Rabu, 27 Februari 2013

Catalina (Katya) Rivas
Stigmatis, Visionaris
Kesaksian Catalina mengenai Misa Kudus






Dalam suatu katekese yang mengagumkan, Tuhan dan Santa Perawan Maria mengajarkan kepada kita, pertama-tama, mengenai bagaimana berdoa Rosario Suci, berdoa dengan hati kita, merenungkan serta menikmati saat-saat perjumpaan kita dengan Tuhan dan Bunda Maria. Mereka juga mengajarkan kepada kita bagaimana Mengaku Dosa dengan baik, dan [dalam kesaksian ini], Mereka menunjukkan kepada kita apa yang terjadi sepanjang Misa Kudus dan bagaimana mengalaminya dengan hati kita.

Inilah kesaksian yang harus dan ingin aku berikan kepada seluruh dunia, demi Kemuliaan Tuhan yang terlebih lagi dan demi keselamatan mereka semua yang mau membuka hati bagi Dia. Kesaksian ini diberikan agar begitu banyak jiwa yang dikonsekrasikan kepada Tuhan dapat mengobarkan kembali api kasih mereka kepada Kristus; mereka yang mempunyai tangan-tangan yang memiliki kuasa untuk mendatangkan Kristus ke dunia untuk menjadi santapan kita [jiwa-jiwa para imam] dan mereka yang lainnya [jiwa-jiwa religius] agar mereka terlepas dari kebiasaan menyambut Dia sebagai suatu “praktek rutinitas” dan menghidupkan kembali kekaguman dari perjumpaan setiap hari dengan sang Kasih. Kesaksian ini diberikan agar saudara dan saudariku kaum awam di segenap penjuru dunia dapat mengalami Mukjizat teragung, perayaan Ekaristi Kudus, dengan hati mereka.

Kala itu vigili Hari Raya Kabar Sukacita dan anggota kelompok kami dan aku pergi menyambut Sakramen Rekonsiliasi. Sebagian perempuan dari kelompok doa tidak dapat menyambut sakramen saat itu, dan mereka menunda Tobat mereka hingga keesokan harinya sebelum Misa Kudus.

Ketika aku tiba di gereja keesokan harinya, sedikit terlambat, Yang Mulia, Uskup Agung dan para imam telah keluar dari sakristi. Dengan suara yang lemah lembut dan feminin yang menenangkan jiwa, Santa Perawan Maria mengatakan:

“Hari ini adalah hari pelajaran bagimu; dan aku ingin engkau memperhatikan dengan seksama sebab semua yang engkau saksikan pada hari ini, semua yang engkau alami pada hari ini; harus engkau bagikan kepada segenap umat manusia.” Aku terpana dan tidak mengerti [arti kata-katanya], tetapi aku berusaha memperhatikan dengan amat seksama.

Hal pertama yang aku cermati adalah suatu paduan suara yang sangat indah merdu yang bernyanyi seolah dari kejauhan. Terkadang musik datang mendekat dan kemudian pergi menjauh, seperti suara angin.

Uskup Agung memulai Misa, dan ketika beliau tiba pada Ritus Tobat, Santa Perawan mengatakan,

“Dari lubuk hatimu, mohonlah pengampunan Tuhan atas segala kesalahanmu karena telah menyakiti-Nya. Dengan demikian, engkau akan dapat berpartisipasi dengan pantas dalam hak istimewa ini, yakni ikut ambil bagian dalam Misa Kudus.”

Pastilah terlintas dalam benakku: “Tetapi, aku dalam keadaan rahmat. Aku baru saja pergi mengaku dosa semalam.”

Ia menjawab: “Apakah kau pikir engkau tidak menyakiti Tuhan sejak tadi malam? Mari aku ingatkan engkau akan beberapa hal. Ketika engkau berangkat untuk datang kemari, gadis yang membantumu datang untuk meminta sesuatu, dan karena engkau terlambat, engkau menjawabnya dengan tergesa dan tidak dengan cara yang terbaik. Kurang belas kasih dari pihakmu, dan engkau mengatakan bahwa engkau tidak menyakiti Tuhan…?

Dalam perjalanan kemari, sebuah bis melintas di jalurmu dan nyaris menabrakmu. Engkau mengekspresikan diri dengan suatu cara yang tidak pantas terhadap laki-laki malang itu, dan bukannya mengucapkan doa-doamu dan mempersiapkan diri untuk Misa. Engkau memperlihatkan kurangnya belas kasih dan engkau kehilangan damai dan kesabaran. Dan engkau mengatakan bahwa engkau tidak melukai Tuhan…?

Engkau tiba di menit-menit terakhir ketika prosesi selebran menuju Altar telah dimulai… dan engkau akan ikut ambil bagian dalam Misa tanpa persiapan terlebih dahulu….”

“Baiklah, Bunda-ku, jangan katakan lagi padaku,” jawabku. “Engkau tak perlu mengingatkanku akan lebih banyak hal lagi, sebab aku akan mati karena sedih dan malu.”

“Mengapakah kalian semua harus tiba di saat-saat terakhir? Kalian seharusnya tiba lebih awal agar kalian dapat memanjatkan doa dan memohon Tuhan untuk mengutus Roh KudusNya, agar Roh Kudus menganugerahi kalian roh damai dan membersihkan kalian dari roh duniawi, kekhawatiran, masalah dan distraksi agar kalian dapat mengalami saat yang begitu sakral ini. Tetapi, engkau tiba nyaris ketika perayaan hendak dimulai, dan engkau ikut ambil bagian dalam Misa seolah Misa adalah suatu peristiwa biasa, tanpa ada persiapan rohani. Mengapa? Misa adalah Mukjizat teragung. Engkau akan mengalami saat ketika Allah yang Mahatinggi memberikan anugerah-Nya yang teragung, dan engkau tidak menghargainya.”

Cukuplah. Aku merasa begitu sedih hingga aku memiliki lebih dari cukup untuk memohon pengampunan dari Tuhan. Bukan saja untuk pelanggaran-pelanggaran hari itu, tetapi juga untuk setiap kali ketika, sama seperti banyak orang lainnya, aku menunggu imam selesai menyampaikan homili sebelum memasuki gereja. Aku memohon pengampunan untuk setiap kali ketika aku tidak tahu atau menolak untuk mengerti apa artinya berada di sana, dan untuk setiap kali mungkin, ketika jiwaku penuh dengan dosa-dosa yang lebih serius, dan aku berani ikut ambil bagian dalam Misa Kudus.

Hari itu adalah Hari Raya, dan Gloria didaraskan. Bunda Maria mengatakan: “Muliakanlah dan luhurkanlah Tritunggal Mahakudus dengan segenap kasihmu, dalam pengenalan diri sebagai makhluk ciptaan Tritunggal.”

Betapa berbedanya Gloria itu! Sekonyong-konyong aku melihat diriku sendiri di suatu tempat nun jauh yang dipenuhi cahaya, di hadapan Hadirat Agung Tahta Allah. Dengan luapan kasih aku mengucap syukur kepada-Nya, sementara aku mengulang: “Karena Kemuliaan-Mu yang besar, kami memuji Dikau, kami meluhurkan Dikau, kami menyembah Dikau, kami memuliakan Dikau, kami bersyukur kepada-Mu, Ya Tuhan Allah, Raja Surgawi, Allah Bapa yang Mahakuasa.” Dan aku terkenang akan wajah kebapaan Allah Bapa, penuh belas kasihan…. “Ya Tuhan Yesus Kristus, Putra tunggal Bapa, ya Tuhan Allah, Anak Domba Allah, Engkau yang menghapus dosa dunia….” Dan Yesus ada di hadapanku, dengan wajah penuh kelembutan dan belas kasihan…. “hanya Engkau-lah kudus, hanya Engkau-lah Tuhan, hanya Engkau-lah Mahatinggi, ya Yesus Kristus, bersama dengan Roh Kudus…” Allah Kasih yang menawan. Ia, yang pada saat itu, memenuhi seluruh keberadaanku dengan sukacita….

Dan aku memohon: “Tuhan, bebaskanlah aku dari segala yang jahat. Hatiku adalah milik-Mu. Tuhan-ku, berilah aku damai-Mu agar aku beroleh sebanyak mungkin manfaat dari Ekaristi ini dan agar hidupku boleh menghasilkan buah-buah terbaik. Roh Kudus Allah, ubahlah aku, bertindaklah dalam aku, bimbinglah aku. Ya Tuhan, anugerahilah aku karunia-karunia yang aku butuhkan demi melayani-Mu dengan terlebih baik…!”

Saat Liturgi Sabda tiba, dan Santa Perawan Maria memintaku mengulangi: “Tuhan, pada hari ini aku hendak mendengarkan Sabda-Mu dan menghasilkan buah melimpah. Kiranya Roh KudusMu mempersiapkan ladang hatiku agar Sabda-Mu dapat tumbuh dan berkembang di dalamnya. Tuhan, murnikanlah hatiku agar tertuju pada-Mu.”

Bunda Maria mengatakan: “Aku ingin engkau mendengarkan dengan seksama bacaan-bacaan dan seluruh homili imam. Ingat bahwa Kitab Suci mengatakan bahwa Sabda Tuhan tidak akan kembali tanpa menghasilkan buah. Apabila engkau mendengarkan dengan seksama, sesuatu dari semua yang telah engkau dengarkan akan tinggal dalammu. Berusahalah untuk mengingat sepanjang hari, Sabda yang berkesan bagimu. Terkadang, itu dapat berarti dua ayat; terkadang bacaan dari seluruh Injil, atau mungkin hanya satu kata saja. Resapkanlah Sabda itu sepanjang hari dan maka ia akan menjadi bagian darimu, sebab demikianlah caranya untuk mengubah hidup seseorang, dengan membiarkan Sabda Tuhan mengubahmu.

Dan sekarang, katakan kepada Tuhan bahwa engkau ada di sini untuk mendengarkan, bahwa engkau rindu Ia berbicara kepada hatimu pada hari ini.”

Sekali lagi aku mengucap syukur kepada Tuhan sebab telah memberiku kesempatan untuk mendengarkan Sabda-Nya. Dan aku mohon pada-Nya untuk mengampuniku karena hatiku yang keras kaku selama bertahun-tahun, dan karena mengajarkan kepada anak-anakku bahwa mereka harus pergi ke Misa pada hari Minggu karena demikianlah yang diperintahkan oleh Gereja dan bukan karena kasih, karena kebutuhan untuk dipenuhi oleh Tuhan….

Karena aku, yang telah menghadiri begitu banyak Perayaan Ekaristi, terutama demi memenuhi suatu kewajiban, dan dengan demikian percaya bahwa aku diselamatkan; pikiran untuk mengalami perayaan tidak pernah terlintas dalam benakku, apalagi memberikan perhatian pada bacaan-bacaan ataupun homili imam!

Betapa kesedihan hebat aku rasakan atas begitu banyak tahun yang hilang sia-sia akibat keacuhanku!... Betapa dangkal kehadiran kita dalam Misa apabila kita pergi hanya karena itu adalah Misa perkawinan atau Misa arwah atau karena kita ingin bermasyarakat! Betapa suatu kebodohan besar mengenai Gereja kita dan Sakramen-sakramen! Betapa banyak kita membuang-buang waktu dalam berusaha mendidik diri dan menjadi beradab mengenai hal-hal duniawi, hal-hal yang dapat lenyap dalam sekejap tanpa meninggalkan suatu apapun bagi kita. Hal-hal yang, di akhir hidup kita, bahkan tidak dapat berguna untuk menambahkan barang semenit saja dari masa keberadaan kita! Namun demikian, kita sama sekali tak tahu menahu mengenai hal-hal yang akan mendatangkan bagi kita suatu cicipan Surgawi di bumi dan pada akhirnya, kehidupan kekal. Dan kita menyebut diri sebagai laki-laki dan perempuan beradab…!

Beberapa waktu kemudian tiba saat Persembahan, dan Santa Perawan mengatakan: “Berdoalah seperti ini: [dan aku mengulanginya] Tuhan, aku persembahkan segala keberadaanku, segala milikku, segala kemampuanku. Aku letakkan semuanya ke dalam Tangan-Tangan-Mu. Ubahlah aku, ya Tuhan yang Mahakuasa, melalui jasa-jasa PutraMu. Aku berdoa bagi keluargaku, bagi para penderma, bagi setiap anggota Apostolate kami, bagi semua orang yang menentang kami, bagi mereka yang mempercayakan diri mereka pada doa-doaku yang miskin.... Ajarilah aku untuk meletakkan hatiku di atas tanah di hadapan mereka, agar jalan mereka dapat berkurang beratnya…. Demikianlah para kudus berdoa; demikianlah aku menghendaki kalian semua berdoa.”

Dan demikianlah Yesus meminta kita berdoa, agar kita meletakkan hati kita di atas tanah agar mereka [bagi siapa kita berdoa] tidak merasakan beratnya, melainkan kita mendatangkan kelegaan bagi mereka melalui sakit yang diakibatkan kaki mereka yang menapaki hati kita. Bertahun-tahun kemudian, aku membaca sebuah booklet doa tulisan seorang kudus yang amat aku kasihi, José Maria Escrivá de Balaguer, dan dalam booklet itu aku mendapati sebuah doa serupa dengan yang diajarkan Santa Perawan Maria kepadaku. Mungkin orang kudus ini, kepada siapa aku mempercayakan diriku, menyenangkan hati Santa Perawan dengan doa-doa tersebut.

Sekonyong-konyong, beberapa figur yang tidak aku lihat sebelumnya, mulai berdiri. Seolah dari sisi setiap orang yang hadir di Katedral, muncul seorang lainnya; dan segera saja Katedral dipenuhi oleh makhluk-makhluk muda yang menawan. Mereka mengenakan jubah yang sangat putih bersih; mereka mulai bergerak ke lorong tengah gereja, dan lalu menuju Altar.

Bunda Maria mengatakan: “Lihatlah. Mereka adalah Malaikat Pelindung dari setiap orang yang ada di sini. Inilah saat di mana para malaikat pelindung kalian menyampaikan persembahan dan doa-doa kalian di hadapan Altar Tuhan.”

Kala itu, aku sama sekali takjub sebab makhluk-makhluk ini memiliki wajah yang begitu menawan, begitu bercahaya seperti yang tak pernah dibayangkan orang. Wajah mereka begitu rupawan, nyaris tampak sebagai wajah feminin; tetapi, struktur tubuh mereka, tangan dan juga tinggi mereka maskulin. Kaki mereka yang telanjang tidak menyentuh lantai, melainkan mereka seolah meluncur. Arak-arakan itu sungguh amat indah.

Sebagian dari mereka membawa sesuatu serupa sebuah mangkok emas dengan sesuatu [di dalamnya] yang bersinar cemerlang dengan cahaya putih keemasan. Santa Perawan Maria mengatakan: “Lihatlah. Mereka adalah para Malaikat Pelindung dari orang-orang, yang mempersembahkan Misa Kudus ini untuk banyak intensi, mereka yang sadar akan makna dari perayaan ini, mereka yang mempunyai sesuatu untuk dipersembahkan kepada Tuhan….

Persembahkanlah diri kalian pada saat ini…. Persembahkanlah penderitaan, sakit, harapan, kesedihan, sukacita kalian. Haturkanlah permohonan-permohonan kalian. Ingatlah bahwa Misa mengandung nilai yang tak terhingga. Sebab itu, bermurah-hatilah dalam persembahan dan dalam permohonan.”

Di belakang para Malaikat yang pertama, datang malaikat-malaikat lain tanpa suatupun di tangan mereka; mereka datang dengan tangan kosong. Santa Perawan mengatakan, “Mereka adalah para Malaikat dari orang-orang yang, meski ada di sini, tetapi tidak pernah mempersembahkan apapun. Mereka tidak mempunyai minat untuk mengalami setiap saat liturgis Misa, dan para malaikat mereka tidak mempunyai persembahan untuk dihaturkan di hadapan Altar Allah.”

Di akhir prosesi, datang pula malaikat-malaikat lain yang tampak sedih, dengan tangan mereka terkatup dalam doa, tetapi mata mereka terarah ke bawah. “Mereka ini adalah para Malaikat Pelindung dari orang-orang yang ada di sini, namun tidak menghendakinya. Yakni, orang-orang yang merasa terpaksa datang, yang datang kemari karena kewajiban, tanpa kerinduan untuk ikut ambil bagian dalam Misa Kudus. Malaikat mereka maju dengan sedih hati sebab mereka tidak mempunyai suatu apapun untuk dihaturkan di hadapan Altar, terkecuali doa-doa mereka sendiri.

Janganlah mendukakan Malaikat Pelindungmu…. Mohonlah banyak-banyak. Memohonlah demi pertobatan orang-orang berdosa, demi perdamaian dunia, demi sanak saudara, demi sesama, demi mereka yang mempercayakan diri mereka pada doa-doamu. Mohonlah banyak-banyak, tidak hanya bagi dirimu sendiri, melainkan juga untuk semua orang.

Ingatlah bahwa persembahan yang paling menyenangkan Tuhan adalah ketika kalian mempersembahkan diri kalian sendiri sebagai korban bakaran agar Yesus, dengan turun-Nya ke dunia, dapat mengubah kalian melalui jasa-jasa-Nya Sendiri. Apakah yang kalian miliki dari diri kalian sendiri untuk dipersembahkan kepada Bapa? Ketiadaan dan dosa; tetapi persembahan diri kalian yang dipersatukan dengan jasa-jasa Yesus, menyenangkan Bapa.”

Pemandangan itu, prosesi itu begitu indah, hingga sulitlah membandingkannya dengan yang lain. Segenap makhluk surgawi itu membungkuk hormat di hadapan Altar, sebagian meninggalkan persembahan mereka di lantai, sebagian lainnya prostratio dengan kepala nyaris mencium tanah. Dan sesampainya di Altar, mereka segera lenyap dari pandanganku.

Saat-saat akhir Prefasi telah tiba, dan sekonyong-komyong, ketika umat mendaraskan, “Kudus, Kudus, Kudus”, segala yang ada di belakang para selebran lenyap. Di belakang sisi kiri Uskup Agung, tampak beribu-ribu Malaikat dalam suatu garis diagonal: Malaikat-Malaikat kecil, Malaikat-Malaikat besar, Malaikat-Malaikat bersayap lebar, Malaikat-Malaikat bersayap kecil, Malaikat-Malaikat tanpa sayap. Sama seperti Malaikat-Malaikat sebelumnya, semua mengenakan jubah serupa alba putih para imam atau putera altar.

Semua berlutut dengan tangan terkatup dalam doa, dan menundukkan kepala dalam hormat. Terdengar suara musik nan merdu, seolah ada begitu banyak paduan suara yang berpadu harmoni dalam beragam suara, semuanya bermadah sesuara dengan umat: Kudus, Kudus, Kudus….

Tibalah saat Konsekrasi, saat yang paling mengagumkan dari segala Mukjizat …. Di belakang sisi kanan Uskup Agung tampak suatu himpunan besar orang, juga dalam suatu garis diagional. Mereka mengenakan jubah serupa dengan jubah para Malaikat Pelindung, tetapi dalam warna-warna lembut: merah muda, hijau, biru muda, ungu muda, kuning; yakni dalam beraneka warna yang amat lembut. Wajah mereka juga berbinar-binar, penuh sukacita. Mereka semua tampak seusia. Kalian dapat melihat (aku tak dapat mengatakan mengapa) bahwa mereka adalah orang-orang dari berbagai tingkat usia, tetapi wajah mereka tampak serupa, tanpa kerut, bahagia. Mereka semua berlutut juga, sementara menyanyi “Kudus, Kudus, Kuduslah Tuhan….”

Bunda Maria mengatakan: “Mereka ini adalah segenap santa santo dan beata beato di surga, dan di antara mereka terdapat juga jiwa-jiwa dari sanak saudara dan anggota keluarga kalian yang telah menikmati Hadirat Tuhan.” Kemudian aku melihat Bunda Maria. Ia di sana, tepat di sebelah kanan Yang Mulia Uskup Agung… setapak di belakang selebran. Ia sedikit melayang di atas lantai, berlutut di atas suatu bantalan yang amat indah, transparan sekaligus bercahaya, serupa air kristal. Santa Perawan, dengan tangan-tangannya terkatup dalam doa, memandang dengan penuh perhatian dan hormat kepada selebran. Ia berbicara kepadaku dari sana, tetapi tanpa suara, langsung ke hatiku, tanpa memandangku:

“Aneh bagimu melihatku sedikit di belakang Monsignor, bukankah begitu? Demikianlah seharusnya…. Sekalipun begitu besar kasih PutraKu kepadaku, Ia tidak memberiku martabat seperti yang Ia berikan kepada seorang imam, yakni dapat mendatangkan Putraku dalam tangan-tanganku setiap hari, seperti yang dilakukan tangan-tangan imamatnya. Karena itulah, aku merasakan hormat mendalam bagi seorang imam dan bagi segala mukjizat yang Tuhan selenggarakan melalui seorang imam, yang membuatku berlutut di sini.”

Ya Tuhan-ku, betapa martabat, betapa rahmat yang Tuhan limpahkan atas jiwa-jiwa imamat. Dan kita, bahkan mungkin sebagian dari mereka, tidak menyadarinya.

Di depan altar, mulai tampak bayangan-bayangan manusia berwarna abu-abu dengan tangan-tangan terkedang. Santa Perawan mengatakan: “Mereka ini adalah jiwa-jiwa di Api Penyucian yang menantikan doa-doa kalian agar dilegakan. Janganlah berhenti berdoa bagi mereka. Mereka berdoa bagi kalian, tetapi mereka tidak dapat berdoa bagi diri mereka sendiri. Kalianlah yang harus berdoa bagi jiwa-jiwa menderita guna menolong mereka pergi [dari api penyucian], agar mereka dapat bersama dengan Tuhan dan menikmati-Nya dalam keabadian.

Sekarang engkau lihat, aku ada di sini sepanjang waktu. Orang banyak pergi berziarah dan mencari tempat-tempat di mana aku menampakkan diri. Itu baik, sebab segala rahmat yang mereka terima di sana. Tetapi, tidak dalam penampakan manapun, pula tidak di tempat manapun, aku hadir terlebih lama [sepanjang waktu] dari di Misa Kudus. Kalian akan selalu mendapatiku di kaki Altar di mana Ekaristi dirayakan. Di kaki Tabernakel, aku tinggal bersama para malaikat sebab aku senantiasa bersama-Nya.”

Memandang wajah rupawan Bunda kita pada saat “Sanctus” itu, bersama segenap yang lainnya dengan wajah-wajah mereka yang bercahaya, tangan-tangan terkatup dalam doa, menantikan mukjizat yang berulang terus-menerus, adalah berada di surga itu sendiri. Dan memikirkan bahwa ada orang-orang yang, pada saat itu, dapat beralih perhatiannya dalam pembicaraan. Sungguh menyedihkan bahwa banyak laki-laki, lebih banyak dari kaum perempuan, yang berdiri dengan tangan terlipat, seolah memberikan penghormatan kepada Tuhan yang setara dengan mereka.

Bunda Maria mengatakan: “Katakanlah kepada semua orang bahwa tidak pernah seorang laki-laki terlebih jantan daripada saat ia bertekuk lutut di hadapan Tuhan.”

Selebran mendaraskan kata-kata Konsekrasi. Ia adalah seorang dengan tinggi badan normal, tetapi sekonyong-konyong, ia mulai bertumbuh dan dipenuhi cahaya. Suatu cahaya adikodrati antara putih dan emas melingkupinya dan semakin bertanbah kuat dalam cahaya sekeliling wajahnya, begitu rupa hingga aku tak dapat melihat wajahnya. Ketika ia mengunjukkan Hosti, aku melihat tangannya. Ada tanda-tanda di punggung kedua tangannya, dari mana memancar berlimpah cahaya. Itu Yesus!... Dia-lah yang merengkuhkan Tubuh-Nya sekeliling selebran, seolah Ia dengan penuh kasih membimbing tangan-tangan Uskup Agung. Pada saat itu, Hosti mulai bertumbuh dan menjadi sangat besar, dan di atasnya tampak Wajah Yesus yang mengagumkan, memandang kepada umat-Nya.

Secara naluri, aku hendak menundukkan kepalaku, tetapi Bunda Maria mengatakan: “Janganlah menunduk. Tegakkanlah kepalamu untuk memandang dan mengkontemplasikan Dia. Tataplah mata-Nya dan ulangilah doa Fatima: Tuhan, aku percaya, aku menyembah, aku berharap, dan aku mengasihi Engkau. Aku mohon pengampunan bagi mereka yang tidak percaya, yang tidak menyembah, yang tidak berharap, dan yang tidak mengasihi Engkau. Pengampunan dan Kerahiman…. Sekarang katakan kepada-Nya betapa engkau mengasihi-Nya dan haturkanlah sembah sujudmu kepada Raja segala Raja.”

Aku mengatakannya kepada-Nya. Tampak seolah aku adalah satu-satunya yang Ia tatap dari Hosti besar itu. Tetapi aku mengerti bahwa demikianlah Ia memandang tiap-tiap orang, dengan kasih yang sepenuh-penuhnya. Kemudian aku menundukkan kepala hingga keningku menyentuh lantai, seperti yang dilakukan segenap malaikat dan para kudus dari surga. Mungkin sekejap, aku terheran-heran bagaimana Yesus mengenakan tubuh selebran dan, pada saat yang sama, Ia berada dalam Hosti. Dan sementara Uskup Agung menurunkan Hosti, Hosti kembali ke ukurannya yang normal. Airmata mengalir menuruni kedua pipiku. Aku tak dapat lepas dari ketakjubanku.

Segera sesudahnya, Monsignor mendaraskan kata-kata konsekrasi anggur dan, sementara kata-kata didaraskan, kilat muncul di langit dan di latar belakang. Tiada lagi atap dan dinding-dinding gereja. Semuanya gelap, terkecuali cahaya cemerlang di Altar.

Sekonyong-konyong, melayang di udara, aku melihat Yesus yang tersalib. Aku melihat-Nya dari kepala hingga bagian dada sebelah bawah. Palang Salib ditopang oleh tangan-tangan yang besar dan kuat. Dari dalam cahaya yang kemilau muncul suatu cahaya gemilang yang jauh lebih kecil, serupa seekor merpati yang amat kecil dan amat cemerlang. Merpati terbang pesat satu kali mengelilingi seluruh gereja dan akhirnya bertengger di atas pundak kiri Uskup Agung, yang terus tampak bagai Yesus sebab aku dapat mengenali rambut-Nya yang panjang, luka-luka-Nya yang bercahaya, tubuh-Nya yang besar, tetapi aku tak dapat melihat wajah-Nya.

Di atasnya, Yesus yang tersalib, kepala-Nya terkulai di atas pundak kanan-Nya. Aku dapat mengkontemplasikan wajah-Nya, tangan-tangan-Nya yang memar dan daging yang terkoyak. Di sebelah kanan dada-Nya, ada suatu luka dan darah memancar keluar ke sebelah kiri; dan sesuatu yang tampak seperti air, tetapi kemilau, [memancar] ke sebelah kanan. Aliran-aliran ini lebih menyerupai pancaran cahaya yang memancar kepada umat beriman, dan bergerak ke kanan dan ke kiri. Aku takjub akan banyaknya darah yang tercurah ke dalam Piala. Aku pikir darah-Nya akan meluap dan membanjiri seluruh Altar, namun tiada setetes pun yang tumpah.

Pada saat itu, Santa Perawan Maria mengatakan: “Inilah mukjizat dari segala mukjizat. Telah kukatakan kepadamu sebelumnya bahwa Tuhan tidak dibatasi waktu dan ruang. Pada saat Konsekrasi, segenap jemaat dibawa ke kaki Kalvari, pada saat penyaliban Yesus.”

Dapatkah seorang pun membayangkannya? Mata kita tidak dapat melihatnya, tetapi kita semua ada di sana tepat pada saat Yesus disalibkan. Dan Ia memohon pengampunan kepada Bapa, tidak hanya bagi mereka yang hendak membunuh-Nya, melainkan juga bagi setiap dosa kita: “Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan.”

Sejak hari itu, aku tidak peduli apakah aku dianggap gila, tetapi aku meminta semua orang untuk berlutut dan untuk berusaha mengalami hak istimewa yang Tuhan anugerahkan kepada kita, dengan segenap hati dan dengan segala perasaan yang mampu ia ungkapkan.

Ketika kami hendak mendaraskan Bapa Kami, Tuhan berbicara untuk pertama kalinya sepanjang perayaan itu; Ia mengatakan: “Tunggu, Aku menghendaki kalian mendoakannya dengan sekhidmad mungkin. Pada saat ini, Aku menghendaki kalian memikirkan seseorang atau orang-orang yang telah melakukan kesalahan terbesar dalam hidupmu, agar engkau dapat memeluk mereka erat-erat, dan mengatakan kepada mereka dari lubuk hatimu: `Dalam Nama Yesus, aku mengampunimu dan memberikan damaiku bagimu. Dalam Nama Yesus, aku mohon pengampunanmu dan mengharapkan damaimu bagiku.' Jika orang tersebut pantas mendapatkan damai, maka ia akan menerimanya dan mendapatkan banyak rahmat darinya; jika orang itu tidak dapat membuka hati bagi damai, maka damai akan kembali ke dalam hatimu. Tetapi Aku tidak menghendaki kalian menerima atau menawarkan damai kepada yang lain apabila kalian tidak dapat mengampuni dan merasakan damai itu terlebih dahulu dalam hatimu.

Berhati-hatilah akan apa yang kalian lakukan,” lanjut Tuhan, “kalian mengulang dalam doa Bapa Kami: ampunilah kesalahan kami seperti kami pun mengampuni yang bersalah kepada kami. Jika kalian dapat mengampuni tetapi tidak melupakan, seperti dikatakan sebagian orang; kalian menempatkan prasyarat atas pengampunan Tuhan. Kalian mengatakan: Engkau mengampuniku hanya karena aku dapat mengampuni, tidak lebih dari itu.”

Aku tidak tahu bagaimana menjelaskan kesedihanku, menyadari betapa mudahnya kita dapat menyakiti Tuhan. Juga betapa mudahnya kita dapat menyakiti diri kita sendiri dengan menimbun begitu banyak dendam, perasaan tidak enak dan hal-hal buruk yang terlahir dari prasangka kita sendiri dan karena kita terlalu mudah tersinggung. Aku mengampuni; aku mengampuni dari lubuk hatiku, dan memohon pengampunan dari semua orang yang pernah aku sakiti, agar aku dapat merasakan damai Tuhan.

Selebran mengatakan, “… berilah kami damai-Mu …” dan kemudian, “damai Tuhan sertamu.”

Sekonyong-konyong aku melihat di antara sebagian (tidak semua) orang yang saling memeluk satu sama lain, suatu cahaya yang amat kuat menempatkan diri di antara mereka. Aku tahu itu adalah Yesus, dan aku hampir-hampir melemparkan diriku untuk memeluk orang di sebelahku. Aku sungguh dapat merasakan pelukan Tuhan dalam cahaya itu. Dia-lah yang memelukku untuk memberikan damai-Nya bagiku, sebab pada saat itu aku telah dapat mengampuni dan menghapuskan dari hatiku segala kesedihan yang diakibatkan orang-orang lain. Itulah yang Yesus kehendaki, ikut ambil bagian dalam momen sukacita itu, memeluk kita guna memberikan Damai-Nya bagi kita.

Tibalah saat Komuni selebran. Di sana, sekali lagi aku melihat kehadiran semua imam lain di samping Monsignor. Ketika Monsignor menyambut Komuni, Santa Perawan Maria mengatakan:

“Inilah saatnya untuk berdoa bagi selebran dan para imam yang mendampinginya. Ulangilah bersamaku: `Tuhan, berkatilah mereka, kuduskanlah mereka, tolonglah mereka, murnikanlah mereka, kasihilah mereka, peliharalah mereka dan topanglah mereka dengan Kasih-Mu.' Ingatlah akan segenap imam di seluruh dunia. Berdoalah bagi segenap jiwa-jiwa yang dikonsekrasikan….”

Saudara dan saudari terkasih, inilah saat di mana kita seharusnya berdoa bagi mereka, sebab mereka adalah Gereja, seperti kita juga, kaum awam. Begitu banyak kali kita, kaum awam, menuntut banyak dari para imam, tetapi kita tidak dapat berdoa bagi mereka, mengerti bahwa mereka adalah manusia, dan memahami serta menghargai kesendirian yang banyak kali meliputi seorang imam.

Seharusnya kita mengerti bahwa para imam adalah manusia seperti kita juga, dan bahwa mereka butuh perhatian dan pengertian kita. Mereka membutuhkan kasih sayang dan perhatian dari kita sebab dalam mengkonsekrasikan diri mereka sendiri kepada Yesus, mereka memberikan hidup mereka bagi masing-masing kita, seperti yang Yesus lakukan.

Tuhan menghendaki umat dalam kawanan, yang dipercayakan Tuhan kepada imam, berdoa bagi imam mereka dan membantu dalam pengudusannya. Suatu hari, apabila kita telah berada di dunia yang lain, kita akan mengerti betapa mengagumkan yang telah Tuhan lakukan dengan memberikan bagi kita, imam-imam untuk membantu kita menyelamatkan jiwa kita.

Orang-orang mulai meninggalkan bangku mereka untuk menyambut Komuni. Saat agung perjumpaan dalam Komuni Kudus telah tiba. Tuhan mengatakan kepadaku: “Sebentar. Aku ingin engkau mengamati sesuatu….” Suatu dorongan batin membuat aku mengarahkan mataku kepada seorang yang akan menyambut Komuni di lidah dari tangan imam.

Perlu aku terangkan bahwa ia adalah salah seorang perempuan dari kelompok kami yang malam sebelumnya tak dapat Mengaku Dosa, tetapi pagi ini melakukannya sebelum Misa Kudus. Ketika imam menerimakan Hosti Kudus di lidahnya, sesuatu bagai suatu kilasan cahaya, suatu cahaya yang amat putih keemasan (yang aku lihat sebelumnya) menembusi pertama-tama punggung orang ini, dan lalu melingkupi punggungnya, pundaknya, dan kepalanya. Tuhan mengatakan:

“Begitulah bagaimana Aku bersukahati memeluk suatu jiwa yang datang dengan hati yang bersih untuk menyambut-Ku!” Nada suara Yesus adalah nada suara seorang yang bergembira.

Dengan takjub aku melihat temanku yang kembali ke bangkunya, dengan dilingkupi cahaya, dipeluk oleh Tuhan. Aku bertanya-tanya betapa banyak kita kehilangan dalam menyambut Yesus dengan pelanggaran-pelanggaran kecil ataupun pelanggaran-pelanggaran besar kita, padahal seharusnya itu adalah suatu pesta.

Kerap kita mengatakan bahwa tidak senantiasa ada imam kepada siapa kita Mengaku Dosa. Tetapi masalahnya bukan mengenai selalu pergi Mengaku Dosa. Masalahnya terletak pada mudahnya kita jatuh lagi ke dalam dosa. Di lain pihak, sama seperti halnya seorang perempuan berupaya mencari salon kecantikan atau seorang pria mencari salon potong rambut apabila hendak ke pesta, kita juga berupaya mencari imam apabila kita menghendaki segala kekotoran itu dihapuskan dari diri kita. Janganlah kita memiliki keberanian untuk menyambut Yesus setiap saat dengan hati kita yang kotor.

Ketika aku pergi menyambut komuni, Yesus mengatakan: “Perjamuan Malam Terakhir adalah saat keakraban teragung dengan DiriKu Sendiri. Pada jam kasih itu, Aku menetapkan apa yang di mata umat manusia mungkin dipandang sebagai kegilaan terbesar, yakni menjadikan DiriKu Sendiri seorang Tawanan Cinta. Aku menetapkan Ekaristi. Aku rindu tinggal bersama kalian hingga akhir waktu sebab Kasih-Ku tidak sanggup membiarkan kalian, yang Aku kasihi lebih dari Nyawa-Ku Sendiri, ditinggalkan sendirian sebagai yatim piatu….”

Aku menyambut Hosti itu yang memiliki rasa yang berbeda. Campuran darah dan dupa yang sepenuhnya merasukiku. Aku merasakan kasih yang begitu dahsyat hingga airmata membanjiri kedua pipiku tanpa aku sanggup menghentikannya.

Ketika aku kembali ke bangkuku dan mulai berlutut, Tuhan mengatakan: “Dengarkan….” Sesaat kemudian, aku mulai mendengar doa yang dipanjatkan seorang perempuan yang duduk di depanku dan yang baru saja menyambut komuni.

Apa yang dikatakannya, tanpa membuka mulutnya, kurang lebih seperti ini: “Tuhan, ingatlah bahwa kita berada di penghujung bulan, dan aku tak punya uang untuk membayar sewa, mobil dan sekolah anak-anak. Engkau harus melakukan sesuatu untuk menolongku…. Mohon, buatlah suamiku berhenti banyak minum. Aku tak tahan lagi ia begitu sering mabuk, dan putera bungsuku akan harus mengulang pelajaran lagi tahun ini jika Engkau tidak menolongnya. Minggu ini dia ujian. Dan jangan lupa bahwa tetangga kami itu harus pindah ke tempat lain. Buatlah ia pindah dengan segera sebab aku tak tahan lagi terhadapnya… dst., dst.”

Kemudian Uskup Agung mengatakan: “Marilah berdoa,” dan serentak semua jemaat berdiri untuk doa penutup. Yesus mengatakan dalam nada sedih: “Adakah engkau perhatikan? Tak satu kali pun ia mengatakan bahwa ia mengasihi Aku. Tak satu kali pun ia mengucap syukur atas karunia yang Aku anugerahkan kepadanya dengan merendahkan ke-Allah-an-Ku ke kemanusiaannya yang malang demi mengangkatnya kepada-Ku. Tak satu kali pun ia mengatakan: `Terima kasih, Tuhan.' Doanya adalah suatu litani permohonan… dan hampir semua yang datang untuk menyambut-Ku, seperti itu.

Aku telah wafat demi kasih, dan Aku bangkit kembali. Demi kasih Aku menanti masing-masing dari kalian, dan demi kasih Aku tinggal bersama kalian…. Tetapi kalian tidak sadar bahwa Aku membutuhkan kasih kalian. Ingatlah bahwa Aku seorang Pengemis Cinta dalam jam agung bagi jiwa.”

Adakah kalian semua menyadari bahwa Ia, sang Kasih, mengemis kasih kita, dan kita tidak memberikannya kepada-Nya? Terlebih lagi, kita menghindarkan diri dari datang ke perjumpaan dengan Kasih dari segala Kasih, dengan satu-satunya Kasih yang memberikan DiriNya Sendiri dalam kurban abadi.

Ketika selebran hendak menyampaikan berkat, Santa Perawan mengatakan: “Perhatikanlah, berhati-hatilah…. [Banyak dari] Kalian membuat tanda kuno dan bukannya Tanda Salib. Ingatlah bahwa berkat ini dapat menjadi yang terakhir yang kalian terima dari tangan seorang imam. Kalian tidak tahu apakah setelah meninggalkan tempat ini, kalian akan meninggal atau tidak. Kalian tidak tahu apakah kalian beroleh kesempatan untuk menerima berkat dari imam lain. Tangan-tangan yang telah dikonsekrasikan itu memberi kalian berkat dalam Nama Tritunggal Mahakudus. Sebab itu, buatlah Tanda Salib dengan hormat, seolah itulah yang terakhir dalam hidupmu.”

Betapa banyak kita kehilangan dengan ketidakpahaman dan dengan ketidakikutsertaan kita setiap hari dalam Misa Kudus! Mengapakah kita tidak berupaya untuk memulai hari setengah jam lebih awal dan bergegas datang ke Misa Kudus dan menerima segala rahmat yang rindu Tuhan limpahkan atas kita?

Aku sadar bahwa tidak setiap orang dapat ikut ambil bagian setiap hari dalam Misa karena kesibukan-kesibukan mereka, tetapi setidaknya dua atau tiga kali dalam seminggu. Walau demikian, begitu banyak orang menjauhkan diri dari Misa hari Minggu dengan alasan-alasan yang paling remeh: bahwa mereka mempunyai seorang anak, atau dua, atau sepuluh, dan karenanya mereka tidak dapat pergi ke Misa. Bagaimanakah orang dapat mengatur apabila mereka mempunyai komitmen-komitmen lainnya yang penting? Mereka membawa semua anak-anak bersama mereka, atau mereka pergi bergantian - suami pergi di jam yang satu dan isteri pada jam yang lain - dengan demikian mereka memenuhi kewajiban mereka terhadap Tuhan.

Kita punya waktu untuk belajar, untuk bekerja, untuk bersenang-senang, untuk beristirahat, tetapi KITA TIDAK PUNYA WAKTU, SETIDAKNYA PADA HARI MINGGU, UNTUK PERGI KE MISA KUDUS.

Yesus memintaku untuk tinggal bersama-Nya sedikit lebih lama sesudah Misa usai. Ia mengatakan: “Janganlah bergegas pergi begitu Misa usai; tinggallah beberapa saat bersama-Ku. Nikmatilah dan biarkan Aku menikmati kebersamaan denganmu….”

Semasa kanak-kanak, aku mendengar seseorang mengatakan bahwa Tuhan tinggal bersama kita selama lima atau sepuluh menit sesudah Komuni. Aku menanyakannya kepada-Nya saat itu: “Tuhan, berapa lamakah sesungguhnya Engkau tinggal bersama kami sesudah Komuni?”

Aku pikir pastilah Tuhan tertawa atas ketololanku, sebab Ia menjawab: “Sepanjang kalian menghendaki Aku bersama kalian. Jika kalian berbicara kepada-Ku sepanjang hari, mempersembahkan beberapa kata kepada-Ku sementara kalian melakukan pekerjaan-pekerjaan kalian, Aku akan mendengarkan kalian. Aku senantiasa bersama kalian semua. Kalianlah yang meninggalkan Aku. Kalian meninggalkan Misa dan hari kewajibanmu berakhir sudah. Kalian memelihara hari Tuhan dan sekarang selesailah tugasmu. Kalian tidak berpikir bahwa Aku rindu ikut ambil bagian dalam kehidupan keluarga kalian bersama kalian, setidaknya pada hari itu.

Di rumah, kalian mempunyai tempat untuk segala sesuatunya dan ruang untuk setiap aktivitas: ruang untuk tidur, yang lainnya untuk memasak, yang lainnya untuk makan, dll, dll, …. Yang manakah tempat yang kalian peruntukkan bagi-Ku? Tempat itu bukanlah sekedar tempat di mana kalian menggantungkan suatu lukisan yang berdebu sepanjang waktu, melainkan tempat di mana setidaknya lima menit dalam sehari, keluarga berkumpul bersama untuk menyampaikan syukur terima kasih atas hari itu dan atas anugerah hidup, untuk memohon kebutuhan-kebutuhan pada hari itu, untuk memohon berkat, perlindungan, kesehatan…. Segala sesuatu mempunyai tempat dalam rumah-rumah kalian, terkecuali Aku.

Manusia merencanakan hari mereka, pekan mereka, semester mereka, liburan mereka, dst…. Mereka tahu kapan mereka akan beristirahat, kapan mereka akan pergi menonton film atau ke pesta, atau mengunjungi nenek atau cucu, teman dan sahabat mereka, anak-anak, atau pergi bersenang-senang. Berapa banyakkah keluarga yang mengatakan setidaknya sekali dalam sebulan: `Inilah hari giliran kita untuk pergi dan mengunjungi Yesus dalam Tabernakel,' dan seluruh keluarga datang untuk bercakap-cakap dengan-Ku? Berapa banyakkah yang duduk di hadapan-Ku dan berbincang dengan-Ku, menceritakan apa-apa yang terjadi sejak terakhir berjumpa, menceritakan masalah-masalahnya, kesulitan-kesulitannya, memohon pada-Ku apa yang mereka butuhkan … mengijinkan-Ku ikut ambil bagian dalam segala problematika mereka? Berapa kali?

Aku tahu semuanya. Aku membaca bahkan rahasia-rahasia terdalam yang tersembunyi dalam hati dan pikiran kalian. Tetapi Aku senang kalian menceritakan kepada-Ku segala hal mengenaimu, mengijinkan-Ku ikut ambil bagian sebagai seorang anggota keluarga, sebagai sahabat yang paling karib. Betapa banyak manusia kehilangan rahmat-rahmat dengan tidak memberi-Ku tempat dalam hidupnya!”

Ketika aku tinggal bersama-Nya pada hari itu dan pada banyak hari-hari lainnya, Ia terus menyampaikan pengajaran-Nya kepada kita. Pada hari ini aku hendak berbagi bersama kalian misi ini yang Ia percayakan kepadaku. Yesus mengatakan:

“Aku rindu menyelamatkan ciptaan-Ku, sebab saat pembukaan pintu Surga telah diresapi dengan begitu banyak sakit….” “Ingatlah bahwa bahkan tak seorang ibu pun pernah memberi makan anaknya dengan dagingnya sendiri. Aku telah melampaui tindakan Kasih yang ekstrim itu demi menganugerahkan jasa-jasa-Ku kepada kalian semua.”

“Misa Kudus adalah DiriKu Sendiri yang melestarikan hidup-Ku dan kurban-Ku di salib di antara kalian. Tanpa jasa-jasa hidup-Ku dan darah-Ku, apakah gerangan yang kalian miliki untuk datang di hadapan Bapa? Ketiadaan, kemalangan dan dosa….”

“Kalian seharusnya mengungguli para Malaikat dan para Malaikat Agung dalam keutamaan, sebab mereka tidak menikmati sukacita menyambut-Ku sebagai santapan seperti kalian. Mereka minum setetes dari mata air, tetapi kalian, yang mempunyai rahmat untuk menyambut-Ku, ada pada kalian seluruh samudera raya untuk diminum.”

Hal lain yang dibicarakan Tuhan dengan sedih menyangkut orang-orang yang pergi ke perjumpaan mereka dengan-Nya karena kebiasaan, jiwa-jiwa yang telah kehilangan keterpesonaan dalam setiap perjumpaan dengan-Nya. Yesus mengatakan bahwa rutinitas telah menjadikan sebagian orang begitu suam-suam kuku hingga tidak ada sesuatu yang baru pada mereka untuk diceritakan kepada-Nya ketika mereka menyambut-Nya. Ia juga berbicara mengenai tak sedikit jiwa-jiwa yang telah dikonsekrasikan, yang kehilangan gairah cinta kepada Tuhan, dan menjadikan panggilan mereka sebagai suatu pekerjaan, suatu profesi di mana mereka memberi tidak lebih dari apa yang diminta dari mereka, tetapi tanpa perasaan….

Kemudian Tuhan berbicara kepadaku mengenai buah-buah yang harus dihasilkan dari setiap Komuni yang kita sambut. Sungguh terjadi ada orang-orang yang menyambut Tuhan setiap hari tetapi hidup mereka tidak berubah. Mereka menghabiskan begitu banyak waktu dalam doa dan melakukan banyak karya, dst, dst, tetapi hidup mereka tidak terus berubah, dan suatu jiwa yang tidak terus berubah tidak dapat menghasilkan buah-buah sejati bagi Tuhan. Jasa-jasa yang kita terima dalam Ekaristi seharusnya menghasilkan buah-buah pertobatan dalam diri kita dan buah-buah belas kasih kepada sesama saudara dan saudari.

Kita, kaum awam, mempunyai peran amat penting dalam Gereja kita. Kita tidak mempunyai hak untuk tinggal diam, sebab Tuhan telah mengutus kita, semua orang yang dibaptis, untuk pergi dan mewartakan Kabar Baik. Kita tidak mempunyai hak untuk menyerap segala pengetahuan ini dan tidak membagikannya kepada yang lain juga, dan membiarkan saudara saudari kita mati kelaparan sementara ada begitu banyak roti di tangan kita.

Kita tidak dapat melihat Gereja kita hancur sementara kita dengan nyaman tinggal dalam paroki-paroki dan rumah-rumah kita, menerima dan menerima begitu banyak dari Tuhan: Sabda-Nya, homili imam, ziarah, Kerahiman Ilahi dalam Sakramen Rekonsiliasi, persatuan mengagumkan dan santapan rohani dari Komuni Suci, khotbah para pewarta.

Dengan kata lain, kita menerima demikian banyak dan kita tak memiliki keberanian untuk meninggalkan zona nyaman kita dan pergi ke penjara, ke lembaga rehabilitasi dan berbicara kepada mereka yang paling membutuhkan. Mengatakan kepada mereka untuk tidak menyerah, bahwa mereka dilahirkan Katolik dan bahwa Gereja membutuhkan mereka di sana, menderita, sebab penderitaan mereka berguna untuk menebus yang lainnya, sebab kurban itu akan memperolehkan bagi mereka kehidupan abadi.

Kita tak sanggup mengunjungi rumah-rumah sakit, pergi kepada mereka yang sakit parah, dan mendaraskan Koronka Kerahiman Ilahi demi menolong mereka dengan doa-doa kita sepanjang masa pergulatan antara yang baik dan yang jahat, dan demi membebaskan mereka dari jerat dan pencobaan-pencobaan setan. Setiap orang yang berada di ambang maut menghadapi ketakutan, dan mereka merasa terhibur apabila sekedar kita memegang tangan mereka dan berbicara kepada mereka mengenai kasih Allah dan sukacita yang menanti mereka di Surga, dekat dengan Yesus dan Maria, dekat dengan orang-orang yang mereka kasihi yang telah meninggal dunia.

Jam di mana kita sekarang hidup tidak mengijinkan kita untuk acuh tak acuh. Kita haruslah menjadi perpanjangan tangan para imam kita dan pergi ke tempat yang tak terjangkau oleh mereka. Tetapi agar kita mendapatkan keberanian untuk melakukannya, kita harus menyambut Yesus, hidup bersama Yesus, dan menghidupi diri dengan Yesus.

Kita takut untuk memberikan komitmen sedikit lebih jauh. Ketika Tuhan bersabda, “Carilah dahulu Kerajaan Allah, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu,” Ia mengatakan semuanya, saudara dan saudariku. Artinya mencari Kerajaan Allah dengan segala cara yang mungkin dan melalui segala sarana yang ada, dan… membuka tangan kita demi menerima SEMUANYA sebagai tambahan! Ini karena Ia adalah Tuan, yang mengganjari dengan yang terbaik; Ia satu-satunya yang memberikan perhatian kepada kebutuhan-kebutuhan kalian yang paling remeh sekali pun.



Saudara dan saudari, terima kasih telah mengijinkanku melaksanakan misi yang dipercayakan kepadaku, yakni bahwa halaman-halaman ini sampai kepada kalian.

Di kali mendatang kalian ikut ambil bagian dalam Misa Kudus, alamilah. Aku tahu bahwa Tuhan akan menggenapi bagi kalian janji-Nya bahwa “Misa kalian tidak akan pernah sama lagi seperti sebelumnya,” dan ketika kalian menyambut-Nya, kasihilah Dia! Nikmatilah kemanisan merasakan diri kalian sendiri beristirahat dalam luka di lambung-Nya, yang ditembusi bagi kalian demi meninggalkan Gereja-Nya dan BundaNya bagi kalian; demi membukakan bagi kalian pintu Rumah BapaNya, agar kalian dapat merasakan sendiri Kasih-Nya yang Maharahim melalui kesaksian ini, dan berusaha untuk membalas-Nya dengan kasih kekanak-kanakkan kalian.

Kiranya Tuhan memberkati kalian di Masa Paskah ini.


Saudarimu dalam Yesus yang Hidup,
Catalina
Misionaris Awam dari Hati Ekaristis Yesus



Sumber : yesaya.indocell.net





Penglihatan-Penglihatan Para Kudus


Jamak kita ketahui bersama bahwa para kudus seringkali dianugerahi oleh Sang Maha Kudus dengan berbagai anugerah Adikodrati, salah satunya adalah anugerah penglihatan atau nubuatan. Berikut adalah sebagian kisah penglihatan yang sekiranya mampu menginspirasi kita semua untuk berjuang hidup dalam kesucian sehingga Allah pun berkenan atas diri kita.


St Padre Pio dari Pietrelcina

Sejak usia lima tahun, Francesco ( berganti nama menjadi Broeder Pio saat masuk novisiat Biarawan Kapusin di Morcone), dianugerahi penglihatan-penglihatan surgawi dan juga mengalami penindasan-penindasan setan; ia melihat dan berbicara dengan Yesus dan Santa Perawan Maria, juga dengan malaikat pelindungnya; sayangnya, kehidupan surgawi ini disertai pula oleh pengalaman tentang neraka dan setan.

Seringkali ia tampak tenggelam dalam doa-doa yang khusuk. Ia melewatkan siang hari dan sebagian besar malam hari dalam percakapan mesra dengan Tuhan. Padre Pio akan mengatakan, “Dalam kitab-kitab kita mencari Tuhan, dalam doa kita menemukan-Nya. Doa adalah kunci yang membuka hati Tuhan.” Iman membimbingnya senantiasa untuk menerima kehendak Allah yang misterius.

Pada tanggal 20 September 1918, sementara berdoa di depan sebuah Salib di kapel tua, sekonyong-konyong suatu sosok seperti malaikat memberinya stigmata. Stigmata itu terus terbuka dan mencucurkan darah selama limapuluh tahun.

Padre Pio mulai mendapatkan penampakan semenjak ia masih seorang kanak-kanak. Francesco kecil tidak menceritakannya sebab ia yakin bahwa penampakan demikian merupakan hal yang biasa terjadi pada semua orang. Penampakan tersebut meliputi para malaikat, para kudus, Yesus dan Bunda Maria, tetapi, terkadang juga akan setan

Seperti penglihatan yang dialaminya pada hari-hari terakhir bulan Desember 1902, sementara ia merenungkan panggilannya, Francesco mendapatkan suatu penglihatan. Inilah cerita yang beberapa tahun kemudian ia sampaikan kepada bapa pengakuannya. “Francesco melihat di sampingnya seorang laki-laki agung yang elok mempesona, bercahaya bagaikan matahari; Ia memegang tangannya dan membesarkan hatinya dengan undangan ini: `Sungguh baik jika engkau bersama-Ku dan bertempur bagaikan seorang ksatria.' Francesco dibimbing ke suatu negeri yang luas, di antara khalayak ramai laki-laki yang terbagi menjadi dua kelompok: di sisi yang satu adalah para laki-laki dengan wajah-wajah elok, berpakaian putih bagaikan salju. Di sisi yang lain adalah para laki-laki dengan wajah-wajah menyeramkan, berpakaian hitam; mereka tampak bagaikan bayangan-bayangan gelap. Francesco ditempatkan di antara kedua kelompok penonton ini dan ia melihat seorang laki-laki yang sangat tinggi, begitu tinggi hingga ia dapat menyentuh awan-awan dengan dahi dan wajahnya yang jelek; laki-laki itu datang menghampirinya. Tokoh yang bercahaya mendesak Francesco untuk maju melawan tokoh raksasa itu. Francesco berdoa agar terhindar dari amuk tokoh aneh itu, tetapi tokoh yang bercahaya tidak menghilang, `Penolakanmu sia-sia belaka. Sungguh baik jika engkau melawan tokoh jahat ini. Mari, percayalah dan majulah ke medan pertempuran dengan gagah berani. Aku akan berada di dekatmu; Aku akan menolongmu dan tak akan membiarkannya mengalahkanmu.' Francesco menyanggupi-Nya dan sungguh sengitlah pertarungan. 
 
Dengan pertolongan tokoh bercahaya yang senantiasa ada di dekatnya, Francesco berhasil memenangkan pertempuran. Tokoh raksasa itu terpaksa melarikan diri dan ia membawa bersamanya himpunan besar khalayak dengan wajah-wajah menyeramkan itu, di antara lolongan, kutuk dan raungan. Khalayak yang lain, para laki-laki dengan wajah-wajah yang elok gegap gempita dengan sorak-sorai dan puji-pujian bagi Dia yang telah menolong Francesco yang malang dalam pertarungan sengit itu. Tokoh agung yang bercahaya, yang lebih kemilau dari matahari, menempatkan di atas kepala Francesco yang menang, sebuah mahkota yang amat mengagumkan hingga tak terlukiskan. Tetapi, kemudian mahkota dilepaskan dari kepala Francesco dan tokoh yang baik itu berkata, `Suatu mahkota lain, yang lebih indah dari ini, telah Ku-persiapkan bagimu jika engkau bersedia bertempur dengan tokoh dengan siapa engkau sekarang bertarung. Ia akan selalu datang kembali menyerang; engkau akan melawannya tanpa sedikit pun meragukan pertolongan-Ku. Jangan khawatir akan kekuatannya; Aku akan senantiasa berada di dekatmu; Aku akan selalu menolongmu, dan engkau akan berhasil menang.'” Penglihatan-penglihatan tersebut berlanjut dengan pertempuran-pertempuran yang sesungguhnya dengan si Iblis. Padre Pio berkali-kali bertempur melawan “musuh keji jiwa-jiwa” sepanjang hidupnya. Sesungguhnya, salah satu tujuan utama Padre Pio adalah merenggut jiwa-jiwa dari cengkeraman Iblis.

 
St Faustina Kowalska

Pada bulan Juli 1924 terjadi suatu peristiwa yang menggoncang jiwa Helena (Nama sebelum masuk biara):

“Suatu ketika aku berada di sebuah pesta dansa dengan salah seorang saudariku. Sementara semua orang berpesta-pora, jiwaku tersiksa begitu hebat. Ketika aku mulai berdansa, sekonyong-konyong aku melihat Yesus di sampingku; Yesus menderita sengsara, nyaris telanjang, sekujur tubuh-Nya penuh luka-luka; Ia berkata kepadaku: “Berapa lama lagi Aku akan tahan denganmu dan berapa lama lagi engkau akan mengabaikan-Ku” Saat itu hingar-bingar musik berhenti, orang-orang di sekelilingku lenyap dari penglihatan; hanya ada Yesus dan aku di sana. Aku mengambil tempat duduk di samping saudariku terkasih, berpura-pura sakit kepala guna menutupi apa yang terjadi dalam jiwaku. Beberapa saat kemudian aku menyelinap pergi, meninggalkan saudari dan semua teman-temanku, melangkahkan kaki menuju Katedral St Stanislaus Kostka.

Lampu-lampu sudah mulai dinyalakan; hanya sedikit orang saja ada dalam katedral. Tanpa mempedulikan sekeliling, aku rebah (= prostratio) di hadapan Sakramen Mahakudus dan memohon dengan sangat kepada Tuhan agar berbaik hati membuatku mengerti apa yang harus aku lakukan selanjutnya.

Lalu aku mendengar kata-kata ini: “Segeralah pergi ke Warsawa, engkau akan masuk suatu biara di sana.”

Setelah ditolak di banyak biara, akhirnya Helena tiba di biara Kongregasi Suster-suster Santa Perawan Maria Berbelas Kasih. Kongregasi ini membaktikan diri pada pelayanan kepada para perempuan yang terlantar secara moral. Sejak awal didirikannya oleh Teresa Rondeau, kongregasi mengaitkan misinya dengan misteri Kerahiman Ilahi dan misteri Santa Perawan Maria Berbelas Kasih.

“Ketika Moeder Superior, yaitu Moeder Jenderal Michael yang sekarang, keluar untuk menemuiku, setelah berbincang sejenak, ia menyuruhku untuk menemui Tuan rumah dan menanyakan apakah Ia mau menerimaku. Seketika aku mengerti bahwa aku diminta menanyakan hal ini kepada Tuhan Yesus. Dengan kegirangan aku menuju kapel dan bertanya kepada Yesus: “Tuan rumah ini, apakah Engkau mau menerimaku? Salah seorang suster menyuruhku untuk menanyakannya kepada-Mu.”

Segera aku mendengar suara ini: “Aku menerimamu; engkau ada dalam Hati-Ku.” Ketika aku kembali dari kapel, Moeder Superior langsung bertanya, “Bagaimana, apakah sang Tuan menerimamu?” Aku menjawab, “Ya.” “Jika Tuan telah menerimamu, maka aku juga akan menerimamu.” Begitulah bagaimana aku diterima dalam biara.”

Setelah tinggal di biara, Helena terkejut melihat kehidupan para biarawati yang sibuk sekali hingga kurang berdoa. Karenanya, tiga minggu kemudian Helena bermaksud meninggalkan biara dan pindah ke suatu biara kontemplatif yang menyediakan lebih banyak waktu untuk berdoa. Helena yang bingung dan bimbang rebah dalam doa di kamarnya. “Beberapa saat kemudian suatu terang memenuhi bilikku, dan di atas tirai aku melihat wajah Yesus yang amat menderita. Luka-luka menganga memenuhi WajahNya dan butir-butir besar airmata jatuh menetes ke atas seprei tempat tidurku. Tak paham arti semua ini, aku bertanya kepada Yesus, “Yesus, siapakah gerangan yang telah menyengsarakan-Mu begitu rupa?” Yesus berkata kepadaku: “Engkaulah yang yang akan mengakibatkan sengsara ini pada-Ku jika engkau meninggalkan biara. Ke tempat inilah engkau Ku-panggil dan bukan ke tempat lain; Aku telah menyediakan banyak rahmat bagimu.” Aku mohon pengampunan pada Yesus dan segera mengubah keputusanku.”

Pada tanggal 30 April 1926, Helena menerima jubah biara dan nama baru, yaitu Sr Maria Faustina; di belakang namanya, seijin kongregasi ia menambahkan “dari Sakramen Mahakudus”. Dalam upacara penerimaan jubah, dua kali Sr Faustina tiba-tiba lemas; pertama, ketika menerima jubah; kedua, ketika jubah dikenakan padanya. Dalam Buku Catatan Harian, St Faustina menulis bahwa ia panik sekaligus tidak berdaya karena pada saat itu ia melihat penderitaan yang harus ditanggungnya sebagai seorang biarawati. Dalam biara, tugas yang dipercayakan kepadanya sungguh sederhana, yaitu di dapur, di kebun atau di pintu sebagai penerima tamu. Semuanya dijalankan Sr Faustina dengan penuh kerendahan hati.

 
St. Yohanes Bosco

Suatu Hari Don Bosco berdoa Kepada Bunda Maria demi anak-anak asuhnya yang berjumlah 150 orang,

“Bunda Penghibur orang-orang berduka,” keluh Don Bosco,”engkau tahu bahwa sekarang aku sudah tidak mempunyai seorang ibu …. Padahal aku mempunyai demikian banyak anak. Bersediakah engkau menjadi pengganti ibuku? Jagalah anak-anakku, ya Bunda Maria!”

Seringkali ketika Don Bosco memasuki Oratorionya, ia melihat Bunda Maria mengenakan mahkota dari bintang-bintang yang cemerlang berdiri di atas sebuah gereja yang besar. Melihat Bunda Maria di sana, Don Bosco akan berteriak kepada anak-anak:

“Tidakkah kamu melihatnya. Ia ada di atas kubah. Bunda Pertolongan Orang-orang Kristen, dengan mahkotanya dari bintang-bintang?"

Tetapi mereka tidak melihat apa-apa kecuali langit: tidak ada kubah, tidak ada Bunda Maria.

Don Bosco harus menunggu beberapa tahun ketika pada akhirnya sebuah gereja besar dibangun untuk dipersembahkan kepada Bunda Maria. Di atas kubah gereja ditempatkan patung Santa Perawan Maria Pertolongan Orang Kristen, persis seperti yang dilihatnya dalam penglihatan.

Awal tahun 1862 setan mulai mengganggu waktu tidurnya yang amat sempit itu dengan cara yang sangat aneh dan tak tertahankan. Suara ribut dan gaduh, badai mengamuk, derap prajurit, suara kapak menghantam kayu tak henti-henti, perabotan menari-nari secara ajaib. Tempat tidurnya diguncang-guncang dan dibalikkan, kain seprei terkoyak-koyak, lidah-lidah api berlompatan dari perapian yang mati. Setan duduk di atasnya, mencengkeram pundaknya dan menyeretnya, menyapukan sikat es ke wajahnya, menginjak-injaknya, melepaskan binatang-binatang liar: beruang, harimau, ular, monster. Anak-anak asuhnya yang setia menjaga di pintu kamarnya, tetapi sebentar saja mereka akan menjadi panik dan lari.


B. Anna Katharina Emmerick

Anna Katharina Emmerick dilahirkan pada tanggal 8 September 1774 di Flamsche, wilayah Keuskupan MĂĽnster, Westphalia, Jerman. Ketika usianya duapuluh delapan tahun (1802) ia masuk biara Agustinian di Agnetenberg, DĂĽlmen. Dalam biara ini, ia puas diperlakukan sebagai yang terendah dalam biara.

Pada tanggal 29 Desember 1811, pukul tiga sore, Yesus yang tersalib menampakkan diri kepadanya dengan luka-luka-Nya memancarkan sinar cahaya. Sinar itu menembusi kedua tangan, kaki dan lambungnya bagaikan panah. Stigmata di kepalanya, yang dianugerahkan kepadanya saat usianya 24 tahun, juga mulai meneteskan darah hingga ia harus membalut kepalanya dengan perban. Pada tahun 1812, tanda salib muncul di dadanya. Karunia stigmata yang diterimanya disertai juga dengan karunia inedia, yaitu hidup tanpa makanan, hanya dari Komuni Kudus saja, sepanjang hidupnya. Anna Katharina berusaha menyembunyikan luka-lukanya, tetapi kabar mengenai hal itu akhirnya tersebar juga, dan Bapa Vikaris Jenderal menetapkan dilakukannya suatu penelitian yang panjang serta terperinci.

Ketika seorang penulis bernama Clemens Brentano mengunjunginya, Anna Katharina mengatakan bahwa ia telah melihatnya dalam suatu penglihatan dan bahwa Clemens akan menuliskan catatan tentang penglihatan-penglihatan serta nubuat-nubuat yang diterimanya. Demikianlah, setiap hari selama lima tahun, Clemens mencatat pesan-pesan, serta menerjemahkan catatan tersebut dari dialek Westphalian, dialek Anna Katharina, ke bahasa Jerman.

Santa Katarina Dei Ricci, Perawan Katarina lahir di Florence, Italia pada tanggal 23 April 1322. Ia dipermandikan dengan nama Aleksandrina Dei Ricci. Semenjak kecil, ia sudah menunjukkan minta besar terhadap hal-hal kerohanian seperti berdoa dan kewajiban agama lainnya. Cita-citanya hanya satu, yakni menjadi seorang biarawati. Ketika berusia 13 tahun, ia menjadi anggota Ordo ketiga Santo Dominikus di desa Prato dengan nama baru: Katarina Dei Ricci.

Di dalam ordo ini, Katarina mengalami perkembangan hidup rohani yang sangat mendalam. Ia mengalami banyak penglihatan Ilahi. Pada masa puasa 1542, ia mengalami penglihatan ajaib yang menggambarkan Kristus yang disalibkan. Penglihatan itu sungguh mengharukan hatinya hingga menyebabkan ia sakit selama 3 minggu. Ia sembuh kembali ketika mengalami penglihatan kedua pada malam Paskah tentang Yesus yang bangkit dan menampakkan diri kepada Maria Magdalena. Penglihat-penglihatannya yang dialaminya setiap hari Jumat berlangsung terus selama 12 tahun. Kecuali itu, Katarina pun dianugerahi lima lukaYesus pada kedua tangan dan kakinya serta lambungnya. Stigmata itu menjadi tanda Ilahi yang terus menggerakkan dia untuk selalu merenungkan makna penderitaan Yesus bagi keselamatan umat manusia. Renungan-renungan ini menjadikan dia seorang pencinta dan pendoa bagi jiwa-jiwa di api penyucian.


Catalina

Catalina mendapatkan anugerah kunjungan dari Tuhan Yesus dan Bunda Maria, dan memperoleh bimbingan dari Sang Ilahi mengenai segala hal tentang Ekaristi. Saat Ekaristi berlangsung, Catalina diberikan penglihatan adikodrati seperti terlihatnya beberapa figur yang sebelumnya tidak ia lihat, Seolah dari setiap sisi orang yang hadir di Katedral, muncul seorang lainnya, dan segera saja Katedral dipenuhi oleh makhluk-makhluk muda yang menawan. Mereka mengenakan jubah yang sangat putih bersih. Mereka mulai bergerak ke lorong tengah gereja, dan lalu menuju Altar.

Bunda Maria mengatakan: “Lihatlah. Mereka adalah Malaikat Pelindung dari setiap orang yang ada di sini. Inilah saat di mana para malaikat pelindung kalian menyampaikan persembahan dan doa-doa kalian di hadapan Altar Tuhan.”

Pemandangan selama prosesi begitu indah, hingga sulitlah membandingkannya dengan yang lain. Segenap makhluk surgawi itu membungkuk hormat di hadapan Altar, sebagian meninggalkan persembahan mereka di lantai, sebagian lainnya prostratio dengan kepala nyaris mencium tanah. Dan sesampainya di Altar, mereka segera lenyap dari pandanganku.

Ketika kami hendak mendaraskan Bapa Kami, Tuhan berbicara untuk pertama kalinya sepanjang perayaan itu; Ia mengatakan:

“Tunggu, Aku menghendaki kalian mendoakannya dengan sekhidmad mungkin. Pada saat ini, Aku menghendaki kalian memikirkan seseorang atau orang-orang yang telah melakukan kesalahan terbesar dalam hidupmu, agar engkau dapat memeluk mereka erat-erat, dan mengatakan kepada mereka dari lubuk hatimu: `Dalam Nama Yesus, aku mengampunimu dan memberikan damaiku bagimu. Dalam Nama Yesus, aku mohon pengampunanmu dan mengharapkan damaimu bagiku.' Jika orang tersebut pantas mendapatkan damai, maka ia akan menerimanya dan mendapatkan banyak rahmat darinya; jika orang itu tidak dapat membuka hati bagi damai, maka damai akan kembali ke dalam hatimu. Tetapi Aku tidak menghendaki kalian menerima atau menawarkan damai kepada yang lain apabila kalian tidak dapat mengampuni dan merasakan damai itu terlebih dahulu dalam hatimu.

Berhati-hatilah akan apa yang kalian lakukan,” lanjut Tuhan, “kalian mengulang dalam doa Bapa Kami: ampunilah kesalahan kami seperti kami pun mengampuni yang bersalah kepada kami. Jika kalian dapat mengampuni tetapi tidak melupakan, seperti dikatakan sebagian orang; kalian menempatkan prasyarat atas pengampunan Tuhan. Kalian mengatakan: Engkau mengampuniku hanya karena aku dapat mengampuni, tidak lebih dari itu.”

Ketika Catalina pergi menyambut komuni, Yesus mengatakan: “Perjamuan Malam Terakhir adalah saat keakraban teragung dengan DiriKu Sendiri. Pada jam kasih itu, Aku menetapkan apa yang di mata umat manusia mungkin dipandang sebagai kegilaan terbesar, yakni menjadikan DiriKu Sendiri seorang Tawanan Cinta. Aku menetapkan Ekaristi. Aku rindu tinggal bersama kalian hingga akhir waktu sebab Kasih-Ku tidak sanggup membiarkan kalian, yang Aku kasihi lebih dari Nyawa-Ku Sendiri, ditinggalkan sendirian sebagai yatim piatu….”



Sumber : Yesaya.indocell

Senin, 18 Februari 2013

Venerabilis Marcel Van C.Ss.R.

Adik Rohani St Theresia dari Kanak-kanak Yesus






MASA KECIL

Yoakim NguyĂŞn Tan Van dilahirkan pada tanggal 15 Maret 1928 di sebuah desa di Vietnam Utara (Tonkin). Ayahnya seorang penjahit, ibunya seorang ibu rumah tangga yang terkadang bekerja di sawah. Ayahnya suka berjudi dan minum. Ibunya seorang Katolik yang saleh, baik, lemah-lembut dan murah hati kepada siapa saja. Van mempunyai dua saudara perempuan, Le - kakaknya, dan Te - adiknya. Van sendiri seorang anak yang lembut dan perasa, baik hati dan penuh kasih. Sejak masih dini usianya, Van menunjukkan kesalehan dan devosi yang mengagumkan. Ia biasa bermain prosesi untuk menghormati Santa Perawan Maria bersama Te, saudara-saudara sepupu dan teman-teman bermainnya. Ia senang berdoa dan mendaraskan rosario bersama ibunya.

Ketika usianya enam tahun, Van diperkenankan menyambut Komuni Kudus yang Pertama. Di kemudian hari ia menulis mengenai hari bahagia ini: “Waktunya telah tiba, saat yang begitu dirindukan telah datang… Dengan hati-hati kujulurkan lidahku untuk menyambut Roti Cinta. Hatiku dikuasai oleh sukacita yang luar biasa… Dalam sekejap, aku telah menjadi seperti “setetes air” yang hilang ditelan samudera luas. Sekarang di sana yang tinggal hanya Yesus, dan aku adalah “bukan apa-apa Yesus yang kecil”. Sejak hari itu, Van menyambut Komuni Kudus setiap hari. Tak lama kemudian, ia menyambut Sakramen Tobat. Suatu kerinduan tumbuh dalam hatinya: “Aku rindu menjadi seorang imam, agar aku dapat mewartakan Kabar Gembira kepada mereka yang belum mengenal Kristus.”

Ketika usianya tujuh tahun, Van mulai bersekolah. Akan tetapi guru sekolahnya sangat keras terhadap para murid, memukuli mereka dengan rotan di setiap kesempatan. Kesehatan Van pun mulai memburuk: “Dari hari ke hari aku semakin kurus dan pucat,” demikian tulis Van dalam otobiografinya, “dan itu karena sistem pendidikan yang sangat keras hingga aku sampai pada keadaan kepayahan yang begitu rupa.”


MASUK SEMINARI

Khawatir akan keadaan puteranya, ibunya mempercayakan Van pada Pastor Yosef Nha, imam paroki di Huu-Bang. Pastor Nha mengelola sebuah “Wisma Tuhan” yang adalah sebuah lembaga di mana anak-anak lelaki mulai mengenyam pelajaran lebih mendalam di bidang agama, sementara melanjutkan pendidikan mereka dan membantu pastor. Yang paling cakap di antara mereka akan diperkenankan melanjutkan pendidikan ke Seminari Rendah. Van sangat senang akan kehidupan barunya ini dan segera menjadi seorang murid yang cemerlang. Akan tetapi, salah seorang gurunya, Guru Vinh, kemudian membawa Van ke sebuah kamar pribadi dan menderanya dengan rotan. Guru Vinh berdalih ia tengah melatih Van dalam apa yang disebutnya sebagai “kehidupan yang sempurna”. Ia mengancam Van untuk merahasiakan hal ini. Dua minggu berlalu ketika akhirnya perempuan tukang cuci pakaian pastor mendapati noda-noda darah di baju Van. Pastor Nha sadar akan apa yang terjadi dan dengan tegas melarang Guru Vinh untuk mendekati Van.

Sesekali Pastor Nha mengajukan Van sebagai teladan bagi para murid katekis yang suam-suam kuku. Hal ini membangkitkan iri dan dengki dalam diri murid-murid yang lain. Mereka mengatur semacam pengadilan guna “mengadili” Van. Setelah mempermalukan Van dengan berbagai macam cara, mereka mengecamnya karena menyambut Komuni Kudus setiap hari. “Hatiku galau dan menderita hebat memikirkan bahwa, tanpa memiliki kepantasan seperti para kudus, aku berani menyambut Komuni setiap hari… Lalu kesalahan-kesalahan dari masa kecilku terbayang kembali.” Dalam pencobaan berat ini, Van bertaut erat pada Bunda Maria dan dengan penuh kekhusukan mendaraskan rosario.

Setiap malam sesudah Ibadat Sore, para murid katekis akan menggelar “pengadilan”, menginterogasi dan mendakwa Van, dan sebagai hukuman mereka akan menderanya dengan rotan atau melucuti pakaiannya. Apabila Pastor Nha tidak berada di tempat, bersama “Guru”, para murid katekis ini kerap minum-minum dan mengundang gadis-gadis tetangga menemani mereka. Pastor Nha sendiri sekarang lebih suka mengalihkan Van dari pelajaran dan menjadikannya pelayan.

Pada masa yang sama ini timbul tragedi di rumah. Banjir hebat menghancurkan serta menghanyutkan sebagian besar harta milik keluarga. Terlebih parah, ayahnya menghabiskan apa yang masih tersisa untuk mabuk dan berjudi. Ibu dan kedua saudari Van hidup di bawah garis kemiskinan; kini ibunya tak lagi mampu mengirimi Van uang ataupun pakaian.

Bersama beberapa teman, Van meninggalkan “Wisma Tuhan” dengan harapan diterima di suatu seminari. Tetapi karena tak menemukan seminari ataupun tempat yang mau menerimanya bekerja, ia terpaksa kembali. Van menghabiskan sebagian besar waktunya dengan melakukan pekerjaan kasar. Ketika usianya duabelas tahun, ia menerima sertifikat, tetapi tidak diijinkan melanjutkan pendidikan. Jadi, ia menghabiskan seluruh waktunya dengan bekerja.

Karena tidak tahan dengan suasana di Wisma - alkohol, judi, kata-kata carut-marut, kehadiran gadis-gadis yang tak tahu malu, pada akhirnya Van melarikan diri dan pulang ke rumah orangtuanya. Tetapi dihimpit kemelaratan, keluarga mengembalikan Van ke Huu-Bang. Dua bulan kemudian Van melarikan diri lagi dan hidup menggelandang sebagai pengemis jalanan. “Sejak saat itu,” tulisnya, “pekerjaanku adalah menadahkan tangan kepada mereka yang lewat… Seminggu hidup secara demikian, kulitku terbakar matahari dan pipiku cekung… Meski demikian aku mendapati hidup sebagai seorang gelandangan miskin ini sama sekali tidak sulit. Sebaliknya, aku merasakan suatu damai sukacita dalam menderita bagi Tuhan. Aku tahu bahwa dengan melarikan diri, aku telah menghindari dosa, aku telah menghindari apa yang mendukakan Hati Allah.”

“Aku mulai menganggap diriku sendiri sebagai makhluk yang hina dina. Iblis membuat pikiran ini berkembang dalam diriku - jika manusia saja tak dapat tahan denganku, bagaimana mungkin Tuhan masih dapat tahan denganku? Aku akan segera mati dan aku akan masuk neraka.” Tetapi, bukannya larut dalam keputusasaan, Van mengarahkan matanya lekat-lekat pada Yesus dan Santa Perawan Maria yang senantiasa merupakan pengharapannya; dan ia pun beroleh pengharapan dan damai melalui rosario yang dengan setia didaraskannya. Suatu hari, ia mendapat kesempatan untuk membuka hatinya kepada seorang imam yang menguatkannya dengan perkataan: “Terimalah segala pencobaan ini dengan sukahati dan persembahkanlah kepada Tuhan. Apabila Tuhan mengirimkan salib kepadamu, itu merupakan suatu tanda bahwa Ia telah memilihmu.”

Syukurlah, pada tahun 1942, atas pertolongan seorang teman, Van diterima di seminari rendah di Lang-Son. Enam bulan kemudian, karena kekurangan dana, seminari ditutup, tetapi Van dapat melanjutkan pendidikannya di Paroki St Theresia dari Kanak-kanak Yesus di Quang-UyĂŞn, dalam bimbingan dua imam Dominikan.


RINDU MENJADI SEORANG KUDUS

“Kendati kerinduanku yang besar untuk mencapai kekudusan, aku yakin bahwa aku tak akan pernah mencapainya, sebab untuk menjadi seorang kudus, orang harus berpuasa, mendera diri dengan cambuk, mengalungi leher dengan batu dan membelenggu diri dengan rantai-rantai berduri, mengenakan pakaian kasar, menahan dingin, kudis dan lain-lain… Allah-ku, jika seperti itu, aku menyerah… Semuanya itu terlalu berat bagiku.”

Suatu hari Van menebarkan banyak buku riwayat hidup santa dan santo di atas meja. Dalam doa ia memohon Tuhan membimbingnya dengan berjanji bahwa ia akan membaca buku apapun yang diraih tangannya. Lalu, dengan mata tertutup ia menempatkan tangannya secara acak. “Aku membuka mataku. Di tanganku ada sebuah buku yang belum pernah aku baca sebelumnya - `Kisah Suatu Jiwa' oleh St Theresia dari Kanak-Kanak Yesus.” [`Kisah Suatu Jiwa' di Indonesia diterbitkan dengan judul `Aku Percaya Akan Cinta Kasih Allah'] Dengan antusias Van membuka lembar-lembar buku itu, namun karena tak ada sesuatu yang luar biasa, ia enggan membacanya. Tetapi segera ia mencela diri, `Ah, dengan bertindak seperti ini, engkau telah melanggar janjimu!' Jadi, aku memungut buku itu kembali dengan kepala sarat pertanyaan yang bercampur-aduk - `Apakah ini “Kisah Suatu Jiwa”??? Siapakah itu St Theresia dari Kanak-kanak Yesus??? Dari mana asalnya??? Apakah yang membuatnya serupa dengan beribu santa / santo lainnya?'”

Sebagaimana dijanjikannya, Van mulai membaca. “Aku baru saja membaca beberapa halaman ketika dua butir airmata mengalir jatuh ke pipi… Apa yang secara mendalam menggerakkanku adalah permenungan Theresia:

`Jika Allah membungkuk hanya pada tingkat bunga-bunga yang paling indah, simbol para Pujangga Kudus, maka Kasih-Nya tak akan begitu sepenuhnya nyata, sebab adalah kodrat Kasih untuk membungkuk hingga ke batas yang paling rendah… Sama seperti matahari menyinari sekaligus pohon-pohon cedar dan setiap bunga kecil seolah dialah satu-satunya yang ada di bumi, demikianlah Tuhan kita memberikan perhatian pada setiap jiwa seolah tak ada jiwa lain sepertinya.”

“Maka mengertilah aku bahwa Allah adalah Kasih… Seperti St Theresia, aku pun dapat menguduskan diri melalui segala perbuatan kecilku… Senyuman, sepatah kata atau tatapan, asalkan semuanya dilakukan dalam kasih. Betapa bahagia!... Mulai dari sekarang, kekudusan tak lagi menakutkanku… Airmataku mengalir bagai mata air yang tiada habis-habisnya.”

“Siang itu aku telah menerima suatu sumber rahmat dan kebahagiaan. `Kisah Suatu Jiwa' telah menjadi sahabat terkasihku dan menyertaiku ke manapun aku pergi, dan aku tiada henti membaca dan membacanya lagi, tanpa pernah merasa jemu. Tiada suatu pun dalam buku ini yang tidak selaras dengan pikiranku, dan yang terlebih lagi menyenangkanku sepanjang membaca buku ini adalah melihat dengan jelas bahwa kehidupan rohani Theresia identik dengan kehidupan rohaniku. Pemikiran-pemikirannya, bahkan `ya atau tidak'-nya sesuai dengan pemikiran-pemikiranku sendiri dan peristiwa-peristiwa kecil dalam hidupku. Sungguh, tak pernah seumur hidupku aku menemukan sebuah buku yang begitu selaras dengan pemikiran dan perasaan-perasaanku sendiri seperti `Kisah Suatu Jiwa'. Dapat kuakui bahwa kisah jiwa Theresia adalah kisah jiwaku….”

Keesokan paginya, Van bangun dan berlutut di hadapan altar Santa Perawan Maria. Ia memanjatkan doa: “… Santa Perawan, Bundaku. Hari ini adalah sungguh hari pertama aku diperkenankan mencicipi kebahagiaan yang manis begitu rupa; hari yang memperkenalkanku pada suatu jalan baru… Mulai dari sekarang, ya Bundaku, sudi bimbinglah aku di jalan baruku; ajarilah aku untuk mengasihi Allah dengan sempurna dan untuk mempersembahkan diriku kepada-Nya dalam kepercayaan penuh. Aku berani mengungkapkan suatu pengharapan kepadamu: Agar kiranya aku dibalut dalam kasihmu, sebagaimana Thereisa dulu, si Bunga Kecil. Aku bahkan berharap engkau memberikan Santa ini kepadaku sebagai pembimbingku dalam `Jalan Kecil'-nya. Oh betapa bahagia jadinya aku sebab aku merasa bahwa hidupku tak dapat terlepas dari perasaan kanak-kanak yang telah Allah pahatkan dalam jiwaku sebagai suatu anugerah lahir.”

Kemudian, berpaling kepada Yesus, ia berdoa: “Ya Yesus, Guru-ku satu-satunya yang terkasih, Engkau tahu bahwa aku mengasihi-Mu dan hanya menghendaki menanggapi kehendak-Mu. Engkau telah membangkitkan dalam budiku kerinduan untuk menjadi seorang kudus. Maka, Engkau membuatku menemukan, dengan suatu cara yang amat sederhana, `Jalan Kecil' dengan mana Engkau membimbing St Theresia dari Kanak-kanak Yesus. Engkau telah menggunakan tangan santa kecil ini untuk menulis demi kepentingan jiwa-jiwa, nasehat-nasehat manis dengan mana Engkau telah menghantarnya di jalan kecilnya. Pada hari ini, aku tahu bahwa Engkau mengasihiku, dan bahwa dalam kasih-Mu yang dahsyat Engkau memperlakukanku sebagai seorang kanak-kanak kecil. Ah, betapa Engkau layak mendapatkan balasan cinta! Mulai dari sekarang aku telah memutuskan untuk mengikuti jejak langkah-Mu sebagaimana Engkau kehendaki, dan agar setiap langkahku selaras dengan kehendak-Mu, aku mohon, ya Tuhan-ku, agar kiranya Engkau menganugerahiku rahmat ini: Berikanlah St Theresia dari Kanak-kanak Yesus sebagai pembimbingku, agar dengan demikian ia dapat mengajariku untuk mengasihi-Mu sebagaimana seharusnya, sebab aku sama sekali bodoh. Anugerahilah juga aku rahmat untuk berkanjang dalam kasih-Mu hingga titik terakhir, sehingga sesudahnya boleh mengasihi-Mu sepanjang kekekalan masa, di tanah air kasih yang diperuntukkan bagi mereka yang mengasihi-Mu.”

Segera sesudah itu, Van berjalan kaki ke sebuah bukit terdekat. Sekonyong-konyong, dalam keheningan, ia dikagetkan oleh suara yang memanggilnya. “Van, Van, adikku terkasih!” Tapi tak ada seorang pun dekatnya! Suara itu kembali memanggil: “Van, Van, adikku terkasih!” “Aku terpana dan sedikit takut, tetapi aku tetap tenang dan segera dapat menebak bahwa suara yang memanggilku ini adalah suara adikodrati - maka aku berteriak atau berseru dalam luapan sukacita - `Oh, saudariku Theresia!' -

`Ya, ini sungguh saudarimu, Theresia… Mulai dari sekarang engkau secara pribadi akan menjadi adikku, sebagaimana engkau telah memilihku untuk menjadi kakakmu… Mulai dari hari ini, kedua jiwa kita akan berpadu menjadi hanya satu jiwa, dalam kasih Allah yang satu… dari saat ini aku akan memberitahukan kepadamu segala pemikiran-pemikiranku yang indah tentang kasih yang muncul dalam masa hidupku, dan yang telah mengubahku dalam kasih Allah yang tak terhingga… adalah Allah Sendiri yang telah mengatur perjumpaan ini. Allah menghendaki pelajaran-pelajaran mengenai kasih yang Ia ajarkan kepadaku sebelumnya dalam rahasia jiwaku, hidup di dunia ini, dan Ia telah berkenan memilihmu sebagai seorang sekretaris kecil untuk melaksanakan karya-Nya, yang seturut kehendak-Nya Ia percayakan kepadamu….”

“… Allah Bapa kita memelihara bahkan detail-detail terkecil dalam hidup kita… Allah adalah Bapa dan Bapa ini adalah Kasih. Kebajikan dan kelembutan-Nya tak terhingga… Tetapi sejak hari leluhur pertama kita jatuh dalam dosa, ketakutan telah menguasai hati manusia dan telah merenggut darinya pemikiran akan Allah yang adalah Bapa kita yang baik tak terhingga… Maka Allah mengutus PutraNya… Yesus datang untuk memberitahukan kepada saudara-saudara-Nya di dunia bahwa kasih Bapa adalah sumber yang tiada habis-habisnya… Kita sungguh teramat beruntung menjadi anak-anak Allah. Marilah kita mengucap syukur atas ini dan tak pernah menyerah pada ketakutan yang berlebihan… Jangan pernah takut pada Allah. Ia sepenuhnya adalah Bapa Mahapengasih. Ia hanya tahu bagaimana mengasihi, dan Ia rindu dikasihi sebagai balasnya… Janganlah takut berbicara akrab kepada Allah seperti kepada seorang sahabat. Katakan kepada-Nya semua yang ada di benakmu - permainan kelerengmu, panjat gunung, olok-olok temanmu, kemarahanmu, airmatamu, atau kesenangan-kesenangan kecil yang datang sekilas….”

“Tetapi kakak, Allah sudah tahu semuanya itu.”

“Benar, adik… Akan tetapi, demi memberi dan menerima cinta, Ia harus membungkuk dan Ia melakukan ini seolah Ia lupa bahwa Ia tahu semuanya, dengan harapan mendengar suatu kata akrab meluncur dari hatimu.”

“Apabila engkau merasakan sukacita, persembahkanlah kepada-Nya sukacita ini yang membesarkan hatimu, dan dengan berbuat demikian engkau akan meneruskan sukacitamu kepada-Nya. Adakah gerangan kebahagiaan yang terlebih besar selain dari pasangan yang saling mengasihi dan berbagi segala yang mereka miliki? Bertindak dengan cara ini terhadap Allah adalah mengatakan `terima kasih' kepada-Nya, yang menyenangkan-Nya lebih dari ribuan madah yang menggetarkan hati. Jika sebaliknya, engkau dikuasai kesedihan, katakan lagi kepada-Nya dengan hati yang jujur: `Ah, Allah-ku, aku sungguh sedih' dan mohon pada-Nya untuk membantumu menerima kesedihan ini dengan sabar. Percayalah ini: Tiada suatu pun yang dapat terlebih menyenangkan Allah yang baik selain dari melihat di dunia ini sebentuk hati yang mengasihi-Nya, dan yang tulus kepada-Nya dalam setiap langkah, dan dalam setiap senyuman; pula dalam setiap airmata, dalam kesenangan-kesenangan kecil sesaat.”

Penampakan pertama St Theresia dari Kanak-kanak Yesus ini berlangsung beberapa waktu lamanya. [Pesan-pesan selengkapnya dapat dibaca dalam “Otobiografi Marcel Van.”]

Sebelum meninggalkan Van dalam penampakan pertama ini, St Theresia mengatakan: “Aku mengasihimu sebab engkau adalah jiwa yang adalah warga sahabat-sahabat Kasih. Bagimu adikku, satu-satunya harapanku adalah melihat digenapinya karya-karya yang begitu dikehendaki Kasih Ilahi bagimu. Jadi, adik, dengarkan aku: mulai sekarang dalam hubunganmu dengan Bapa Surgawi kita, janganlah lalai mentaati nasehatku. Sekarang, hari mulai malam, jadi ijinkan aku mengakhiri percakapan kita sampai di sini, sebab waktu makan telah tiba. Tam dan Hien menantimu, dan Tam sudah mulai tak sabar… Aku memberimu kecupan… Kita akan punya banyak kesempatan untuk berbincang-bincang bersama lagi. Dan kita dapat melakukannya di manapun, tanpa khawatir orang akan mengetahuinya.”

“Theresia berhenti berbicara, dan aku seperti seorang yang bangun dari mimpi; setengah khawatir dan setengah bahagia; dan ketika ia mengatakan `Aku memberimu kecupan', sekonyong-konyong aku merasa seolah suatu hembusan lembut menyentuh wajahku. Dan aku dikuasai sukacita begitu rupa hingga untuk sekejap aku kehilangan kesadaran. Sebagian dari sukacita manis ini masih tinggal bersamaku hingga hari ini, tetapi aku tidak tahu bagaimana membandingkannya dengan tepat.”

St Theresia menjadi sahabat dekat dan pembimbing rohani Van, yang dengan akrab membimbingnya dalam kehidupan rohani.

Sejak dari masa kecil, Van selalu yakin bahwa ia dipanggil untuk menjadi seorang imam. “Untuk itu,” tulis Van, “aku telah berkurban dalam banyak hal dengan membebankan pada diriku banyak perbuatan rohani dan jasmani.” Tetapi suatu hari St Theresia berkata kepadanya,

“Van, adikku, ada suatu hal penting yang perlu kusampaikan kepadamu… Tetapi ini akan membuatmu sangat sedih… Allah telah menyatakan kepadaku bahwa engkau tidak akan menjadi seorang imam.”

Mendengar ini Van mulai menangis, “Aku tak akan pernah bisa hidup jika aku tidak menjadi seorang imam….”

“Van, jika Allah menghendaki kerasulanmu dilaksanakan dalam bidang lain, bagaimanakah pendapatmu?... Apa yang paling sempurna adalah melakukan kehendak Bapa kita di surga… Di atas segalanya kau akan menjadi seorang rasul melalui doa dan kurban, seperti aku sendiri dulu.”

St Theresia lalu mengarahkan pandangan Van pada suatu baris yang amat penting dalam Kisah Suatu Jiwa:

`Aku mengerti bahwa kasih saja yang menempatkan anggota-anggota Gereja dalam karya… Aku mengerti bahwa Kasih mencakup segala panggilan, bahwa Kasih adalah segalanya, yang merengkuh segala waktu dan segala tempat… Singkat kata, bahwa Kasih itu Abadi.”

“Theresia, saudariku, panggilan tersembunyi apakah ini jika aku tidak menjadi imam?”

“Kau akan masuk biara di mana engkau akan membaktikan dirimu kepada Allah.”


SEORANG BROEDER REDEMPTORIS

Suatu malam di musim dingin pada tahun 1942-1943, Van mendapatkan suatu mimpi misterius. “Aku melihat seseorang masuk menuju kepala pembaringanku… Orang ini sepenuhnya terbalut dalam jubah hitam, agak tinggi dan wajahnya mencerminkan kebaikan yang luar biasa… Ia mengajukan pertanyaan kepadaku, `Nak, apakah kau mau…?' Tetapi sebelum pertanyaan berakhir, spontan aku menjawab `Ya.'”

Beberapa hari kemudian, Van mendapati sebuah patung yang sama seperti orang yang mendatanginya dalam mimpi. Itulah patung St Alfonsus Liguori, pendiri Redemptoris. St Theresia menegaskan panggilannya untuk menjadi seorang broeder Redemptoris.

“Adik, engkau akan menemui onak duri di sepanjang jalan, dan langit yang sekarang tenang akan diliputi awan gelap… Engkau akan mencucurkan airmata, engkau akan kehilangan sukacitamu dan engkau akan seperti seorang yang diturunkan ke keputusasaan… Tetapi ingatlah bahwa dunia memperlakukan Yesus seperti itu dan bahwa seorang Redemptoris serupa dengan Juruselamat-nya… Meski begitu, jangan takut. Dalam badai ini, Yesus akan terus tinggal dalam perahu jiwamu… Adik, engkau tidak akan lagi mendengarku berbicara begitu akrab denganmu seperti sekarang. Janganlah berpikir bahwa aku meninggalkanmu. Sebaliknya, aku terus tinggal dekatmu seperti seharusnya seorang kakak… Di dunia ini, penderitaan merupakan bukti kasihmu, dan penderitaan memberikan pada kasihmu segala makna dan nilai.”

Van diterima di Biara Redemptoris di Hanoi pertama-tama sebagai pembantu rumah tangga dan, pada tanggal 17 Oktober 1944 ia diterima sebagai postulan dengan nama Broeder Marcel. Hari sesudah profesi religius, Marcel Van mendengar Yesus berkata kepadanya: “Anak-Ku, demi kasih kepada umat manusia, persembahkanlah dirimu kepada-Ku, agar mereka dapat diselamatkan.” Perkataan ini meneguhkan nilai penderitaan yang dipersatukan dengan penderitaan Kristus. Broeder Marcel menulis: “Yesus hendak mempergunakan tubuhku untuk menanggung penderitaan, penghinaan dan kepayahan, agar api kasih yang membakar Hati Ilahi-Nya dapat ditularkan kepada hati segenap manusia di bumi.”

Mulai dari masa novisiat, atas permintaan pembimbing rohani, Broeder Marcel menulis otobiografi. Selama dua tahun ia dianugerahi percakapan-percakapan rohani yang akrab mesra dengan Yesus, Maria dan St Theresia. Tetapi pada tanggal 9 September 1946, sehari sesudah kaul pertama, Yesus mengatakan kepadanya, “Anak-Ku, bagianmu sekarang adalah mengurbankan saat-saat keakraban manis bersama-Ku, dan membiarkan-Ku pergi mencari para pendosa… Kemudian, Van kecil-Ku, ketahuilah bahwa engkau akan menderita karena Superior dan Saudara-saudaramu. Akan tetapi pencobaan-pencobaan ini akan menjadi tanda bahwa engkau menyenangkan Hati-Ku. Aku memohon semua penderitaan ini demi mempersatukanmu kepada-Ku dalam karya pengudusan para imam.”

Broeder Marcel mengerti bahwa misinya adalah berdoa dengan suatu cara yang istimewa bagi para imam dan para calon imam. Sebagaimana ia sendiri mengatakan: “Aku mengerti bahwa misi yang Tuhan percayakan kepadaku amat penting, yakni memberikan nyawa kepada para imam… Allah membutuhkan kerjasama dari jiwa-jiwa tertentu untuk melahirkan di kalangan para imam kelimpahan rahmat ilahi yang akan membantu mereka untuk hidup dan untuk bertindak selaras dengan kehendak Allah.” (Surat kepada Hghi, 23 Juli 1952).

“Ya, inilah dahaga unik hidupku, dan sebab dahaga ini, aku telah mengenakan pada diriku sendiri kewajiban untuk menjadi “jantung” para imam, menggunakan kehangatan kasih dan sumber kasih penebusan untuk berdetak dan untuk memberi hidup kepada para imam.

Tak lama, segeralah datang “malam kelam jiwa” Broeder Marcel. Sebagian besar rahmat mistik dan penghiburan lenyap dan hanya kurban membosankan yang masih tinggal dalam iman yang murni.


PENGAKU IMAN

Pada tahun 1950, Broeder Marcel dikirim ke Saigon, dan kemudian ke Dalat. Pada bulan Juli 1954, Vietnam Utara dikuasai Komunis. Banyak umat Katolik mengungsi ke Selatan. Beberapa biarawan Redemptoris tetap tinggal di biara di Hanoi untuk melayani umat Kristiani yang masih tinggal. Broeder Marcel paham bahwa Yesus memintanya untuk menggabungkan diri bersama mereka. “Aku pergi ke sana (Hanoi),” tulisnya, “agar ada seorang yang mengasihi Allah di tengah-tengah kaum Komunis.” Beberapa minggu sesudahnya, ia menulis kepada saudarinya Anna-Maria: “Cukup sering aku dikuasai kepedihan, dan aku hanya berpikir, `Oh, andai saja aku tak datang ke Hanoi… Tetapi ada desakan yang begitu kuat dalam suara Yesus!”

Pada hari Sabtu, 7 Mei 1955, sementara dalam perjalanan ke pasar, Broeder Marcel ditangkap dan digiring ke kantor investigasi kriminal, lalu dijebloskan ke dalam penjara. Lima bulan kemudian, ia dipindahkan ke penjara pusat di Hanoi, di mana ia bertemu dengan banyak umat Katolik dan para imam. Broeder Marcel menulis kepada Superiornya: “Andai aku ingin hidup, mudah saja bagiku. Aku hanya perlu mendakwa Anda. Tetapi jangan khawatir, aku tak akan pernah berbuat demikian.” Kepada Bapa Pengakuan ia menulis: “Bulan-bulan terakhir ini aku harus berjuang segigih mungkin dan menanggung segala siksa cuci otak. Para musuh mempergunakan berbagai muslihat untuk membuatku menyerah, tetapi aku tak akan membiarkan kelengahan barang sedikitpun.” Dan kepada saudarinya: “Tak seorang pun akan dapat merenggut senjata kasih dariku. Tiada derita yang mampu menyingkirkan senyum kasih yang aku biarkan menghiasi wajah tirusku, Dan untuk siapakah gerangan senyumku, jika bukan untuk Yesus, sang Kekasih hati? … Aku adalah kurban Kasih, dan Kasih adalah segala kebahagiaanku - suatu kebahagiaan yang tak dapat dimusnahkan….”

Setahun sesudah penangkapannya, Broeder Marcel muncul di hadapan pengadilan di Hanoi dalam keadaan tenang dan penuh penguasaan diri. Pengadilan menjatuhkan hukuman 15 tahun penjara dalam sebuah kamp “pendidikan ulang”. Ia dibawa ke Kamp No 1, di mana ia menjumpai banyak umat Katolik. “Aku sangat sibuk, seperti seorang imam paroki kecil. Di samping jam-jam kerja paksa, aku harus terus-menerus menyambut mereka yang datang silih berganti mencari penghiburan dariku… Tuhan Sendiri membuatku tahu bahwa aku melakukan kehendak-Nya di sini. Berulang kali, aku memohon kepada-Nya anugerah mati dalam kamp ini, tetapi setiap kali, Ia menjawabku: `Aku siap mengikuti kehendakmu sebagaimana engkau senantiasa mengikuti kehendak-Ku, tetapi ada jiwa-jiwa yang masih membutuhkanmu…'” Setiap kali Broeder Marcel berserah diri pada kehendak Allah.

Pada bulan Agustus 1957, Broeder Marcel Van dipindahkan ke Kamp No 2. Setelah suatu upaya meloloskan diri demi mendapatkan Hosti yang sudah dikonsekrir, ia ditangkap kembali, didera, dan dipenjarakan dalam sel yang kumuh dan pengap. Segalanya menjadi lebih sulit bagi - tak ada lagi kunjungan-kunjungan, tak ada lagi surat, dan di awal 1958 ia mulai melewatkan hidupnya dalam belenggu, seorang diri, tanpa dukungan dan tanpa penerangan, terkecuali terang yang memancar dalam hatinya. Tubuhnya habis digerogoti tuberculosis dan beri-beri. Broeder Marcel Van pun menyerahkan jiwanya kepada Tuhan tengah hari pada tanggal 10 Juli 1959, dalam usia 31 tahun. Pengajuan Beatifikasi Broeder Marcel Van sebagai seorang pengaku iman dibuka pada tanggal 26 Maret 1997 di Keuskupan Belley-Ars, Perancis.

“Kasih tak dapat mati, melainkan terus mengasihi tanpa mengenal batasan-batasan waktu. Ah, andai saja aku dapat mati karena kasih! Aku telah melakukan tindak persembahan diri yang total, dan tindak ini telah diterima….”
~ Venerabilis Marcel Van

BEBERAPA PESAN TUHAN KEPADA MARCEL VAN


Kepercayaan kepada Kasih

“Wahai jiwa-jiwa berdosa… satu-satunya yang Aku minta darimu, dan yang cukup bagi-Ku untuk mendekapkanmu pada Hati-Ku yang bernyala-nyala, adalah agar engkau sungguh percaya bahwa Kasih mengasihimu secara tak terhingga. Sayangnya, anak-anak kecil, adakah kalian percaya bahwa Aku tak mengetahui betapa malangnya kalian? Bahkan meski kemalanganmu tak terhingga, kalian harus percaya bahwa jasa-jasa-Ku juga tak terhingga. Bahkan meski dosa-dosamu telah mengganjarimu neraka bagimu berulang-ulang kali hingga tak terbatas, janganlah engkau, karena semua itu, kehilangan kepercayaan kepada Kasih-Ku. Malangnya adalah manusia tidak memiliki kepercayaan kepada Kasih-ku. Oh! Dosa! Dosa! Dosa tak pernah melukai Kasih-Ku; sama sekali tak ada yang melukai Kasih-Ku, terkecuali kurangnya kepercayaan kepada Kasih-Ku….

Marcel! Marcel! Broeder kecil, berdoalah agar jiwa-jiwa berdosa, yang begitu banyak jumlahnya, tak pernah kehilangan kepercayaan kepada Kasih-Ku. Selama mereka memelihara kepercayaan ini, Kerajaan Surga sungguh tak berhenti menjadi milik mereka.”


Seberkas Kepercayaan

“Seberkas kepercayaan kepada-Ku cukuplah untuk merenggut jiwa-jiwa berdosa dari cengkeraman iblis. Bahkan meski suatu jiwa mendapati dirinya sudah berada di ambang pintu gerbang neraka, menanti desahan terakhirnya sebelum jatuh ke dalam neraka, jika dalam desahan terakhir ini ada barang sedikit saja unsur kepercayaan kepada Kasih-Ku yang tak terhingga, itu akan cukuplah bagi Kasih-Ku untuk menarik jiwa itu ke dalam pelukan Tritunggal Mahakudus. Itulah sebabnya mengapa Aku katakan bahwa adalah sangat mudah bagi manusia untuk pergi ke surga dan bahkan sulit tak terhingga untuk masuk ke dalam neraka, sebab Kasih tak dapat pernah membiarkan suatu jiwa kehilangan dirinya begitu mudah.”


Suatu Percakapan Natal

Dalam Misa Natal 1945, Van melihat Yesus yang sungguh teramat elok. Ia bertanya kepada-Nya:

“Ah Yesus, siapakah gerangan yang mendandanimu dengan pakaian yang begitu indah? Dan siapakah yang membuat pakaian-pakaian indah ini untuk-Mu?”

“Marcel, engkau katakan bahwa Aku berpakaian indah? Dan siapakah yang dapat mendanani-Ku dengan begitu indah jika bukan engkau, Marcel?”

“Tetapi Yesus, aku tak pernah tahu bagaimana membuat pakaian untuk-Mu.”

“Kalau begitu, Marcel, tanyakanlah kepada saudarimu Theresia untuk mengetahui siapakah yang mendandani-Ku begitu baik dengan memberi-Ku pakaian-pakaian yang begitu cantik.”

“Saudariku Theresia, bukankah SP Maria yang membuat pakaian-pakaian ini untuk Yesus?”

“Pakaian-pakaian ini, bukan SP Maria ataupun aku yang membuatnya. Jadi, coba terka siapa kira-kira… Adik, kau yang membuatnya! Sementara aku, aku hanya membantumu membuatnya, dan engkau sendiri yang mendandani Yesus dengannya.”

“Apakah yang telah aku lakukan untuk membuat pakaian-pakaian indah ini?”

Pertama-tama, adikku terkasih, biarlah aku memberimu sebuah kecupan. Dan sekarang, inilah jawabanku. Dengarkan aku baik-baik. Tiap-tiap desahan yang kau hela karena penderitaan yang kau tanggung sepanjang minggu-minggu terakhir ini, tiap-tiap desahan ini cukuplah untuk menjadikan sehelai wool atau sekuntum bunga; jadi aku mempergunakan helaian-helaian wool yang engkau tenun setiap hari dengan penderitaanmu ini, seperti bunga-bungaan yang engkau petik, untuk merajut pakaian-pakaian indah ini bagi Yesus. Adakah engkau mengerti, adik? Dan adakah membuatmu bahagia melihat Yesus dengan pakaian-pakaian yang begitu indah? Jika sekarang pakaian-pakaian Yesus telah begitu indah, maka pakaian-pakaian itu akan menjadi terlebih lagi indah pada hari persatuanmu dengan-Nya. Darimana keindahan ini berasal, tak perlulah kau khawatir tentangnya. Sekarang sesudah Yesus memberimu kecupan-kecupan-Nya, pertama-tama renungkanlah untuk tinggal dalam sukacita dan halaulah segala pikiran kesedihan dan kecemaran. (Marcel Van, Colloques p.98, Preface from Cardinal Schoenborn, Ed. Saint-Paul) 
Sumber : yesaya.indocell.net