Ia melarikan diri, begitulah istilahnya, dari gua dan kembali kepada para murid-Nya. Tetapi Ia berjalan dengan sempoyongan; penampilan-Nya bagaikan seorang yang penuh luka-luka dan bongkok di bawah suatu beban yang berat. Ia terseok-seok di setiap langkah-Nya.

Ketika Ia tiba di hadapan ketiga rasul, mereka tidak sedang terbaring tidur seperti sebelumnya, tetapi kepala mereka diselubungi, dan mereka merunduk di antara kedua lutut mereka, dalam suatu sikap yang biasa diambil orang dari bangsa itu ketika sedang berduka atau berdoa. Mereka tertidur, dikuasai dukacita dan letih. Yesus gemetar dan mengerang, mendekati mereka, dan mereka pun terbangun.

Tetapi ketika, dalam sinar bulan, mereka melihat-Nya berdiri di hadapan mereka, dengan wajah-Nya pucat pasi dan berlumuran darah, serta rambut-Nya acak-acakan, mata mereka yang mengantuk pada mulanya tak dapat mengenali-Nya, sebab Ia telah berubah sama sekali. Ia menjalin jari-jari kedua tangan-Nya. Mereka bangkit berdiri dan dengan penuh kasih menopang-Nya dalam pelukan mereka. Ia mengatakan kepada mereka dalam nada suara duka bahwa esok hari Ia akan dijatuhi hukuman mati, - bahwa satu jam lagi Ia akan ditangkap, digiring ke hadapan pengadilan, disiksa, dianiaya, didera, dan akhirnya dijatuhi hukuman mati yang paling keji. Ia mohon pada mereka agar menghibur Bunda-Nya, dan juga Magdalena. Para rasul tidak menjawab, sebab mereka tidak tahu apa yang harus dikatakan. Penampilan-Nya dan perkataan-Nya menggoncang mereka begitu hebat, mereka bahkan beranggapan bahwa pastilah pikiran-Nya melantur. Ketika Ia hendak kembali ke gua, tak ada lagi kekuatan pada-Nya untuk melangkah. Aku melihat Yohanes dan Yakobus memapah-Nya ke sana, dan mereka baru kembali ketika Ia telah masuk ke dalam gua. Saat itu sekitar pukul sebelas lewat seperempat.

Selama sakrat maut Yesus, aku melihat Santa Perawan juga diliputi dukacita dan sengsara jiwa, di rumah Maria - ibunda Markus. Ia bersama Magdalena dan Maria ada di taman rumah. Bunda Maria dikuasai dukacita yang dahsyat, membungkuk dalam-dalam sementara ia berlutut. Beberapa kali Bunda kita tak sadarkan diri, sebab ia melihat dalam roh berbagai bagian dari sakrat maut Yesus. Ia telah mengirim beberapa utusan untuk menanyakan perihal Putranya, tetapi kegelisahannya yang hebat tidak membiarkannya menanti kedatangan mereka. Ia pun pergi ditemani Magdalena dan Salome ke Lembah Yosafat. Ia menyusuri lembah dengan kepalanya berselubung kerudung dan kedua tangannya kerap kali terulur ke arah Bukit Zaitun. Sebab dalam roh ia melihat Yesus bermandikan keringat darah, dan gerak-gerik Bunda Maria seakan-akan ia dengan kedua tangannya terulur hendak menyeka wajah Putranya. Aku melihat gerakan-gerakan batin jiwanya terhadap Yesus, yang sedang memikirkan BundaNya, dan mengarahkan pandangan-Nya ke arah ibunda-Nya, seolah-olah mengharapkan pertolongannya. Aku melihat komunikasi rohani di antara keduanya dalam bentuk sinar-sinar yang datang dan pergi di antara mereka. Tuhan Ilahi kita memikirkan juga Magdalena. Yesus tergerak oleh dukacitanya, sebab itu Ia minta para rasul untuk menghiburnya. Ia tahu bahwa kasih Magdalena kepada PribadiNya yang mengagumkan jauh lebih besar dari kasih siapa pun, terkecuali Bunda-Nya, dan Ia melihat bahwa ia akan begitu banyak menderita untuk-Nya, dan tidak akan pernah lagi menghina-Nya.

Sekitar waktu itu, kedelapan rasul kembali ke pondok di Getsemani, dan setelah bercakap-cakap untuk beberapa waktu lamanya, mereka bermaksud pergi tidur. Mereka bimbang, patah semangat dan mengalami pencobaan berat. Mereka masing-masing telah mencari suatu tempat perlindungan kalau-kalau bahaya datang, dan dengan cemas bertanya satu sama lain, “Apakah yang harus kita lakukan jika mereka menjatuhkan hukuman mati atas-Nya? Kita telah meninggalkan segala-galanya demi mengikuti Dia. Kita ini miskin dan orang-orang terbuang; kita memberikan diri kita sepenuhnya untuk melayani-Nya, dan sekarang Ia Sendiri begitu berduka dan begitu patah hati; hingga Ia tak dapat memberikan penghiburan kepada kita.” Para murid yang lain pada mulanya telah menyebar ke berbagai tempat, tetapi, setelah mendengar sesuatu mengenai nubuat mengerikan yang disampaikan Yesus, hampir semua dari mereka mengundurkan diri ke Betfage.

Aku melihat Yesus masih berdoa di gua, bergumul melawan keengganan-Nya menderita sengsara, yang memang adalah kodrat manusia, dan menyerahkan Diri sepenuhnya kepada kehendak Bapa yang Kekal. Di sini, jurang terbuka di hadapan-Nya, dan Ia mendapat penglihatan akan bagian pertama dari Limbo (= tempat penantian). Ia melihat Adam dan Hawa, para bapa bangsa, para nabi, dan orang-orang benar, orangtua BundaNya, dan Yohanes Pembaptis. Mereka menanti kedatangan-Nya di bagian bawah dunia dengan kerinduan yang begitu besar. Penglihatan ini menguatkan serta memberikan semangat baru kepada hati-Nya yang penuh belas kasih. Wafat-Nya akan membuka pintu surga bagi para tahanan ini. Wafat-Nya akan membebaskan mereka dari penjara di mana mereka merana dalam pengharapan yang besar! Ketika Yesus telah melihat, dengan emosi mendalam, orang-orang kudus dari masa lampau ini, para malaikat menghadirkan di hadapan-Nya segala kumpulan orang-orang kudus dari masa-masa mendatang, yang, dengan menggabungkan segala karya mereka dengan jasa-jasa sengsara-Nya, dan melalui Dia, dipersatukan dengan Bapa SurgawiNya. Penglihatan ini adalah yang paling indah dan menghibur hati, di mana Ia melihat keselamatan dan kekudusan mengalir dalam suatu aliran yang tak kunjung henti dari gunung penebusan yang terbuka oleh wafat-Nya.

Para rasul, para murid, para perawan dan para perempuan kudus, para martir, para pengaku iman, para pertapa, para paus dan uskup, dan kelompok-kelompok besar kaum religius, baik laki-laki maupun perempuan - singkat kata, segenap barisan mereka yang berbahagia - nampak di hadapan-Nya. Semuanya mengenakan mahkota kemenangan di atas kepala mereka, dan bunga-bunga di mahkota mereka berbeda-beda bentuknya, warnanya, harumnya, dan keindahannya, sesuai dengan penderitaan, karya dan kemenangan yang berbeda-beda yang menghantar mereka ke dalam kemuliaan kekal. Segenap hidup mereka, segenap karya mereka, jasa-jasa dan kuasa, pun juga segala kemuliaan kemenangan mereka, semata-mata berasal dari persekutuan mereka dengan jasa-jasa Yesus Kristus.

Pengaruh yang saling timbal balik dialami oleh orang-orang kudus ini satu dengan yang lainnya. Dan cara mereka semua minum dari satu-satunya Sumber - Sakramen Mahakudus dan Sengsara Kristus - membentuk suatu penglihatan yang paling menyentuh dan mengagumkan. Segala yang ada pada mereka memiliki makna yang mendalam - karya, kemartiran, kemenangan, penampilan dan pakaian - semuanya, meskipun sungguh beraneka-ragam, semuanya melebur dalam keharmonisan dan kesatuan yang tak terhingga. Kesatuan dalam keanekaragaman ini dihasilkan oleh sinar dari Matahari yang satu, oleh Sengsara Kristus, oleh Sabda yang menjadi daging, di mana ada hidup, terang manusia, yang bersinar dalam kegelapan, dan kegelapan tidak menguasainya.

Barisan para kudus dari masa mendatang berlalu di hadapan jiwa Tuhan kita. Dengan demikian, jiwa-Nya ditempatkan diantara para bapa bangsa yang penuh harap dan kelompok para kudus dari masa mendatang yang menang dengan jaya. Dan kedua barisan ini bergabung menjadi satu, saling melengkapi satu sama lain, singkat kata, melingkupi Hati Juruselamat kita yang penuh kasih dengan mahkota kemenangan. Pemandangan yang paling menyentuh dan menghibur hati ini mendatangkan suatu tingkat kekuatan dan ketenangan dalam jiwa Yesus. Ah! betapa Ia begitu mengasihi saudara-saudara-Nya dan ciptaan-Nya hingga, demi mendatangkan penebusan bagi satu jiwa saja, Ia akan dengan penuh sukacita menerima segala sengsara di mana Ia sekarang menyerahkan DiriNya. Karena penglihatan-penglihatan ini berhubungan dengan masa mendatang, mereka melayang dalam suatu ketinggian tertentu di udara.

Namun, penglihatan-penglihatan yang menghibur ini memudar. Para malaikat memperlihatkan di hadapan-Nya peristiwa-peristiwa sengsara-Nya, cukup dekat dengan tanah, sebab saatnya hampir tiba. Aku melihat setiap peristiwa digambarkan dengan jelas, mulai dari ciuman Yudas hingga ke kata-kata terakhir Yesus di salib. Aku melihat dalam satu penglihatan ini, semua yang aku lihat dalam meditasi-meditasiku atas Sengsara Yesus. Pengkhianatan Yudas, para murid yang melarikan diri, penghinaan yang dilakukan terhadap Tuhan kita di hadapan Hanas dan Kayafas, penyangkalan Petrus, pengadilan Pilatus, olok-olok Herodes, penderaan dan mahkota duri, hukuman mati, memanggul salib, kain lenan yang disodorkan oleh Veronika, penyaliban, caci-maki kaum Farisi, dukacita Bunda Maria, Magdalena dan Yohanes, luka akibat tikaman tombak di lambung-Nya sesudah Ia wafat. Singkatnya, setiap bagian Sengsara diperlihatkan kepada-Nya hingga ke detil-detil yang terkecil sekali pun. Ia menerima semuanya dengan rela hati, menyerahkan segala-galanya demi kasih terhadap manusia. Ia melihat juga dan merasakan sengsara yang ditanggung BundaNya saat itu, yang persatuan batinnya dengan sakrat maut-Nya begitu erat, hingga ia tak sadarkan diri dalam pelukan kedua sahabatnya.

Ketika penglihatan akan Sengsara telah berakhir, Yesus jatuh tersungkur dengan wajah-Nya di atas tanah, bagaikan orang yang sedang menghadapi sakrat maut. Para malaikat lenyap, dan keringat darah semakin deras, hingga aku melihat jubah-Nya basah kuyup karenanya. Kegelapan semata menguasai gua, ketika aku melihat seorang malaikat turun menghampiri Yesus. Malaikat ini memiliki martabat yang lebih tinggi dari semua yang pernah aku lihat sebelumnya. Perawakannya juga berbeda dan lebih menyerupai manusia. Ia berpakaian seperti seorang imam dalam jubah panjang yang melambai. Dalam genggaman tangannya, ia membawa sebuah bejana kecil, bentuknya serupa piala yang dipergunakan pada Perjamuan Terakhir. Di atas piala ini, terdapat sebentuk benda lonjong kecil, sebesar kacang, yang memancarkan sinar kemerah-merahan. Malaikat, tanpa kaki-kakinya menyentuh tanah, mengulurkan tangan kanannya kepada Yesus, yang bangkit, ketika ia memasukkan makanan misterius ini ke dalam mulut-Nya dan memberi-Nya minum dari piala yang bercahaya. Lalu malaikat itu pun lenyap.

Yesus, setelah dengan rela hati menerima piala sengsara-Nya dan memperoleh kekuatan baru, masih tinggal beberapa menit lamanya dalam gua. Ia tenggelam dalam meditasi yang tenang dan mengucap syukur kepada Bapa SurgawiNya. Ia masih tetap dalam duka yang mendalam, tetapi secara rohani telah dihibur hingga ke tahap dapat pergi kepada para rasul-Nya tanpa berjalan sempoyongan, ataupun terbongkok di bawah beratnya beban sengsara. Rona wajah-Nya masih tetap pucat pasi, namun langkah-Nya tegap dan pasti. Ia telah menyeka wajah-Nya dengan sehelai kain lenan dan merapikan rambut-Nya, yang jatuh terjurai ke pundak-Nya, lengket dan basah oleh darah.

Ketika Yesus sampai kepada para murid-Nya, mereka terbaring, seperti sebelumnya, bersandarkan dinding petak, tertidur, dengan kepala terselubung. Tuhan kita mengatakan bahwa saatnya tidak tepat untuk tidur, melainkan haruslah mereka bangun dan berdoa: “Lihat, saatnya sudah tiba, bahwa Anak Manusia diserahkan ke tangan orang-orang berdosa.” Kata-Nya lagi: “Bangunlah, marilah kita pergi. Dia yang menyerahkan Aku sudah dekat. Adalah lebih baik bagi orang itu sekiranya ia tidak dilahirkan.” Para rasul bangun dengan sangat ketakutan; mereka memandang sekeliling dengan cemas. Ketika mereka telah sepenuhnya sadar, Petrus berkata dengan hangat: “Tuhan, aku akan memanggil yang lain, sehingga kami dapat melindungi-Mu.” Tetapi, Yesus menunjuk ke suatu tempat di kejauhan, di lembah, di seberang Sungai Kidron, sepasukan prajurit bersenjata maju mendekat dengan suluh di tangan. Ia mengatakan bahwa salah seorang dari antara para rasul-Nya telah mengkhianati-Nya. Yesus berbicara dengan tenang. Ia mendesak mereka untuk menghibur BundaNya. Lalu, kata-Nya: “Marilah kita pergi menyongsong mereka - Aku akan menyerahkan DiriKu sepenuhnya tanpa perlawanan ke dalam tangan para musuh-Ku.” Ia kemudian meninggalkan Taman Zaitun bersama ketiga rasul dan pergi menyongsong mereka yang hendak menangkap-Nya, melalui jalan yang membawa mereka dari taman itu ke Getsemani.

Ketika Santa Perawan, di bawah pengawasan Magdalena dan Salome, telah sadar kembali, beberapa murid yang melihat para prajurit datang, membawa Bunda Maria kembali ke rumah Maria - ibunda Markus. Para prajurit mengambil jalan pintas yang lebih pendek dari yang dilalui Yesus saat Ia meninggalkan ruang perjamuan.

Gua di mana Yesus berdoa sepanjang malam, bukanlah gua di mana Ia biasa berdoa di Bukit Zaitun. Biasanya Ia pergi ke suatu pondok yang lebih jauh letaknya, di mana, suatu hari, setelah mengutuk pohon ara yang tak berbuah, Ia berdoa dengan jiwa yang amat berduka, dengan tangan-tangan-Nya terentang, sembari menyandarkan diri ke sebuah batu karang.

Jejak-jejak tubuh dan tangan-tangan-Nya masih tertera di batu karang, yang di kemudian hari dihormati. Tetapi tidak diketahui dalam peristiwa apa mukjizat itu terjadi. Beberapa kali aku melihat jejak-jejak serupa ditinggalkan di atas batu, baik oleh para nabi dari Perjanjian Lama, atau oleh Yesus, Bunda Maria, atau beberapa dari antara para rasul. Aku juga melihat jejak serupa yang ditinggalkan oleh tubuh St. Katarina di Gunung Sinai. Jejak-jejak ini tidak tampak dalam, tetapi serupa dengan yang dibuat di atas suatu adonan yang tebal, jika orang menekankan tangan ke atasnya.


Bab II


Yudas dan Komplotannya




Yudas tidak menyangka bahwa pengkhianatannya akan berakibat begitu fatal. Ia sangat menginginkan upah yang dijanjikan dan berharap menyenangkan kaum Farisi dengan menyerahkan Yesus ke dalam tangan mereka. Tetapi ia tidak pernah memperhitungkan bahwa masalahnya akan menjadi sedemikian jauh, ataupun memikirkan bahwa para musuh Guru-nya akan mengajukan-Nya ke pengadilan dan menyalibkan-Nya. Pikirannya dikuasai oleh ketamakan semata. Beberapa dari kaum Farisi dan kaum Saduki yang cerdik, dengan siapa ia telah membina hubungan, terus-menerus mendesak dengan bujuk rayu agar ia mengkhianati Guru-nya. Yudas telah muak menjalani hidup sebagai rasul: berkeliling, penat, letih dan dianiaya. Selama beberapa bulan terakhir ia terus-menerus mencuri dari derma yang dipercayakan dalam tanggung-jawabnya. Kerakusannya, kedongkolan hatinya atas biaya besar yang diboroskan oleh Magdalena saat ia menuangkan minyak narwastu yang mahal ke atas kaki Tuhan kita, telah mendorongnya untuk melakukan kejahatan terbesar. Ia senantiasa berharap bahwa Yesus akan membangun suatu kerajaan duniawi, dan menganugerahkan kepadanya kedudukan yang gemilang serta menguntungkan dalam kerajaan-Nya itu. Karena kecewa, ia memutar otak agar dapat mengumpulkan kekayaan. Ia melihat bahwa penderitaan dan penganiayaan terhadap Kristus dan para pengikut-Nya semakin meningkat. Ia berusaha menjalin persahabatan dengan para musuh Juruselamat kita, mereka yang berkuasa, sebelum masa bahaya tiba. Sebab ia melihat bahwa Yesus tidak akan menjadi raja, sebaliknya Ia memiliki martabat dan kuasa sejati sebagai Imam Agung. Dan mereka semua yang ikut dalam pelayanan-Nya, memberikan kesan yang kuat dalam benaknya.



Dalam suatu tingkat tertentu, Yudas mulai masuk ke dalam persahabatan erat dengan utusan-utusan mereka, yang terus-menerus merayu serta meyakinkannya dengan argumentasi yang kuat, bahwa bagaimanapun juga, pekerjaan Guru Ilahi kita harus segera diakhiri. Yudas semakin antusias mendengarkan saran-saran tindak kejahatan yang dibisikkan hatinya yang culas. Ia tidak melakukan apapun selama beberapa hari terakhir, selain dari mondar-mandir guna membujuk imam-imam kepala menyetujui perjanjian. Tetapi, mereka tak hendak bertindak segera dan memandang sebelah mata padanya. Mereka mengatakan bahwa tak cukup waktu untuk bertindak sebelum hari raya, dan bahwa akan terjadi pergolakan di antara rakyat. Hanya kaum Sanhedrin saja yang menaruh perhatian pada usulnya. Setelah Yudas menyambut Sakramen Mahakudus dengan sakrilegi, setan menguasai dia sepenuhnya. Seketika itu juga ia pergi untuk melaksanakan niat jahatnya. Pertama-tama, ia mencari orang-orang yang hingga tahap ini telah membujuknya dan mengadakan permufakatan dengannya, mereka yang masih menerimanya dalam persahabatan semu. Beberapa yang lain ikut bergabung dalam komplotan, termasuk Hanas dan Kayafas. Tetapi keduanya memperlakukan Yudas dengan sikap sangat angkuh dan menghina. Segenap musuh Kristus ini sama sekali ragu-ragu dan jauh dari perasaan yakin akan keberhasilan persekongkolan mereka, sebab mereka tidak mempercayai Yudas.



Aku melihat kerajaan neraka terpecah-belah dalam dirinya. Setan menghendaki kejahatan bangsa Yahudi dan haus akan kematian Yesus, Pentobat jiwa-jiwa, Guru yang Kudus, Orang Benar, yang amat menyebalkannya. Tetapi, pada saat yang sama, ia merasakan ketakutan batin yang luar biasa atas kematian Kurban yang tak berdosa, yang tidak akan menyembunyikan diri dari para penganiaya-Nya. Aku melihat setan, di satu pihak membangkitkan kebencian dan murka dalam diri para musuh Yesus, sementara di lain pihak, ia menyebar hasut pada beberapa di antara mereka bahwa Yudas adalah seorang yang jahat, dengan karakter tercela, dan bahwa hukuman mati tak dapat dijatuhkan sebelum perayaan, atau hingga terkumpulnya jumlah saksi yang cukup untuk melawan Yesus.



Setiap orang mengajukan usul yang berbeda-beda. Beberapa menanyai Yudas dengan pertanyaan ini: “Apakah kita akan dapat menangkap-Nya? Adakah orang-orang bersenjata bersama-Nya?” Dan sang pengkhianat menjawab: “Tidak, Ia seorang diri bersama kesebelas rasul. Ia sedang amat berduka, dan kesebelas rasul adalah orang-orang yang penakut.” Yudas mengatakan kepada mereka bahwa sekaranglah saatnya, atau tidak akan pernah sama sekali mereka menangkap Yesus. Bahwa di waktu mendatang, ia mungkin tidak lagi memiliki kuasa untuk menyerahkan Kristus ke dalam tangan mereka. Dan bahwa barangkali ia tidak akan pernah kembali kepada-Nya, sebab beberapa hari ini sangat jelas para murid yang lain dan Yesus Sendiri mulai menaruh curiga dan pastilah mereka akan membunuhnya jika ia kembali kepada mereka. Begitu juga, ia mengatakan kepada mereka bahwa apabila mereka tidak segera menangkap Yesus, Ia akan meloloskan diri, dan kembali dengan bala tentara dari para pengikut-Nya, dan mengangkat diri sebagai raja. Ancaman-ancaman Yudas ini cukup berhasil. Usulnya disetujui dan ia menerima upah pengkhianatannya - tigapuluh keping uang perak. Kepingan-kepingan uang ini berbentuk persegiempat, dengan lubang-lubang di sisi-sisinya, diikat menjadi satu menggunakan cincin-cincin dalam suatu ikatan serupa rantai; sungguh mengesankan.



Yudas sadar betul bahwa mereka meremehkan dan tidak percaya padanya. Tutur kata dan bahasa tubuh mereka mengungkapkan isi hati mereka yang sebenarnya. Harga dirinya mengatakan agar ia mengembalikan uang yang diterimanya, sebagai persembahan bagi Bait Allah, guna meyakinkan mereka bahwa tujuannya adalah adil dan benar tanpa pamrih. Tetapi mereka menolak usulnya, sebab harga darah tak dapat dipersembahkan di Bait Allah. Yudas melihat betapa mereka telah menghina dia begitu rupa dan amarahnya pun semakin menjadi-jadi. Ia tidak mengira akan menuai buah-buah pahit dari pengkhianatannya bahkan sebelum pengkhianatan itu terlaksana. Tetapi ia telah melangkah demikian jauh dengan orang-orang ini hingga ia ada dalam kuasa mereka, tak mungkin lagi melepaskan diri. Mereka mengawasinya dengan seksama, dan tidak mengijinkannya pergi dari hadapan mereka, sebelum ia menunjukkan secara jelas langkah-langkah apa yang harus dilakukan guna menangkap Yesus. Tiga orang Farisi menyertainya ketika ia pergi ke ruangan di mana para prajurit Bait Allah berkumpul (hanya beberapa di antara mereka orang Yahudi, sementara lainnya berasal dari berbagai bangsa). Ketika segala sesuatu telah ditetapkan, dan jumlah prajurit yang diperlukan terpenuhi, Yudas bergegas, pertama-tama ke ruang perjamuan, dengan disertai seorang hamba orang Farisi, guna mengetahui dengan pasti apakah Yesus telah pergi. Sebab mereka akan dapat menangkap-Nya di sana tanpa kesulitan, jika mereka telah terlebih dahulu mengunci pintu-pintunya. Ia setuju mengirimkan seorang pesuruh kepada mereka untuk menyampaikan informasi yang dibutuhkan.



Selang beberapa waktu sebelumnya, ketika Yudas telah menerima upah pengkhianatannya, seorang Farisi pergi keluar dan menyuruh tujuh hamba untuk mengambil kayu yang akan dipergunakan untuk mempersiapkan Salib bagi Juruselamat kita, seandainya Ia berhasil dihadapkan ke pengadilan, sebab keesokan harinya tak akan ada cukup waktu mengingat segera dimulainya perayaan Paskah. Mereka mendapatkan kayu ini dari suatu tempat sekitar tigaperempat mil jauhnya, dekat sebuah tembok tinggi, di mana terdapat banyak balok-balok kayu lainnya milik Bait Allah. Mereka menyeretnya ke suatu lapangan yang terletak di belakang pengadilan Kayafas. Balok kayu utama Salib berasal dari sebatang pohon yang dulunya tumbuh di Lembah Yosafat, dekat Sungai Kidron, dan yang, karena tumbang melintasi aliran sungai, biasa dipergunakan sebagai semacam jembatan. Ketika Nehemias menyembunyikan api suci dan bejana-bejana suci di kolam Betsaida, balok itu ditinggalkan di sana, bersama dengan balok-balok kayu lainnya - lalu kemudian dibawa pergi dan ditinggalkan di satu sisi. Salib dipersiapkan dengan suatu cara yang sangat khusus, entah dengan maksud mengolok-olok Yesus sebagai raja, atau hanya kebetulan. Salib terdiri dari lima potong kayu, tidak termasuk papan tulisan. Aku melihat banyak hal lain sehubungan dengan Salib, dan makna dari peristiwa-peristiwa yang berbeda juga dinyatakan kepadaku, tetapi aku telah lupa semua akan hal itu.



Yudas kembali dan mengatakan bahwa Yesus tak lagi ada di ruang perjamuan, melainkan pastilah Ia ada di Bukit Zaitun, di tempat di mana Ia biasa berdoa. Yudas minta agar hanya sekelompok kecil orang saja yang diutus menyertainya, jika tidak, maka para murid yang berjaga akan merasa curiga dan terjadi huru-hara. Tiga ratus orang akan ditempatkan di gerbang-gerbang kota dan di jalan-jalan Ophel, bagian kota yang terletak di sebelah selatan Bait Allah, dan di sepanjang Lembah Millo hingga ke rumah Hanas, di atas Bukit Sion. Maksudnya, agar siaga mengirimkan bala bantuan jika diperlukan, sebab, kata Yudas, segenap rakyat dari kalangan bawah di Ophel adalah pengikut Yesus. Begitu pula, sang pengkhianat meminta mereka agar berhati-hati, jika tidak, Ia akan dapat meloloskan diri dari mereka. Sebab, ia sendiri, dengan cara-cara yang misterius, telah sering kali menyembunyikan diri di bukit dan membuat dirinya tiba-tiba menghilang dari orang-orang di sekitarnya. Di samping itu, ia menyarankan kepada mereka agar membelenggu-Nya dengan rantai dan mempergunakan bentuk-bentuk magis lainnya guna mencegah Ia meloloskan diri. Bangsa Yahudi mendengarkan segala nasehat ini dengan acuh tak acuh yang menghina, dan menjawab, “Sekali Ia ada dalam tangan kami, kami tak akan membiarkan-Nya lolos.”



Sesudahnya, Yudas mulai menyusun siasat bersama mereka yang akan menyertainya. Ia bermaksud memasuki taman mendahului mereka dan memeluk serta menyampaikan salam kepada Yesus seakan-akan ia kembali kepada-Nya sebagai sahabat dan murid. Lalu, para prajurit menyerbu dan menangkap Yesus. Yudas sangat ingin agar orang mengira para prajurit itu berada di sana secara kebetulan. Jadi, ketika mereka muncul, ia dapat melarikan diri seperti para murid lainnya dan tak terdengar lagi kabar tentangnya. Ia berpikiran, bahwa mungkin suatu keributan akan terjadi, dan bahwa mungkin para rasul akan mempertahankan diri, sementara itu Yesus berjalan lewat di tengah-tengah para musuh-Nya, seperti yang telah sering Ia lakukan sebelumnya. Ia memikirkan kemungkinan-kemungkinan ini, teristimewa karena merasa harga dirinya dilecehkan oleh sikap bangsa Yahudi yang memandang hina dirinya. Tetapi ia tidak menyesal, sebab ia telah menyerahkan diri sepenuhnya pada setan.



Merupakan kehendaknya juga bahwa para prajurit yang menyertainya tidak membawa rantai ataupun tali. Komplotannya berpura-pura menyetujui segala keinginannya, walau pada kenyataannya mereka memperlakukannya sebagai soerang pengkhianat yang tak pantas dipercayai, melainkan haruslah segera disingkirkan begitu ia telah melakukan apa yang mereka inginkan. Para prajurit menerima perintah untuk mengawas-awasi Yudas, mengamatinya dengan seksama dan tidak membiarkannya lolos sebelum Yesus tertangkap, sebab ia telah mendapatkan upahnya. Mereka takut kalau-kalau ia melarikan diri bersama uang itu dan Yesus lepas dari tangan mereka, atau kalau-kalau orang lain yang tertangkap, dan bukannya Yesus.



Gerombolan yang dipilih untuk menyertai Yudas terdiri dari duapuluh orang prajurit yang dipilih dari penjaga Bait Allah dan dari kalangan militer yang ada di bawah perintah Hanas dan Kayafas. Mereka berpakaian amat mirip dengan prajurit Romawi, dengan morion seperti mereka, dan mengenakan tali pengikat yang tergantung di sekeliling paha mereka. Tetapi, jenggot mereka panjang, sementara para prajurit Romawi di Yerusalem hanya berjambang dan mencukur janggut dan kumis mereka. Mereka semua bersenjatakan pedang, sebagian di antaranya juga diperlengkapi dengan tombak, mereka membawa tongkat-tongkat dengan lentera dan suluh. Tetapi, ketika berangkat, mereka hanya menyalakan satu alat penerang saja.



Pada mulanya direncanakan agar Yudas disertai oleh lebih banyak lagi pengawal. Tetapi Yudas minta pengertian mereka akan kenyataan bahwa jumlah yang demikian besar akan mudah menarik perhatian, sebab dari Bukit Zaitun orang dapat mengarahkan pandangan ke seluruh lembah. Oleh sebab itu, sebagian besar prajurit tinggal di Ophel dan prajurit penjaga ditempatkan di setiap sudut kota guna melumpuhkan setiap usaha yang mungkin dilakukan untuk membebaskan Yesus. Yudas berangkat dengan duapuluh prajurit, tetapi dari jarak tertentu, ia diikuti lagi oleh empat orang prajurit, yang hanyalah prajurit pembantu biasa, yang membawa tali-temali dan rantai. Sesudah mereka ada enam utusan dengan siapa Yudas berkomunikasi selama ini. Seorang di antaranya adalah seorang imam dan kepercayaan Hanas, orang kedua adalah anak buah Kayafas, orang ketiga dan keempat adalah kaum Farisi, dan kedua orang lainnya adalah dari kalangan Saduki dan Herodian. Keenam orang ini adalah kaki-tangan Hanas dan Kayafas, bertindak dalam kapasitas sebagai mata-mata dan merupakan musuh-musuh Yesus yang paling keji.



Para prajurit tetap bersikap bersahabat terhadap Yudas hingga mereka tiba di tempat di mana jalan memisahkan Taman Zaitun dari Taman Getsemani. Di sana mereka menolak membiarkan Yudas maju sendirian, dan sikap mereka pun berubah total. Mereka bertindak dengan penuh kekasaran dan kekerasan.


Bab III


Yesus Ditangkap



Yesus sedang berdiri bersama ketiga rasul-Nya di jalanan antara Getsemani dan Taman Zaitun, ketika Yudas dan komplotan yang menyertainya muncul. Pertengkaran terjadi antara Yudas dan para prajurit. Yudas menghendaki agar ia maju terlebih dahulu dan berbicara kepada Yesus dengan tenang seolah tak terjadi apa-apa, kemudian barulah mereka maju dan menangkap Juruselamat kita, dengan demikian seakan-akan ia tak ada hubungannya dengan peristiwa yang terjadi. Tetapi para prajurit menjawab dengan sengit, “Tidak demikian, kawan, engkau tidak akan lepas dari tangan kami sebelum orang Galilea itu ada dengan aman dalam genggaman kami.” Mereka melihat kedelapan rasul yang lain bergegas datang untuk menggabungkan diri dengan Yesus ketika mendengar keributan yang terjadi. Para prajurit (tanpa mengindahkan keberatan Yudas) memanggil keempat prajurit pembantu, yang berada tak berapa jauh dari mereka, untuk membantu. Ketika, dengan bantuan sinar rembulan, Yesus dan ketiga rasul-Nya pertama kali melihat pasukan bersenjata itu, Petrus bermaksud melawan mereka dengan kekuatan senjata. Ia mengatakan: “Tuhan, kedelapan yang lain sudah dekat, marilah kita menyerang mereka.” Tetapi Yesus memintanya agar tetap tenang, lalu Ia berbalik dan mundur beberapa langkah. Saat itu, empat murid muncul dari taman dan bertanya apakah yang telah terjadi. Yudas hendak menjawab, tetapi para prajurit menyela dan tidak memperbolehkannya berbicara. Keempat murid itu adalah Yakobus Muda, Filipus, Thomas dan Nataniel. Nataniel, yang adalah putera Simeon Tua, bersama beberapa orang murid lainnya telah menggabungkan diri dengan kedelapan rasul di Getsemani, mungkin diutus oleh para sahabat Yesus untuk mengetahui apa yang terjadi, atau mungkin sekedar terdorong rasa ingin tahu dan cemas. Para murid yang lain maju mundur dengan was-was, siap melarikan diri begitu ada isyarat.



Yesus menghampiri para prajurit dan bertanya dalam suara yang tegas dan jelas, “Siapakah yang kamu cari?” Para pemimpin menjawab, “Yesus dari Nazaret.” Yesus berkata kepada mereka, “Akulah Dia.” Baru saja Ia mengucapkan kata-kata ini, mereka semuanya jatuh ke tanah, seolah-olah terserang ayan. Yudas, yang berdiri dekat mereka, amat tercengang, dan sementara ia maju menghampiri, Yesus menggamit lengannya dan berkata: “Sahabat, darimanakah engkau?” Yudas dengan terbata-bata mengatakan sesuatu tentang urusan yang harus dikerjakannya. Yesus menjawab beberapa patah kata, yang artinya: “Adalah lebih baik bagimu sekiranya engkau tidak dilahirkan.” Tetapi, aku tak dapat mengingat kata-katanya dengan tepat. Sementara itu, para prajurit telah bangkit kembali dan lagi, mereka menghampiri Yesus, tetapi mereka menunggu isyarat ciuman. Yudas telah berjanji untuk menyalami Guru-nya dengan ciuman agar mereka dapat mengenali-Nya. Petrus dan para murid yang lain mengelilingi Yudas dan mencercanya dengan macam-macam makian, menyebutnya pencuri dan pengkhianat. Yudas berusaha meredakan amarah mereka dengan segala macam dusta, tetapi usahanya sia-sia belaka, sebab para prajurit maju dan melindunginya, yang segera mengungkapkan kebenaran yang sesungguhnya.



Lagi, Yesus bertanya, “Siapakah yang kamu cari?” Jawab mereka: “Yesus dari Nazaret.” Kata Yesus, “Telah Ku-katakan kepadamu, Akulah Dia. Jika Aku yang kamu cari, biarkanlah mereka ini pergi.” Dengan kata-kata-Nya itu, para prajurit jatuh ke tanah untuk kedua kalinya. Mereka gemetaran bagaikan terserang ayan. Lagi, para rasul mengelilingi Yudas dan meluapkan amarah mereka atas pengkhianatannya yang hina. Yesus berkata kepada para prajurit, “Bangkitlah,” dan mereka pun bangkit, tetapi, pada mulanya bisu seribu bahasa karena ketakutan. Lalu, mereka meyuruh Yudas untuk segera memberikan isyarat yang telah mereka sepakati, sebab perintah yang disampaikan kepada mereka adalah untuk menangkap Dia seorang, yang dicium Yudas. Yudas menghampiri Yesus dan memberi-Nya ciuman, seraya berkata, “Salam Rabbi.” Yesus menjawab, “Hai Yudas, engkau menyerahkan Anak Manusia dengan ciuman?” Segera para prajurit mengepung Yesus, dan para prajurit pembantu menangkap-Nya. Yudas hendak melarikan diri, tetapi para rasul mencegahnya. Mereka menyerang para prajurit sambil berseru, “Tuhan, mestikah kami menyerang mereka dengan pedang?”  Petrus, yang paling tidak sabaran dari yang lain, menghunus pedang dan menetakkannya kepada Malkhus - hamba imam besar - yang hendak menghalau para rasul, sehingga putus telinga kanannya. Malkhus jatuh ke tanah dan suatu kegemparan besar terjadi.



Para prajurit pembantu telah mencengkeram Yesus dan hendak mengikat-Nya, sementara Malkhus dan para prajurit yang lain berdiri di sekelilingnya. Ketika Petrus menyerang Malkhus, para prajurit yang lain sibuk memukul mundur para murid yang maju terlalu dekat, dan mengejar mereka yang melarikan diri. Keempat murid muncul dari kejauhan dan melihat dengan gentar peristiwa yang terjadi di hadapan mereka. Tetapi, para prajurit masih terlalu terkejut atas jatuhnya mereka yang kedua kalinya, sehingga tidak terlalu menghiraukan kehadiran keempat murid, lagipula mereka tidak hendak meninggalkan Juruselamat kita tanpa jumlah pengawal yang cukup untuk mengawasi-Nya. Yudas melarikan diri segera sesudah ia memberikan ciuman pengkhianatan, tetapi ia berpapasan dengan beberapa dari para murid yang menghujaninya dengan caci-maki. Namun demikian, enam orang Farisi datang menyelamatkannya, dan ia melarikan diri sementara para prajurit pembantu sibuk hendak membelenggu Yesus.



Ketika Petrus menyerang Malkhus, Yesus berkata kepadanya, “Masukkan pedang itu kembali ke dalam sarungnya, sebab barangsiapa menggunakan pedang, akan binasa oleh pedang. Atau kausangka, bahwa Aku tidak dapat berseru kepada Bapa-Ku, supaya Ia segera mengirim lebih dari dua belas pasukan malaikat membantu Aku? Jika begitu, bagaimanakah akan digenapi yang tertulis dalam Kitab Suci, yang mengatakan, bahwa harus terjadi demikian?” Lalu kata-Nya, “Biarkan Aku menyembuhkannya” dan Ia menghampiri Malkhus, menjamah telinganya, berdoa, dan telinganya pun disembuhkan. Para prajurit yang berdiri dekat situ, juga para prajurit pembantu serta keenam orang Farisi, sama sekali tak tergerak oleh mukjizat yang terjadi. Mereka terus melontarkan kata-kata penghinaan kepada Tuhan kita dan berkata kepada mereka yang berdiri dekat sana, “Tipu muslihat iblis. Kuasa sihir membuat telinga tampak seolah-olah terputus, dan sekarang kuasa sihir yang sama membuatnya tampak seolah-olah disembuhkan.”



Lalu, Yesus berkata kepada mereka, “Sangkamu Aku ini penyamun, maka kamu datang lengkap dengan pedang dan pentung untuk menangkap Aku? Padahal tiap-tiap hari Aku ada di tengah-tengah kamu di dalam Bait Allah, dan kamu tidak menangkap Aku. Tetapi inilah saat kamu, dan inilah kuasa kegelapan itu.” Orang-orang Farisi memerintahkan agar Ia diikat lebih kuat lagi, dan mereka menjawab dengan nada menghina, “Ah! Engkau tak dapat menaklukkan kami dengan sihir-Mu.” Yesus menjawab, tetapi aku tidak ingat kata-kata-Nya. Para murid semuanya melarikan diri. Keempat prajurit pembantu dan keenam orang Farisi tidak jatuh ke tanah mendengar perkataan Yesus, sebab, seperti dinyatakan sesudahnya kepadaku, mereka dan juga Yudas yang tidak jatuh, sepenuhnya berada dalam kuasa setan. Sementara mereka semuanya yang jatuh dan bangkit kembali, di kemudian hari bertobat dan menjadi orang-orang Kristen. Mereka hanya mengepung Yesus dan tidak menganiaya-Nya. Malkhus seketika itu juga bertobat oleh karena mukjizat kesembuhan atasnya, dan selama masa sengsara, tugasnya adalah hilir-mudik menyampaikan pesan-pesan kepada Bunda Maria dan para sahabat Kristus lainnya.



Para prajurit pembantu, yang sekarang sedang mengikat Yesus dengan sangat brutal, adalah orang-orang kafir dari keturunan terendah. Mereka pendek, kekar, dan lincah, dengan kulit kuning kemerahan, mirip budak-budak Mesir, kaki-kaki telanjang, serta tangan dan leher polos tanpa aksesoris.



Mereka mengikat kedua tangan-Nya sekencang mungkin dengan tali-tali kasar yang baru, pergelangan tangan kanan diikatkan ke bawah siku kiri, dan pergelangan tangan kiri diikatkan ke bawah siku kanan. Mereka melingkarkan pada pinggang-Nya semacam ikat pinggang dengan ujung-ujung besi pada permukaannya dan membelenggu kedua tangan-Nya pada ikat pinggang itu dengan setagen osier. Di leher-Nya mereka mengenakan ban leher yang dipasangi ujung-ujung besi. Pada ban leher ini digantungkan dua selempang kulit, yang disilangkan di dada-Nya seperti stola dan diikatkan ke ikat pinggang. Lalu, mereka mengikatkan empat tali tampar ke bagian-bagian ikat pinggang yang berbeda, dengan tali-tali ini mereka menyeret Tuhan kita ke sana kemari dengan cara yang paling keji. Tali-tali tampar itu baru. Aku pikir dibeli ketika kaum Farisi pertama kali memutuskan untuk menangkap Yesus. Orang-orang Farisi itu menyalakan suluh-suluh baru dan arak-arakan pun mulai berjalan.



Sepuluh prajurit berjalan di depan, lalu, dibelakangnya keempat prajurit pembantu yang memegang tali dan menyeret Yesus, orang-orang Farisi dan sepuluh prajurit lagi berjalan di barisan belakang. Para murid berkeliaran agak jauh, mereka menangis dan mengerang seolah hilang akal karena dukacita yang hebat. Hanya Yohanes seorang yang mengikuti dan berjalan tak seberapa jauh dari para prajurit, hingga orang-orang Farisi melihatnya dan memerintahkan para pengawal untuk menangkapnya. Para prajurit berusaha keras menangkapnya, tetapi Yohanes melarikan diri, dengan meninggalkan jubah yang dikenakannya dalam cengkeraman para prajurit yang berusaha menangkapnya. Ia melepaskan jubahnya agar dapat lebih mudah meloloskan diri dari tangan para musuh. Yohanes lari tanpa mengenakan apa-apa pada tubuhnya selain pakaian dalam pendek tanpa lengan dan selendang panjang yang biasa dikenakan orang-orang Yahudi, yang dililitkan pada leher, kepala dan lengannya.



Para prajurit pembantu memperlakukan Yesus dengan cara yang paling keji sementara mereka menggiring-Nya. Hal ini mereka lakukan guna mencari muka pada keenam orang Farisi, yang mereka tahu dengan pasti, benci dan muak terhadap Tuhan kita. Mereka menggiring-Nya sepanjang jalan yang paling kasar dan sulit yang dapat mereka pilih, melalui batu-batu jalanan yang paling tajam, dan melintasi lumpur yang paling dalam. Mereka menarik tali sekuat-kuatnya, mereka memukuli-Nya dengan simpul-simpul tali, bagaikan seorang jagal menghajar binatang yang hendak dibantainya. Mereka melakukan tindakan-tindakan bengis ini sembari melontarkan caci-maki rendahan yang tak pantas, sehingga aku tak dapat menceritakannya. Yesus bertelanjang kaki, disamping jubah biasa, Ia mengenakan jubah wol yang tak berjahit dan mantol panjang. Aku lupa mengatakan bahwa ketika Yesus ditangkap, penangkapan tersebut dilakukan tanpa adanya perintah penangkapan ataupun melalui prosedur resmi. Ia diperlakukan bagaikan seorang yang tanpa hak hukum sama sekali.



Arak-arakan bergerak maju dengan langkah-langkah tetap. Ketika mereka meninggalkan jalanan yang memisahkan antara Taman Zaitun dan Getsemani, mereka membelok ke kanan, dan segera tiba di sebuah jembatan yang terbentang di atas Sungai Kidron. Ketika Yesus pergi ke Taman Zaitun bersama para rasul-Nya, Ia tidak melalui jembatan ini, melainkan melalui sebuah jalan setapak yang melintasi Lembah Yosafat, menuju suatu jembatan lain lebih ke arah selatan. Jembatan di mana para prajurit menggiring Yesus merupakan jembatan yang panjang, terbentang tidak hanya di atas sungai, yang sungguh sangat luas di bagian ini, tetapi juga terbentang melintasi lembah, yang terhampar luas di kanan kirinya, dan yang jauh lebih rendah dari dasar sungai. Aku melihat Yesus terjatuh dua kali sebelum Ia mencapai jembatan akibat perlakuan biadab para prajurit yang menyeret-Nya. Ketika tiba di tengah jembatan, mereka melampiaskan kebrutalan mereka sehabis-habisnya. Mereka menghantam Yesus dengan kedahsyatan begitu rupa hingga Ia terlempar dari jembatan dan tercebur ke dalam air. Dengan mengejek mereka menasehati-Nya untuk melegakan dahaga-Nya di sana. Jika Tuhan Allah tidak melindungi-Nya, pastilah Ia mati karena jatuh begitu rupa. Ia jatuh pertama-tama pada lutut-Nya, dan kemudian wajah-Nya, namun Ia berhasil sedikit menyelamatkan diri dengan meregangkan kedua tangan-Nya, yang meskipun terikat erat sebelumnya, sekarang agak mengendor. Aku tidak tahu apakah ini karena mukjizat, atau karena para prajurit telah memotong tali-talinya sebelum mereka menceburkan-Nya ke dalam air. Jejak-jejak kaki, siku, dan jari-jemari-Nya secara ajaib tertera pada batu karang di mana Ia terjatuh. Jejak-jejak ini sesudahnya diperlihatkan untuk dihormati oleh umat Kristiani. Batu-batu ini tidak sekeras hati orang-orang jahat yang tidak percaya, yang mengepung Yesus, dan yang menjadi saksi atas saat-saat mengerikan yang menimpa Kuasa Ilahi, yang telah menyentuh mereka.



Aku tidak melihat Yesus meneguk setetes air pun untuk melegakan dahaga yang menguasai-Nya sejak sakrat maut-Nya di taman, tetapi Ia minum ketika terjatuh ke Sungai Kidron, dan aku mendengar-Nya mengulang kata-kata ini dari nubuat Mazmur, “Dari sungai di tepi jalan ia minum.”



Para prajurit pembantu masih memegang ujung-ujung tali yang membelenggu Yesus. Tetapi, pastilah sulit bagi mereka yang berada di atas jembatan untuk menarik-Nya keluar dari air mengingat dinding-dinding dibangun sepanjang jembatan mulai dari tepi sungai. Karenanya, mereka berbalik kembali dan menyeret-Nya hampir sepanjang Sungai Kidron ke tepian, dan membuat-Nya menyeberangi jembatan untuk kedua kalinya. Setiap kali, mereka menyertai tindak kekerasan mereka dengan segala makian, hujat dan pukulan-pukulan. Jubah wol-Nya yang panjang, yang seluruhnya basah terendam air, melekat di kaki-Nya, merintangi setiap gerak langkah-Nya, dan membuat-Nya hampir tak mungkin berjalan. Ketika Ia tiba di ujung jembatan, Ia jatuh terkapar. Mereka menarik-Nya kembali dengan cara yang paling kejam, menyesah-Nya dengan tali dan mengikatkan ujung jubah-Nya yang basah ke ikat pinggang, sekaligus menganiaya-Nya dengan cara yang paling pengecut.



Belum lewat tengah malam ketika aku melihat keempat prajurit pembantu itu secara tak berperikemanusiaan menyeret Yesus di atas sebuah jalanan sempit yang penuh bebatuan, serpihan-serpihan batu karang, onak dan duri, di seberang sungai Kidron. Keenam Farisi yang bengis itu berjalan sedekat mungkin dengan Yesus, tak henti-henti menghajar-Nya dengan tongkat-tongkat tebal yang runcing. Melihat kaki-kaki-Nya yang telanjang dan berdarah, terkoyak batu kerikil dan ranting-ranting, mereka berseru mengejek, “Pendahulunya, Yohanes Pembaptis, pastilah tidak mempersiapkan jalan yang baik bagi-Nya di sini” atau, “Kata-kata Maleakhi: `Lihat, aku mengutus malaikatku mendahului engkau untuk mempersiapkan jalan bagimu' pastilah tidak berlaku sekarang.” Setiap olok-olok yang dilontarkan orang-orang ini membangkitkan kekejaman yang lebih hebat dalam diri para prajurit pembantu.      



Para musuh Yesus memperhatikan bahwa beberapa orang muncul di kejauhan. Mereka hanyalah para murid yang berkumpul ketika mendengar bahwa Guru mereka ditangkap, dan yang dengan cemas berusaha mengetahui apa yang terjadi. Tetapi kemunculan mereka membuat orang-orang Farisi merasa tidak tenang, khawatir kalau-kalau mereka berusaha membebaskan Yesus. Sebab itu, mereka meminta bala bantuan prajurit. Dari jarak yang sangat dekat, dari pintu gerbang yang berhadapan dengan sisi selatan Bait Allah, yang menuju ke suatu dusun kecil yang disebut Ophel ke Bukit Sion, di mana terletak kediaman Hanas dan Kayafas, aku melihat sepasukan prajurit, kurang lebih limapuluh orang, membawa suluh dan tampak siaga untuk melakukan segala sesuatu. Tampang mereka bengis; mereka berseru dengan suara lantang untuk memaklumkan kedatangan mereka, sekaligus mengucapkan selamat kepada rekan-rekan mereka atas keberhasilan misi. Hal ini mengakibatkan sedikit kebingungan dan kekacauan di antara para prajurit yang menggiring Yesus. Malkhus dan beberapa yang lain memanfaatkan kesempatan ini untuk menyimpang serta melarikan diri menuju Bukit Zaitun.



Ketika pasukan prajurit yang baru itu meninggalkan Ophel, aku melihat para murid yang telah berkumpul di sana menyebar; sebagian pergi ke satu arah, sebagian lagi ke arah lain. Santa Perawan dan sekitar sembilan perempuan kudus diliputi perasaan cemas; mereka melangkahkan kaki menuju Lembah Yosafat dengan disertai Lazarus, Yohanes - putera Markus, putera Veronika, dan putera Simon. Putera Simon tadinya berada di Getsemani bersama Nataniel dan kedelapan rasul; ia melarikan diri ketika para prajurit muncul. Ia sedang menceritakan kepada Santa Perawan segala sesuatu yang telah terjadi, ketika pasukan prajurit yang baru datang menggabungkan diri dengan mereka yang menggiring Yesus. Bunda Maria kemudian mendengar hiruk-pikuk keributan dan melihat nyala-nyala api suluh yang mereka bawa. Pemandangan ini membuatnya tercekam ketakutan; ia jatuh tak sadarkan diri. Yohanes membawanya ke rumah Maria - ibunda Markus.



Kelimapuluh prajurit yang diperintahkan untuk menggabungkan diri dengan mereka yang menggiring Yesus, merupakan detasemen dari suatu kompi yang terdiri dari tiga ratus prajurit, yang ditempatkan untuk menjaga pintu-pintu gerbang dan daerah sekitar Ophel. Sebab, Yudas sang pengkhianat telah mengingatkan para imam besar bahwa penduduk Ophel (yang pada umumnya dari kalangan buruh kasar, dan yang pekerjaan utamanya adalah mengambil air dan kayu bagi Bait Allah) adalah pengikut-pengikut Yesus yang paling setia, mungkin mereka akan berusaha menyelamatkan-Nya. Pengkhianat ini paham bahwa Yesus telah mendatangkan penghiburan, mengajar, menolong serta menyembuhkan berbagai penyakit dari banyak buruh-buruh miskin yang malang ini, dan bahwa Ophel adalah tempat di mana Ia singgah sepanjang perjalanan-Nya dari Betania ke Hebron, ketika Yohanes Pembaptis baru saja dijatuhi hukuman mati. Yudas juga tahu bahwa Yesus telah menyembuhkan banyak tukang batu yang cedera akibat robohnya Menara Siloam. Sebagian besar penduduk Ophel bertobat setelah wafat Kristus dan menggabungkan diri dalam komunitas Kristiani pertama yang terbentuk setelah Pentakosta, dan ketika umat Kristiani memisahkan diri dari bangsa Yahudi dan membangun pemukiman-pemukiman baru, mereka mendirikan pondok-pondok dan tenda-tenda mereka di lembah yang terletak antara Bukit Zaitun dan Ophel, di sanalah St. Stefanus hidup. Ophel terletak di atas bukit di sebelah selatan Bait Suci, dikelilingi tembok-tembok, penduduknya sangat miskin. Aku pikir Ophel lebih kecil dari Dülmen. (Dülmen adalah sebuah kota kecil di Westphalia, di mana Sr. Emmerick tinggal pada waktu itu).



Tidur pulas penduduk Ophel terganggu oleh hiruk-pikuk para prajurit. Mereka keluar dari rumah-rumah mereka dan berlarian menuju pintu gerbang kota guna menanyakan penyebab timbulnya kegaduhan. Tetapi para prajurit menyambut mereka dengan kasar dan memerintahkan mereka untuk segera pulang ke rumah. Sebagai jawab atas pertanyaan penduduk yang bertubi-tubi, mereka menjawab, “Kami baru saja menangkap Yesus, nabi palsu kalian - Dia yang telah menipu kalian mentah-mentah. Para imam besar akan segera mengadili-Nya, dan Ia akan disalibkan.” Jerit tangis pilu terdengar di mana-mana. Para perempuan dan anak-anak yang malang berlarian kian kemari, menangis sembari meremas-remas tangan mereka; terkenang mereka akan segala kebajikan yang telah mereka terima dari Kristus. Mereka menjatuhkan diri di atas lutut mereka untuk memohon perlindungan surga. Tetapi para prajurit mendorong mereka ke samping, memukul mereka, memerintahkan mereka agar pulang ke rumah masing-masing, seraya berseru, “Bukti apa lagi yang kita perlukan? Bukankah tingkah laku orang-orang ini nyata-nyata menunjukkan bahwa orang Galilea itu memicu pemberontakan?”



Namun demikian, tampak juga sedikit kecemasan dalam wajah dan sikap mereka, khawatir akan timbulnya pergolakan di Ophel. Karenanya, mereka hanya berusaha menghalau penduduk dari bagian-bagian kota yang akan dilalui Yesus.



Ketika prajurit-prajurit bengis yang menggiring Yesus telah dekat pintu gerbang Ophel, Ia terjatuh lagi dan tampaknya tak dapat melangkah lebih lanjut. Salah seorang di antara mereka, tergerak oleh belas kasihan, mengatakan kepada yang lain, “Tidakkah kau lihat bahwa lelaki malang ini sama sekali telah kehabisan tenaga. Ia tak dapat menopang DiriNya Sendiri karena berat beban rantai yang membelenggu-Nya. Jika kita hendak membawa-Nya kepada imam besar dalam keadaan hidup, kita perlu melonggarkan tali-tali yang membelenggu kedua tangan-Nya agar Ia dapat sedikit menyelamatkan DiriNya apabila terjatuh.” Pasukan berhenti sejenak; tali-temali dilonggarkan. Seorang prajurit lain yang baik hati memberikan air minum kepada Yesus dari suatu sumber mata air dekat situ. Yesus mengucapkan terima kasih kepadanya dan berbicara tentang “air hidup,” yang harus diminum oleh semua orang yang percaya kepada-Nya. Tetapi, kata-kata-Nya ini semakin membangkitkan murka orang-orang Farisi, mereka menghujani-Nya dengan caci-maki dan sumpah-serapah. Aku melihat hati prajurit yang membuat tali-tali Yesus dilonggarkan, dan juga hati dia yang memberi-Nya minum, sekonyong-konyong diterangi rahmat. Mereka berdua bertobat sebelum wafat Yesus dan segera bergabung dalam bilangan para murid-Nya.



Arak-arakan berjalan lagi dan tiba di gerbang Ophel. Di sini, lagi, Yesus disambut dengan jerit tangis duka dan simpati dari mereka yang berhutang begitu banyak kepada-Nya. Para prajurit mengalami kesulitan dalam mengusir baik laki-laki maupun perempuan yang datang berduyun-duyun dari segala penjuru. Mereka mengedangkan tangan mereka, berlutut, menangis sambil berseru, “Bebaskan Dia bagi kami, bebaskan Dia! Siapa lagi yang akan menolong kami, siapa lagi yang akan menghibur kami, siapa yang akan menyembuhkan penyakit kami?” Sungguh menyayat hati memandang Yesus; wajah-Nya pucat pasi, bengkak memar dan penuh luka, rambut-Nya kusut masai, jubah-Nya kotor dan koyak di sana-sini. Pengawal-pengawal yang beringas dan mabuk menyeret-Nya ke sana-kemari, menghajar-Nya dengan tongkat mereka; bagaikan seekor binatang malang yang digiring ke tempat pembantaian. Begitulah Ia diperlakukan di tengah-tengah penduduk Ophel yang berduka. Orang-orang lumpuh yang dibuat-Nya berjalan, orang-orang bisu yang dibuat-Nya berbicara, dan orang-orang buta yang dicelikkan-Nya, semuanya, namun dalam kesia-siaan belaka, mengajukan dengan sangat permohonan bagi pembebasan-Nya.  



Banyak orang dari kalangan terbawah dan terendah dikirim oleh Hanas, Kayafas, dan para musuh Yesus lainnya, untuk menggabungkan diri dalam arak-arakan, dan membantu para prajurit baik dalam menganiaya Yesus maupun dalam menghalau penduduk Ophel. Kota Ophel terletak di atas bukit. Aku melihat banyak sekali gelondongan kayu ditempatkan di sana siap digunakan untuk pembangunan. Arak-arakan harus menuruni bukit, lalu melewati sebuah pintu gerbang yang dipasang di dinding kota. Di salah satu sisi gerbang berdiri sebuah bangunan besar yang dulu didirikan oleh Salomo, dan di sisi lainnya Kolam Betsaida. Setelah melewati gerbang ini, mereka mengikuti arah ke barat menuruni jalanan yang curam, yang disebut Millo. Jalanan ini membelok ke selatan dan menghantar mereka ke kediaman Hanas. Para pengawal tak kunjung henti melampiaskan kekejian mereka kepada Juruselamat Ilahi kita. Mereka memaklumkan perbuatan yang demikian dengan dalih bahwa khalayak ramai yang berkerumun di depan arak-arakan memaksa mereka bertindak kasar. Yesus jatuh tujuh kali antara Bukit Zaitun dan kediaman Hanas.



Penduduk Ophel masih dalam keadaan ketakutan hebat dan berduka, ketika mereka melihat Santa Perawan berjalan melintasi kota, dengan ditemani para perempuan kudus dan beberapa sahabat, dalam perjalanannya dari Lembah Kidron ke rumah Maria - ibunda Markus. Pemandangan ini semakin mengharubirukan mereka, dan mereka memenuhi tempat itu dengan jerit tangis dan sedu-sedan sementara mereka mengerumuni dan bahkan hampir-hampir menggotong Bunda Yesus dalam pelukan mereka. Bunda Maria diam seribu bahasa karena dukacita yang dahsyat, ia tidak juga membuka mulutnya ketika telah tiba di rumah Maria - ibunda Markus - hingga kedatangan Yohanes, yang menceritakan segala sesuatu yang ia lihat sejak Yesus meninggalkan ruang perjamuan. Selang beberapa waktu kemudian ia dibawa ke rumah Marta, yang berdekatan dengan rumah Lazarus.



Petrus dan Yohanes, yang mengikuti Yesus dari kejauhan, bergegas pergi kepada beberapa hamba imam besar kenalan Yohanes agar dengan bantuan mereka, keduanya dapat masuk ke dalam balai pengadilan di mana Guru mereka akan diadili. Para hamba ini bertindak sebagai pesuruh. Baru saja mereka diperintahkan untuk pergi ke rumah para tua-tua dan para anggota sidang lainnya, guna memanggil mereka untuk menghadiri rapat. Para hamba itu ingin membantu para rasul, tetapi melihat banyaknya kendala dalam membantu mereka masuk ke dalam balai pengadilan, mereka memberikan kepada kedua rasul itu mantol panjang yang serupa dengan yang mereka kenakan, lalu meminta keduanya membantu menyampaikan pesan kepada para anggota sidang. Maksudnya, agar sesudah itu mereka dapat ikut masuk ke dalam balai pengadilan Kayafas dan membaur di antara para prajurit dan saksi-saksi palsu, tanpa dikenali; sebab semua orang yang tidak berkepentingan dilarang masuk. Karena Nikodemus, Yusuf dari Arimatea dan beberapa orang lainnya yang berkehendak baik adalah anggota sidang, para rasul berjanji untuk memberitahukan kepada mereka apa yang harus dilakukan dalam sidang, dengan demikian melindungi kehadiran para sahabat Yesus itu, yang jelas nyata tidak dikehendaki oleh orang-orang Farisi.


Sementara itu, Yudas berkeliaran turun naik tebing-tebing yang curam dan ngarai-ngarai liar di selatan Yerusalem. Keputusasaan yang dahsyat menguasai segenap dirinya. Iblis mengejarnya ke mana-mana, memenuhi benaknya dengan bayangan-bayangan yang bahkan lebih kelam dan tak membiarkannya tenang barang sekejap.


Bab IV


Cara-cara yang Ditempuh Para Musuh Yesus 
Guna Melaksanakan Rancangan Mereka Melawan Yesus



Kabar disampaikan kepada Hanas dan Kayafas segera sesudah Yesus ditangkap. Serta-merta mereka mulai menyusun siasat berkenaan dengan langkah-langkah yang harus diambil. Segera saja kekalutan terjadi di mana-mana - ruang-ruang dinyalakan dengan tergesa, penjaga-penjaga ditempatkan di pintu-pintu gerbang, para pesuruh disebar ke berbagai belahan kota guna mengundang para anggota sidang, ahli-ahli Taurat, dan semuanya, yang akan ikut ambil bagian dalam pengadilan. Banyak di antara mereka yang sudah berkumpul di kediaman Kayafas begitu persekongkolan pengkhianatan bersama Yudas selesai dirundingkan, dan tinggal di sana guna menanti realisasi rancangan mereka. Para tua-tua dari berbagai kalangan juga berkumpul. Sementara kaum Farisi, Saduki dan Herodian, semuanya berkumpul di Yerusalem dari berbagai penjuru negeri untuk merayakan Paskah. Telah lama mereka merencanakan siasat penangkapan Yesus bersama sidang. Sekarang, imam-imam besar menyuruh memanggil berbagai pihak yang mereka tahu adalah musuh bebuyutan Yesus dan menghendaki mereka mengumpulkan saksi-saksi, mengumpulkan setiap bukti yang mungkin, serta membawa semuanya ke hadapan sidang. Kaum Saduki yang angkuh dari Nazaret, dari Kapernaum, dari Thirza, dari Gabara, dari Yotapata, dan dari Silo, yang telah seringkali ditegur Yesus di hadapan orang banyak, sesungguhnya haus untuk melampiaskan dendam. Mereka bergegas keluar masuk segala penginapan untuk mendapatkan orang-orang yang mereka tahu adalah para musuh Yesus. Mereka menawarkan suap guna menutupi jati diri mereka. Tetapi, terkecuali beberapa fitnah yang tak masuk akal, yang pasti akan ditolak dalam persidangan, tak ada suatu yang nyata yang dapat diajukan untuk melawan Yesus, kecuali, sungguh, tuduhan-tuduhan menggelikan itu, yang telah seringkali Ia buktikan ketidakbenarannya di rumah-rumah ibadat.



Namun demikian, para musuh Yesus itu bergegas menuju balai pengadilan Kayafas, dengan dihantar oleh ahli-ahli Taurat dan kaum Farisi Yerusalem, dan disertai banyak dari para pedagang yang diusir Yesus dari Bait Allah ketika sedang berjualan di sana, juga para tabib yang congkak, yang dibuat-Nya bungkam di hadapan orang banyak, dan bahkan beberapa dari mereka yang tidak dapat memaafkan penghinaan atas mereka karena dibuktikan kesalahannya saat Ia berdebat dengan mereka di Bait Allah ketika usia-Nya duabelas tahun. Juga sekelompok besar orang berdosa yang tidak mau bertobat, yang ditolak-Nya saat meminta kesembuhan, orang-orang yang kembali ke cara hidup dosa sehingga penyakit mereka kambuh kembali, pemuda-pemuda duniawi yang tidak diterima-Nya sebagai murid, orang-orang tamak yang dibuatnya murka karena uang yang mereka harapkan jatuh ke tangan mereka ternyata dibagi-bagikan sebagai amal kasih. Yang lainnya adalah mereka yang sanak kerabatnya Ia sembuhkan, dengan demikian mengecewakan mereka dalam pengharapan akan harta warisan yang mereka dambakan; orang-orang asusila yang kurban-kurbannya Ia pertobatkan; dan banyak karakter-karakter tercela yang mendapatkan keuntungan dari menjilat dan menjual keburukan serta kelemahan orang lain.



Segenap utusan setan ini meluap dalam murka terhadap segala sesuatu yang kudus, dan karenanya menyala-nyala dalam kebencian terhadap Yang Mahakudus dari Yang Kudus. Terlebih lagi mereka dihasut oleh para musuh Tuhan kita. Sebab itu mereka berduyun-duyun memadati istana Kayafas guna mengajukan segala tuduhan palsu mereka dan berusaha keras mendatangkan aib atas Anak Domba tak bercela, yang membebankan ke atas DiriNya Sendiri segala dosa-dosa dunia dan menerima beban dosa itu guna mendamaikan manusia dengan Allah.



Sementara orang-orang jahat ini sibuk merancangkan apa yang terbaik yang harus dilakukan, dukacita dan kecemasan hebat meliputi hati para sahabat Yesus, sebab mereka belum paham akan misteri keselamatan yang akan segera digenapi. Mereka berjalan mondar-mandir, mendesah dan mendengarkan dengan seksama setiap pendapat yang berbeda. Setiap kata yang mereka ucapkan membangkitkan rasa curiga dalam benak lawan bicara mereka. Jika mereka diam, kebisuan mereka divonis sebagai kesalahan. Banyak orang berkehendak baik tapi lemah dan mereka yang bimbang menyerah pada pencobaan, tergoncang, dan kehilangan iman. Sungguh, jumlah mereka yang tetap bertahan sangat amat sedikit. Sama saja keadaannya dahulu dan sekarang, orang mau melayani Tuhan selama mereka tidak mendapat perlawanan dari makhluk ciptaan yang lain, tetapi mereka malu akan Salib apabila mereka dikucilkan oleh yang lain. Namun demikian, hati beberapa orang tergerak oleh kesabaran yang diperlihatkan Tuhan kita di tengah sengsara-Nya yang hebat, dan mereka pergi diam-diam dalam duka.

Bersambung.........



Sumber : “The Dolorous Passion of Our Lord Jesus Christ from the Meditations of Anne Catherine Emmerich”

“diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya”