Rabu, 06 Februari 2013


Dukacita Sengsara Tuhan Kita Yesus Kristus (Bagian 8)

Dukacita Sengsara Tuhan Kita Yesus Kristus
dari Meditasi B. Anna Katharina Emmerick
mistikus, stigmatis, visionaris (1774 - 1824)




“THE DOLOROUS PASSION OF OUR LORD JESUS CHRIST
FROM THE MEDITATIONS OF ANNE CATHERINE EMMERICK”
as recorded in the journal of Clemens Brentano




Bab XXI 
 
Yesus Digiring Kembali
dari Istana Herodes ke Istana Pilatus


Para musuh Yesus sungguh murka serta mendongkol diperintahkan untuk membawa Yesus kembali, dalam keadaan masih belum dijatuhi hukuman mati, kepada Pilatus, yang telah berulangkali menyatakan bahwa Ia tak bersalah. Mereka menggiring-Nya lewat jalan memutar yang lebih jauh, guna, pertama, membiarkan penduduk di bagian kota itu melihat-Nya dalam keadaan direndahkan hingga begitu hina, dan kedua, memberikan lebih banyak waktu bagi para utusan mereka untuk menimbulkan kekacauan dalam warga masyarakat.

Jalanan yang mereka lalui berbatu-batu dan tak rata. Para prajurit, dengan disemangati oleh kaum Farisi, nyaris tak henti barang sejenak dalam menganiaya Yesus. Jubah panjang yang dikenakan pada-Nya merintangi langkah kaki-Nya dan menyebabkan-Nya jatuh tersungkur lebih dari satu kali. Para pengawal-Nya yang bengis, pula banyak di antara khalayak ramai yang brutal, bukannya menolong Dia yang telah kehabisan tenaga, malahan berusaha memaksa-Nya bangkit kembali dengan melancarkan pukulan dan tendangan bertubi.

Dalam segala aniaya ini, Yesus tak melawan sedikit pun. Tak kunjung henti Ia memanjatkan doa kepada BapaNya, mohon rahmat serta kekuatan agar Ia mampu bertahan dan menuntaskan karya SengsaraNya demi penebusan kita.

Kira-kira pukul delapan pagi ketika arak-arakan tiba di istana Pilatus. Khalayak ramai penuh sesak, kaum Farisi terlihat berjalan kian-kemari, berusaha keras menghasut serta membangkitkan amarah orang banyak. Pilatus, yang ingat akan terjadinya huru-hara tahun sebelumnya pada saat Paskah, mengerahkan hingga lebih dari seribu prajurit, yang ditempatkannya di sekitar Praetorium, forum dan istananya.

Santa Perawan, kakak perempuannya - Maria (anak Heli), Maria (anak Kleopas), Magdalena, dan sekitar duapuluh orang perempuan kudus, berdiri di sebuah ruangan di mana mereka dapat menyaksikan segala sesuatu yang terjadi; pada awalnya Yohanes ada bersama mereka.

Kaum Farisi menggiring Yesus, masih dalam pakaian seorang tolol, menerobos di antara khalayak ramai yang marah. Mereka mengerahkan kekuasaan mereka guna mengumpulkan para penjahat yang paling keji dan bengis dari kalangan sampah masyarakat. Seorang hamba yang diutus oleh Herodes telah tiba di hadapan Pilatus dengan suatu pesan yang menyatakan bahwa tuannya sungguh menghargai rasa hormat Pilatus atas pendapatnya, tetapi ia menganggap Orang Galilea yang tersohor ini tak lebih dari seorang tolol belaka, karenanya ia memperlakukan-Nya demikian, dan sekarang mengirimkan-Nya kembali. Pilatus cukup puas mendapati bahwa Herodes mempunyai pendapat yang sama dengan pendapatnya, sebab itu ia membalasnya dengan suatu pesan yang menyatakan rasa hormatnya. Sejak saat itu, Pilatus dan Herodes bersahabat, setelah saling bermusuhan selama bertahun-tahun; sesungguhnya, sejak robohnya terowongan air.*

Yesus sekali lagi digiring ke kediaman Pilatus. Para prajurit pembantu menyeret-Nya menaiki anak-anak tangga dengan kebrutalan mereka seperti biasanya; kaki-Nya terjerat jubah-Nya yang panjang dan Ia jatuh terjerembab di atas anak tangga pualam berwarna putih, yang segera menjadi merah karena darah yang mengucur dari kepala-Nya yang kudus. Para musuh-Nya mengambil tempat duduk di pintu masuk forum; khalayak ramai tertawa riuh-rendah melihat Yesus jatuh tersungkur, para prajurit pembantu, bukannya membantu-Nya bangkit, malahan memukuli kurban mereka yang tak bercela. Pilatus berbaring di sebuah kursi yang empuk dan nyaman, dengan sebuah meja kecil di hadapannya, dikelilingi para pejabat serta orang-orang yang membawa kepingan perkamen berisi tulisan dalam tangan mereka. Pilatus melangkah maju dan berkata kepada para pendakwa Yesus, “Kamu telah membawa orang ini kepadaku sebagai seorang yang menyesatkan rakyat. Kamu lihat sendiri bahwa aku telah memeriksa-Nya, dan dari kesalahan-kesalahan yang kamu tuduhkan kepada-Nya tidak ada yang kudapati pada-Nya. Dan Herodes juga tidak, padahal aku mengirimkan kalian kepadanya. Sesungguhnya tidak ada suatu apapun yang dilakukan-Nya yang setimpal dengan hukuman mati. Jadi aku akan menghajar Dia, lalu melepaskan-Nya.”

Ketika kaum Farisi mendengar kata-kata ini, mereka menjadi gusar dan berusaha keras dengan segala daya upaya mereka untuk menghasut rakyat agar memberontak; mereka membagi-bagikan uang di antara khalayak ramai demi tercapainya tujuan yang mereka inginkan. Pilatus memandang sekeliling dengan sikap meremehkan dan berbicara kepada mereka dalam kata-kata yang menghina.

Merupakan saat yang tepat waktu itu, menurut kebiasaan lama, rakyat memperoleh hak istimewa untuk menuntut dibebaskannya seorang tahanan. Kaum Farisi telah menyebarkan utusan-utusan mereka untuk membujuk khalayak ramai menuntut kematian, dan bukannya pembebasan, Tuhan kita. Pilatus berharap mereka menuntut agar Yesus dibebaskan, karenanya ia memutuskan untuk memberikan pilihan kepada mereka, Yesus atau seorang penjahat bernama Barabas. Barabas ini telah terbukti melakukan pembunuhan keji dalam pemberontakan, dan juga terbukti melakukan banyak kejahatan lain, disamping itu, ia sangat dibenci masyarakat.

Terjadi suatu keributan di antara orang banyak. Sebagian dari antara mereka maju dan juru bicara mereka berbicara kepada Pilatus dengan suara lantang, katanya, “Berikanlah kepada kami hak yang senantiasa engkau berikan pada hari raya.” Pilatus menjawab, “Ada padaku kebiasaan untuk membebaskan bagi kalian seorang penjahat pada hari raya Paskah. Siapa yang kalian kehendaki kubebaskan bagi kalian, Barabas atau Yesus, yang disebut Kristus?”

Mekipun Pilatus dalam benaknya tidak merasa yakin bahwa Yesus adalah Raja Orang Yahudi, namun ia menyebut-Nya demikian, sebagian karena kesombongannya sebagai orang Romawi merasakan kegembiraan dapat merendahkan orang Yahudi dengan menyebut seorang yang penampilannya begitu hina sebagai raja mereka; sebagian lagi karena ia merasakan adanya semacam keyakinan batin bahwa Yesus mungkin adalah sungguh raja ajaib itu, Mesias yang dijanjikan. Ia melihat dengan jelas bahwa para imam mengajukan tuduhan-tuduhan melawan Yesus hanya karena rasa iri dan dengki semata. Hal ini membangkitkan hasratnya untuk mengecewakan mereka, dan hasrat ini semakin meningkat dengan adanya cahaya samar kebenaran yang pada tingkat tertentu menerangi pikirannya. Timbul suatu kebimbangan di antara khalayak ramai ketika Pilatus melontarkan pertanyaan; beberapa suara menjawab, “Barabas.” Seorang hamba yang diutus oleh isteri Pilatus meminta waktunya sebentar. Pilatus meninggalkan podium dan hamba itu menghaturkan tanda perjanjian yang diberikan Pilatus kepada isterinya, seraya berkata, “Claudia Procles memohon anda mengingat janji anda pagi ini.” Kaum Farisi dan para imam berjalan dengan cemas dan tergesa-gesa di antara khalayak ramai, mengancam sebagian dan memberikan perintah kepada yang lain, meskipun, sesungguhnya, sedikit saja yang masih diperlukan untuk menghasut orang banyak yang sudah mulai mengamuk.

Bunda Maria, bersama Magdalena, Yohanes dan para perempuan kudus, berdiri di suatu pojok di forum, gemetar dan menangis. Meskipun Bunda Yesus sepenuhnya paham bahwa penebusan umat manusia tidak akan mungkin diperoleh selain melalui wafat Putranya, namun ia diliputi dukacita hebat seorang ibunda, dengan hasrat yang kuat untuk menyelamatkan Putranya dari aniaya dan dari kematian yang akan segera ditanggung-Nya. Bunda Maria mohon dengan sangat kepada Tuhan Allah untuk tidak membiarkan kejahatan yang begitu ngeri itu terjadi, ia mengulangi kata-kata Yesus di Taman Zaitun, “Sekiranya mungkin, biarkanlah piala ini berlalu.” Masih terbersit seberkas harapan samar dalam hatinya, sebab tersiar kabar bahwa Pilatus bermaksud membebaskan Yesus. Kelompok-kelompok orang, terutama penduduk Kapernaum, di mana Yesus mengajar, dan kepada siapa Ia banyak melakukan mukjizat penyembuhan, bergerombol di sekelilingnya; mereka berpura-pura tidak mengenal baik ibunda Yesus maupun para perempuan kudus yang menyertainya, yang sedang menangis pilu; hanya sesekali mereka mencuri pandang, seolah kebetulan semata, pada sosok-sosok yang berkerudung rapat itu. Banyak yang berharap, termasuk juga para perempuan kudus, bahwa mereka ini setidak-tidaknya akan menolak Barabas dan mohon pembebasan bagi Juruselamat dan Penolong mereka; tetapi harapan ini, sungguh sayang, sia-sia belaka.

Pilatus mengirimkan kembali tanda perjanjian itu kepada isterinya sebagai jaminan akan maksud baiknya menepati janji. Lagi, ia maju ke podium dan duduk di atas meja kecil. Imam-imam kepala juga ikut duduk. Sekali lagi Pilatus bertanya, “Siapa di antara kedua orang itu yang kamu kehendaki kubebaskan bagimu?” Suara khalayak ramai menggema di seluruh balai pengadilan, “Jangan Dia, melainkan Barabas!” Jawab Pilatus, “Jika begitu, apakah yang harus kuperbuat dengan Yesus, yang disebut Kristus?” Serempak mereka semua berteriak riuh-rendah “Salibkan Dia! Salibkan Dia!” “Kejahatan apa yang sebenarnya telah dilakukan Orang ini?” tanya Pilatus untuk ketiga kalinya. “Tidak ada suatu kesalahan pun yang kudapati pada-Nya. Aku akan menyesah Dia, lalu melepaskan-Nya”

Segera teriakan, “Salibkan Dia! Salibkan Dia!” membahana di antara khalayak ramai, dan suara itu menggema bagaikan suatu badai dahsyat dari neraka; para imam besar dan kaum Farisi berteriak-teriak seraya bergegas kian kemari bagaikan orang gila. Akhirnya Pilatus menyerah, karakternya yang lemah dan pengecut tak sanggup menghadapi demonstrasi yang begitu brutal. Ia menyerahkan Barabas kepada orang banyak, dan menyerahkan Yesus agar disesah.


* Penyebab perseteruan antara Pilatus dan Herodes, menurut cerita Sr. Emmerick, adalah sebagai berikut: Pilatus merencanakan pembangunan sebuah terowongan air di sebelah tenggara bukit di mana Bait Allah berdiri, di pinggir sungai ke mana air dari kolam Betsaida mengalir, saluran air ini dimaksudkan untuk mengangkut pembuangan dari Bait Allah. Herodes, dengan perantaraan salah seorang kepercayaannya, yang adalah anggota Sanhendrin, setuju menyuplai bahan-bahan yang diperlukan, juga mengutus duapuluh delapan ahli bangunan, yang semuanya adalah orang-orang Herodian. Tujuan Herodes adalah mempersengit perlawanan bangsa Yahudi terhadap Gubernur Romawi, dengan jalan menyebabkan proyek tersebut gagal. Maka, ia mengadakan persepakatan rahasia dengan para ahli bangunan yang menyanggupi untuk mengkonstruksi terowongan air sedemikian rupa hingga terowongan tersebut pasti akan roboh. Ketika pembangunan sudah hampir selesai, dan sebagian besar dari para tukang batu yang berasal dari Ophel sedang sibuk membereskan perancah, keduapuluh delapan ahli bangunan pergi ke puncak Menara Silo guna menyaksikan robohnya terowongan air, yang mereka tahu pasti akan terjadi. Namun, bukan hanya seluruh bangunan terowongan saja yang hancur berkeping-keping serta menewaskan sembilanpuluh tiga pekerja, tetapi bahkan menara di mana keduapuluh delapan ahli bangunan itu berada juga ikut roboh, tak seorang pun di antara mereka selamat. Peristiwa ini terjadi beberapa saat sebelum tanggal 8 Januari, dua tahun setelah Yesus memulai pewartaan-Nya; tepat pada hari ulang tahun Herodes, yaitu hari di mana Yohanes Pembaptis dipenggal kepalanya di Benteng Makerus. Tak seorang pun pejabat Romawi menghadiri pesta ulang tahun ini karena masalah terowongan air, meskipun Pilatus, dengan sopan-santun munafik telah diundang untuk menghadirinya. Sr. Emmerick melihat beberapa dari murid Yesus membawa berita mengenai musibah ini ke Samaria, di mana Ia sedang mengajar. Pada tanggal 8 Januari, Yesus berangkat dari sana ke Hebron, guna menghibur keluarga Yohanes. Sr. Emmerick melihat-Nya, pada tanggal 13 Januari, menyembuhkan banyak di antara para pekerja Ophel yang terluka akibat robohnya terowongan air. Kita telah tahu dari kisah yang diceritakan sebelumnya betapa kecil rasa terima kasih mereka kepada-Nya. Kebencian Herodes terhadap Pilatus semakin memuncak akibat balas dendam Pilatus terhadap para pengikut Herodes. Kita sisipkan di sini sedikit gambaran yang dinyatakan kepada Sr. Emmerick dalam kesempatan-kesempatan yang berbeda. Pada tanggal 25 Maret, tahun kedua pewartaan Yesus, ketika Yesus dan para murid-Nya sedang berada dekat Betania, mereka diperingatkan oleh Lazarus bahwa Yudas dari Gaulon bermaksud mengadakan pemberontakan terhadap Pilatus. Pada tanggal 28 Maret, Pilatus memaklumkan pernyataan bahwa ia bermaksud membebankan suatu pajak, yang sebagian dananya akan dipergunakan untuk menutup biaya yang telah ia belanjakan untuk mendirikan bangunan yang baru saja roboh. Pengumuman ini ditanggapi dengan suatu rencana pemberontakan yang dipimpin oleh Yudas dari Gaulon, yang senantiasa berjuang demi kebebasan, dan yang (tanpa disadarinya) merupakan alat dalam tangan kaum Herodian. Pada tanggal 30 Maret, pukul sepuluh malam, Yesus, mengenakan jubah gelap, sedang mengajar di Bait Allah, bersama para rasul-Nya dan tigapuluh orang murid. Pemberontakan orang-orang Galilea melawan Pilatus meledak tepat pada hari itu, para pemberontak membebaskan kelimapuluh anggotanya yang dipenjarakan hari sebelumnya; banyak diantara bangsa Romawi yang tewas. Pada tanggal 6 April, Pilatus memerintahkan pembunuhan atas orang-orang Galilea pada saat mempersembahkan kurban, yang dilakukan oleh para prajurit yang menyamar, yang disembunyikannya dalam Bait Allah. Yudas tewas bersama para pengikutnya. Pembantaian ini semakin mengobarkan murka Herodes terhadap Pilatus, dan kita baru saja melihat bagaimana akhirnya permusuhan mereka diperdamaikan kembali.


Bab XXII 
 
Yesus Didera


Pilatus, yang paling bimbang dan lemah dari segala hakim, telah berkali-kali mengulangi kata-kata pengecut ini, “Tidak ada suatu kesalahan pun yang kudapati pada-Nya. Jadi aku akan menghajar Dia, lalu melepaskan-Nya.” Yang terus-menerus dijawab oleh orang-orang Yahudi dengan, “Salibkan Dia! Salibkan Dia!” Pilatus memutuskan untuk berpegang pada ketetapannya untuk tidak menghukum mati Tuhan kita, dan memerintahkan agar Yesus didera menurut cara bangsa Romawi. Sebab itu, para pengawal diperintahkan untuk menggiring-Nya menerobos khalayak ramai yang marah ke forum, yang mereka lakukan dengan cara yang paling brutal, sembari melancarkan aniaya atas-Nya, serta mendaratkan pukulan bertubi ke tubuh-Nya dengan tongkat-tongkat mereka. Pilar di mana para penjahat didera berdiri di sebelah utara istana Pilatus, dekat gardu jaga. Para algojo segera tiba dengan membawa cambuk, tongkat, dan tali tampar, yang mereka lambung-lambungkan sembari menyeringai. Mereka berjumlah enam orang, berkulit gelap kehitaman, agak lebih pendek dari Yesus; dada mereka bercelemek selembar kulit, atau suatu material yang dekil; pinggang mereka berikat, dan tangan-tangan mereka yang berbulu serta kekar, polos tanpa hiasan. Mereka adalah para penjahat dari perbatasan Mesir yang dijatuhi hukuman kerja paksa karena kejahatan-kejahatan yang telah mereka lakukan. Mereka terutama dipekerjakan dalam pembangunan kanal-kanal, dan pembangunan gedung-gedung publik; penjahat yang paling bengis dipilih untuk bertindak sebagai algojo-algojo di Praetorium.

Orang-orang yang kejam ini telah seringkali mendera para penjahat yang malang hingga tewas di pilar ini. Mereka serupa binatang buas atau iblis dan tampak seperti setengah mabuk. Mereka meninju Tuhan kita dengan kepalan tangan mereka dan menyeret-Nya dengan menarik tali-temali yang membelenggu-Nya, meskipun Ia mengikuti mereka tanpa melawan sedikit pun. Akhirnya, dengan keji mereka mencampakkan tubuh-Nya hingga jatuh terkapar setelah membentur pilar. Pilar ini, yang terletak di tengah-tengah halaman, berdiri sendiri, tidak menyangga suatu bagian bangunan manapun. Pilar tidak terlalu tinggi, seorang yang jangkung dapat menggapai puncaknya dengan menjulurkan tangannya; ada suatu cincin besi yang besar di bagian puncak dan dua cincin serta kait-kait agak sedikit di bawahnya. Mustahil menggambarkan kekejian yang dilakukan para algojo ini terhadap Yesus. Mereka mengoyakkan mantol yang dikenakan pada-Nya sebagai olok-olok di istana Herodes dan hampir-hampir membuat-Nya terkapar lagi.

Yesus menggigil gemetar sementara Ia berdiri di depan pilar. Ia melepaskan pakaian-Nya secepat yang Ia mampu dengan kedua tangan-Nya yang bengkak-bengkak dan berdarah. Satu-satunya balasan yang Ia lakukan ketika para algojo-Nya yang beringas menyiksa serta menganiaya-Nya adalah memanjatkan doa bagi mereka dengan cara yang paling menyentuh hati. Sekali Ia memalingkan wajah-Nya kepada Bunda-Nya, yang berdiri terpaku, sepenuhnya tenggelam dalam dukacita yang hebat. Tatapan ini melumpuhkannya; Bunda Maria lemas tak sadarkan diri dan pastilah ia roboh terkapar andai para perempuan kudus yang bersamanya tidak menopangnya. Yesus melingkarkan kedua tangan-Nya sekeliling pilar, kedua tangan-Nya diangkat begitu rupa, para prajurit pembantu mengikatkannya pada cincin besi yang ada di puncak pilar; kemudian mereka mengerek kedua tangan-Nya pada suatu ketinggian tertentu hingga kedua kaki-Nya, yang dibelenggu erat ke dasar pilar, hampir-hampir tak menyentuh tanah. Demikianlah Yang Mahakudus dari Yang Kudus diregangkan dengan keji, tanpa selembar kain pun, pada sebuah pilar yang dipergunakan untuk menghukum para penjahat besar. Lalu dua algojo bengis yang haus akan darah mulai mendera tubuh-Nya yang kudus dari kepala hingga kaki dengan cara yang paling biadab. Cambuk atau cemeti pertama mereka gunakan, tampak padaku, terbuat dari semacam kayu putih yang lentur, tetapi mungkin juga terbuat dari otot sapi atau kulit.

Tuhan kita terkasih, Putra Allah, sungguh Allah dan sungguh Manusia, menggeliat bagaikan seekor cacing dibawah hajaran orang-orang yang kesetanan ini. Erangan-Nya yang lembut namun dalam, terdengar hingga jauh. Erangan dan rintihan itu menggema di udara, melantunkan semacam iringan yang menyayat hati pada suara desisan alat-alat siksa. Namun, erangan ini lebih menyerupai sebuah jeritan doa dan permohonan yang memilukan daripada rintihan duka. Teriakan tuntutan kaum Farisi dan khalayak ramai membentuk semacam iringan yang lain, yang dari waktu ke waktu bagaikan gelegar guntur yang memekakkan telinga, memudarkan serta meredam erangan sengsara yang kudus. Dari pihak mereka, kata-kata ini terdengar membahana, “Bunuh Dia!” “Salibkan Dia!” Pilatus meneruskan pembicaraan dengan mereka; ketika hendak minta mereka untuk tenang agar ia dapat berbicara, terpaksa ia harus menggunakan tiupan nafiri untuk menyampaikan keinginannya itu kepada khalayak ramai yang berteriak riuh rendah. Pada saat-saat itulah orang dapat lagi mendengar desisan cemeti, erangan Yesus, kutuk dan caci-maki para prajurit, serta embikan anak-anak domba Paskah yang sedang dibasuh di kolam Probatica yang tak jauh letaknya dari forum. Ada sesuatu yang secara istimewa menyentuh hati dalam embikan duka anak-anak domba ini; tampaknya mereka menyatukan duka mereka dengan rintihan sengsara Tuhan kita.

Khalayak ramai Yahudi berkerumun tak jauh dari pilar di mana hukuman ngeri dilaksanakan, prajurit-prajurit Romawi ditempatkan di setiap penjuru sekitarnya. Banyak orang berjalan hilir mudik, sebagian dalam kebisuan, sebagian seraya membicarakan Yesus dengan kata-kata yang paling menghina, sedikit orang tampak tergerak hatinya, dan aku pikir aku melihat berkas-berkas sinar memancar dari Tuhan kita dan masuk ke dalam hati orang-orang yang hatinya tergerak oleh belas kasihan. Aku melihat gerombolan-gerombolan para pemuda berani namun keji, yang sepanjang waktu itu menyibukkan diri dekat gardu jaga mempersiapkan cambuk-cambuk baru, sementara yang lainnya pergi mencari semak-semak duri. Beberapa hamba para imam besar datang menghampiri para algojo yang brutal dan memberikan sejumlah uang; juga satu tempayan besar berisi cairan merah yang memabukkan dan melipatgandakan keberingasan mereka sepuluh kali lipat terhadap Kurban yang tak bercela. Dua algojo terus menghajar Tuhan kita dengan keganasan yang tak kunjung padam hingga seperempat jam lamanya, lalu mereka digantikan oleh dua orang lainnya. Sekujur tubuh Yesus penuh dengan bilur-bilur hitam, biru dan merah; darah jatuh menetes membasahi lantai, namun demikian teriakan riuh-rendah yang berasal dari antara khalayak ramai Yahudi menunjukkan bahwa kekejian mereka masih jauh dari terpuaskan.

Malam itu udara dingin menggigit, pagi hari gelap berawan; rintik hujan es membasahi bumi, hingga mencengangkan semua orang, tetapi menjelang pukul duabelas siang, hari menjadi cerah dan matahari bersinar terang.

Dua algojo baru mulai mendera Yesus sekuat tenaga; mereka mempergunakan jenis tongkat yang berbeda - semacam tongkat berduri yang bertabur simpul dan ujung-ujung runcing. Cambukan dengan tongkat ini merobek serta mengoyak daging-Nya, darah-Nya muncrat hingga membasahi tangan-tangan mereka. Ia mengerang, berdoa dan gemetar hebat. Saat itulah, beberapa orang asing yang menunggang onta melintasi forum; mereka berhenti sesaat dan diliputi rasa belas kasihan serta ngeri akan apa yang mereka saksikan; beberapa orang yang ada di sana menjelaskan kepada mereka apa yang telah terjadi. Beberapa orang dari para pengelana ini telah dibaptis oleh Yohanes, sementara yang lainnya ikut mendengarkan khotbah Yesus di bukit. Suara riuh-rendah dan hiruk-pikuk khalayak ramai bahkan terlebih lagi memekakkan telinga dekat kediaman Pilatus.

Dua algojo baru lainnya menggantikan dua algojo yang terakhir disebut di atas. Mereka segera mulai mendera; cambuk mereka terdiri dari rantai-rantai kecil, atau ikat dengan kait-kait besi, yang menembus hingga ke tulang, mencabik seta mencongkel potongan-potongan besar daging setiap kali dicambukkan. Sungguh malang! apakah yang dapat dikatakan untuk menggambarkan peristiwa yang begitu ngeri - yang begitu menghancur-remukkan hati ini!

Namun demikian, kekejian orang-orang yang tak berperikemanusiaan ini belum juga terpuaskan; mereka melepaskan belenggu Yesus, lalu lagi membelenggu-Nya dengan punggung-Nya menghadap ke pilar. Karena Yesus sudah sama sekali tak mampu menopang DiriNya untuk berdiri tegak, mereka melilitkan tali-temali sekeliling pinggang-Nya, di bawah kedua lengan-Nya, di atas kedua lutut-Nya, dan setelah mengikatkan kedua tangan-Nya erat-erat pada cincin-cincin yang ada di bagian atas pilar, mereka mulai mendera-Nya lagi bahkan dengan lebih beringas dari sebelumnya. Seorang di antara mereka menghajar-Nya bertubi-tubi pada bagian wajah-Nya dengan sebatang tongkat baru. Tubuh Tuhan kita sepenuhnya hancur remuk - yang ada hanya suatu luka yang besar. Ia memandang para penganiaya-Nya dengan kedua mata-Nya bersimbah darah, seolah mohon belas kasihan; tetapi kebrutalan mereka semakin menjadi, dan setiap kali, erangan-Nya menjadi semakin lirih.

Penderaan yang ngeri terus berlangsung tanpa jeda selama tigaperempat jam lamanya, ketika seorang asing dari rakyat jelata, seorang kerabat Ctesiphon, orang buta yang dicelikkan Yesus, menyeruak maju dari antara orang banyak dan menghampiri pilar dengan sebilah pisau yang bentuknya seperti celurit dalam genggamannya. “Berhenti!” serunya penuh amarah, “Berhenti! Jangan lagi kalian mendera Orang yang tak berdosa ini hingga tewas!” Para algojo yang setengah mabuk amat terperanjat, mereka diam terpaku, sementara laki-laki ini secepat kilat memotong tali-temali yang membelenggu Yesus ke pilar, lalu ia pun menghilang di antara orang banyak. Yesus jatuh terkapar nyaris tak sadarkan diri di atas ubin yang basah oleh darah-Nya. Para algojo meninggalkan-Nya seorang diri di sana, mereka bergabung kembali dengan kawanan mereka yang keji, yang sedang bersenang-senang di gardu jaga dengan minum-minum dan menganyam sebuah mahkota duri.

Tuhan kita tetap tergeletak untuk beberapa waktu lamanya di lantai, di kaki pilar, bermandikan darah-Nya sendiri. Dua atau tiga gadis pemberani datang mendekat guna memuaskan rasa ingin tahu mereka dengan mengamati-Nya. Mereka memandang sekilas, lalu buru-buru memalingkan wajah mereka karena jijik, saat itu rasa sakit yang diakibatkan luka-luka Yesus begitu dahsyat hingga Ia mengangkat kepala-Nya yang berdarah dan memandang mereka. Mereka segera mundur; para prajurit serta pengawal tertawa terbahak dan menggoda mereka.

Sepanjang penderaan Tuhan kita, aku melihat malaikat-malaikat yang menangis begitu sering menghampiri-Nya; aku juga mendengar doa-doa yang terus-menerus dipanjatkan Yesus kepada BapaNya demi pengampunan dosa-dosa kita - doa-doa yang tak kunjung henti sepanjang pelaksanaan hukuman keji ini. Sementara Ia terkapar bermandikan DarahNya, aku melihat seorang malaikat mengunjukkan kepada-Nya suatu bejana berisi minuman berwarna cerah yang tampaknya memulihkan tenaga-Nya hingga ke suatu tingkat tertentu. Para prajurit pembantu segera datang, dan setelah mendaratkan beberapa pukulan pada tubuh-Nya dengan tongkat mereka, memaksa-Nya bangkit berdiri dan mengikuti mereka. Yesus dengan teramat susah-payah berusaha bangkit, tungkai-tungkai-Nya yang gemetar nyaris tak mampu menyangga berat tubuh-Nya. Mereka tidak memberi-Nya waktu untuk mengenakan pakaian-Nya, melainkan melemparkan jubah-Nya ke atas bahu-Nya yang telanjang dan menggiring-Nya dari pilar ke gardu jaga. Yesus menyeka darah yang menetes menuruni wajah-Nya dengan ujung jubah-Nya. Saat Ia digiring lewat di depan bangku-bangku batu di mana para imam besar duduk, mereka berteriak-teriak liar, “Bunuh Dia! Salibkan Dia! Salibkan Dia” lalu memalingkan muka mereka dengan jijik. Para algojo menggiring-Nya masuk ke dalam gardu jaga yang penuh dengan para budak, prajurit pembantu, para tukang dan kuli, serta para berandal, tetapi tak ada prajurit.

Hiruk-pikuk murka khalayak ramai begitu menggelisahkan Pilatus, hingga ia minta bala bantuan serdadu Romawi dari Benteng Antonia, dan menempatkan pasukan-pasukan yang berdisiplin tinggi ini di sekitar gardu jaga; mereka diperkenankan berbicara dan mengolok-olok Yesus dengan berbagai macam cara, tetapi tidak diperkenankan meninggalkan barisan mereka. Para serdadu ini, yang dikirim Pilatus untuk mengawas-awasi khalayak ramai, berjumlah sekitar seribu orang.



Bab XXIII 

Bunda Maria Saat Yesus Didera


Aku melihat Santa Perawan tenggelam dalam ekstasi yang terus-menerus sepanjang waktu penderaan Putra Ilahinya. Ia menyaksikan serta menderita dengan kasih dan dukacita yang tak terlukiskan segala siksa aniaya yang diderita Putranya. Ia mengerang lirih, kedua matanya sembab dan merah karena airmata. Sehelai kerudung lebar membalut tubuhnya dan ia menyandarkan diri pada Maria Heli, kakak perempuannya*, yang telah lanjut usia dan wajahnya mirip benar dengan ibunda mereka, St. Anna. Maria Kleopas, puteri Maria Heli, juga ada di sana. Para sahabat Yesus dan Bunda Maria berdiri bergerombol, mereka mengenakan kerudung lebar, tampak larut dalam duka dan kecemasan yang hebat; mereka menangis seakan sedang menghadapi ajal. Bunda Maria mengenakan gaun biru panjang, yang sebagian tertutup oleh mantol wol berwarna putih, kerudungnya berwarna putih kekuningan. Magdalena nyaris bagaikan seorang yang telah kehilangan akal karena dukacita, rambutnya tergerai lepas di bawah kerudungnya.

Ketika Yesus jatuh terkapar di kaki pilar setelah penderaan, aku melihat Claudia Procles, isteri Pilatus, mengirimkan beberapa potong kain lenan yang lebar kepada Bunda Tuhan. Aku tidak tahu apakah perempuan yang lembut hati ini berpikiran bahwa Yesus akan dibebaskan, dan bahwa BundaNya pasti akan membutuhkan lenan untuk membalut luka-luka-Nya. Setelah penderaan berakhir, Bunda Maria tersadar kembali; ia melihat Putra Ilahinya sama sekali terkoyak dan tercabik habis, digiring oleh para prajurit pembantu setelah penderaan. Yesus menyeka mata-Nya yang bersimbah darah agar Ia dapat memandang BundaNya; dan BundaNya mengulurkan kedua tangannya kepada sang Putra, sementara terus terpaku menatap jejak-jejak darah yang ditinggalkan kaki-Nya.

Segera aku melihat Bunda Maria dan Magdalena menghampiri pilar di mana Yesus didera; khalayak ramai ada dikejauhan. Keduanya setengah tersembunyi di balik para perempuan kudus lainnya dan juga segelintir orang yang baik hati yang bergabung bersama mereka. Mereka berlutut di ubin dekat pilar dan menyeka darah kudus dengan kain lenan yang diberikan oleh Claudia Procles. Saat itu Yohanes tidak bersama para perempuan kudus, yang berjumlah sekitar duapuluh orang. Putera-putera Simeon dan putera Obed, juga Veronica, pula dua kemenakan Yusuf dari Arimatea - Aram dan Themni - berada di Bait Allah; mereka tampak dirundung duka. Waktu itu tak lebih dari pukul sembilan pagi ketika penderaan berakhir.

* Maria Heli seringkali disebut dalam kisah ini. Menurut Sr. Emmerick, ia adalah puteri St. Yoakim dan St. Anna, yang dilahirkan hampir duapuluh tahun sebelum kelahiran Santa Perawan. Ia bukanlah anak terjanji, dan disebut Maria Heli, untuk membedakannya dari mereka dengan nama yang sama, sebab ia puteri Yoakim, yang disebut juga Heliachim. Suaminya bernama Kleopas, dan puterinya bernama Maria Kleopas. Tetapi, puterinya ini, lebih tua usianya dari bibinya, yaitu Santa Perawan. Maria Kleopas menikah pertama dengan Alfeus, dengan siapa ia beroleh tiga orang putera, yang kelak menjadi para rasul, yaitu Simon, Yakobus Muda dan Tadeus. Dari suaminya yang kedua, ia beroleh seorang putera, Sabat, dan seorang putera lain bernama Simon, dari suaminya yang ketiga, Yonas. Simon kelak menjadi Uskup Yerusalem.

Bab XXIV

Interupsi Penglihatan Sengsara dengan Penampakan St. Yosef dalam Rupa Seorang Anak

Sepanjang penglihatan-penglihatan yang baru saja dikisahkan (yaitu mulai dari tanggal 18 Februari hingga 8 Maret), Sr Emmerick terus menderita segala sengsara, baik mental maupun fisik, yang diderita Tuhan kita. Ia sama sekali tenggelam dalam meditasi-meditasi ini dan seolah mati terhadap segala yang terjadi di sekelilingnya. Ia menangis serta mengerang bagaikan seorang yang berada dalam tangan-tangan algojo. Ia gemetar, menggigil, dan menggeliat di atas pembaringannya, sementara wajahnya serupa dengan seorang yang sedang sekarat akibat siksaan; keringat darah kerapkali menetes membasahi dada dan pundaknya. Sr Emmerick biasa berkeringat begitu deras hingga ranjang dan pakaiannya basah kuyup. Penderitaannya akibat rasa dahaga begitu ngeri, sungguh, ia dapat disamakan dengan seorang yang sekarat di padang gurun karena kehausan. Sesungguhnya, bibirnya kering dan pecah-pecah pada pagi hari, ludahnya kental dan lidahnya lekat ke langit-langit, hingga ia tak mampu berkata-kata, melainkan harus dengan isyarat dan gumaman mohon kelegaan. Demamnya yang terus-menerus mungkin diakibatkan oleh sakit hebat yang dideritanya. Di samping itu, ia juga seringkali menanggungkan ke atas dirinya, penyakit dan kemalangan sementara yang diderita oleh orang-orang lain. Senantiasa perlu baginya untuk beristirahat beberapa waktu lamanya sebelum melanjutkan kisah peristiwa-peristiwa Sengsara, pun tidak selalu ia dapat mengisahkan apa yang telah ia lihat, bahkan seringkali ia harus menghentikan kisahnya pada hari itu.

Sr Emmercik berada dalam keadaan menderita seperti itu pada hari Sabtu tanggal 8 Maret, dan dengan susah payah dan kesakitan menggambarkan penderaan Tuhan kita, yang ia lihat dalam penampakan malam sebelumnya, dan yang tampaknya tertanam dalam benaknya hampir sepanjang hari berikutnya. Tetapi, menjelang sore, sekonyong-konyong terjadi suatu perubahan, terjadi interupsi dalam rangkaian meditasi Sengsara yang belakangan ini susul-menyusul secara teratur. Kita akan menggambarkan interupsi ini, guna, pertama, memberikan kepada para pembaca suatu pemahaman yang lebih rinci mengenai kehidupan batin pribadi yang sangat luar biasa ini; dan kedua, guna memungkinkan para pembaca berhenti sejenak untuk mengistirahatkan pikiran, sebab aku tahu benar bahwa meditasi tentang Sengsara Tuhan kita melelahkan mereka yang lemah, bahkan meskipun mereka sadar bahwa demi keselamatan merekalah Ia menanggung sengsara dan wafat.

Kehidupan Sr Emmerick, dipandang dari segi spiritual maupun intelektualnya, senantiasa seirama dengan semangat Gereja pada masa-masa liturgi yang berbeda sepanjang tahun. Keserasian itu bahkan lebih kuat dari keserasian hidup alamiah manusia dengan musim-musim sepanjang tahun, atau dengan jam-jam dalam hari. Hal ini membuatnya menjadi (jika kita boleh mengungkapkannya) perwujudan nyata dari adanya, serta keanekaragaman intensi Gereja. Persatuannya dengan semangat Gereja begitu penuh, hingga segera sesudah suatu perayaan dimulai (yaitu sore hari), suatu perubahan yang sempurna terjadi atas dirinya, baik secara intelektual maupun spiritual. Segera sesudah matahari spiritual dari perayaan-perayaan Gereja ini terbenam, ia mengarahkan segenap akal budinya kepada apa yang akan terbit pada hari berikutnya, serta mengarahkan segenap doa, karya dan sengsaranya demi mendapatkan rahmat-rahmat istimewa yang terkandung dalam perayaan yang akan segera berlangsung, bagaikan tanaman yang menyerap titik embun dan yang bersukaria di bawah kehangatan dan terang sinar matahari pagi. Perubahan dalam dirinya ini, seperti yang dengan mudah dapat dilihat, tidak selalu terjadi tepat pada saat lonceng Angelus berdentang memaklumkan dimulainya suatu perayaan serta mengundang umat beriman untuk bersembah sujud; sebab lonceng ini seringkali, karena keacuhan ataupun kelalaian, dibunyikan pada waktu yang kurang tepat; tetapi perubahan-perubahan ini terjadi tepat pada saat suatu perayaan sungguh dimulai.

Jika Gereja merayakan suatu peristiwa sedih, Sr Emmerick tampak berduka, lemah dan nyaris tak berdaya; tetapi begitu perayaan suatu peristiwa gembira dimulai, baik jiwa maupun raganya hidup kembali, seolah disegarkan oleh embun-embun rahmat yang baru, dan ia tetap berada dalam keadaan tenang, damai dan bahagia, bebas dari segala bentuk penderitaan, hingga sore hari. Hal-hal ini terjadi dalam jiwanya di luar kehendaknya sendiri; tetapi, karena sejak ia masih muda benar telah memiliki semangat yang berkobar untuk taat kepada Yesus dan Gereja-Nya, Tuhan telah menganugerahkan kepadanya rahmat-rahmat istimewa ini yang memberinya fasilitas alamiah dalam mempraktekkan ketaatan. Segenap daya jiwanya diarahkan kepada Gereja, bagaikan sebatang tanaman, yang bahkan jika ditempatkan dalam ruang bawah yang gelap, secara alamiah akan mengarahkan daun-daunnya ke atas untuk mencari sinar.

Pada hari Sabtu, 8 Maret 1823, setelah matahari terbenam, Sr Emmerick dengan bersusah-payah menggambarkan peristiwa penderaan Tuhan kita, dan penulis beranggapan bahwa benaknya pastilah tenggelam dalam kontemplasi “Yesus dimahkota duri,” ketika sekonyong-konyong raut wajahnya, yang tadinya pucat dan kusut bagaikan seorang di ambang kematian, tiba-tiba bersinar dan tampak damai; ia berseru dengan nada membujuk, seolah berbicara kepada seorang anak kecil, “O, anak manis itu! Siapakah gerangan dia? - Sebentar, aku tanyakan padanya. Namanya Yosef. Ia menerobos di antara kerumunan orang banyak untuk datang kepadaku. Anak malang, ia tertawa; tidak mengerti sama sekali akan apa yang sedang terjadi. Alangkah tipis bajunya! Aku khawatir ia kedinginan, udara begitu dingin menggigit pagi ini. Sebentar, nak, biar kukenakan sesuatu padamu.” Setelah mengucapkan kata-kata ini dengan nada suara yang begitu wajar, hingga mustahil mereka yang ada di sana tidak melihat sekeliling dan berharap melihat seorang anak, ia mengambil sehelai baju yang ada di dekatnya, seperti yang akan dilakukan seorang yang baik hati yang hendak menghangatkan tubuh seorang anak malang yang menggigil kedinginan. Teman yang berdiri di samping ranjangnya tak punya cukup waktu untuk minta kepadanya menjelaskan kata-kata yang ia ucapkan itu, sehubungan dengan perubahan yang sekonyong-konyong terjadi, baik dalam penampilan maupun sikapnya, ketika pembantunya mengucapkan kata ketaatan - salah satu kaul dengan mana ia mempersembahkan dirinya kepada Tuhan kita. Segera ia tersadar kembali, dan bagaikan seorang anak yang taat terbangun dari suatu tidur yang pulas dan bersiap demi mendengar suara ibunya, ia mengulurkan tangannya, mengambil rosario dan salib yang senantiasa ada di sampingnya, merapikan pakaiannya, menggosok-gosok matanya, dan duduk. Ia lalu digendong dari pembaringannya ke sebuah kursi, sebab ia tak dapat berdiri ataupun berjalan. Karena waktu itu adalah saat merapikan tempat tidurnya, maka temannya pun meninggalkan kamar untuk menuliskan apa yang telah ia dengar sepanjang hari itu.

Pada hari Minggu, 9 Maret, sang teman bertanya kepada pembantunya apakah yang dimaksud Sr Emmerick sore sebelumnya ketika ia berbicara mengenai seorang anak bernama Yosef. Ia menjawab, “Ia berbicara lagi tentangnya berulang kali sepanjang sore kemarin. Yosef adalah putera sepupuku, dan merupakan anak kesayangannya. Aku khawatir kalau-kalau pembicaraannya yang begitu banyak tentang dia merupakan pertanda bahwa anak itu akan jatuh sakit, sebab berulang kali ia mengatakan bahwa anak malang itu hampir tanpa pakaian, dan pastilah ia kedinginan.”

Teman itu ingat kerap kali ia melihat Yosef kecil bermain di ranjang Sr Emmerick, dan ia beranggapan bahwa Sr Emmerick bermimpi tentang anak itu hari sebelumnya. Ketika teman itu pergi menjumpainya beberapa waktu kemudian pada hari itu guna berusaha mendapatkan lanjutan kisah Sengsara, ia mendapati Sr Emmerick, di luar dugaannya, tampak lebih tenang dan kelihatan lebih sehat dari hari sebelumnya. Sr Emmerick mengatakan bahwa ia tak melihat apa pun setelah penderaan Tuhan kita; dan ketika temannya menanyakan perihal apa yang ia katakan mengenai Yosef kecil, ia sama sekali tak ingat telah mangatakannya. Temannya kemudian menanyakan bagaimana ia tampak begitu tenang, damai dan kelihatan sehat, ia menjawab, “Aku selalu merasa begitu apabila Minggu Keempat Prapaskah tiba, sebab Gereja bersama Yesaya memadahkan dalam antifon pembukaan Misa, `Bersukacitalah bersama-sama Yerusalem, dan bersorak-soraklah karenanya, hai semua orang yang mencintainya! Bergiranglah bersama-sama dia segirang-girangnya, hai semua orang yang berkabung karenanya! supaya kamu mengisap dan menjadi kenyang dari susu yang menyegarkan kamu.' Karenanya, Minggu Keempat Prapaskah merupakan hari sukacita, dan mungkin engkau juga ingat bahwa dalam Injil hari ini, Gereja mengisahkan bagaimana Tuhan kita memberi makan lima ribu orang dengan lima ketul roti dan dua ekor ikan, dan potongan roti yang tersisa duabelas bakul banyaknya, sebab itu patutlah kita bersukacita.”

Sr Emmerick juga menambahkan bahwa Tuhan kita berkenan mengunjunginya hari itu dalam Komuni Kudus, dan bahwa ia senantiasa merasakan suatu penghiburan rohani istimewa apabila ia menerima-Nya pada hari istimewa tersebut. Temannya mengarahkan pandangannya pada kalender liturgi Keuskupan Münster dan mendapati bahwa pada hari itu mereka tidak saja merayakan Minggu Keempat Prapaskah, melainkan juga Pesta St. Yosef, bapa asuh Tuhan kita. Temannya tidak menyadari hal ini sebelumnya, sebab di tempat-tempat lain, Pesta St Yosef dirayakan pada tanggal 19 Maret; ia menyampaikan hal ini kepada Sr Emmerick dan bertanya apakah tak terpikir olehnya bahwa mungkin itulah sebabnya ia berbicara tentang St Yosef. Sr Emmerick menjawab ia tahu betul bahwa hari itu adalah pesta bapa asuh Yesus, tetapi ia tidak sedang memikirkan seorang anak dengan nama itu. Tetapi, sejenak kemudian, tiba-tiba ia teringat akan apa yang ada di benaknya sehari sebelumnya, dan menjelaskan kepada temannya bahwa saat Pesta St Yosef dimulai, penglihatannya akan peristiwa-peristiwa sedih Sengsara Yesus terhenti, digantikan oleh penglihatan-penglihatan yang sama sekali berbeda, di mana St Yosef menampakkan diri dalam rupa seorang anak kecil, dan kepadanyalah kata-kata yang kita ceritakan di atas ditujukan.

Kita ketahui bahwa apabila Sr Emmerick menerima komunikasi seperti ini, penglihatan seringkali dinyatakan dalam rupa seorang anak, teristimewa dalam perkara-perkara di mana seorang seniman biasa mempergunakan kiasan untuk mengungkapkan gagasannya. Jika, misalnya, penggenapan dari suatu nubuat Kitab Suci sedang diperlihatkan kepadanya, Sr Emmerick biasa melihat seorang anak di samping penglihatan tersebut; anak itu dengan jelas menunjukkan karakteristik pribadi atau nabi yang dimaksud, melalui jabatannya, jubahnya, dan cara bagaimana ia menggerak-gerakkan serta melambaikan tangannya, dan gulungan nubuat yang dilekatkan pada sebatang tongkat.

Terkadang, apabila ia sedang dalam kesakitan hebat, seorang anak yang elok parasnya, berpakaian hijau, dengan raut wajah tenang dan damai, akan datang, duduk di samping tempat tidurnya dalam sikap berserah diri kepada Allah, membiarkan dirinya diguncang-guncangkan, atau bahkan dihempaskan ke lantai, tanpa perlawanan sedikit pun, sambil terus menatap Sr Emmerick dengan penuh kasih serta menghiburnya. Apabila, ketika sedang terbaring tanpa daya karena penyakit dan penderitaan orang-orang lain yang ia tanggungkan atas dirinya, ia masuk dalam suatu komunikasi dengan seorang kudus, entah melalui keikutsertaannya dalam pesta orang kudus tersebut, atau melalui reliqui yang dibawakan kepadanya; terkadang ia melihat rangkaian peristiwa masa kanak-kanak orang kudus tersebut, dan di lain waktu peristiwa-peristiwa paling mengerikan dalam kemartirannya. Dalam penderitaannya yang paling dahsyat, biasanya ia dihibur, dinasehati, atau bahkan ditegur (tergantung situasi) melalui penampakan dalam rupa kanak-kanak. Terkadang, apabila sepenuhnya diliputi gelisah dan susah, ia akan tertidur, dan dalam imajinasi dihantar kembali pada peristiwa-peristiwa dan mara bahaya yang dialaminya saat kanak-kanak. Terkadang ia bermimpi, seperti tampak dari seruan dan gerak-gerik tubuhnya, bahwa ia kembali menjadi seorang gadis kecil desa berumur lima tahun, memanjat suatu pagar tanam-tanaman, tersangkut di belukar dan menangis ketakutan.

Penglihatan dari masa kanak-kanaknya selalu merupakan peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi, dan kata-kata yang meluncur dari mulutnya menyatakan apa yang ada dalam benaknya. Ia akan berseru (seolah mengulang perkataan orang lain), “Mengapa kau berteriak-teriak seperti itu?” “Aku tidak akan menahan pagar ini sampai engkau tenang dan memintanya dengan manis kepadaku.” Ia taat pada perintah ini semasa ia kanak-kanak dan tersangkut di pagar tanaman, dan ia tetap taat pada pola yang sama saat ia dewasa dan menderita pencobaan-pencobaan yang paling berat. Seringkali ia berbicara dan berkelakar mengenai pagar berduri itu, dan kesabaran serta doa yang diajarkan kepadanya, yang merupakan teguran di kehidupan selanjutnya, pengajaran yang seringkali dilalaikannya, tetapi yang tak pernah mengecewakannya apabila ia mengandalkannya. Peristiwa simbolis dari masa kanak-kanaknya ini dan juga dari tahun-tahun sesudah ia dewasa menunjukkan bahwa dalam pribadi manusia pada umumnya, mungkin didapati naluri kenabian. Tetapi, dalam pribadi tersebut, dan juga dalam pribadi umat manusia pada umumnya, dianugerahkan Naluri Ilahi dalam Pribadi Penebus kita, agar keduanya, dengan berjalan mengikuti langkah-Nya dan dengan bimbingan-Nya, dapat melampaui kodrat manusia dan mencapai kebijaksanaan sempurna serta kasih sejati terhadap Tuhan dan manusia. Dengan demikian terjadilah kehendak Tuhan di atas bumi seperti di dalam surga, dan bahwa kerajaan-Nya didapatkan oleh “orang-orang yang berkehendak baik.”

Kemudian ia menceritakan secara singkat penglihatan-penglihatan yang pada malam sebelumnya, saat dimulainya Pesta St. Yosef, menginterupsi penglihatan-penglihatannya akan Sengsara Kristus. 
 
 
 
Bersambung ...................
 
 
 
Sumber : “The Dolorous Passion of Our Lord Jesus Christ from the Meditations of Anne Catherine Emmerich”
“diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya”


 
 
 



Tidak ada komentar: