Senin, 16 September 2013




 

Riwayat Hidup

Rafqa lahir pada tanggal 29 Juni 1832, bertepatan dengan Hari Raya St. Petrus dan Paulus, disebuah desa di wilayah Metn Utara, Libanon. Ia adalah puteri tunggal dari pasangan Mourad Saber al-Chobouq al-Rais dan Rafqa Gemayel. Ia dibaptis pada tanggal 7 Juli 1832 oleh Abouna (=Pater, dalam bahasa Aram) Hanna al-Rais di gereja Mar Jergyes (St.George) dan diberi nama Boutrossie (bentuk feminin dari Boutros/Petrus). Masa kecil Boutrossie berlangsung bahagia, ia dibesarkan dalam keluarga Katolik ritus Maronite yang saleh, ketika ia berusia tiga tahun orang tuanya mulai mengajarkan doa-doa dasar seperti Tanda Salib, Bapa Kami, dan Salam Maria serta mengajaknya untuk terlibat aktif dalam kehidupan Paroki di desa mereka.

Rafqa Gemayel meninggal ketika Boutrossie berusia 7 tahun. Setelah ibunya meninggal, Boutrossie tinggal bersama ayahnya, namun kesulitan ekonomi yang melanda seluruh Libanon dan juga keluarga itu memaksa sang ayah untuk pergi merantau ke Damaskus. Selama sang ayah berada di Damaskus, Rafqa dititipkan kepada keluarga Assaad Badawi, yang merupakan keluarga kaya dan terpandang di wilayah itu. Meskipun dititipkan untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga, namun keluarga Assaad Badawi sangat menyayangi Boutrossie, istri Assad yang bernama Heleneh memperlakukan Boutrossie sebagai puterinya sendiri dan menyebut Boutroussie sebagai teladan kejujuran, kesalehan, dan kemurnian.

Setelah empat tahun tinggal bersama keluarga Badawi, Rafqa kembali kepada ayahnya. Keadaan keluarga mereka kini mengalami perubahan karena sang ayah telah menikah kembali dengan seorang perempuan bernama Kafa. Boutrossie sangat disayang oleh ibu tirinya, namun rasa sayang ini justru menimbulkan konflik dalam keluarga besar. Kafa rupanya berniat menjodohkan Boutrossie dengan adik laki-lakinya, sementara itu bibinya, yang merupakan saudari ibu kandungnya berniat menjodohkan Boutroussie dengan puteranya. Kemudian timbullah pertengkaran antara ibu tiri dan bibi Boutroussie, mereka berdua berebut menjodohkan Boutroussie dengan pilihan masing-masing.

Di tengah-tengah keributan mengenai perjodohan itu, Boutroussie justru merasakan adanya panggilan untuk suatu cara hidup yang lain. Didalam hatinya ia merasa bahwa Allah memanggilnya untuk hidup membiara. Dalam kebingungannya ini Boutroussie menemukan sosok pembimbing rohani pada diri Abouna Youseff Gemayel. Abouna Youseff masih kerabat almarhum ibunya dan merupakan pembimbing rohani yang baik. Boutroussie sering mengunjungi Abouna Youseff di Paroki St. Mikael di Bifkaya dan di sana ia mengenal Konggregasi Mariamite yang didirikan oleh Abouna Youseff bersama para misionaris Yesuit.

Pada tahun 1859 Boutroussie memutuskan untuk masuk Konggregasi Mariamite setelah ia diteguhkan lewat sebuah suara yang mengatakan kepadanya “kamu akan menjadi biarawati” saat ia dan 2 orang temannya berdoa di hadapan ikon Bunda Maria Pembebasan. Keluarga Boutroussie rupanya tidak begitu setuju dengan keputusannya untuk menjadi biarawati, ayah dan ibu tirinya datang ke biara meminta ia pulang, namun Boutroussie menolaknya, ia memilih untuk tetap menjadi biarawati.

Di biara Boutroussie mulanya bertugas di dapur untuk mempersiapkan makanan bagi para seminaris dan menggunakan waktu luangnya untuk memperdalam bahasa Arab, kaligrafi, dan matematika. Pada tahun 1860 Boutroussie mulai ditugaskan untuk mengajar, tugas pertamanya adalah di Deir al Kamar, dan di tempat ini pula ia menyaksikan suatu kerusuhan berdarah yang dipicu oleh serangan orang-orang Druze terhadap warga Maronite, kerusuhan itu menewaskan sekitar 7000 orang, menghancurkan 360 desa, 560 gereja, 28 sekolah dan 42 biara. Dalam kerusuhan itu Boutroussie sempat menyelamatkan seorang anak dengan cara yang unik, yaitu menyembunyikannya di balik jubah sehingga anak itu lolos dari kejaran para perusuh.

Kemudian Boutroussie dipindahkan ke Byblos dan akhirnya ke sebuah desa bernama Maad. Kedatangan para suster Mariamite ke Maad difasilitasi oleh seorang kaya bernama Antoun Issa. Antoun Issa menghendaki agar di desanya didirikan sebuah sekolah bagi anak-anak perempuan, ia meminta agar Patriarkh Masaad bersedia memberi izin kepada para suster Mariamite untuk berkarya di desanya. Lebih jauh lagi ia menyumbangkan segala yang diperlukan untuk mendirikan sekolah, dan menyerahkan separuh rumahnya untuk dijadikan rumah para suster.

Para suster cepat diterima di Maad dan sekolah yang mereka dirikan berkembang pesat, tetapi kesulitan ekonomi lagi-lagi mendatangkan masalah bagi para suster. Kesulitan ekonomi membuat para Yesuit memutuskan untuk menggabungkan Konggregasi Mariamite dan Hati Kudus dari Zahle. Para suster yang tidak setuju dengan penggabungan itu dipersilakan meninggalkan biara. Situasi kembali menjadi sulit bagi Boutroussie.

Tuan Antoun Issa yang senang dengan pekerjaan para suster menawarkan jika para suster memilih meninggalkan biara mereka tetap tinggal di desanya dan ia akan menggaji mereka sebagai guru. Boutroussie menolak permintaan ini, dan menceritakan pengalaman rohaninya kepada Tuan Antoun bahwa ia ingin menjadi pertapa. Boutroussie menceritakan bagaimana ia mendapat mimpi bertemu St. Antonius Agung, St. George, dan St. Simon pertapa dan St. Simon memintanya bergabung dengan para pertapa Maronite yang dikenal dengan sebutan Baladite. Boutroussie menceritakan bahwa mimpi ini memberinya kebahagiaan dan menghapuskan semua kekhawatirannya. Tuan Antoun dan Boutroussie sama-sama yakin bahwa mimpi ini adalah jawaban dari Allah atas pergumulan hidup Boutroussie. Selanjutnya Tuan Antoun membantu Boutroussie masuk biara Baladite dengan meminta rekomendasi bagi Boutroussie dari sejumlah imam dan uskup yang dikenalnya.

Boutroussie kemudian menjadi biarawati di Pertapaan St. Simon al-Qarn di Aito dan tetap setia sampai akhir hayatnya. Ia mengganti namanya dari Boutroussie menjadi Rafqa, sesuai dengan nama ibunya, orang pertama yang memperkenalkan Kristus dan menanamkan rasa cinta kepada Allah dalam dirinya, dan mengingatkan kita kepada Ribka atau Rebecca dari Perjanjian Lama (nama Rafqa adalah dialek Arab dari Ribka). Pada minggu pertama bulan Oktober 1885, Rafqa meminta agar Yesus memberinya penyakit dan penderitaan sehingga ia dapat menemani Yesus menanggung penderitaan dan sengsara-Nya. Doa Rafqa ini dijawab dengan cepat, ia menderita penyakit pada mata yang berakhir dengan kebutaan dan juga menderita lumpuh. Rafqa melewati tahun-tahun penderitaannya dengan penuh syukur karena diberi kesempatan untuk menemani Yesus dalam sengsara-Nya. Akhirnya setelah melewati penderitaan panjang Rafqa meninggal pada tanggal 23 Maret 1914, bertepatan pada hari Senin Abu (permulaan masa Prapaskah menurut kalender liturgi Maronite), ia meninggal sekitar 4 menit setelah menerima absolusi dan berkat terakhir.

Pada tanggal 11 Februari 1982 Paus Yohanes Paulus II menyatakan Rafqa sebagai Venerabilis, dan kemudian pada tanggal 17 November 1985 menyatakan Rafqa sebagai Beata, dan akhirnya pada tanggal 10 Juni 2001 menyatakannya sebagai Santa.


Menderita Bersama Yesus

Salah satu hal yang paling menonjol dalam kehidupan rohani Rafqa adalah kerelaannya untuk menderita bersama Yesus. Kesadaran ini muncul setelah ia melihat penderitaan para saudari sebiaranya yang sedang sakit, penderitaan masyarakat di Deir al Kamar dan kemudian dengan penyakitnya sendiri. Melalui semua penderitaan ini Rafqa semakin mencintai Salib dan ingin memanggulnya bersama sang Penebus. Rafqa menghayati benar kata-kata Kitab Suci “sebab sama seperti kami mendapat bagian berlimpah-limpah dalam kesengsaraan Kristus, demikianlah pula oleh Kristus kami menerima penghiburan berlimpah-limpah” (2Kor 1:5), “bersukacita karena boleh menderita dan menggenapkan apa yang kurang pada penderitaan Kristus, untuk tubuh-Nya, yaitu Gereja” (Kol 1: 24), “bersukacitalah sesuai dengan bagian yang kamu dapat dalam penderitaan Kristus supaya kamu juga boleh bergembira dan bersukacita pada waktu Ia menyatakan kemuliaan-Nya” (1 Ptr 4: 13). Bagi Rafqa semua penderitaan tidaklah sia-sia karena melaluinya Tuhan bekerja sehingga “penderitaan kami menjadi penghiburan dan keselamatan bagi kamu; jika kami dihibur, maka hal itu adalah untuk penghiburan kamu, sehingga kamu beroleh kekuatan untuk dengan sabar menderita kesengsaraan yang sama seperti yang kami derita juga” (2Kor 1:6).

Kerinduan ini membawa Rafqa untuk meminta penderitaan dari Tuhan, ia rindu untuk membawa tanda-tanda kesengsaraan Kristus dalam dirinya (Gal 6: 17). Kerinduan inilah yang akhirnya mendorong Rafqa untuk berdoa secara khusus memohon agar Tuhan berkenan memberinya suatu penderitaan. Doa Rafqa ini dijawab dengan cepat dan segera oleh Tuhan, tak lama setelahnya Rafqa mendapatkan rasa sakit yang luar biasa pada matanya, kedua matanya membengkak dan tampak seperti terbakar. Para rekan susternya berusaha mengobati penyakit ini dengan mengirimkan Rafqa ke sejumlah dokter, namun upaya ini tampak sia-sia. Setelah pengobatan ke dokter-dokter lokal tidak membuahkan hasil. Suatu ketika seorang imam meminta agar Rafqa dibawa kepada seorang dokter Amerika yang sedang berada di Libanon, dokter Amerika ini kemudian mengoperasi Rafqa. Operasi ini berakhir dengan kegagalan dan Rafqa kehilangan mata kanannya, sehingga para suster terpaksa membawa Rafqa ke dokter lain lagi untuk menghentikan pendarahan yang masih berlangsung akibat operasi. Dua tahun setelah operasi Rafqa mata kirinya juga menjadi buta, dan Rafqa mengalami kebutaan total. Selain buta dan tetap mengalami rasa sakit pada matanya, Rafqa juga menderita kelumpuhan dan kerap kali mengalami pendarahan dari hidungnya. Ia menjadi kurus kering dan kondisinya sangat lemah. Secara khusus ia sangat tersiksa dengan rasa sakit pada kedua bahunya, rasa sakit yang membuatnya berkali-kali berdoa “bagi kemuliaan Allah, dalam partisipasi dengan luka Yesus pada bahu-Nya”.

Meskipun sakit parah, Rafqa selalu berusaha untuk menjalankan semua kewajiban hidup membiaranya. Sejauh mungkin ia berusaha agar dapat mengikuti ibadat bersama di kapel, dan ketika ia tidak mampu maka ia mengisinya dengan berdoa sendirian di tempat tidurnya. Sekalipun ia buta dan lumpuh namun ia tetap bekerja dengan menjahit dan menyulam. Rafqa yakin bahwa Allah sengaja tidak memberikan rasa sakit pada kedua tangannya agar ia tetap dapat bekerja dengan tangan itu.

Rafqa mengalami penderitaan ini selama sekitar 20 tahun, dan kesaksian dari mereka yang pernah mengenalnya mengatakan kepada kita bahwa mereka tidak pernah melihat ia mengeluh. Dari diri Rafqa sendiri terlihat jelas bahwa ia menyadari benar bahwa penderitaannya adalah “bagi kemuliaan Allah, dengan ambil bagian dalam luka Yesus dan mahkota duri-Nya”.


Kecintaan kepada Ekaristi Kudus dan Perawan Maria

Pada tahun 2000, bertepatan dengan Yubileum Agung, Paus Yohanes Paulus II menetapkan Rafqa sebagai teladan dalam melakukan Adorasi kepada Sakramen Mahakudus. Selama hidupnya Rafqa menunjukkan betapa ia mencintai Tuhan dalam Ekaristi dan berusaha agar orang lain juga memiliki cinta kepada Yesus dalam Ekaristi. Sewaktu ia masih menjadi guru ia kerap kali mengatakan kepada para muridnya “Kalian hendaknya mengerti bahwa Yesus turun ke Altar saat imam mengucapkan Kata-kata Suci (konsekrasi), pada saat itu, tundukkanlah kepala kalian dan renungkanlah Tuhan yang tersembunyi dalam Roti dan Anggur”. Ia juga mendorong agar para muridnya kerap menerima Sakramen Tobat dan sering menyambut Komuni. Rafqa juga adalah orang yang diduga mendorong kebiasaan Penahtaan Sakramen Mahakudus di gereja St. Yohanes Markus di Byblos dan menyebarkan devosi ini di kota itu.

Rafqa menyadari benar bahwa Ekaristi adalah suatu Kurban sebagaimana orang-orang Maronite menyebut Misa dengan nama Qurbono, sebuah kata dalam bahasa Aramaik yang berarti Kurban. Maka Ekaristi adalah suatu Kurban yang dipersembahkan kepada Allah dan pada saat yang sama adalah santapan yang menguduskan jiwa kita sebagaimana dalam bahasa Arab mereka menyebutnya Quddas (Kudus). Pemahaman ini mendorong Rafqa untuk bertekun dalam menjaga kekudusan dan mempersembahkan hidupnya sebagai kurban bagi Allah.

Rafqa menunjukkan cintanya kepada Ekaristi dengan cara yang luar biasa. Pada suatu Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus antara tahun 1905-1914, ia begitu ingin mengikuti Misa di kapel sekalipun tubuhnya lumpuh dan sangat lemah. Para suster berusaha memindahkan dia ke kapel namun gagal karena Rafqa yang selain lumpuh juga sudah sangat kurus kering itu terlalu lemah untuk beranjak dari tempat tidurnya, sehingga suster pemimpin biara hanya menjanjikan bahwa sesudah Misa, imam akan mengantarkan Komuni untuknya. Namun, kemudian dengan bantuan rahmat Allah, Rafqa meminta agar Yesus membawanya ke kapel. Ia memperoleh sedikit tenaga untuk menjatuhkan dirinya ke lantai dan kemudian merangkak ke kapel. Dengan perjuangan yang luar biasa Rafqa tiba di kapel dan menyambut Komuni. Tindakan ini menunjukkan betapa besarnya cinta Rafqa kepada Yesus dalam Ekaristi dan menegaskan bahwa Ekaristi adalah sumber kekuatan dan penghiburan di tengah segala penyakit dan kelemahan tubuhnya.

Rafqa juga memiliki cinta yang besar kepada Perawan Maria, devosi kepada Perawan Maria adalah warisan yang sangat berharga yang ia terima dari ibunya. Sedari kecil Rafqa memiliki ikatan yang istimewa dengan Bunda Maria, khususnya dengan ikon Bunda Maria Pembebasan yang populer di Libanon ketika itu. Tradisi rohani orang-orang Libanon secara umum memiliki hubungan erat dengan Santa Perawan, di negara itu Bunda Maria populer dengan nama “Bunda kita dari Libanon” dan devosi kepada Maria tumbuh sangat subur dalam lingkungan ritus Maronite dan semua orang Kristen Libanon entah mereka itu Katolik (Maronite, Syriac, Chaldean, Yunani, Latin dst), Ortodoks Yunani, ataupun Ortodoks Syria (Monofisit).




Garam dan Terang Dunia

Setelah kematiannya, tepatlah jika kata-kata Kitab Suci ini dikenakan kepada Rafqa “Yang mati dibunuhnya pada waktu matinya itu lebih banyak dari pada yang dibunuhnya pada waktu hidupnya” (Hakim 16: 30b). Begitulah setelah kematiannya Rafqa telah membuat banyak orang mati terhadap dosa dan hidup bagi Kristus jauh lebih banyak daripada yang telah ia lakukan selama hidupnya. Rafqa telah menjadi sumber kekuatan bagi mereka yang menderita khususnya karena penyakit yang amat parah. Ia menunjukkan bahwa penderitaan kita tidaklah tanpa arti dan di tangan Tuhan penderitaan kita menjadi sesuatu yang berharga untuk keselamatan kita dan juga orang lain. Penderitaan Rafqa juga telah menjadi sumber penghiburan bagi banyak orang lain yang menderita, yang dengan menatap penderitaannya telah memperoleh kekuatan dan penghiburan dari Tuhan. Rafqa juga telah menjadi perantara bagi banyak mukjizat penyembuhan dan pertobatan sehingga nama Tuhan semakin dimuliakan melaluinya.

Peringatan St. Rafqa dirayakan pada tanggal 23 Maret setiap tahunnya dalam kalender liturgi Gereja Maronite. Dalam peringatan ini dipilih dua bacaan dari 2 Korintus 1: 1-7 dan Lukas 10: 38-42. Bacaan pertamanya menyoroti bagaimana penderitaan yang kita alami dapat menjadi sumber inspirasi dan kekuatan bagi orang lain, pemilihan bacaan ini sungguh merefleksikan pengalaman hidup Rafqa yang menjadi teladan iman bagi orang-orang disekitarnya dengan ketabahannya menanggung penderitaan. Bacaan Injil mengambil kisah Maria dan Marta, dan menggemakan hidup kontemplatif yang dijalani Rafqa, dan bagaimana ia mengambil peran Maria dan Marta melalui hidup biaranya. Ketersembunyiannya dalam biara ternyata tidak menghalanginya untuk menjadi rasul yang membawa kabar gembira keselamatan Tuhan kepada sesama. Penyebaran kisah ketabahannya menanggung penderitaan tidak bisa dibendung karena ketaatan dan ketabahannya sungguh berasal dari Roh Kudus dan pewartaan yang penuh kuasa ini pun tersebar luas ke berbagai tempat.

Oleh karena itu tepatlah Paus Yohanes Paulus II pada saat ia menyatakan Rafqa sebagai Beata mengatakan hal ini tentang dirinya: “Beata Rafqa dari Himlaya adalah “garam dan terang dunia”. Dan inilah perutusan dari semua murid-murid Yesus. Setelah ia menerima banyak dari harta Gereja dan hidup membiara, Beata yang baru ini memberikan kepada Gereja dan tanah airnya, secercah rahasia keberadaan, yang sepenuhnya diperkaya oleh Jiwa sang Penebus. Rafqa bagaikan lampu yang menyala di puncak gunung. Kita dapat menggambarkan dia dengan kata-kata indah dari Mazmur 92 (ayat 12): Orang benar akan bertunas seperti pohon kurma, akan tumbuh subur seperti pohon aras di Libanon.” (Tulisan ini dibuat dengan mengacu pada riwayat hidup St. Rafqa yang dimuat di saintrafqa.org, wikipedia, dan vatican.va) 
 
Sumber : http://www.carmelia.net/index.php/artikel/riwayat-para-kudus/334-st-rafqa-boutrossie-al-choubouq-al-rais
 
 

Senin, 09 September 2013

Apologetika: “Filioque Procedit” terbukti dalam Wahyu 22:1



Et in Spiritum Sanctum, Dominum et vivificantem: qui ex Patre Filioque procedit.
Aku percaya akan Roh Kudus, Ia Tuhan yang menghidupkan; Ia berasal dari Bapa dan Putra,
And in the Holy Spirit, the Lord and giver of Life, Who proceeds from the Father and the Son. 
Demikianlah kutipan dari Syahadat Nikea-Konstantinopel (atau yang kita kenal sebagai Syahadat Panjang) dari tiga bahasa; Latin, Inggris dan Indonesia. “Filioque Procedit” adalah sebuah frasa dalam Syahadat Nikea-Konstantinopel yang begitu dipertentangkan oleh Ortodoks Timur.  “Filioque Procedit” adalah tambahan terhadap Syahadat berbahasa Latin yang ditambahkan oleh Gereja Katolik Roma antara Konsili Toledo Ketiga atau Konsili Toledo Keenam (Antara tahun 589-653 M)  untuk melawan bidaah Neo-Arianisme di Eropa. Tambahan ini untuk menegaskan keilahian Sang Putera Allah, Yesus Kristus, di hadapan kaum bidat Neo-Arian yang mengajarkan bahwa Sang Putera Allah adalah ciptaan yang pertama, tidak setara dengan Allah Bapa. 
Sebenarnya telah banyak artikel yang dipublikasikan oleh orang Katolik untuk membela “Filioque Procedit” ini di hadapan orang-orang Ortodoks Timur dengan berdasarkan pada Kitab Suci dan Tradisi Apostolik. Tetapi di artikel ini, saya hendak mengajukan salah satu argumen yang jarang sekali digunakan oleh umat Katolik untuk membela “Filioque Procedit” ini. Argumennya adalah “Filioque Procedit” terbukti dengan jelas di Wahyu 22:1. Pertama-tama saya akan menunjukkan dulu sebuah ayat yang sering digunakan Ortodoks Timur untuk menolak “Filioque Procedit” ini. Saya akan mencantumkan dalam empat bahasa sekaligus. Bahasa Yunani dari Greek Bible, dan sisanya dari ekaristi.org
Yohanes 15:26
Jikalau Penghibur yang akan Kuutus dari Bapa datang, yaitu Roh Kebenaran yang keluar dari Bapa, Ia akan bersaksi tentang Aku. (LAI – Terjemahan Baru)
But when the Paraclete cometh, whom I will send you from the Father, the Spirit of truth, who proceedeth from the Father, he shall give testimony of me. (Douay Rheims)
cum autem venerit paracletus quem ego mittam vobis a Patre Spiritum veritatis qui a Patre procedit ille testimonium perhibebit de me (Latin Vulgata)
otan de elqh o paraklhtoV on egw pemyw umin para tou patroV to pneuma thV alhqeiaV o para tou patroV ekporeuetai ekeinoV marturhsei peri emou (Translit – Perjanjian Baru Yunani Stephanos 1550)
Οταν ἔλθῃ ὁ παράκλητος ὃν ἐγὼ πέμψω ὑμῖν παρὰ τοῦ πατρός, τὸ πνεῦμα τῆς ἀληθείας ὃ παρὰ τοῦ πατρὸς ἐκπορεύεται, ἐκεῖνος μαρτυρήσει περὶ ἐμοῦ: (Greek Bible)
Argumen Yoh 15:26 seringkali digunakan oleh Ortodoks Timur untuk menolak “Filioque Procedit”. Mereka berargumen bahwa Roh Kudus “berasal/keluar/proceeds/procedit/ ἐκπορεύομαι  dari Bapa, Putera lahir dari Bapa sementara Bapa tidak berasal/keluar tidak juga lahir dari Pribadi Ilahi yang lain. Ortodoks Timur kerap mengklaim bahwa “berasal/keluar/proceeds/procedit/ ἐκπορεύομαι”  adalah terminologi teologis yang tidak dapat digunakan secara bebas, meskipun definisi yang tepat mengenai “berasal/keluar/proceeds/procedit/ ἐκπορεύομαι”  adalah sebuah misteri teologis iman yang dalam. Singkat kata, Ortodoks Timur mengambil Yoh 15:26 sebagai dasar untuk mengatakan bahwa Roh Kudus “berasal/keluar/proceeds/procedit/ ἐκπορεύομαι”  dari Bapa saja. Kita harus mengatakan bahwa argumen skriptural Ortodoks Timur mengenai hal ini adalah invalid, sama seperti argumen Protestan untuk pembenaran melalui iman saja adalah invalid. Hanya karena Paulus berkata “kita dibenarkan oleh iman”, hal ini tidak berarti kita dibenarkan oleh iman saja. Demikian juga dengan Yoh 15:26.

Nah, mari kita melihat ke Wahyu 22:1, ayat kunci kita. Wahyu 22:1 menggunakan kata Yunani yang sama untuk “berasal/keluar/proceeds/procedit/
ἐκπορεύομαι”    seperti yang digunakan dalam Yoh 15:26.
Wahyu 22:1
Καὶ ἔδειξέν μοι ποταμὸν ὕδατος ζωῆς λαμπρὸν ὡς κρύσταλλον, ἐκπορευόμενον ἐκ τοῦ θρόνου τοῦ θεοῦ καὶ τοῦ ἀρνίου. (Greek Bible)
kai edeixen moi kaqaron potamon udatoV zwhV lampron wV krustallon ekporeuomenon ek tou qronou tou qeou kai tou arniou (Translit – Perjanjian Baru Yunani Stephanos 1550)
And he showed me a river of water of life, clear as crystal, proceeding from the throne of God and of the Lamb. (Douay Rheims)
Lalu ia menunjukkan kepadaku sungai air kehidupan, yang jernih bagaikan kristal, dan mengalir keluar dari takhta Allah dan takhta Anak Domba itu. (LAI – Terjemahan Baru)
et ostendit mihi fluvium aquae vitae splendidum tamquam cristallum procedentem de sede Dei et agni (Latin Vulgata Katolik)
Di ayat ini, terbukti dengan eksplisit bahwa ada Sesuatu ( ie. Roh Kudus ) yang berasal/keluar/proceeds/procedit/ ἐκπορεύομαι”  dari Bapa dan Putera. Mengapa saya mengatakan  a river of water of life/sungai air kehidupan”  ini adalah Roh Kudus? Mari kita melihat ke Injil Yohanes.
Yoh 7:38-39
Barangsiapa percaya kepada-Ku, seperti yang dikatakan oleh Kitab Suci: Dari dalam hatinya akan mengalir sungai-sungai air hidup." Yang dimaksudkan-Nya ialah Roh yang akan diterima oleh mereka yang percaya kepada-Nya; sebab Roh itu belum datang, karena Yesus belum dimuliakan.
He that believes in me [Jesus], as the scripture says: Out of his belly shall flow rivers of living water. Now this he said of the Spirit which they should receive who believed in him: for as yet the Spirit was not given, because Jesus was not yet glorified.
Bagi umat Katolik yang sering membela “Filioque Procedit” di hadapan Ortodoks Timur tentu akan merasa sangat bahagia karena apa yang ia bela ternyata memiliki landasan Kitab Suci yang kuat. Kiasan mengenai Roh Kudus ini terlalu unik dan menarik untuk diabaikan atau dianggap sebagai kebetulan. Dan mari kita berjalan-jalan lagi ke Kitab Suci Bahasa Yunani.
Yoh 7:38
πιστεύων εἰς ἐμέ, καθὼς εἶπεν γραφή, ποταμοὶ ἐκ τῆς κοιλίας αὐτοῦ ῥεύσουσιν ὕδατος ζῶντος. (Greek Bible)
o pisteuwn eiV eme kaqwV eipen h grafh potamoi ek thV koiliaV autou reusousin udatoV zwntoV (Translit – Perjanjian Baru Yunani Stephanos 1550)
Why 22:1
Καὶ ἔδειξέν μοι ποταμὸν ὕδατος ζωῆς λαμπρὸν ὡς κρύσταλλον, ἐκπορευόμενον ἐκ τοῦ θρόνου τοῦ θεοῦ καὶ τοῦ ἀρνίου. (Greek Bible)
kai edeixen moi kaqaron potamon udatoV zwhV lampron wV krustallon ekporeuomenon ek tou qronou tou qeou kai tou arniou (Translit - Perjanjian Baru Yunani Stephanos 1550)
Menarik sekali bahwa kata Yunani untuk  “air/ὕδατος” dan “sungai/ποταμοὶ” sama-sama hadir dalam kedua ayat tersebut, sementara kata Yunani untuk “kehidupan/ζῶντος” berasal dari kata Yunani untuk “hidup/ζωῆς.   Dan begitu mengagumkan lagi adalah bahwa Santo Yohanes Rasul, sang penulis Injil Yohanes, juga menulis Kitab Wahyu. St. Yohanes Rasul ternyata dengan jelas mengajarkan bahwa Roh Kudus “berasal/keluar/proceeds/procedit/ ἐκπορεύομαι” dari Bapa dan Putera.
Dan mari kita melihat juga ke Katekismus Gereja Katolik.
KGK 1137:
Wahyu santo Yohanes, yang dibacakan dalam liturgi Gereja, menyatakan pertama-tama: "Sebuah takhta terdiri di surga, dan di takhta itu duduk Seorang (Why 4:2): Allah "Tuhan" (Yes 6:1). Lalu Santo Yohanes melihat Anak Domba, yang kelihatan seperti "telah disembelih" (Why 5:6); itulah Kristus yang disalib dan bangkit, Imam Agung satu-satunya pada tempat kudus yang benar, yang serentak "berkurban dan dikurbankan, mempersembahkan dan dipersembahkan" (Liturgi santo Yohanes Krisostomus, Doa Syukur Agung). Akhirnya tampaklah "sungai air kehidupan, yang... mengalir keluar dari takhta Allah dan takhta anak Domba" (Why 22:1) - salah satu lambang terindah untuk Roh Kudus.
1137 The book of Revelation of St. John, read in the Church's liturgy, first reveals to us, "A throne stood in heaven, with one seated on the throne": "the Lord God.”  It then shows the Lamb, "standing, as though it had been slain": Christ crucified and risen, the one high priest of the true sanctuary, the same one "who offers and is offered, who gives and is given." Finally it presents "the river of the water of life . . . flowing from the throne of God and of the Lamb," one of most beautiful symbols of the Holy Spirit.
Bukti dari Katekismus Gereja Katolik menjadi alasan untuk menerima bahwa Wahyu 22:1 begitu jelas mengatakan bahwa Roh Kudus “berasal/keluar/proceeds/procedit/ ἐκπορεύομαι” dari Bapa dan Putera. Dengan demikian, ajaran “Filioque Procedit” itu alkitabiah dan sesuai dengan iman para rasul (dalam hal ini St. Yohanes). 
 
 
Sumber : 
http://www.indonesianpapist.com/2011/12/apologetika-filioque-procedit-terbukti_12.html 
 
 
 
 

Senin, 02 September 2013


Opus Dei di dalam Gereja Katolik


Karya pelayanan Opus Dei dalam memberi bimbingan rohani melengkapi karya gereja-gereja setempat. Orang-orang yang bergabung dengan Opus Dei atau ikut dalam kegiatan-kegiatannya tetap berada dibawah wewenang Keuskupan setempat.



Opus Dei didirikan pada tahun 1928. Diresmikan oleh Uskup dari Madrid pada tahun 1941 dan oleh Tahta Suci pada tahun 1947. Sejak 1982, Opus Dei adalah Prelatur Pribadi Gereja Katolik. Prelatur Pribadi diciptakan dalam Gereja untuk melaksanakanrekaryasa pastoral yang bersifat khusus, dan merupakan bagian dari struktur hirarki Gereja. Setiap Prelatur Pribadi memiliki seorang Prelat, imam-imam praja, dan anggota awam pria dan wanita yang bersatu dalamsuatu organisme tunggal untuk melaksanakan misi-misiPrelatur. Untuk Prelatur Opus Dei, misi ini adalah untuk menyebarkan cita-cita hidup suci di tengah dunia.

Karya apostolik para anggota Opus Dei, seperti karya umat-umat Katolik lainnya, ditujukan untuk membawa pembaharuan Kristiani. Hasil karya ini, dengan bantuan rahmat Allah, akan bermanfaat bagi paroki-paroki dan keuskupan-keuskupan di seluruh dunia : seperti pertobatan, partisipasi yang lebih besar dalam Ekaristi, sakramen-sakramen lain diterima dengan rajin , pewartaan Injil kepada mereka yang berada jauh dari Iman, karya-karja pelayanan untuk mereka yang tak mampu, membantu dalam program katekesis dan aktivitas-aktivitas paroki lainnya, dan kerjasama dengan badan-badan keuskupan. Karya kerasulan anggota-anggota Opus Dei tersebut dilaksanakan menurut kharisma spesifik dari Opus Dei, yaitu menyucikan pekerjaan, keadaan dan kejadian dalam hidup sehari-hari.

Opus Dei bertujuan memperkuat persatuan semua umat Prelatur dengan imam-imam dari Keuskup setempat, mendorong mereka untuk mengenal dan menerapkan - sesuai dengan situasi pribadi, keluarga dan pekerjaan masing-masing -- perintah dan petunjuk yang dikeluarkan oleh Uskup dan Konferensi Episkopal.

Prelatur Pribadi

Gagasan bagi tantanan hukum yang kemudian dikenal sebagai Prelatur Pribadi diprakarsai oleh Konsili Vatikan II. Dekrit konsili ‘Presbyterorum Ordinis’ (7 Desember 1965), 10, menyatakan bahwa, di selain lembaga-lembaga yang telah ada, dapat dibentuk "keuskupan khusus atau Prelatur Pribadi untuk melaksanakan pelayanan pastoral khusus di pelbagai daerah atau untuk suatu suku bangsa tertentu di dunia". Konsili Vatikan II menghendaki adanya suatu lembaga hukum baru yang bersifat fleksibel untuk membantu penyebaran pesan dan hidup Kristiani yang efektif. Dengan demikian, Gereja dapat menanggapi tuntutan misinya di tengah dunia dengan tepat.

Kebanyakan kekuasan hukum di Gereja berdasarkan teritorial, seperti halnya suatu keuskupan, di mana umat-umat ditentukan berada dibawah Keuskupan menurut wilayah atau tempat domisili mereka. Namun, kekuasaan hukum (jurisdiksi) tidak selalu ditentukan menurut wilayah. Juga dapat ditentukan dengan kriteria lain, seperti misalnya pekerjaan, ritus agama, status imigran, atau perjanjian dengan struktur yurisdiksi bersangkutan. Yang tersebut terakhir ini mencakup Keuskupan Militer dan Prelatur Pribadi.

Prelatur Pribadi, seperti yang disebutkan pada Konsili Vatikan II, terdiri dari seorang Pemimpin (Prelat) yang dibantu oleh kaum klerus, yaitu imam-imam sekuler/praja, dan umat awam, pria dan wanita. Prelat, pemimpinnya bisa merupakan seorang Uskup, yang ditunjuk oleh Sri Paus dan memimpin Prelatur dengan kekuasan pemerintahan atau yurisdiksi.

Gereja memiliki wewenang untuk mengatur diri demi mencapai tujuan-tujuannya yang telah ditetapkan oleh Kristus. Dengan wewenang ini, Gereja telah membentuk Prelatur Pribadi di dalam struktur hirarkinya, dengan karakteristik khusus yaitu bahwa umat-umat Prelatur tetap berada dibawah gereja paroki setempat dan keuskupan di mana mereka tinggal. Oleh sebab ini dan sebab-sebab lainnya pula, Prelatur Pribadi jelas berbeda dari Tarekat Religius atau Ordo biarawan/wati pada umumnya, maupun asosiasi dan gerakan-gerakan umat awam.

Kode Hukum Kanonik Gereja Katolik menetapkan bahwa setiap Prelatur Pribadi diatur oleh Hukum Gereja dan oleh Statuta/Anggaran Dasar tersendiri.

Prelatur Opus Dei

Opus Dei telahadalah satu lembaga tunggal yang terdiri dari kaum awam dan imam yang bekerja sama dalam karya pastoral dan kerasulan dengan linkup internasional. Misi yang khas adalah menyebar-luaskan cita-cita hidup suci di tengah-tengah dunia – melalui pekerjaan sehari-hari dan situasi umum dalam kehidupan sehari-hari.

Paus Paulus VI dan penerusnya telah memutuskan untuk mempelajari kemungkinan-kemungkinan untuk memberi Opus Dei suatu bentuk yuridis yang selaras dengan kharismanya. Sesuai dengan ajaran Konsili Vatikan II, jelaslah bahwa bentuk yang cocok adalah Prelatur Pribadi. Pada tahun 1969 dimulai usaha untuk mempelajari dan meneliti hal ini yang dijalankan olehanggota-anggota Tahta Suci bekerja sama dengan Opus Dei

Usaha penelitian itu selesai pada tahun 1981. Kemudian Tahta Suci mengirim laporan kepada lebih dari 2.000 Uskup disemua keuskupan-keuskupan di mana Opus Dei telah berkarya supaya para Uskuptsb. dapat menyampaikan pengamatan-pengamatan mereka.

Setelah usaha ini selesai, Opus Dei ditetapkanoleh Yohanes Paulus II sebagai Prelatur Pribadi dengan lingkup internasional. Dokumen penetapan adalah Konstitusi Apostolik Ut Sit, tertanggal 28 Nopember 1982, yang dikeluarkan secara resmi pada tanggal 19 Maret 1983. Pada saat yang sama Paus Yohanes Paulus II mengumumkan Statuta/Anggaran Dasar, yaitutantanan yuridiksi tingkat kepausan bagi Prelatur Opus Dei. Statuta ini adalah sama seperti Statuta yang disusun sendiri oleh pendiri Opus Dei beberapa tahun sebelumnya, kecuali beberapa perubahan kecil yang harus dibuat untuk menyesuaikannya dengan tata hukum Gereja yang baru.

Hubungan dengan Keuskupan

Prelatur Opus Dei adalah struktur yurisdis dalam organisasi pastoral dan hirarkis Gereja. Seperti halnya dengan keuskupan, Prelatur Teritorial, Vicariats dan Keuskupan Militer, Prelatur Opus Dei memiliki otonomi dan yurisdiksi tersendiri demi pelaksanakan misinya dalam melayani seluruh Gereja. Oleh sebab itu, Prelatur Opus Dei tergantung secara lansung pada Bapa Paus melalui Kongregasi untuk Uskup.

Wewenang Prelat hanya mengenai hal-hal yang berkaitan dengan misi khusus Prelatur saja, jadi wewenang ini selaras dengan otoritas seorang Uskup di satu Keuskupan dalam hal pelayanan pastoral umum untuk para umat di Keuskupan yang bersangkutan:

a) Para anggota Opus Dei berada dibawah wewenang Prelat dalam segala hal yang berkaitan dengan pelaksanaan komitmen asketis, formasi , dan apostolik yang mereka buat melalui pernyataan resmi pada waktu menjadi anggota Prelatur. Berdasarkan isi dari pernyataan ini, komitmen tidak mengubah otoritas Uskup atas diri mereka. Jadi para anggota Opus Dei tetap berada dibawah wewenang Keuskupan di mana mereka tinggal, dan tetap berada di bawah otoritas Uskup dalam hal-hal dan cara-cara persis sama seperti para umat yang telah dibaptis di dalam Keuskupan itu.

b) Menurut ketentuan undang-undang Gereja dan Anggaran Dasar Opus Dei, diakon dan imam yang berinkardinasi dalam Prelatur adalah klerus sekuler/praja dan mereka berada sepenuhnya di bawah wewenang Prelat. Para imam Prelatur harus membina hubungan persaudaraan dengan anggota-anggota klerus Keuskupan, dan memenuhi semua peraturan mengenai disiplin umum yang berlaku bagi imam-imam. Mereka dapat mengambil bagian dalam dewan imam keuskupan. Seorang Uskup dapat, dengan persetujuan dari Prelat atau Vikar-nya, mengangkat seorang imam Prelatur ke suatu posisi atau jabatan di Keuskupan (misalnya menjadi pastor paroki atau hakim). Imam yang bersangkutan akan memberi pertanggungjawaban atas jabatannya hanya kepada Uskup tersebut dan akan melaksanakannya sesuai dengan petunjuk Uskup.

Dalam Anggaran Dasar Opus Dei (title IV, Bab V) telah ditentukan kriteria untuk menjamin hubungan yang harmonis antara Prelatur dan Keuskupan dimana Prelatur melakukan misi spesifiknya. Prelatur selalu memelihara hubungan dengan otoritas Keuskupan, dan secara berkala memberi informasi kepada Bapa Uskup setempat mengenai kegiatannya. Beberapa corak khas dari hubungan ini adalah sebagai berikut:

a) Opus Dei tidak akan memulai karya kerasulan atau mendirikan suatu center Prelatur tanpa sebelumnya mendapat persetujuan dari Uskup setempat.

b) Bilamana ada keinginan untuk mendirikan sebuah gereja dari Prelatur, atau untuk mempercayakan kepada Prelatur sebuah paroki yang ada, maka sebuah perjanjian akan dibuat antara Uskup dan Prelat atau Vikar Regional yang bersangkutan. Untuk ini, harus dijadikan pegangan Undang-undang keuskupan mengenai gereja-gereja yang diurus oleh imam-imam praja.

Pimpinan Regional Prelatur akan memberi informasi secara berkala dan menjalin hubungan dengan Uskup-Uskup di mana Prelatur melaksanakan karya pastoral dan kerasulannya, juga dengan para Uskup yang memegang jabatan dalam Konperensi Wali Gereja.


Surat dari Bapa Prelat (Juli 2013)

"Aku percaya akan Gereja yang satu, kudus, katolik dan apostolik". Dalam surat bulan ini Bapa Prelat menekankan sifat adikodrati fondasi Gereja.

02/Juli/2013


Yang terkasih: semoga Yesus menjaga putra-putriku!

Dua hari yang lalu kita merayakan Hari Raya Peringatan Rasul Petrus dan Paulus, pilar iman Gereja, yang telah menumpahkan darah demi Kristus di Roma. Di kota inilah St Petrus menetapkan tempat tinggalnya, dan mengakhiri hidupnya di bumi sebagai seorang martir. Dengan demikian Gereja Roma menjadi ibu dan kepala dari semua gereja di kota-kota dan di dunia. Mari kita bersyukur kepada Allah atas rencana-Nya ini, dengan mana Dia memberi jaminan pada ajaran wahyu dan suatu garansi yang terlihat dari kesatuan Gereja, Dan marilah kita belajar untuk mempersembahkan hidup kita dengan memusnahkan egoisme kita.

Allah mempersiapkan fondasi Gereja itu sepanjang sejarah keselamatan. Pertama dalam Perjanjian Lama, dengan memilih bangsa Israel sebagai umat-Nya, kemudian dalam kepenuhan waktu Dia mengutus Putra-Nya yang terkasih ke dunia, dengan khotbah dan mukjizat-mukjizat-Nya, yang memanggil para Rasul dan mengirim Kedua Belas para Rasul untuk melanjutkan misi penebusan-Nya. "Gereja muncul terutama karena penyerahan diri Kristus secara menyeluruh untuk keselamatan kita, yang didahului dalam penciptaan Ekaristi dan direalisasikan pada kayu salib. " [1] Dan "ketika sudah selesailah karya, yang oleh Bapa dipercayakan kepada Putra (lih. Yoh 17:04) untuk dilaksanakan di dunia, diutuslah Roh Kudus pada hari Pentakosta untuk tiada hentinya menguduskan Gereja. " [2] Seperti Bapa Pendiri kita, kita takjub atas dua misteri ini dan memohon iman yang lebih kuat dari surga.

Gereja tergantung sepenuhnya pada Sang Sabda yang menjadi Manusia, yang telah menghadirkan Gereja di dunia ini sampai akhir zaman. Gereja dibimbing oleh Roh Kudus, yang tinggal di dalam Gereja sebagai Kenisah-Nya. Mari kita bersyukur dan merenungkan dengan khidmat ikatan yang sangat mendalam antara Gereja dan Tritunggal Mahakudus: Gereja dan kita semua adalah Umat Allah yang Kudus, Tubuh Mistik Yesus Kristus, dan Kenisah Roh Kudus. Oleh karena itu, sudah layaknya bahwa, setelah mengakui iman kita akanYesus Kristus dan akan keilahian Roh Kudus dalam Syahadat, kita menyatakan misteri Gereja, yang oleh Sakramen Pembaptisan kita telah tergabung. Dan, dalam Gereja –yakni sakramen universal untuk keselamatan -karya pengudusan kita dilaksanakan.

Aku percaya akan Gereja yang satu, kudus, katolik, dan apostolik. [3] Pengakuan iman ini mengandung empat ciri-ciri yang mendefinisikan Gereja secara intrinsik dan, sekaligus mengungkapkan tanda-tanda yang khas dari ajaran Katolik. "Ini adalah sifat hakiki dari Gereja, yang bersumber dari kodratnya, seperti yang Kristus kehendaki. Dan, sebagai sifat hakiki, itu juga merupakan ciri-ciri, tanda-tanda, yang membedakannya dari perhimpunan-perhimpunan manusia lainnya, meskipun perhimpunan-perhimpunan tersebut juga membawa nama Kristus " [4]

"Mari kita memperkuat iman kita akan karakter adikodrati dari Gereja. Mari kita, bila perlu, mengakui ini dengan suara yang lantang, karena ada banyak orang. . . yang telah melupakan kebenaran yang sangat penting ini. Mereka menyajikan suatu gambaran bukan Gereja yang satu dan yang kudus. Dan tidak juga apostolik, karena tidak berdiri di atas batu karang Santo Petrus. Gereja diganti dengan sesuatu yang tidak katolik, karena penuh dengan penyimpangan-penyimpangan hasil dari pertingkahan manusia " [5]


Kata-kata yang tegas dan jelas dari St Josemaría ini sangat tepat. Paus Fransiskus baru-baru ini juga mengeluh, "Sampai hari ini masih ada orang yang berkata:" Kristus, ya, Gereja, tidak. Seperti orang-orang yang berkata: ‘Aku percaya akan Allah, tetapi tidak percaya pada para imam.' Namun, Gerejalah yang membawa Kristus kepada kita dan yang membawa kita kepada Allah. Gereja adalah keluarga besar anak-anak Allah. Tentu saja Gereja juga memiliki aspek manusiawi. Dalam diri mereka yang membentuk Gereja, yakni pastor dan para umat, ada kekurangan, ketidaksempurnaan dan dosa. . . tetapi yang indah adalah bahwa ketika kita menyadari bahwa kita adalah orang berdosa kita berjumpa dengan Allah yang Maharahim, yang selalu mengampuni. " [6] Dan Tuhan memberi kita pengampunan-Nya melalui Gereja, di mana firman yang menyelamatkan dan sakramen-sakramen yang menguduskan kita dapat ditemukan.

"Dalam Gereja Katolik kita menemukan iman, norma-norma etik untuk hidup kita, doa dan rasa persaudaraan. Melalui Gereja kita bersatu dengan semua saudara-saudara kita yang telah meninggalkan dunia ini dan sedang dimurnikan di api penyucian (Gereja yang Menderita) dan dengan mereka yang sudah menikmati pandangan kebahagiaan dan cinta abadi dari Allah Tritunggal di surga (Gereja yang Jaya). Gereja ada di tengah-tengah kita dan sekaligus melampaui (transcends) sejarah. Gereja lahir di bawah naungan mantel Bunda Maria dan Gereja terus memuji Maria sebagai Bundanya di bumi dan di surga "[7]

St Josemaría, yang sangat mencintai Gereja Kudus, mengajar kita hal yang sama. Sejak saat pendirian Opus Dei, St Josemaria melihat dengan jelas bahwa untuk memuliakan Allah, untuk menempatkan Kristus di puncak segala aktivitas manusia, jalan yang harus ditempuh ada dalam aspirasi ini: “ Omnes cum Petro ad Iesum per Mariam! Bersatu, kita semua akan sampai kepada Yesus melalui Maria, dengan kesatuan dalam niat dan hasrat dengan Uskup Roma, Vikaris Kristus di bumi. Dalam buku Jalan St Josemaria mengarahkan kata-kata ini pada semua orang Katolik: "Et unam, sanctam, catholicam et Apostolicam ecclesiam Saya dapat mengerti mengapa engkau berhenti sejenak sambil menyerapkan ke dalam hati sewaktu engkau berdoa dengan kata-kata ini: 'Aku percaya akan Gereja, yang satu, kudus, katolik dan apostolik ... . '" [8]

Gereja adalah satu karena " Gereja adalah umat yang dipersatukan oleh kesatuan Bapa dan Putra dan Roh Kudus," [9] dan kesatuan ini terdiri dari ikatan iman, ibadat-terutama Ekaristi-dan persekutuan hirarkis. Sekaligus, Gereja adalah katolik, yaitu terbuka untuk semua orang, semua ras, semua budaya. Begitu banyaknya jenis ritus liturgi, tradisi teologis dan tradisi spiritual, serta pelbagai disiplin. Semua ini sedikitpun tidak merugikan kesatuan, malah justru menunjukkan adanya kesatuan. Oleh karena itu, sementara "mengakui bahwa di luar organisme Gereja Kristus, juga ada berbagai elemen kebenaran dan pengudusan yang merupakan karunia-karunia khas Gereja Kristus dan mendorong ke arah kesatuan Katolik (lih. Lumen Gentium, no. 8), dan percaya akan karya Roh Kudus yang membangkitkan cinta pada kesatuan ini di hati para murid Kristus, " [10] perlu ditegaskan bahwa keselamatan dianugerahkan kepada umat manusia melalui Gereja."Kami percaya Gereja ini perlu untuk keselamatan. Sebab hanya satulah Pengantara dan jalan keselamatan, yakni Kristus. Ia hadir bagi kita dalam Tubuh-Nya yakni Gereja (lih. Lumen Gentium, no.14). Namun rancangan ilahi untuk keselamatan mencakup semua orang. "[11]

Apakah engkau benar-benar menghargai betapa indahnya iman Katolik kita? Seperti Bapa Pendiri kita katakan, Gereja memenuhi semua kerinduan hati manusia, dengan membuat kita mengenal Kehendak Allah yang Kudus, yang menghendaki supaya semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran. [12] Oleh karena itu Dia menganugerahkan kepada umat beriman sarana-sarana keselamatan dalam Gereja. Dan, sebagai konsekuensi dari karunia itu, semangat kerasulan, keinginan untuk mewartakan pengetahuan dan kasih Kristus kepada semua orang adalah ciri khas panggilan Kristiani. Tidak ada yang dapat mengelakkan kita dari tanggung jawab ini, dan kita harus renungkan: bagaimana tanggung jawab dalam diriku? Berapa besar hasratku untuk memohon karunia ini bagi seluruh umat manusia?

Tentu saja, "orang-orang yang belum mengenal Injil Kristus atau Gereja-Nya, bukan karena kesalahan mereka sendiri, dan mencari Tuhan dengan hati yang tulus, dan, didorong oleh rahmat Allah berusaha dalam hidup mereka untuk melakukan kehendak-Nya, sebagaimana mereka kenali dari suara hati nurani, mereka ini juga dapat memperoleh keselamatan kekal. " [13] Namun demikian, Allah berkenan mengandalkan kerjasama kita dalam karya evangelisasi. Setiap orang, dalam situasi masing-masing harus berusaha setiap hari untuk membuat pesan keselamatan ini dikenal orang, dan membantu menerapkan karya penebusan. Sebab, seperti St Josemaria tekankan, kita tidak boleh lupa bahwa "hati nurani manusia bisa rusak karena kesalahan orang itu sendiri dan mengeras dalam dosa, menolak karya keselamatan Allah. Itulah sebabnya perlu untuk mewartakan ajaran Kristus, kebenaran iman dan norma-norma moralitas Kristiani. Itulah sebabnya kita juga membutuhkan sakramen-sakramen, semua yang telah ditetapkan oleh Yesus Kristus sebagai sarana instrumental dari rahmat-Nya dan obat untuk kelemahan-kelemahan yang merupakan akibat dari kodrat kita yang telah jatuh dalam dosa. " [14]

"Begitulah Gereja sekaligus berdoa dan berkarya, agar kepenuhan dunia seluruhnya beralih menjadi Umat Allah, Tubuh Tuhan dan Kenisah Roh Kudus, dan supaya dalam Kristus, Kepala semua orang, dipersembahkan kepada Sang Pencipta dan Bapa semesta alam segala hormat dan kemuliaan. " [15]

Zaman kita ini adalah masa di mana ada kebutuhan yang mendesak untuk membangun Gereja. Jangan kita patah semangat atau jangan sedikitpun jatuh dalam pesimisme, apabila kita harus menghadapi relativisme dan ketidakpedulian-atau lebih lagi, apabila harus menghadapi penolakan Allah- yang makin meluas bagaikan noda minyak yang melebar di begitu banyak negara. Kita yang berhasrat menghayati iman dengan serius, harus dengan penuh sukacita melipatgandakan upaya kita untuk membawa jiwa-jiwa kepada Allah, kepada Gereja. Jangan berpikir bahwa ini adalah tugas raksasa, kita hanya perlu melakukan apa yang ada dalam jangkauan kita, bertekad untuk mengarahkan hidup kita sepenuhnya kepada Tuhan. Sang Penghibur selalu berkarya dalam hati orang-orang, menimbulkan dalam diri setiap orang-mungkin pada saat-saat yang sama sekali tak terduga- dahaga yang begitu kuat untuk kehidupan kekal, untuk kehidupan adikodrati. Dan kita semua -setiap orang- harus siap siaga untuk menuruti inspirasi-Nya. "Sebagai Gereja, sebagai Umat Allah menurut rancangan cinta kasih Bapa yang agung, kita harus menjadi ragi Allah bagi seluruh umat manusia. Ini berarti kita harus mewartakan dan membawa keselamatan Allah bagi dunia, yang sering tersesat dan sangat membutuhkan petunjuk yang dapat memberi semangat, harapan, dan kekuatan baru untuk perjalanan hidupnya. " [16]

Saya ulangi lagi, hendaknya kita dipenuhi dengan keyakinan, dan tidak membiarkan adanya keputusasaan. Zaman ini membawa banyak kemungkinan yang luar biasa untuk belajar yang baik dan mewartakannya. Setiap hari kita mendapat kesempatan untuk menunjukkan kasih kita kepada Tuhan dengan berbicara tentang Dia kepada orang-orang yang kita jumpai di jalan hidup kita. Mari kita melipatgandakan kepercayaan kita kepada-Nya. "Allah lebih kuat," Bapa Suci berseru. "Dan tahukah engkau apa sebabnya? Karena dia adalah Tuhan, satu-satunya Tuhan. Dan saya ingin menambahkan bahwa kenyataan hidup, yang kadangkala gelap dan ditandai oleh kejahatan, dapat berubah, jika pertama-tama kita membawa terang Injil, khususnya melalui hidup kita. Jika dalam suatu stadion. . . di malam yang gelap, seseorang menyalakan lampu, kalian hampir tidak dapat melihatnya. Tetapi jika 70.000 penonton lainnya menyalakan lampu mereka masing-masing, seluruh stadion akan bersinar terang. Semoga hidup kita bersama menjadi cahaya Kristus; bersama-sama kita akan membawa terang Injil ke seluruh realitas ". [17]

Mari kita menggemakan kata-kata dari Bapa Paus ini, dengan berupaya setiap hari supaya dalam pekerjaan kita, dalam kehidupan keluarga, dalam hubungan sosial, dalam kegiatan olahraga- di setiap saat!- cahaya pengikut Kristus bersinar cemerlang, didukung oleh doa dan dengan sering menerima sakramen Pengakuan dan Ekaristi.

Pada hari pesta peringatan St Josemaría, di seluruh dunia banyak doa telah dipanjatkan ke surga, terutama dalam Kurban Misa Kudus. Yakinlah bahwa, sebagaimana Uskup Alvaro yang tercinta dulu sering berkata, doa-doa ini adalah "bersifat dua arah": Tuhan mengirimkan kembali kepada kita agar menghasilkan buah dalam diri kita dan dalam diri sahabat-sahabat kita.

Minggu-minggu mendatang saya akan pergi ke Brasil untuk menemani Bapa Suci pada 'World Youth Day', Hari Kaum Muda Dunia, yang akan dirayakan di Rio de Janeiro pada akhir bulan Juli. Sesudah itu, jika Tuhan menghendaki, saya berharap untuk berkunjung ke Cili, Uruguay dan Argentina, untuk menyampaikan kepada putra-putri saya dan semua yang memperoleh manfaat dari karya kerasulan Prelatur Opus Dei, bahwa Gereja berharap banyak dari kita semua; bahwa Paus Fransiskus, seperti para Bapa Paus sebelum beliau, mengandalkan kita semua untuk mewartakan pesan Kristus di seluruh dunia. Beliau mengatakan ini ketika menerima saya dalam audiensi pada tanggal 10 Juni yang lalu. Lanjutkan doa-doa kalian bagi Bapa Paus dan intensinya. Seperti pada kesempatan lain, saya mengandalkan doa kalian semua agar Tuhan menganugerahkan buah-buah rohani yang melimpah pada hari-hari tersebut di Brazil dan di tempat-tempat lain yang saya harap dapat saya kunjungi sesudahnya. Semua ini merupakan suatu undangan untuk mempersatukan diri kita lebih erat dengan Penerus Santo Petrus. Kita harus mengiringi beliau sebagai putra-putrinya, bersatu dengan beliau dan dengan pelayanan beliau pada Gereja dan jiwa-jiwa.

Tanggal 7 Juli adalah hari Uskup Alvaro bergabung dengan Opus Dei. Saya memohon perantaraannya bagi kesetiaan kita semua pada panggilan Kristiani. Kemudian, pada tanggal 16, kita akan merayakan pesta Maria Bunda Karmel. Saya mohon agar melalui perantaraan Bunda Maria, kita dipenuhi dengan hasrat untuk kesucian hidup dan semangat kerasulan.

Saya menandatangani surat ini di Saragosa. Saya datang ke kota ini, diundang oleh Bapa Uskup Agung untuk memberkati patung St Josemaría dan Beato Yohanes Paulus II yang ditempatkan di sebuah gereja di kota ini. Kemudian, saya akan pergi ke Pamplona, ​​di mana saya akan tinggal beberapa hari sebelum melakukan perjalanan ke Amerika Selatan. Teruslah berdoa untuk intensi saya.

Dengan penuh kasih sayang, saya memberkati kalian,


+ Javier

Saragossa, 1 Juli 2013

© Prælatura Sanctae Crucis et Operis Dei


Sumber :
http://www.opusdei.co.id/art.php?p=46277
http://www.opusdei.co.id/art.php?p=54386&rs=m