Rabu, 31 Agustus 2016

Kemanakah Jiwa Pergi Setelah Kita Meninggal Dunia?
oleh: P. William P. Saunders *




Suami dan saya berselisih pendapat mengenai kemana jiwa kita pergi setelah kita meninggal dunia. Saya percaya bahwa kita langsung menghadapi pengadilan dan jika kita didapati layak, maka jiwa kita akan segera menuju surga. Suami saya percaya bahwa kita tidak akan diadili hingga kedatangan Yesus yang kedua kalinya pada Hari Penghakiman dan bahwa tak satu pun jiwa pergi ke surga hingga saat itu. Dapatkah dijelaskan bagaimana ajaran Gereja yang sebenarnya?
~ seorang pembaca di Alexandria

Sebagai orang Katolik, kita percaya bahwa ketika seseorang meninggal dunia, jiwanya terpisah dari raganya. Ia kemudian berada di hadapan pengadilan Tuhan. Patut diingat bahwa jiwa adalah “siapa” kita sebenarnya: sementara tubuh kita mati, jiwa kita - diri kita yang sebenarnya - tetap hidup dan kembali kepada Tuhan untuk menghadapi pengadilan. Katekismus Gereja Katolik dengan jelas mengajarkan, “Pada saat kematian setiap manusia menerima ganjaran abadi dalam jiwanya yang tidak dapat mati. Ini berlangsung dalam satu pengadilan khusus, yang menghubungkan kehidupannya dengan Kristus: entah masuk ke dalam kebahagiaan surgawi melalui suatu penyucian, atau langsung masuk ke dalam kebahagiaan surgawi ataupun mengutuki diri untuk selama-lamanya.” (1022)



Mari kita telaah ajaran ini: Saat kita meninggal dunia, jiwa kita segera menghadap pengadilan. Kita harus mempertanggung-jawabkan hidup kita, atas segala hal baik yang kita lakukan dan segala dosa yang kita perbuat. Kita menyebutnya Pengadilan Khusus sebab pengadilan ini khusus bagi tiap-tiap orang. Jika kita bebas dari segala bentuk dosa dan luka akibat dosa, kita akan segera disambut dalam surga, di mana kita akan menikmati kebahagiaan surgawi, memandang Tuhan dari muka ke muka. Jika kita meninggal dunia dengan menanggung dosa-dosa ringan atau luka akibat dosa, Tuhan dalam kasih dan kerahiman-Nya akan terlebih dahulu memurnikan serta memulihkan jiwa dalam api penyucian; setelah pemurnian dan pemulihan, barulah jiwa kita disambut dalam surga. Tetapi, jika kita meninggal dalam keadaan menolak Tuhan, dengan menanggung dosa-dosa berat dan tanpa sesal atas dosa-dosa berat tersebut, maka kita akan melemparkan diri kita sendiri ke dalam neraka; ketegaran hati kita dalam menolak Tuhan yang kita lakukan semasa di dunia ini, akan terus berlanjut di kehidupan yang akan datang. Ajaran ini dipertegas dengan pernyataan Kristus kepada St Dismas, penyamun yang bertobat, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus.” (Luk 23:43) (Catatan bahwa ajaran mengenai pengadilan khusus ini dijabarkan dalam Konsili Lyon II pada tahun 1274). 



Pada akhir jaman, Kristus akan datang kembali untuk mengadili orang yang hidup dan yang mati. Dalam Injil St Yohanes, Kristus mengajarkan, “Dan Ia telah memberikan kuasa kepada-Nya [Yesus] untuk menghakimi, karena Ia adalah Anak Manusia. Janganlah kamu heran akan hal itu, sebab saatnya akan tiba, bahwa semua orang yang di dalam kuburan akan mendengar suara-Nya, dan mereka yang telah berbuat baik akan keluar dan bangkit untuk hidup yang kekal, tetapi mereka yang telah berbuat jahat akan bangkit untuk dihukum.” (Yoh 5:27-29). Dan lagi Katekismus mengajarkan, “Di depan Kristus, yang adalah kebenaran, akan nyata secara definitif hubungan setiap manusia dengan Allah yang sebenarnya. Pengadilan terakhir akan membuka sampai ke akibat-akibat yang paling jauh, kebaikan apa yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh setiap orang selama hidupnya di dunia ini.” (No. 1039). Dalam pengadilan terakhir, individu bukannya berdiri sendiri, melainkan ia juga diadili sebagai anggota masyarakat dan di hadapan segenap komunitas umat manusia. Mereka yang telah meninggal dunia dan diadili tetap tinggal di surga atau di neraka; mereka yang belum meninggal dunia sekarang akan diadili dan masuk surga atau neraka. Karena sejak pengadilan terakhir hanya surga dan neraka saja yang ada, St Agustinus dan yang lainnya beranggapan bahwa segala penyucian jiwa - bagi mereka yang telah berada di api penyucian dan sekarang mereka menunggu pengadilan dalam pengadilan terakhir ini - akan berakhir.



Demikianlah secara ringkas ajaran Gereja mengenai pengadilan jiwa. Entah kita akan menghadapi pengadilan khusus ataupun pengadilan terakhir, kita harus siap untuk menghadapinya. Uskup Agung Fulton Sheen mengatakan, “Sebab ketika tirai diturunkan pada hari terakhir, dan kita menjawab panggilan untuk menghadapi pengadilan, kita tidak akan ditanya peran apa yang kita mainkan, tetapi bagaimana kita memainkan peran yang dipercayakan kepada kita.” (Moods and Truths, 75).


sumber : http://yesaya.indocell.net/




Borobudur Temple-Jawa Tengah, Indonesia 


Prambanan Temple-Jawa Tengah, Indonesia 


Raja Ampat-Papua Barat, Indonesia 

Rammang Maros-Sulawesi, Indonesia 

Bromo Mountain-Jawa Timur, Indonesia 

Pekalen-Jawa Timur, Indonesia 

Conservation Of Sibolangit-Sumatera Utara, Indonesia 


Crater Lake Of Rinjani-NTB, Indonesia 

Waterfall of Lembah Anai-Sumatera Barat, Indonesia 

Beras Basah Island-Kalimantan Timur, Indonesia 


Labuan Cermin Lake-Kalimantan Timur-Indonesia


Pancur Aji Sanggau Waterfall-Kalimantan Barat-Indonesia

Banda Island-Maluku Tengah-Indonesia


Marine Park of Bunaken-Sulawesi Utara-Indonesia


Embeh Island-Sulawesi Utara-Indonesia


Beratan Bedugul Lake-Bali-Indonesia

Tanah Lot-Bali-Indonesia


Tanjung Tinggi Beach-Belitung-Indonesia

Minggu, 14 Agustus 2016

CHIARA CORBELLA PETRILLO - SANTA GIANNA BERETTA MOLLA KEDUA


"Mama akan pergi ke surga untuk merawat Maria dan David, kau di sini bersama Papa. Mama akan berdoa untukmu." ~ Chiara Petrillo, kepada puteranya Francesco.

Chiara, adalah seorang ibu muda Italia berusia 28 tahun yang menolak pengobatan kanker guna menyelamatkan jiwanya, namun membahayakan bahkan dapat membunuh janin bayinya. Francesco, bayinya, lahir sehat; Chiara meninggal dunia.


"Dalam kisah pasangan suami istri Petrillo, orang dapat mengenali penghiburan ilahi dari surga," demikian dikatakan Simone Troisi dan Christiana Paccini, sahabat dekat keluarga Petrillo yang menuliskan buku biografi Chiara: "Chiara Corbella Petrillo: A Witness to Joy" yang diterbitkan oleh Sophia Institute Press. "Mereka mendapati bahwa dalam segala situasi, tidak ada sungguh alasan untuk menjadi sedih. Ini karena Chiara memperlihatkan bahwa jika kita memiliki Allah sebagai pembimbing kita, maka kemalangan itu tidak ada." 

Chiara, 18 tahun, bertemu dengan Enrico Petrillo di Medjugorje pada tahun 2002 dan menikah enam tahun kemudian di Italia pada tanggal 21 September 2008. Dalam masa awal perkawinan mereka, pasangan muda Italia ini menghadapi banyak kesulitan hidup bersama. Anak sulung, Maria, telah didiagnosa cacat payah semenjak dalam kandungan. Chiara dan Enrico menolak untuk mengaborsinya kendati anjuran yang terus-menerus diajukan kepada mereka. Maria hidup selama 30 menit, dibaptis, dicintai dan ditangisi kepergiannya. Anak kedua, David, semenjak dalam kandungan didiagnosa tidak memiliki kaki. David meninggal tak lama sesudah dilahirkan; dia disayangi dan dicintai hingga akhir.

Ketika Chiara mengandung anak ketiga mereka, Francesco, kabar gembira kehamilan ini disampaikan bersamaan dengan berita sedih diagnosa kanker carcinoma mematikan dalam tubuh Chiara. Sepanjang masa kehamilan, Chiara menolak pengobatan apapun yang dapat menyelamatkan hidupnya, sebab itu dapat membahayakan hidup putera yang dikandungnya. Seturut teori moral Katolik, Chiara tidak harus menolak pengobatan untuk menyelamatkan nyawanya. Apabila pengobatan diberikan dengan tujuan untuk menyelamatkan hidup ibu, di mana dampak yang sama sekali tidak diharapkan adalah dapat membunuh janin bayi yang belum dilahirkan, maka secara moral pengobatan dapat diterima. Hal ini sama sekali berbeda dari membunuh si bayi demi menyelamatkan ibunya. Dalam kasus yang terakhir ini, orang dengan sengaja bertujuan membunuh si bayi demi menyelamatkan hidup si ibu. Teori moral Katolik berpegang bahwa adalah tidak pernah, sama sekali tidak pernah, secara moral menerima pembunuhan seorang yang tidak berdosa demi menyelamatkan hidup yang lain. Tidak peduli siapa pun yang hendak diselamatkan itu. 

Sementara kanker mengganas dalam tubuhnya, Chiara menjadi sulit untuk berbicara dan kehilangan penglihatan pada satu matanya, hingga akhirnya menghembuskan napas terakhir. "Penderitaannya menjadi suatu tempat kudus sebab itulah tempat di mana dia berjumpa dengan Allah," kenang Troisi dan Paccini. Ada sesuatu yang berbeda dengan keluarga Petrillo dalam menghadapi masa-masa sulit - mereka bertaut pada rahmat Allah yang menjadikan keluarga mereka teristimewa damai tenang. Mereka berdamai dengan kenyataan bahwa Chiara tidak akan menjadi tua bersama Enrico ataupun menyaksikan Francesco tumbuh dewasa.

Pasangan muda Petrillo menunjukkan bagaimana "tujuan dari hidup kita adalah untuk mengasihi… menikah merupakan suatu hal yang mengagumkan, suatu petualangan yang membuka jalan ke Surga di rumah." Kisah Chiara dan Enrico yang mengagumkan adalah "sebuah kisah keselamatan di mana Allah memperlihatkan Diri-Nya sebagai Allah yang setia: mereka percaya pada-Nya dan mereka tidak dikecewakan."

Chiara bukanlah "seorang perempuan muda luar biasa yang berbeda dari kita." Sebaliknya, dia bergulat dengan banyak ketakutan dan kekhawatiran manusia. "Ia memiliki pertanyaan-pertanyaan yang sama dengan kita, penolakan dan pergulatan yang sama, ketakutan yang sama," demikian tulis Troisi dan Paccini, yang menjadikannya berbeda ialah "kapasitasnya untuk menyerahkan segala sesuatunya dalam tangan Bapa, untuk menyambut rahmat yang dibutuhkan bagi langkah apapun yang harus ditempuhnya."

Chiara, tidak mengandalkan kekuatan dirinya sendiri, melainkan mengandalkan rahmat dan penghiburan dari Allah…. Ia tidak pernah meragukan kesetiaan Allah pada janji-Nya akan kebahagiaan dari kisah hidupnya."

Pada hari-hari terakhir Chiara, Enrico memeluk rahmat Allah seperti yang dilakukan Chiara, seraya mengatakan, "Jika ia hendak pergi bersama Seorang yang mengasihinya lebih dari aku, mengapakah aku harus bersedih?"

"Kebenarannya adalah bahwa salib ini - jika engkau memeluknya bersama Kristus - berhenti menjadi sejelek tampaknya. Jika engkau mengandalkan-Nya, engkau akan mendapati bahwa api ini, salib ini, tidak membakar, dan bahwa damai dapat ditemukan dalam penderitaan dan sukacita dalam kematian," kata Enrico.

"Apabila aku menatap Chiara pada saat ia meregang nyawa, aku jelas menjadi sangat sedih. Tapi aku mengerahkan keberanian dan beberapa jam sebelumnya - sekitar pukul delapan pagi, Chiara wafat siang hari - aku bertanya padanya: 'Chiara, kekasihku, apakah salib ini sungguh manis, seperti yang dikatakan Tuhan?' Ia menatapku dan ia tersenyum, dan dengan suara lirih ia mengatakan, 'Ya, Enrico, sangat manis.'"

Chiara wafat pada tanggal 13 Juni 2012 di rumahnya dengan mengenakan gaun pengantinnya, dengan dikelilingi keluarga, sanak saudara dan sahabat. Kendati masa hidupnya di dunia sudah berakhir, Chiara akan terus menjadi seorang saksi sukacita.




PAUS FRANSISKUS MEREFLEKSIKAN PERAN PENTING SEORANG IBU

"Hidup yang tanpa tantangan itu tidak ada," dan itu merupakan satu alasan mengapa seorang anak membutuhkan ibu, demikian dikatakan Bapa Suci.

Ibu berperan penting dengan membantu anak "melihat masalah-masalah hidup secara realistik," tanpa "terjerat di dalamnya". Seorang ibu membantu anak-anaknya untuk "menangani" masalah-masalah yang ada dengan gagah berani dan menjadikan anak-anak cukup kuat untuk mengatasi masalah-masalah tak terhindarkan yang mereka hadapi.

Tentu saja, dalam peran ini seorang ibu berjalan di garis yang tepat, dengan mencari "keseimbangan yang sehat" bagi si anak, artinya, menurut Bapa Suci, seorang ibu "tidak selalu menghantar anaknya sepanjang jalan yang aman-aman saja, sebab dengan demikian si anak tidak akan dapat berkembang, pula seorang ibu tidak akan membiarkan anaknya hanya di jalan yang mengandung resiko, sebab itu membahayakan." Seorang ibu, "tahu bagaimana menyeimbangkannya."

Dalam kunjungan beliau pada tanggal 4 Mei 2013 ke Basilika St. Mary Major, Bapa Suci secara istimewa menekankan keibuan Maria. Dalam hidupnya sendiri, Maria "melihat banyak saat-saat sulit," namun demikian "sebagai seorang ibu yang baik ia dekat dengan kita, agar kita jangan pernah patah semangat dalam menghadapi berbagai kesulitan hidup" dan "agar kita dapat merasakan dukungannya dalam menghadapi dan mengatasi kesulitan-kesulitan dalam perjalanan hidup manusiawi dan Kristiani kita." Selanjutnya Bapa Suci meyakinkan bahwa "Maria membantu kita untuk bertumbuh sebagai seorang manusia dan dalam iman, untuk menjadi kuat dan tidak pernah jatuh ke dalam pencobaan menjadi manusia-manusia dan orang-orang Kristen gampangan, melainkan untuk hidup penuh tanggung-jawab, untuk berjuang bahkan dengan terlebih luhur."

sumber : http://yesaya.indocell.net/




Borobudur Temple-Jawa Tengah, Indonesia 


Prambanan Temple-Jawa Tengah, Indonesia 


Raja Ampat-Papua Barat, Indonesia 

Rammang Maros-Sulawesi, Indonesia 

Bromo Mountain-Jawa Timur, Indonesia 

Pekalen-Jawa Timur, Indonesia 

Conservation Of Sibolangit-Sumatera Utara, Indonesia 


Crater Lake Of Rinjani-NTB, Indonesia 

Waterfall of Lembah Anai-Sumatera Barat, Indonesia 

Beras Basah Island-Kalimantan Timur, Indonesia 


Labuan Cermin Lake-Kalimantan Timur-Indonesia


Pancur Aji Sanggau Waterfall-Kalimantan Barat-Indonesia

Banda Island-Maluku Tengah-Indonesia


Marine Park of Bunaken-Sulawesi Utara-Indonesia


Embeh Island-Sulawesi Utara-Indonesia


Beratan Bedugul Lake-Bali-Indonesia

Tanah Lot-Bali-Indonesia


Tanjung Tinggi Beach-Belitung-Indonesia

Santa Perawan Maria Bunda Penolong Abadi
oleh: P. William P. Saunders *
Bagaimanakah kisah yang melatarbelakangi lukisan Bunda Penolong Abadi?
~ seorang pembaca di Reston


Lukisan Bunda Penolong Abadi adalah sebuah ikon, dilukis di atas kayu dan tampaknya berasal dari sekitar abad ketigabelas. Ikon ini (kurang lebih 54 x 41,5 sentimeter) menggambarkan Bunda Maria, di bawah gelar “Bunda Allah,” menggendong Kanak-Kanak Yesus. Malaikat Agung St Mikhael dan Malaikat Agung St Gabriel, melayang di kedua pojok atas, memegang alat-alat Sengsara - St Mikhael (di pojok kiri) memegang tombak, bunga karang yang dicelupkan ke dalam anggur asam dan mahkota duri, sementara St Gabriel (di pojok kanan) memegang salib dan paku-paku. Tujuan dari sang pelukis adalah menggambarkan Kanak-Kanak Yesus menyaksikan penglihatan akan Sengsara-Nya di masa mendatang. Kegentaran yang dirasakan-Nya diperlihatkan melalui terlepasnya salah satu sandal-Nya. Namun demikian, ikon ini juga menyampaikan kemenangan Kristus atas dosa dan maut, yang dilambangkan dengan latar belakang keemasan (lambang kemuliaan kebangkitan) dan dari cara dengan mana para malaikat memegang alat-alat siksa, yaitu bagaikan memegang tanda kenang-kenangan yang dikumpulkan dari Kalvari pada pagi Paskah.



Dengan suatu cara yang amat indah, Kanak-kanak Yesus menggenggam erat tangan Bunda Maria. Ia mencari penghiburan dari BundaNya, sementara Ia melihat alat-alat sengsara-Nya. Posisi tangan Maria - keduanya memeluk Kanak-Kanak Yesus (yang tampak bagaikan seorang dewasa kecil) dan memberikan-Nya kepada kita - menyampaikan realita akan inkarnasi Tuhan kita, bahwa ia adalah sungguh Allah yang juga menjadi sungguh manusia. Dalam ikonografi, Bunda Maria di sini digambarkan sebagai Hodighitria, yaitu dia yang menghantar kita kepada sang Penebus. Ia adalah juga Penolong kita, yang menjadi perantara kita kepada Putranya. Bintang yang terlukis pada kerudung Maria, yang terletak di tengah atas dahinya, menegaskan peran Maria dalam rencana keselamatan baik sebagai Bunda Allah maupun Bunda kita.



Menurut tradisi, seorang saudagar mendapatkan ikon Bunda Penolong Abadi dari pulau Krete dan mengirimkannya ke Roma dengan kapal laut menjelang akhir abad kelimabelas. Dalam perjalanan, mengamuklah suatu badai dahsyat, yang mengancam nyawa mereka semua yang berada dalam kapal. Para penumpang bersama awak kapal berdoa memohon bantuan Bunda Maria, dan mereka diselamatkan.



Begitu tiba di Roma, sang saudagar yang menghadapi ajal, memerintahkan agar lukisan dipertontonkan agar dapat dihormati secara publik. Sahabatnya, yang menahan lukisan tersebut, menerima perintah berikutnya: dalam suatu mimpi kepada gadis kecilnya, Bunda Maria menampakkan diri dan menyatakan keinginannya agar lukisan dihormati di sebuah gereja antara Basilika St Maria Maggiore dan St Yohanes Lateran di Roma. Sebab itu, lukisan ditempatkan di Gereja St Matius, dan kemudian terkenal sebagai “Madonna dari St Matius.” Para peziarah berduyun-duyun datang ke gereja tersebut selama tiga ratus tahun berikutnya, dan rahmat berlimpah dicurahkan atas umat beriman.



Setelah pasukan Napoleon menghancurkan Gereja St Matius pada tahun 1812, lukisan dipindahkan ke Gereja St Maria di Posterula, dan disimpan di sana hingga hampir 40 tahun lamanya. Di sana, lukisan itu kemudian diabaikan dan dilupakan.



Oleh karena penyelenggaraan ilahi, lukisan diketemukan kembali. Pada tahun 1866, Beato Paus Pius IX mempercayakan lukisan kepada kaum Redemptoris, yang baru saja mendirikan Gereja St Alfonsus, tak jauh dari St Maria Maggiore. Semasa kanak-kanak, Bapa Suci berdoa di hadapan lukisan ini di Gereja St Matius. Beliau memerintahkan agar lukisan dipertontonkan kepada publik dan dihormati; beliau juga menetapkan perayaan Santa Perawan Maria Bunda Penolong Abadi pada hari Minggu sebelum Hari Raya Kelahiran St Yohanes Pembaptis. Pada tahun 1867, ketika lukisan sedang dibawa dalam suatu perarakan yang khidmad melalui jalan-jalan, seorang kanak-kanak disembuhkan secara ajaib, yang pertama dari banyak mukjizat yang kemudian dicatat sehubungan dengan Bunda Penolong Abadi.



Hingga hari ini, Gereja St Alfonsus mempertontonkan ikon Bunda Penolong Abadi dan menyambut segenap peziarah yang datang untuk berdoa. Kiranya setiap kita tidak pernah ragu untuk memohon bantuan doa dan perantaraan Bunda Maria kapan saja, teristimewa pada masa kesesakan.

Sumber : http://www.indocell.net/yesaya/id1120.htm




Borobudur Temple-Jawa Tengah, Indonesia 


Prambanan Temple-Jawa Tengah, Indonesia 


Raja Ampat-Papua Barat, Indonesia 

Rammang Maros-Sulawesi, Indonesia 

Bromo Mountain-Jawa Timur, Indonesia 

Pekalen-Jawa Timur, Indonesia 

Conservation Of Sibolangit-Sumatera Utara, Indonesia 


Crater Lake Of Rinjani-NTB, Indonesia 

Waterfall of Lembah Anai-Sumatera Barat, Indonesia 

Beras Basah Island-Kalimantan Timur, Indonesia 


Labuan Cermin Lake-Kalimantan Timur-Indonesia


Pancur Aji Sanggau Waterfall-Kalimantan Barat-Indonesia

Banda Island-Maluku Tengah-Indonesia


Marine Park of Bunaken-Sulawesi Utara-Indonesia


Embeh Island-Sulawesi Utara-Indonesia


Beratan Bedugul Lake-Bali-Indonesia

Tanah Lot-Bali-Indonesia


Tanjung Tinggi Beach-Belitung-Indonesia