Selasa, 01 Maret 2016

Kisah tragis membawa hikmat pertobatan



[Minggu Prapaskah III: Kel 3:1-15; Mzm 103:1-11; 1Kor 10:1-12; Luk 13:1-9]
Sejumlah berita di TV belakangan ini mungkin membuat kita miris. Gedung konser dibom teroris, sehingga banyak orang menjadi korban. Seorang wanita muda tewas karena racun sianida yang dimasukkan ke dalam kopinya di mall. Orang yang sedang duduk di pinggir jalan, meninggal ditabrak mobil karena supirnya mabuk. Bukankah tragisnya peristiwa-peristiwa ini mengingatkan kita bahwa apa yang disebut dalam Injil hari ini—yaitu 18 orang yang wafat tertimpa menara, dan orang-orang yang dibunuh Pilatus— sesungguhnya pun relevan bagi kita. Kematian mendadak seolah mau menunjukkan begitu tipisnya batas antara hidup dan mati. Dan kita tidak pernah bisa mengetahui bagaimanakah nantinya kisah kematian kita sendiri. Hanya satu yang bisa kita ketahui, yaitu kematian itu bisa datang begitu tiba-tiba, dan bisa juga terjadi dengan begitu mengenaskan, walaupun bagi Allah, jiwa orang benar yang meninggal dalam keadaan yang nampak sebagai malapetaka itu, tetaplah berada dalam ketentraman (lih. Keb 3:2-3). Maka yang lebih penting daripada memikirkan bagaimana kelak kematian kita, adalah bagaimana sekarang hidup kita. Dan itulah salah satu pesan yang kita peroleh dari Bacaan Injil hari ini.
Menurut catatan St. Sirilus, orang-orang yang dibunuh Pilatus adalah para pengikut Yudas, seorang Galilea yang disebut dalam Kisah para Rasul (lih. Kis 5:37). Banyak pengikutnya menolak untuk mengakui Kaisar sebagai tuan mereka, dan karena itu dihukum oleh Pilatus. Mereka berkata bahwa orang tak boleh mempersembahkan kepada Allah kurban apa pun yang tidak sesuai dengan hukum Musa, dan karena itu mengharamkan persembahan kurban yang ditujukan bagi kesejahteraan kaisar dan orang-orang Romawi. Maka Pilatus memerintahkan agar orang-orang Galilea itu dibunuh bersama dengan kurban-kurban yang mereka persembahkan, dan mencampurkan darah mereka dengan darah kurban itu…. Lalu para penguasa memberitahukan hal ini kepada Yesus, untuk mengetahui tanggapan-Nya tentang hal itu. Tetapi Ia, yang membenarkan bahwa mereka adalah orang-orang berdosa, tidak serta merta menghakimi bahwa mereka mengalami hal tersebut, seolah-olah karena mereka berdosa lebih parah daripada orang-orang yang tidak mengalami kematian semacam itu….” (St. Cyril, Catena Aurea, Luk 13:1-). Sebab belum tentu kita lebih baik daripada orang-orang yang tertimpa kemalangan itu.
Maka, Tuhan Yesus menghendaki agar kita menilik kepada hidup kita sendiri, ketika kita mendengar kisah-kisah tragis semacam ini. Janganlah kita lekas menghakimi orang lain, dan menganggap diri “lebih baik” daripada orang yang wafat itu. Sebaliknya, lebih baik kita lekas bertanya kepada diri sendiri: Sudahkah aku bertobat? Selagi hidup, bagaimana aku mengisi hidupku? Sudahkah aku berbuah? Masa Prapaska adalah kesempatan untuk merefleksikan kehidupan kita, sejauh mana kita telah mengikuti jalan Tuhan, terutama di tengah kesulitan dan pergumulan hidup.
Bacaan Pertama mengajak kita merenungkan sejak saat pertama Tuhan memanggil kita. Dikisahkan di sana ketika Allah pertama kalinya menyatakan diri-Nya kepada Musa dengan sebutan, “Aku adalah ‘Sang Aku’.” Atau yang dalam bahasa aslinya YHWH (Yahwe). Allah kemudian mengutus Musa untuk membawa umat Israel keluar dari penjajahan bangsa Mesir (lih. Kel 3:12-14). Demikian pula, sesungguhnya kita pun mengalami bagaimana Allah menyatakan diri kepada kita, yaitu di dalam diri Yesus, atau dalam bahasa aslinya Jeshua, yang artinya “Yahwe adalah keselamatan.” Maka sesungguhnya pernyataan diri Allah kepada kita telah lebih sempurna, daripada yang dinyatakanNya kepada bangsa Israel di zaman Perjanjian Lama. Di Bacaan Kedua, Rasul Paulus yang mengacu kepada pengalaman bangsa Israel, juga mengingatkan kita, betapa kita telah menerima makna sesungguhnya dari apa yang telah mereka alami. Mereka dibaptis dalam air laut dan awan; sedangkan kita, telah dibaptis dalam air dan Roh Kudus yang dilambangkan oleh awan itu. Dan kemudian mereka diberi makan dari manna yang datang dari langit dan minum dari air dari batu karang; sedangkan kita diberi makan dan minum dari Sang Roti yang datang dari Surga, yaitu sungguh-sungguhTubuh dan Darah Tuhan Yesus sendiri, dalam rupa roti dan anggur.
Namun pertanyaannya, apakah rahmat surgawi itu telah mengubah kita? Sebab di zaman Perjanjian Lama, rahmat surgawi yang telah tercurah dengan luar biasa itu, ternyata tidak disambut dengan semestinya. Sejumlah besar dari bangsa Israel malah bersungut-sungut, sehingga akhirnya satu generasi dari mereka tidak dapat masuk ke Tanah Terjanji. Sepertinya tragis, karena kesalahan yang satu ini, mereka tidak dapat menikmati penggenapan janji Tuhan. Demikianlah, Rasul Paulus menjadikan mereka sebagai contoh untuk mengingatkan agar kita tidak berlaku serupa (lih. 1Kor10:10-12). Sebab hal bersungut-sungut itu bukan hanya “penyakit” orang zaman dulu. Kita pun perlu memeriksa diri, apakah kita juga mudah bersungut-sungut atau mudah komplain? Misalnya: Misanya terlalu panjang lah, koornya kurang merdu, khotbahnya monoton, dekorasi bunga kurang serasi, dst. Karena perhatian kepada hal-hal yang begini, fokus sesungguhnya yaitu Kristus yang kita terima dalam Ekaristi, malah sepertinya kurang disyukuri. Itu baru soal Misa. Dalam kehidupan sehari-hari, sifat bersungut-sungut ini juga dapat membuat kita kurang peka dan kurang bersyukur atas berlimpahnya berkat penyertaan Tuhan yang telah kita alami. Bahkan dengan sifat bersungut-sungut, kita cenderung melihat kesalahan orang lain, daripada kesalahan diri sendiri. Padahal, melihat kesalahan sendiri adalah prasyarat pertobatan. Inilah yang diminta oleh Yesus, agar kita menarik hikmat dari berbagai peristiwa, bahkan tragedi di sekitar kita, sebagai ajakan untuk bertobat. Agar setelah bertobat, kita dapat mengisi hidup kita dengan kebaikan dan berbuah bagi Tuhan dan sesama.
Minggu depan adalah pertengahan Masa Prapaska. Gereja mengundang kita untuk bertobat dan mengaku dosa dalam sakramen Tobat. Gereja-gereja dibuka 24 jam, Jumat 4 Maret 2016, untuk melayani penerimaan sakramen ini. Dengan rasa syukur, marilah kita mempersiapkan batin untuk menerima rahmat pengampunan-Nya. Sebab pada Tuhan ada kasih setia, dan penebusan berlimpah….
Tuhan adalah penyayang dan pengasih, panjang sabar dan berlimpah kasih setia. Setinggi langit di atas bumi, demikian besarnya kasih setia-Nya atas orang-orang yang yang takwa kepada-Nya” (Mzm 103:8,11).
Sumber : http://www.katolisitas.org/
  

Borobudur Temple-Jawa Tengah, Indonesia

Prambanan Temple-Jawa Tengah, Indonesia
Raja Ampat-Papua Barat, Indonesia
Rammang Maros-Sulawesi, Indonesia
Bromo Mountain-Jawa Timur, Indonesia
Pekalen-Jawa Timur, Indonesia

Conservation Of Sibolangit-Sumatera Utara, Indonesia
Crater Lake Of Rinjani-NTB, Indonesia
Waterfall of Lembah Anai-Sumatera Barat, Indonesia
Pulau Beras Basah
Beras Basah Island-Kalimantan Timur, Indonesia 

 
 Labuan Cermin Lake-Kalimantan Timur-Indonesia
 
Pancur Aji Sanggau Waterfall-Kalimantan Barat-Indonesia
 pulau banda
 Banda Island-Maluku Tengah-Indonesia
Tempat Wisata di Manado - Taman Laut Bunaken 
Marine Park of Bunaken-Sulawesi Utara-Indonesia
Tempat Wisata di Manado - Pulau Lembeh 
Embeh Island-Sulawesi Utara-Indonesia
 
Beratan Bedugul Lake-Bali-Indonesia
Tanah Lot-Bali-Indonesia

 Tanjung Tinggi Beach-Belitung-Indonesia

Jangan kutip sabda Tuhan untuk menutupi dosa



[Minggu Prapaskah I: Ul 26:4-10a; Mzm 91:1-15; Rm 10:8-13; Luk 4:1-13]
Bacaan Injil di awal masa Prapaska ini mengisahkan tentang Tuhan Yesus yang berpuasa di padang gurun selama 40 hari lamanya, dan dicobai iblis. Mungkin banyak dari kita sudah berkali-kali membaca perikop ini, dan sejumlah dari kita bahkan hafal akan kisahnya. Namun hari ini, mari kita renungkan satu hal saja dari kisah tersebut. Yaitu bahwa iblis ‘berani’ menggoda Yesus, dan di puncak godaannya itu, iblis mengutip ayat-ayat Kitab Suci!
Fakta bahwa bahkan Yesus sendiri—ketika Ia mengambil rupa manusia—tidak luput dari godaan iblis, ini harus membuat kita waspada. Sebab tak ada seorang pun—sekalipun ia “dekat dengan Tuhan”—yang tidak pernah digoda oleh iblis. Godaan tidak selalu datang dalam bentuk yang hebat atau dahsyat. Bisa saja awalnya hanya godaan kecil-kecil saja, seperti godaan untuk makan di saat sedang berpuasa, godaan untuk mengabaikan puasa dan pantang, godaan untuk memilih apa yang enak saat sedang berniat bermatiraga. Namun godaan bisa meningkat, seperti godaan menyangkut ambisi akan kekuasaan dan kemuliaan, agar dihormati orang. Yesus pun digoda oleh iblis demikian. Yesus mengalahkan godaan itu dengan sabda Tuhan, “Manusia hidup bukan dari roti saja” (Ul 8:3); dan “Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti!” (Ul 6:13)
Lalu, entah karena ikut-ikutan atau karena memang cerdik dan culas, sang iblis juga mengutip Kitab Suci saat menggoda Yesus agar menunjukkan kehebatan-Nya dengan menjatuhkan diri dari bubungan Bait Allah. Sebab katanya, “Mengenai Engkau, Ia [Allah] akan memerintahkan malaikat-malaikat-Nya untuk melindungi Engkau, dan mereka akan menatang Engkau di atas tangannya, supaya kaki-Mu jangan terantuk kepada batu” (Mzm 91:11-12). Ayat-ayat ini kita dengar di Mazmur hari ini. Perkataan itu mengacu kepada janji Allah kepada umat-Nya, suatu ungkapan kiasan yang artinya adalah perlindungan Allah bagi orang percaya dari marabahaya. Namun iblis mengutip ayat ini untuk menggoda Yesus agar sengaja mendatangkan  bahaya atas diri-Nya—yaitu dengan menjatuhkan diri dari ketinggian. Agar dengan demikian, Yesus menunjukkan hebatnya perlindungan yang akan diterima-Nya dari Allah Bapa-Nya. Tetapi Yesus dengan tegas menjawab, “Jangan mencobai Tuhan, Allah-Mu!” (Ul 6:16)
Demikianlah, dewasa ini, ada orang-orang yang berusaha menutupi kesalahan dan dosa yang dibuatnya, dengan mengutip sabda Tuhan. Tentu tak ada kesalahan dalam sabda yang dikutip, namun hanya interpretasinya yang tidak benar. Ada orang yang mengutip kisah Yesus yang marah pada para pedagang-pedagang di bait Allah, sebagai pembenaran bagi sifatnya yang pemarah. Ada yang mengutip kisah hidup Raja Daud dan Salomo yang punya banyak istri, sebagai alasan baginya untuk menyetujui poligami. Ada yang menekankan ajaran kasih yang tak membeda-bedakan, untuk membenarkan dukungannya terhadap perkawinan sesama jenis. Atau orang mencari-cari ayat sebagai alasan untuk menceraikan istri atau suami dan kemudian menikah lagi. Bahkan mau berbuat curang pun mengartikan sendiri, (kali-kali aja itu termasuk arti) “cerdik seperti ular” tak apa, asal “tulus seperti merpati!”… dan masih banyak lagi. Semoga sabda Tuhan hari ini dapat menegur kita agar kita tidak memiliki kecenderungan mencari pembenaran diri, dari suatu perbuatan yang sudah jelas salah, dengan mengutip ayat-ayat Kitab Suci yang diartikan menurut kehendak sendiri. Dalam keadaan ingin membela diri, ada kecondongan orang hanya melihat sedikit ayat tanpa memperhitungkan ayat-ayat lainnya dalam Kitab Suci. Semoga kitapun diberi kewaspadaan agar tidak lekas terpengaruh oleh paham-paham yang keliru walaupun sepertinya terlihat “berbau ayat Kitab Suci”.  St. Ambrosius mengingatkan, “Jangan biarkan pengajar sesat memikatmu dengan memberikan contoh-contoh dari Kitab Suci. Iblis menggunakan kesaksian dalam Kitab Suci bukan untuk mengajar tetapi untuk menipu.” (St. Ambrose, in Catena Aurea, Luk 4: 9-13). Agar kita tidak jatuh dalam kesalahan semacam ini, kita perlu dengan rendah hati mendengarkan ajaran Magisterium Gereja, yang daripadanya kita memperoleh Kitab Suci. Sebab ajaran Magisterium merupakan rangkuman interpretasi yang benar akan ayat-ayat Kitab Suci.
Selanjutnya, hari ini kita diingatkan akan kerahiman Allah yang selalu menyertai umat-Nya. Sejak zaman Nabi Musa, sebagaimana kita dengar di Bacaan Pertama, Allah terus menolong umat-Nya, keluar dari penjajahan Mesir menuju ke Tanah yang dijanjikan-Nya. Gereja mengartikan penjajahan Mesir sebagai gambaran dari penjajahan dosa; pembebasannya adalah makna Baptisan dan bahwa Tanah Terjanji Kanaan yang sesungguhnya adalah Surga. Namun memang tak sedikit waktu perjalanan sejak bangsa Israel dibebaskan dari penjajahan Mesir, sampai ke Tanah Terjanji. Demikianlah pula, tak singkat waktu perjalanan sejak kita dibaptis sampai nanti kita berpulang dan dapat diterima dalam Kerajaan Surga. Ada jatuh bangun yang harus dilalui: jatuh  (lagi) ke dalam kelemahan kita, namun selalu ada kesempatan untuk bangun (lagi) melalui pertobatan selama kita masih hidup di dunia ini. Masa Prapaska adalah masa bagi kita untuk kembali bangun dari kejatuhan kita; bertobat dari segala kesalahan kita. Ini diawali dengan suatu langkah sederhana: mengakui bahwa kita telah berdosa. Kita tak perlu mencari pembelaan diri dari ayat-ayat manapun. Kalau kita sudah tidak jujur, ya katakan demikian di hadapan Tuhan. Demikian juga, kalau kita pemarah, sombong, ingin dipuji orang, dan sulit mengampuni. Ini saatnya kita berseru kepada Tuhan, yang kaya akan belas kasihan kepada semua orang yang berseru kepada-Nya (Rm 10:12).
Godaan-godaan mungkin memang tetap ada, kesesakan dalam hidup tidak berhenti, namun kasih Tuhan mengatasi semuanya itu. Yesus pun pernah mengalami godaan-godaan itu, namun Ia tidak jatuh ke dalamnya. Maka kini Ia membantu kita untuk melalui berbagai godaan dengan kekuatan yang daripada-Nya, supaya kita pun tidak jatuh. Sebab Yesus adalah Tuhan kita yang telah mengalahkan kuasa dosa dan maut; dan inilah yang akan kita peringati dengan penuh syukur di masa Paskah kelak.
Tuhan, betapa ingin ku melekat kepada-Mu, agar Engkau meluputkan aku dari segala godaan dosa. Kumohon, berilah aku kerendahan hati, agar dapat mengakui dosaku dengan jujur tanpa mencari pembenaran diri. Jawablah aku jika aku berseru dalam kelemahanku, dan lindungilah aku di dalam kesesakan. Amin.
Sumber : http://www.katolisitas.org/

  

Borobudur Temple-Jawa Tengah, Indonesia

Prambanan Temple-Jawa Tengah, Indonesia
Raja Ampat-Papua Barat, Indonesia
Rammang Maros-Sulawesi, Indonesia
Bromo Mountain-Jawa Timur, Indonesia
Pekalen-Jawa Timur, Indonesia
 
Conservation Of Sibolangit-Sumatera Utara, Indonesia
Crater Lake Of Rinjani-NTB, Indonesia
Waterfall of Lembah Anai-Sumatera Barat, Indonesia
Pulau Beras Basah
Beras Basah Island-Kalimantan Timur, Indonesia 

 
 Labuan Cermin Lake-Kalimantan Timur-Indonesia
 
Pancur Aji Sanggau Waterfall-Kalimantan Barat-Indonesia
 pulau banda
 Banda Island-Maluku Tengah-Indonesia
Tempat Wisata di Manado - Taman Laut Bunaken 
Marine Park of Bunaken-Sulawesi Utara-Indonesia
Tempat Wisata di Manado - Pulau Lembeh 
Embeh Island-Sulawesi Utara-Indonesia
 
Beratan Bedugul Lake-Bali-Indonesia
Tanah Lot-Bali-Indonesia

 Tanjung Tinggi Beach-Belitung-Indonesia
Pandangan Tentang Dosa Dewasa Ini



PENGANTAR

Dunia dewasa ini semakin maju. Pandangan dan gaya hidup semakin beragam. Dalam banyak hal, orang tidak mau lagi tunduk kepada hukum kodrat, apalagi hukum ilahi. Setelah ditelusuri, ternyata penyebab semua ini adalah arus pemikiran yang pada mulanya muncul di Eropa lalu berkembang ke seluruh dunia. Arus pemikiran itu adalah individualisme. Individualisme menempatkan individu sebagai realitas yang berdiri sendiri, sebagai otonomi bebas yang bergerak di luar kungkungan jerat budaya, agama, etika, hukum, dll. Dalam pandangan individualisme, kebebasan individu berada di atas segalanya.

Individualisme melahirkan materialisme yang meniadakan sesuatu yang ilahi. Pandangan ini dapat diringkas dengan ”yang ada adalah yang dapat dilihat, diraba, dirasakan oleh indra.” Pandangan ini memporak-porandakan agama atau iman yang persis memiliki fondasi ilahi. Bagi kaum individualis dan materialis, surga itu mimpi, sedangkan dosa itu manusiawi dan merupakan bagian dari kelemahan psikologis.


KEHILANGAN KESADARAN DOSA

Akibat dari individualisme dan materialisme adalah munculnya krisis kesadaran manusia modern tentang dosa. Krisis ini bisa diwakili oleh pandangan ”hari gini masih berbicara dan berpikir tentang dosa?” Ungkapan ini sebetulnya mau mengatakan bahwa dosa itu adalah istilah kuno yang sekarang tidak patut dibicarakan, tidak memiliki makna bagi orang modern. Dosa tidak relevan lagi untuk dibicarakan, alias sudah ketinggalan zaman. Krisis kesadaran akan dosa ini sebenarnya sudah dibaca oleh Paus Leo XIII ketika ia mengatakan, ”Dosa terbesar jaman ini adalah manusia kehilangan rasa berdosa.”

Krisis kesadaran ini ditandai oleh banyaknya istilah yang sebenarnya sebagai bentuk bahasa lembut dari dosa. Kecenderungan tidak menggunakan istilah ”dosa” menunjukkan keengganan manusia jaman sekarang untuk mengakui perbuatan-perbuatan tertentu sebagai sungguh-sungguh dosa pribadi yang menuntut pertobatan. Beberapa ungkapan dewasa ini yang dipakai sebagai bentuk halus dari ungkapan dosa antara lain: kesalahan, salah perhitungan, kekeliruan, kurang studi kelayakan, belum profesional, kelalaian, human error, kelemahan manusiawi, hanya perbedaan persepsi, dll.

Manusia dewasa ini sesungguhnya kehilangan rasa rohani yang sebetulnya melekat erat dalam dirinya. Dengan tidak adanya rasa rohani maka rasa dosa pun akan hilang. Kehilangan rasa dosa tidak saja pada orang-orang non Katolik, tetapi juga pada orang-orang Katolik. Akibatnya Sakramen Tobat kurang dihayati. Lihat saja pada masa Adven dan PraPaskah─yang hanya sekali setahun─hanya sedikit orang yang antri untuk menerima Sakramen Tobat (Sakramen Pengakuan Dosa) di paroki-paroki. Kalaupun ada orang yang datang pengakuan dosa pada kedua masa ini, seringkali terkesan ”terpaksa”.Kesadaran yang muncul dari dalam diri sendiri tidak ada lagi.

Oleh karena itu, di tengah kehilangan kesadaran manusia dewasa ini akan dosa, perlulah kembali pada teologi tentang dosa. Tentu saja refleksi ini sangat berkaitan dengan iman. Sebab tanpa kembali ke titik tolak iman, dosa tidak ada artinya.


BERTEOLOGI TENTANG DOSA

Dosa adalah realitas yang menjadi bagian dari iman. Orang melakukan dosa dan mengenalnya sebagai dosa hanya kalau dia memiliki iman. Hanya orang beriman yang dapat mengakui dirinya sebagai seorang pendosa dalam arti sesungguhnya. Iman tentu saja berkaitan dengan keselamatan yang dibawakan oleh Yesus Kristus. Maka, berbicara tentang dosa tidak bisa hanya sampai ”kata atau tindakan dosanya,” melainkan harus dikaitkan dengan keselamatan yang dibawakan oleh Yesus Kristus. Yesus datang untuk menyelamatkan dan membebaskan manusia dari dosa.

Dalam kaitan dengan keselamatan yang dibawakan oleh Yesus Kristus, dosa adalah tindakan manusia beriman yang tidak sesuai dengan keselamatan itu. Dengan kata lain, manusia beriman itu menantang arus keselamatan yang seharusnya diterima sebagai suatu anugerah Allah. Manusia beriman lebih tertarik dengan tindakan yang berlawanan dengan keselamatan. Manusia beriman lebih memilih ”yang bukan ilahi” daripada yang ilahi. Seperti yang dikatakan St. Agustinus, ketika ia berbicara tentang dosa. Dosa adalah tindakan ketika manusia memeluk ciptaan. Dengan memeluk ciptaan, Ia melePaskahn Penciptanya dengan tindakan keselamatan yang kerjakan-Nya atas dirinya. Ingat apa yang dikatakan Yesus, ”Seorang hamba tidak dapat mengabdi kepada dua tuan” (Luk 16:19). Ia tidak bisa sekaligus mengabdi kepada Allah dan kepada mamon. Jadi, manusia dapat memahami dosa hanya dalam kaitannya dengan iman. Tanpa iman dia tidak mengetahui perbuatannya adalah dosa.

Dosa dengan demikian adalah bagian dari realitas iman. Hal ini harus diakui. Iman tidak lain adalah jawaban ”ya” secara bebas dari manusia terhadap pewahyuan Allah yang menyelamatkan manusia. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa dosa adalah bagian dari realitas keselamatan. Kesadaran akan dosalah yang membuat manusia sadar bahwa dirinya membutuhkan keselamatan lewat pengampunan dosa. Sejarah kedosaan manusia berarti juga menjadi suatu sejarah keselamatan (bdk. 1Yoh 3:1-10). Demikian juga sejarah keselamatan terkandung di dalam sejarah kejatuhan manusia dalam dosa. ”Oh felix culpa”’Oh, dosa yang membahagiakan’ dapat dipahami dalam kerangka pemikiran ini. Di sini sejarah keselamatan berisi sejarah kedosaan manusia, tetapi sekaligus sejarah belaskasih Allah akan umat-Nya yang berdosa.

Berbicara tentang dosa dan keselamatan, mau tidak mau berbicara tentang Yesus Kristus sebagai pangkal keselamatan. Yesus Kristus ditempatkan dalam konteks situasi dosa manusia sebagai seorang yang tidak mengenal dosa tetapi yang menanggung akibat-akibatnya. Yesus Kristus yang tidak mengenal dosa, seolah-olah menjadi pendosa demi kita. Paulus mengatakan: ”Dia yang tidak mengenal dosa telah dibuat-Nya menjadi dosa karena kita, supaya dalam Dia kita dibenarkan oleh Allah” (2Kor 5:21). Lebih jelas lagi hal ini kalau dihubungkan dengan Gal 3:13-14, ”Kristus telah menebus kita dari kutuk hukum Taurat dengan jalan menjadi kutuk karena kita, sebab ada tertulis: ’Terkutuklah orang yang digantung pada kayu salib!’Yesus Kristus telah membuat ini, supaya di dalam Dia berkat Abraham sampai kepada bangsa-bangsa lain, sehingga oleh iman kita menerima Roh yang telah dijanjikan itu.”

Makna hal ini adalah semua manusia berada di bawah kuasa dosa. Yesus muncul sebagai kekuatan baru, sebagai awal baru, sebagai tunas baru dari keturunan Adam. Ia muncul dan menghancurkan kuasa dosa dengan cara memasuki wilayah dosa itu, bahkan sampai terkena akibatnya, akan tetapi Ia tetap mempertahankan identitas-Nya sebagai ”Yang Kudus dari Allah”. Yesus tidak tertular atau terkontaminasi oleh kuasa dosa itu, tetapi Ia menanggung akibat-akibat dosa itu dengan mati seperti seorang pendosa dan terkutuk. Akibat-akibat dosa mestinya diterima oleh manusia yang melakukannya. Tetapi, kini Yesus datang untuk menanggung akibat-akibat itu (hanya akibat-akibatnya, bukan dosanya). Inilah yang menjadi inti kabar gembira yang dibawakan oleh Yesus. Maka, apa yang dinubuatkan oleh Deutero Yesaya digenapi dalam diri Yesus:

”Tetapi sesungguhnya, penyakit kitalah yang ditanggungnya, dan kesengsaraan kita yang dipikulnya, [...]. Tetapi dia tertikam oleh karena pemberontakan kita, dia diremukkan oleh karena kejahatan kita; ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepadanya, dan oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh. [...] ia terhitung di antara pemberontak-pemberontak, sekalipun ia menanggung dosa banyak orang dan berdoa untuk pemberontak-pemberontak” (Yes 53:4-5. 12b).


KEBUTUHAN SAKRAMEN PERTOBATAN

Paulus mengatakan dalam suratnya kepada umat di Roma, ”di mana dosa bertambah banyak, di sana kasih karunia menjadi berlimpah-limpah” (Rm 5:20). Kasih karunia Allah itu tetap melimpah, walaupun manusia berada dalam himpitan dosa. Akan tetapi, hal itu tidak berarti manusia boleh tetap tenggelam dalam kubangan dosa dengan harapan kasih Allah pasti akan dicurahkan secara melimpah. Ini adalah harapan naif. Di sini dibutuhkan usaha dari manusia bersama dengan harapan akan rahmat Allah yang bekerja dalam dirinya.

Jaman sekarang dosa semakin melimpah. Ini mau menunjukkan rahmat Allah juga melimpah dan usaha manusia harus semakin lebih lagi untuk menghindari himpitan dosa. Maka, kebutuhan akan rekonsiliasi dengan Allah harus semakin lebih lagi. Namun, di tengah kesadaran akan kehilangan rasa dosa, maka perlu dibangun kembali suatu kesadaran baru dalam hati manusia akan sengatan dosa dan kebutuhan akan keselamatan dalam Yesus Kristus.

Oleh sebab itu, kebutuhan akan Sakramen Pertobatan menjadi sesuatu yang mendesak. Nabi Yoel dalam kitabnya mendesak umat untuk sesegera mungkin berbalik kepada Allah. Jangan ditunda-tunda, sekali lagi jangan ditunda-tunda.

”’Tetapi sekarang juga,’ demikianlah firman TUHAN, ’berbaliklah kepada-Ku dengan segenap hatimu, dengan berpuasa, dengan menangis dan dengan mengaduh.’ Koyakkanlah hatimu dan jangan pakaianmu, berbaliklah kepada TUHAN, Allahmu, sebab Ia pengasih dan penyayang, panjang sabar dan berlimpah kasih setia, dan Ia menyesal karena hukuman-Nya” (Yoel 2:12a.13).

Hal yang sama juga ditegaskan dalam Perjanjian Baru setelah Yohanes Pembaptis yang muncul mewartakan pertobatan ditangkap. Yesus tampil mewartakan Kerajaan Allah dan pertobatan. ”Waktunya telah genap; Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil!” (Mrk 1:14). ”Waktunya telah genap”, ”saatnya telah tiba”, ”sekarang juga” kita harus berbalik kepada Allah. Ini menunjukkan bahwa tindakan berbalik kepada Allah tidak boleh ditunda-tunda.

Pertobatan menjadi seruan yang harus selalu digemakan oleh orang-orang Kristiani sepanjang zaman. Bahkan, seruan ini harus semakin bergema dari saat ke saat. Gereja Katolik memiliki sarana istimewa dimana manusia yang berdosa memperoleh pengampunan dari Allah, yaitu Sakramen Pengakuan Dosa. Supaya orang-orang dewasa ini memahami sakramen ini maka perlu menekankan beberapa dimensi:

Pertama, dimensi misteri Paskah atau hubungan pertobatan dengan kebangkitan Kristus. Sakramen Pertobatan adalah perjumpaan pribadi antara manusia yang berdosa dengan Tuhan yang Maharahim. Misteri Paskah (Kristus yang telah wafat dan bangkit) menjadi landasan perjumpaan ini. Inilah spiritualitas yang mendasari sakramen ini.

Kedua, dimensi eklesial. Dosa tidak saja memiliki efek bagi pribadi seseorang tetapi, juga bagi Gereja. Dengan berdosa seorang Kristiani melukai hubungannya dengan Gereja. Maka, pertobatan adalah rekonsiliasi tidak hanya dengan Allah dan diri sendiri, tetapi juga dengan Gereja sebagai komunitas keselamatan.

Ketiga, dimensi liturgis. Liturgi adalah perayaan mewartakan sabda dan membangkitkan iman. Pelaksanaan Sakramen Pengampunan Dosa perlu mengambil bentuk-bentuk liturgi yang membantu umat mendalami makna pertobatan.

Keempat, dimensi personal. Pertabatan hendaknya menjadi titik tolak pembaruan hidup personal. Tidak cukup orang masuk ke ruang pengakuan, lalu mengakukan dosa-dosanya, tetapi harus ada niat pembaruan diri setiap hari.

Kelima, dimensi historis. Peristiwa pertobatan terjadi dalam sejarah hidup seseorang sebagai sebuah proses. Pertobatan adalah momen penting dimana seseorang berusaha melawan kuasa dosa dan mengarahkan hidupnya menuju panggilan Allah. Peristiwa pertobatan adalah peristiwa historis dimana panggilan menuju kepenuhan hidup Kristus dipenuhi.


PENUTUP

Dosa di satu pihak semakin mengerikan dewasa ini. Kehilangan rasa dosa membuat orang-orang Kristiani terjebak dalam pandangan dan bentuk hidup yang dilahirkan individualisme dan materialisme. Akan tetapi, di tengah situasi ini Yesus Kristus selalu mencurahkan kasih karunia-Nya kepada umat. Kasih karunia itu terutama disediakan Allah melalui Gereja-Nya, antara lain dalam Sakramen Pertobatan. Mari kita menanggalkan dosa-dosa kita dan mengenakan Yesus Kristus. Mari kita mati bersama Dia agar kita ikut bangkit bersama Dia pula dalam Paskah. ”Di mana dosa bertambah banyak, di sana kasih karunia menjadi berlimpah-limpah” (Rm 5:20). Inilah saat yang tepat bagi kita untuk dilahirkan menjadi manusia baru dalam diri Yesus Kristus.

Sumber : www.carmelia.net/


  

Borobudur Temple-Jawa Tengah, Indonesia

Prambanan Temple-Jawa Tengah, Indonesia
Raja Ampat-Papua Barat, Indonesia
Rammang Maros-Sulawesi, Indonesia
Bromo Mountain-Jawa Timur, Indonesia
Pekalen-Jawa Timur, Indonesia
 
Conservation Of Sibolangit-Sumatera Utara, Indonesia
Crater Lake Of Rinjani-NTB, Indonesia
Waterfall of Lembah Anai-Sumatera Barat, Indonesia
Pulau Beras Basah
Beras Basah Island-Kalimantan Timur, Indonesia 

 
 Labuan Cermin Lake-Kalimantan Timur-Indonesia
 
Pancur Aji Sanggau Waterfall-Kalimantan Barat-Indonesia
 pulau banda
 Banda Island-Maluku Tengah-Indonesia
Tempat Wisata di Manado - Taman Laut Bunaken 
Marine Park of Bunaken-Sulawesi Utara-Indonesia
Tempat Wisata di Manado - Pulau Lembeh 
Embeh Island-Sulawesi Utara-Indonesia
 
Beratan Bedugul Lake-Bali-Indonesia
Tanah Lot-Bali-Indonesia
 Tanjung Tinggi Beach-Belitung-Indonesia