Kamis, 27 September 2012


Antonietta Meo
“Kiranya setiap langkah kuambil menjadi sepatah kata cinta.”






“Yesus sayang, aku sangat mencintai-Mu, sungguh sangat mencintai-Mu Yesus, dan aku ingin menjadi lampu-Mu dan lili-Mu; lili yang mewakili kemurnian jiwa dan lampu yang mewakili nyala kasih yang tak pernah meninggalkan-Mu. Yesus sayang, berkati Gereja, para klerus dan teristimewa bapa pengakuanku, keluargaku, guruku, dan seluruh dunia. Yesus sayang, aku kirim banyak kecupan dan salam untuk-Mu. Antonietta dan Yesus.”
~ 16 Maret 1937


Antonietta dilahirkan di Roma pada tanggal 15 Desember 1930 sebagai anak keempat dari pasangan Maria dan Michele Meo. Pada tanggal 28 Desember 1930, pada Pesta Kanak-kanak Suci, ia dibaptis di parokinya, “Basilika Salib Suci di Yerusalem” di Roma. Keluarga Meo tinggal di sebuah rumah yang indah dan hidup berkecukupan. Kakaknya adalah Margherita, juga Carmela dan Giovanni - keduanya meningal segera sesudah dilahirkan. Antonietta adalah nama yang indah, namun cukup panjang. Sebab itu orangtuanya memberinya nama panggilan Nenne, yang kemudian menjadi panggilan kesayangan “Nennolina”.

“Saudariku,” kenang Margherita, “adalah seorang gadis kecil yang gembira dan periang seperti semua anak lain seusianya. Pada bulan Oktober 1933, ia mulai bersekolah di sebuah taman kanak-kanak Katolik dekat rumah kami. Ia pergi dengan sukahati; seringkali ketika kami bermain bersama, ia akan mengatakan: `Aku sangat senang di sekolah… aku bahkan pergi ke sana pada waktu malam!' Ia segera mengasihi gurunya. Para biarawati biasa mengatakan pada mama: `Tak ada yang dapat menghentikannya! Tetapi ia seorang anak yang cerdas dan cepat balajar. Ia matang untuk usianya.' Ketika umurnya empat tahun, ia bergabung dalam kelompok anak-anak Aksi Katolik `Piccolissime'. Ketika umurnya lima tahun, ia bergabung dalam kelompok puteri `Beniamine'”.

Nennolina senang pergi ke sekolah dan mengikuti pelajaran katekese, sebagaimana diungkapkannya dalam sepucuk surat kepada Yesus: “Aku pergi dengan antusias, sebab aku belajar begitu banyak hal indah mengenai Engkau dan para kudusmu.” Segera saja ia suka berdoa dan bercakap-cakap dengan Yesus, yang dianggapnya sebagai sahabat. Para biarawati sering melihatnya, sebelum meninggalkan gereja, pergi dekat tabernakel dan berseru: “Yesus, ayo main bersamaku!” Ibunya mengenang: “Suatu hari, ketika usianya masih tiga tahun, ia menambahkan dalam doanya, `Yesus, berilah aku rahmat untuk mati sebelum aku melakukan suatu dosa berat.' Aku merasa hatiku seperti disayat sembilu.”

 
 VIA CRUCES

Usianya belum genap lima tahun ketika orangtuanya memperhatikan bahwa kaki kiri Nennolina bengkak, tetapi mereka pikir itu akibat jatuh seperti biasa. Setelah diagnosa-diagnosa dan perawatan yang salah, akhirnya para dokter sampai pada kesimpulan bahwa ia menderita kanker tulang Osteo-sarcoma.

Pada tanggal 25 April 1936, Antonietta menjalani amputasi kaki kirinya. “Via cruces” pun dimulai, tetapi juga pengalaman luar biasanya dengan Allah. Sungguh amat berat bagi kedua orangtuanya dan juga bagi Nennolina untuk melalui periode ini. Meski demikian, Nennolina tak pernah mengeluh; ia hanya berdoa dan memohon. Ia juga tak menghendaki seorang pun berdoa bagi kesembuhannya, melainkan berdoa baginya untuk melakukan kehendak Allah: “Aku ingin tinggal bersama-Nya di salib sebab aku mencintai-Nya.” Kendati segala kesulitan sesudah operasi, dokter memperbolehkannya bergerak, bermain dan berlutut untuk berdoa. Ia melanjutkan kehidupan normalnya sehari-hari. Nennolina menerima cacat ini dengan mempersembahkan kaki kecilnya kepada Yesus. Ia menghibur ayahnya: “Aku sangat bahagia Yesus mengirimkan masalah ini kepadaku, agar aku dapat menjadi kesayangan-Nya” (4 November 1936).

“Kalau aku merasa sakit, aku segera memikirkan Yesus, maka aku tidak merasa sakit lagi! Mudah saja untuk tidak merasa sakit: Jangan pikirkan penderitaanmu, tapi pikirkan penderitaan Yesus, sebab Ia menderita begitu banyak untuk kita, hingga engkau sendiri tak merasa apa-apa.”

“Tahukah Mama? Aku persembahkan kakiku kepada Yesus untuk pertobatan para pendosa yang malang dan juga berkat untuk semua prajurit di Afrika.”

“Kalau Mama merasa sakit, Mama perlu diam dan mempersembahkannya kepada Yesus demi seorang berdosa. Yesus menderita sangat banyak bagi kita, meski Ia sama sekali tak berbuat dosa: Ia adalah Tuhan. Bagaimana kita dapat mengeluh, kita yang adalah orang-orang berdosa dan selalu menyakiti-Nya?”

Apabila ia harus menjalani perawatan dan pengobatan yang menyakitkan, Antonietta biasa mengulang-ulang perkataan yang sama: “Hari ini aku akan pergi dan menjadi misionaris di Afrika.” Dan memang, setelah kematiannya, tepat di Afrika, ia dapat melihat nubuatnya menjadi kenyataan dengan didirikannya Institut MEO: Mères, Enfants, Orphelins (Ibu, Anak, Yatim Piatu) di Burundi, Bujumbara yang didedikasikan untuknya.

Pada peringatan amputasi kakinya, Antonietta ingin merayakannya dengan suatu pesta dan novena kepada Santa Perawan Maria dari Pompeii sebagai ucapan syukur sebab dengan peristiwa ini ia dapat mempersembahkan penderitaannya kepada Yesus. Amputasi kaki ini tak mampu menghentikan tumor yang telah menyebar ke kepala, tangan, kaki, tenggorokan dan mulut.

 
ANTONIETTA DAN YESUS

Sebab bermaksud mengajukan Komuni Pertama bagi Antonietta, setiap sore ibunya mulai memberikan katekese kepadanya. Sejak saat itu Antonietta mulai menulis surat-surat kepada Yesus. Pertama-tama dengan mendiktekannya kepada ibunya atau Margherita, dan setelah ia dapat membaca dan menulis ia menulis sendiri surat-surat itu yang diletakkannya di bawah patung kecil Kanak-kanak Kudus di kamar tidurnya agar, “Ia datang dan membacanya pada waktu malam.”

Dalam surat pertamanya tertulis: “Yesus sayang, hari ini aku akan berjalan-jalan mengunjungi suster-susterku, dan akan aku katakan kepada mereka bahwa aku akan menyambut Komuni Kudusku pada Hari Natal. Yesus datanglah segera ke dalam hatiku, dan aku akan memeluk-Mu erat-erat dan mencium-Mu. O Yesus, aku ingin Engkau tinggal selalu dalam hatiku” (15 September 1936).

Beberapa hari kemudian ia menulis: “Yesus sayang, aku sangat mencintai-Mu, aku ingin ulangi kepada-Mu bahwa aku sangat mencintaimu. Madonna sayang, engkau sangat baik, ambillah hatiku dan berikanlah pada Yesus.”

Juga ada sesuatu yang sungguh tak biasa bagi seorang anak berusia lima tahun; ia sering memohon: “Yesus yang baik, berilah aku jiwa-jiwa, berilah aku banyak jiwa-jiwa, aku mohon pada-Mu dengan sungguh. Aku mohon sebab dengan begitu, Engkau dapat membuat mereka menjadi baik dan pergi bersama-Mu ke Firdaus.”

Para teolog Katolik menyebut Antonietta seorang “mistikus” sebab seorang anak berusia enam tahun menulis surat-surat “yang luar biasa” kepada Yesus Kristus di bulan-bulan terakhir hidupnya yang menunjukkan pemahaman melampaui anak-anak normal seusianya. Menurut para ahli Vatican, surat-surat Antonietta mengungkapkan “suatu hidup yang sungguh luar biasa dalam persatuan mistik dengan Allah”. Ibunya, bagai seorang sekretaris yang setia, menulis dengan tepat dan cermat semua yang didiktekan Antonietta. Sayang, ibunya tak menganggap surat-surat ini penting dan dengan serampangan membereskannya sehingga sebagian di antaranya tak dapat ditemukan kembali. 


Mari kita simak beberapa surat yang ditulisnya:

Kepada Yesus Tersalib:

“Yesus Tersalib, aku sangat mencintai-Mu, aku mencintaimu jadi aku ingin tinggal bersama-Mu di Kalvari dan aku menderita dengan sukacita sebab aku tahu aku ada di Kalvari. Yesus sayang, aku berterima kasih kepada-Mu sebab telah memberiku penyakit ini, sebab ini adalah sarana untuk sampai di Firdaus. Yesus sayang, katakan pada Allah Bapa bahwa aku mencintai-Nya juga. Yesus sayang, aku ingin jadi lampu-Mu dan bunga lili-Mu. Yesus sayang, beri aku kekuatan untuk menanggung sakit ini yang aku persembahkan kepada-Mu untuk orang-orang berdosa. Yesus sayang, katakan pada Roh Kudus untuk menerangiku dengan kasih dan memenuhiku dengan ketujuh karunia-Nya. Yesus sayang, katakan pada Perawan Maria yang manis bahwa aku sangat mencintai-Nya dan aku ingin tinggal bersamanya di Kalvari sebab aku ingin menjadi kurban kasih-Mu Yesus sayang. Yesus sayang, aku percayakan bapa pengakuanku kepada-Mu dan anugerahilah ia segala rahmat yang diperlukannya. Yesus sayang, aku percayakan orangtuaku dan saudariku Margherita kepada-Mu. Yesus sayang, salam dan cium Antonietta dari Yesus” (2 Juni 1937).


Kepada Yesus Ekaristi:

“Aku ingin Engkau mengabulkan tiga permohonan, pertama - jadikan aku santa, dan ini permohonan yang terpenting, kedua - berilah aku jiwa-jiwa, ketiga - buatlah aku berjalan normal, sesungguhnya ini yang paling kurang penting. Aku tidak mengatakan kembalikan kakiku, aku memberikannya kepada-Mu! ...” (16 Oktober 1936).

Antonietta menulis 105 pucuk surat yang ditujukan kepada Yesus, juga kepada Bunda Maria, Allah Bapa, Roh Kudus, sepucuk surat kepada St Agnes dan sepucuk surat kepada St Theresia dari Kanak-kanak Kudus. Surat-suratnya selalu diakhiri dengan peluk, sayang dan cium untuk sahabat-sahabat surgawinya, dan ditandatanganinya dengan: “Antonietta dan Yesus” atau terkadang “Antonietta Yesus”.


ANTONIETTA DAN EKARISTI

Antonietta baru berusia sekitar empat tahun ketika ia telah memiliki kerinduan untuk menyambut Yesus. Di kemudian hari, dalam surat-suratnya, ia menulis kepada Yesus bahwa kendati hatinya kecil, tetapi sungguh dapat mengasihi; dengan menyambut-Nya dalam hatinya, ia akan dapat terlebih lagi mengasihi-Nya. Akan menjadi sukacitanya yang terbesar dapat menyambut Yesus dari tangan Perawan Maria!

Ketika usianya lima setengah tahun, Nennolina meminta kepada ibunya agar ia dapat mengaku dosa. Ia berdoa kepada Yesus untuk memberikan seorang bapa pengakuan yang baik, sebab ia ingin menjadi seorang santa. Ia mempersiapkan diri dengan giat dan dengan cermat memeriksa batin, dengan sukacita dan penuh pengharapan. Satu-satunya ketakutannya adalah menghinakan Allah.

Sehari sebelum Komuni Kudusnya yang Pertama, Antonietta mendiktekan surat berikut kepada ibunya:

“Yesus sayang, besok, saat Engkau ada dalam hatiku, bayangkan jiwaku seperti sebuah apel dan seperti dalam sebuah apel ada biji-biji yang hitam, dalam jiwaku Engkau dapat membuat sebuah lemari. Di bawah kulit biji yang hitam ada bagian yang putih, dalam lemari Engkau dapat menaruh rahmat-Mu, seperti biji yang putih.”

Ibunya menyela:” Antonietta, apa yang kau katakan? Apa yang kau maksud dengan `dalam'? Apa maksudmu?”

“Mama, jiwaku adalah seperti sebuah apel. Dalam apel ada sesuatu yang kecil hitam, biji. Lalu, di bawah kulit biji yang hitam ada bagian yang putih kan? Baik, bayangkan itu sebagai rahmat.”

“Siapa yang mengatakan ini padamu? Mungkin gurumu di sekolah menunjukkan sebuah apel kepadamu untuk membautmu mengerti?...”

“Tidak, Mama, tidak, aku memikirkannya sendiri.” Kemudian ia melanjutkan suratnya: “Yesus akan membuat rahmat ini tinggal bersamaku selamanya.”

“Kemudian kami berbicara mengenai surga,” kenang ibunya, “dan ia mengatakan: `Aku tak akan bersenang-senang di surga, aku akan bekerja untuk jiwa-jiwa.'”

“Ya, seperti St Theresia yang menjanjikan hujan mawar … dan kau, apa yang akan kau kirimkan?” tanya ibunya.

Dengan mengerlingkan mata, ia menjawab: “Aku akan mengirimkan hujan lili.”

Antonietta menyambut Komuni Pertamanya dalam Misa Natal tengah malam pada tahun 1936. Malam itu, meski sakitnya hebat, mereka yang melihatnya memperhatikan bahwa bahkan ketika Misa Kudus telah usia, ia tinggal berlutut tanpa bergerak, dengan kedua tangan terjalin dalam doa, selama lebih dari satu jam lamanya.

“Yesus Ekaristik sayang, aku sangat, sangat bahagia Engkau telah datang dalam hatiku. Jangan tinggalkan hatiku lagi dan tinggallah selalu, selalu bersamaku. Yesus, aku sangat mencintai-Mu, aku ingin menjatuhkan diriku dalam pelukan-Mu dan Engkau dapat melakukan apa yang Engkau kehendaki atasku.”


ANTONIETTA DAN PENGLIHATANNYA

Pada tanggal 16 Oktober 1936, Antonietta menegaskan: “Aku melihat Perawan Maria, tapi bukan gambar.” Pada bulan Januari 1937: “Kadang aku melihat Yesus.” Ibunya bertanya, “Dan bagaimanakah kau melihat-Nya?” Gadis kecil itu menjawab: “Di salib.” Pada bulan Maret ia mendapat suatu penglihatan yang lain: “Kemarin aku melihat Yesus bangkit.”

Kemudian Yesus tak menampakkan diri lagi kepadanya dan pada bulan April Antonietta menulis: “Yesus sayang, aku sungguh sangat ingin melihat-Mu dan aku ingin semua orang dapat melihat-Mu, maka sungguh semua orang akan lebih mencintai-Mu.” Pada bulan Mei, sementara ia mendiktekan surat, sekonyong-konyong ia berhenti terpaku; ibunya mengguncangkannya dan ketika tersadar kembali, ia mengatakan: “Tahukah Mama, aku melihat Yesus di sudut kamar.” Pada tanggal 2 Juli, sesudah Komuni Kudusnya yang terakhir, ia mengatakan kepada ibunya: “Aku melihat-Nya pagi ini ketika aku menyambut Komuni.”


ANTONIETTA DAN BAPA SUCI

Pada tanggal 19 Mei 1937, Antonietta menyambut Sakramen Krisma. Itulah hari-hari terakhir hidupnya. Ibunya mengenang: “Sesudah Krisma, kesehatan Antonietta semakin memburuk. Sesak napas dan batuk membuatnya tak dapat beristirahat sama sekali. Ia tak lagi dapat duduk dan harus berbaring di tempat tidur. Bahkan sementara ia menderita, ia selalu mengatakan: Aku baik-baik saja!” dan bahkan meski sulit, ia selalu ingin memanjatkan doa pagi dan doa malamnya. Ia meminta imam untuk mengantarkan Komuni Kudus setiap hari, dan jam-jam sesudah itu selalu lebih tenang…. Begitu dapat, ia memintaku untuk menuliskan surat-suratnya.”

Suratnya yang terakhir tertanggal 2 Juni 1937; surat yang akan sampai di tangan Paus Pius XI. Ibunya menceritakan: “Aku duduk di samping pembaringannya dan menuliskan apa yang ia katakan kepadaku dengan susah payah: “Yesus tersalib, aku sangat mencintaimu, sangat! Aku ingin tinggal bersama-Mu di Kalvari. Yesus sayang, katakan kepada Allah Bapa bahwa aku juga sangat mencintai-Nya. Yesus sayang, berilah aku kekuatan yang aku perlukan untuk menanggung sakit ini yang aku persembahkan bagi para pendosa.”

Saat itu, Antonietta mendapat serangan batuk yang hebat dan muntah, tetapi setelah semua itu berlalu, ia melanjutkan: “Yesus sayang, katakan kepada Roh Kudus untuk menerangiku dengan cinta dan memenuhiku dengan Tujuh Karunia-Nya. Yesus sayang, katakan pada Perawan Maria bahwa aku sangat mencintainya dan aku ingin tinggal dekatnya. Yesus sayang, ingin aku ulang bahwa aku sangat, sangat mencintaimu. Yesus-ku yang baik, aku percayakan bapa rohaniku kepada-Mu, mohon berilah ia segala rahmat yang ia butuhkan. Yesus sayang, aku percayakan orangtuaku dan Margherita kepada-Mu. Puteri kecil-Mu mengirimkan banyak kecupan untuk-Mu…..”

Sekonyong-konyong aku merasakan suatu pemberontakan dalam hatiku melihat bagaimana ia menderita dan dengan amat marah aku menggulung kertas itu dan melemparkannya ke dalam laci.

Beberapa hari kemudian, Professor Milani dari Kepausan (Pontifical Archiatra) yang diminta datang oleh Dr Vecchi untuk suatu konsultasi, datang mengunjungi Antonietta. Ia mengatakan bahwa kondisi Antonietta amat serius dan bahwa ia harus dibawa ke rumah sakit untuk suatu operasi lain. Sesudahnya, Professor tinggal untuk berbicara dengan Antonietta, dan ia terheran-heran bagaimana Antonietta dapat menanggung rasa sakit yang hebat itu tanpa mengerang. Suamiku menceritakan kepadanya mengenai surat-surat yang ditulis Antonietta. Professor ingin melihat surat yang terakhir, dan aku tak kuasa menolak. Aku ambil surat itu dari tempat aku mencampakkannya hari itu, dan aku perlihatkan kepadanya. Sesudah membacanya, Professor Milani mengatakan bahwa ia hendak berbicara kepada Paus mengenai Antonietta, dan meminta ijin untuk membawa surat itu bersamanya. Ragu-ragu aku menjawab: `Tetapi… saya tidak tahu… jika….' `Nyonya,' katanya, `Kita sedang berbicara mengenai Paus!'”

Keesokan harinya sebuah mobil dari Vatican berhenti di depan rumah kami. Seorang utusan, yang diutus secara pribadi oleh Bapa Suci, datang untuk menyampaikan Berkat Apostolik kepada Antonietta. Ia mengatakan bahwa Bapa Suci amat tersentuh hatinya ketika ia membaca surat itu. Ia meninggalkan kepada kami sehelai catatan dari Professor Milani di mana ia meminta Antonietta untuk mengingatnya dalam doa-doanya kepada Tuhan, dan memohonkan baginya karunia-karunia yang sama yang diminta Antonietta bagi dirinya sendiri.”


HARI-HARI TERAKHIR HIDUPNYA

Tanggal 12 Juni kondisi Antonietta semakin buruk; ia sulit bernapas. Cairan disedot dari paru-parunya. Pada tanggal 23 Juni ia menjalani operasi dengan hanya dibius lokal sebab kondisi keseluruhannya yang buruk. Ibunya bercerita: “Tak dapat aku katakan sakit hebat yang mendera tubuh kecil itu. Hari itu, dengan sekuat tenaga menahan airmata, kukatakan kepadanya: `Kau lihat nak… nanti kalau kau sudah lebih baik, kita akan pergi berlibur ke laut…. Kau begitu suka laut, kau dapat mandi di sana, tahukah kau? …” Ia memandangku dengan lembut dan berkata: “Mama, bergembiralah… aku akan keluar dari sini kurang dari sepuluh hari.” Waktu itu ibunya tidak tahu bahwa Antonietta menubuatkan dengan tepat hari dan jam kematiannya.

Hari-hari selanjutnya, metastasis semakin menyerang dan menggerogoti tubuhnya. Kendati demikian, dengan sisa kekuatan Antonietta selalu tersenyum kepada para perawat yang datang untuk membalut lukanya. Semua orang di sekelilingnya memberi kesaksian atas ketercengangan mereka di hadapan damai tenang Antonietta yang luar biasa. Ibunya bahkan ragu apakah puterinya kesakitan: “Aku datang menemui dokter dan bertanya, `Dokter, saya tidak berpikir… katakan yang sesungguhnya, katakan yang sebenarnya… apakah Antonietta sangat menderita?' `Tetapi, Nyonya, apakah yang anda tanyakan ini? Diamlah! Sakitnya sungguh luarbiasa.' Aku kembali ke kamarnya… dengan suara bergetar meminta padanya, `Antonietta, berkati Mamamu, nak…. Antonietta, berkati Mama.” Bersusah-payah ia membuat tanda salib dengan tangannya atasku.”

Ayahnya memberikan kesaksian: “Suatu hari kondisinya memburuk dan aku memutuskan untuk meminta seorang imam melayani Sakramen Terakhir. Aku bertanya kepada Antonietta: `Tahukah kau apa itu Sakramen Terkahir?' `Sakramen yang diterima orang yang hampir meninggal,' jawabnya. Aku tak ingin ia menjadi sedih, sebab itu aku tambahkan: `Terkadang Sakramen Terakhir mendatangkan kesehatan atas tubuh….” Antonietta menolak: `Terlalu cepat' katanya, dan aku tidak memaksa. Tetapi ketika kemudian imam mengatakan kepadanya bahwa Sakramen Terakhir meningkatkan rahmat, ia mengatakan, `Ya, aku mau.'”

Antonietta menjawab dengan khidmad semua doa; ia menyatakan tobat, lalu ia membuka kedua tangannya di hadapan imam yang mengurapinya. Dengan mesra diciumnya salib Komuni Kudusnya. Semuanya terjadi dengan sederhana dan damai.

Malam sebelum wafatnya, ibunya melihat Antonietta dalam sebuah mimpi. Antonietta berdiri mengenakan sebuah gaun putih panjang. “Ketika ia melihatku takjub bahwa ia sudah sembuh, ia mengatakan: `Tidak Mama, aku bukannya sembuh, aku sudah mati; tapi dalam beberapa jam aku akan mati lagi, tapi aku tidak akan kesakitan lagi, dan Mama jangan menangis. Sesunguhnya aku masih akan hidup beberapa hari lebih lama, tetapi St Theresia dari Kanak-kanak Kudus mengatakan: Sudah cukup.”

Dini hari, 3 Juli 1937, ketika ayahnya menghampirinya untuk merapikan pembaringan dan mencium pipinya, Antonietta berbisik: “Yesus, Maria… Mama, Papa….” Ia mengarahkan matanya ke depan, tersenyum, lalu menarik satu napas panjang, napasnya yang terakhir.

Pada tanggal 5 Juli 1937, sebuah peti jenazah kecil berwarna putih diusung untuk dihantar ke gereja paroki, Basilika Salib Suci di Yerusalem, untuk disemayamkan sebelum dimakamkan. Pada tanggal 5 Juli 1999, 62 tahun sesudah pemakamannya, jenazah Antonietta dipindahkan dari makam dan dihantar kembali untuk disemayamkan di Basilika Salib Suci di Yerusalem, Roma, di mana disimpan relikwi sengsara Yesus.


BEATIFIKASI

Nennolina baru berusia enam setengah tahun ketika ia wafat. Banyak pertobatan dan rahmat berlimpah sesudah kematiannya. Kartu-kartu doa dan ucapan terima kasih menyelimuti makamnya. Dalam waktu setahun, dua biografi Antonietta diterbitkan. Sesudahnya, biografinya muncul dalam berbagai bahasa.

Bulan Desember 1938, ayahnya meminta agar kaki kiri Antonietta yang telah diamputasi dan dikuburkan, dijadikan satu dengan jenazah. Sesudah 31 bulan dikuburkan, kaki Antonietta didapati utuh dan tak rusak. Kaki itu dimsukkan dalam sebuah kotak kecil dan dikuburkan dekat jenazah Antonietta.

Baru pada tahun 1981 Kongregasi untuk Masalah Santa / Santo dengan suatu deklarasi khusus menulis bahwa Gereja sepenuhnya mengakui bahwa bahkan kanak-kanak kecil pun dapat mengamalkan tindakan-tndakan gagah berani dalam iman, harapan dan kasih, dan karenanya dapat dimaklumkan sebagai santa / santo.

Dengan keberadaannya, Antonietta telah memberikan kepada sejarah Gereja suatu teladan baru bahwa kekudusan adalah mungkin dicapai dalam segala tingkat usia. Kekudusan yang dikenali pertama-tama oleh umat Allah, dan kemudian oleh Gereja secara resmi.

Ketika Antonietta masih hidup, mereka yang mengenali dalam dirinya kebaikan seorang anak yang menderita, sering memintanya untuk berdoa bagi yang lain. Setelah wafatnya, orang terus memohon bantuan doanya. Nubuat Antonietta “Aku akan mengirimkan hujan lili” terus menjadi kenyataan.

Antonietta dimaklumkan sebagai “Veneralibils” oleh Paus Benediktus XVI pada tanggal 17 Desember 2007. Pada tanggal 20 Desember 2007, di hadapan anak-anak anggota Aksi Katolik, Paus Benediktus XVI mengatakan:

“Saya senang kalian baru saja menyebut Antonietta Meo, seorang gadis kecil yang dikenal sebagai `Nennolina'. Tepat tiga hari yang lalu, saya menetapkan pengakuan atas keutamaan-keutamaannya yang gagah berani dan saya harap proses beatifikasinya dapat segera selesai dengan gemilang. Betapa suatu teladan cemerlang yang ditinggalkan oleh sahabat kecil kalian ini bagi kita! Dalam hidupnya yang sangat singkat - hanya enam setengah tahun - Nennolina, seorang kanak-kanak Roma, memperlihatkan iman, harapan dan kasih yang istimewa, juga keutamaan-keutamaan Kristiani lainnya. Meski ia seorang gadis kecil yang lemah, ia berhasil memberikan kesaksian Injil yang kuat dan penuh semangat, dan meninggalkan suatu jasa besar bagi komunitas Keuskupan Roma. Nennolina adalah anggota Aksi Katolik: sekarang pastilah ia telah menjadi anggota ACR! Sebab itu kalian dapat menganggapnya sebagai sahabat kalian, seorang teladan yang mengilhami kalian. Hidupnya, yang begitu sederhana dan sekaligus begitu penting, menunjukkan bahwa kekudusan diperuntukkan bagi segala tingkatan usia: untuk anak-anak dan untuk kaum muda, untuk kaum dewasa dan kaum lanjut usia. Setiap masa dalam hidup kita dapat merupakan saat yang tepat untuk memutuskan untuk mengasihi Yesus secara sungguh dan mengikuti-Nya dengan setia. Hanya dalam beberapa tahun, Nennolina mencapai puncak kesempurnaan Kristiani, kemana kita semua dipanggil; ia melaju pesat di `jalan raya' yang menghantar pada Yesus. Sungguh, sebagaimana kalian sendiri katakan, Yesus adalah `jalan' sejati yang menghantar kita pada Bapa dan ke rumah-Nya dan rumah kita yang sejati, yang adalah Firdaus. Kalian tahu bahwa Antonietta sekarang tinggal bersama Allah dan dekat dengan kalian dari Surga: kalian merasakan kehadirannya di antara kalian, dalam kelompok kalian. Belajarlah mengenalnya dan mengikuti teladannya.”

Dua mukjizat diperlukan untuk memaklumkan kanak-kanak Roma ini sebagai "beata" dan kemudian "santa". Jika proses kanonisasi berjalan lancar, Antonietta Meo akan segera menjadi yang termuda dalam kelompok non-martir yang ditinggikan ke tingkat altar. Pesta Antonietta Meo dirayakan pada tanggal 3 Juli. 
 
Sumber :  yesaya.indocell.net
 
 

Selasa, 11 September 2012

Penampakan Bunda Maria yang Pertama


Tahukah anda di mana penampakan Bunda Maria yang pertama? Penampakan Bunda Maria yang pertama tercatat adalah penampakan Bunda Maria kepada St. Yakobus Rasul, saudara St. Yohanes Rasul dan salah satu dari 12 Murid Yesus Kristus. Penampakan ini terjadi ketika Bunda Maria masih hidup. Berdasarkan Tradisi, St. Yakobus diutus oleh St. Petrus ke Spanyol untuk menyebarkan Injil kepada orang-orang di wilayah tersebut. Nama St. Yakobus adalah “Sant Iago” dalam bahasa Spanyol yang kemudian berkembang menjadi “Santiago”.


St. Yakobus kemudian sampai ke Timur Laut Spanyol yaitu di daerah Zaragoza. Karya Penginjilannya tidak berjalan mulus. Orang-orang di sana tidak antusias akan Kabar Gembira yang dibawa kepada mereka. Dalam suatu kondisi keputusasaan dan kesedihan, St. Yakobus berdoa di tepi sungai Ebro di Zaragoza. Pada saat itu, Bunda Maria mengalami bilokasi (berada di dua tempat secara bersamaan) dan menampakkan diri kepada St. Yakobus untuk meneguhkannya.

Basilika Minor Our Lady of the Pillar

Bunda Maria memberikan kepada St. Yakobus suatu patung kayu kecil dirinya (diri Bunda Maria) dan meminta St. Yakobus untuk membangun sebuah gereja untuk menghormati-Nya dengan patung yang diletakkan di pilar/tiang berdiri yang berada di altar. Dari hal inilah, muncul gelar terhadap Bunda Maria: “Our Blessed Lady of the Pillar” (St. Perawan Maria dari tiang).  St. Yakobus kemudian membangun sebuah kapel pada tempat itu untuk menghormati Bunda Maria dan menempatkan patungnya di atas pilar yang ia dirikan. Patung Bunda Maria serta pilar yang didirikan oleh St. Yakobus sekarang berada di Basilika Minor Our Lady of the Pillar.

Katedral Basilika Santiago de Compostela

Kapan peristiwa ini terjadi? Pada 5 tahun pertama sejak Pentakosta, St. Yakobus berada di Spanyol. Sedangkan Tradisi setempat menyatakan bahwa peristiwa itu terjadi pada hari Sabtu, 2 Januari 40 M berdasarkan Kalender Julian. St. Yakobus sendiri akhirnya menjadi martir di Yerusalem pertama dari kalangan Para Rasul. St. Yakobus dipenggal pada masa pemerintahan Herodes Agrippa I pada tahun 44 Masehi. Jadi, pada tahun-tahun pertama setelah Pentakosta St. Yakobus pergi ke Spanyol dan kemudian kembali lagi ke Yerusalem pada sekitar tahun 44 M dan penampakan tersebut terjadi ketika St. Yakobus di Spanyol.

Karena jenazahnya tidak diizinkan untuk dimakamkan di Yerusalem, maka sisa-sisa jasadnya dibawakan ke Compostela, Spanyol, oleh para pengikutnya. Di sana mereka memakamkannya di tempat yang layak. Beberapa abad kemudian, kaum Moor Islam menginvasi sebagian besar daerah Spanyol. Peziarahan ke Compostela dimulai sejak Charles Agung menaklukkan kembali daerah tempat makam St. Yakobus berada. Di atas makam tersebut, didirikan sebuah kapel yang kemudian sekarang menjadi Katedral Basilika Metropolitan Santiago de Compostela. Tempat ini dikunjungi dua kali oleh Beato Yohanes Paulus II (1982 dan 1989) serta sekali oleh Paus Benediktus XVI (2010). 
 
 
Sumber: http://www.indonesianpapist.com