Senin, 30 Juni 2014

Beato Dionisius a Nativitate
& Beato Redemptus a Cruce

Martir Indonesia (ACEH)

 
 
 Tahukah Anda(dan kita semua) bahwa di bumi "Serambi Mekah" NAD, pernah tercurah darah para Martri Kristus? Martir-martir itu adalah Dionisius a Nativitate ( Nama Asli: Pierre Berthelot (Jr)) & Redemptus a Cruce ( Nama Asli: Thomas Rodriguez da Cunha). 
 
Siapakah Kedua martir ini?
 
Pierre Berthelot (Jr) dilahirkan di kota pelabuhan Honfleur, Calvados, Perancis, pada tanggal 12 Desember 1600. Ia adalah yang sulung dari sepuluh anak pasangan Pierre Berthelot (Sr) dan Fleurie Morin. Ayahnya seorang dokter dan kapten kapal.

Sejak usia duabelas tahun, Pierre telah mengikuti ayahnya mengarungi samudera luas. Pada tahun 1619, ketika usianya sembilanbelas tahun, Pierre yang telah menjadi seorang pelaut ulung ikut berlayar dalam suatu ekspedisi dagang Perancis ke India sebagai ahli navigasi. Malang, kapalnya diserang VOC Belanda dan ia dibawa sebagai tawanan ke Jawa. Setelah bebas, Pierre menetap di Malaka, di mana ia bekerja pada angkatan laut Portugis. Pierre seorang yang gagah berani dan jenius; karirnya begitu gemilang. Raja Portugis menyebutnya sebagai “ahli navigasi dan pembuat peta Asia” yang luar biasa. Peta-peta laut yang dibuatnya amat terkenal, antara lain peta pulau Sumatera yang hingga kini disimpan di Museum Inggris. Ekspedisi pelayaran kerap membawanya ke Goa, India, di mana ia berkenalan dengan Biara Karmel Tak Berkasut dengan kepala biaranya, P Philip dari Trinitas. Pada tahun 1634, ketika usianya tigapuluh empat tahun, Pierre meninggalkan karirnya untuk menggabungkan diri dalam Biara Karmel. Pada tanggal 25 Desember 1636, ia mengucapkan kaulnya dan menerima nama biara Dionisius a Nativitate. Dionisius mendapat karunia kontemplasi; pada lebih dari satu kesempatan, pada saat berdoa, ia tampak dilingkupi oleh semarak surgawi. Di Biara Karmel itulah, Dionisius bertemu dengan Redemptus a Cruce.

Thomas Rodriguez da Cunha, dilahirkan di Paredes, Portugal pada tahun 1598, putera dari pasangan petani yang miskin namun saleh. Ia masuk dinas ketentaraan Portugis dan ditugaskan ke India. Pada tahun 1615, Thomas meninggalkan karirnya untuk menggabungkan diri dalam Biara Karmel di Goa. Ia menjadi seorang broeder Karmel dengan nama Redemptus a Cruce, yang melayani sebagai portir [= penjaga pintu] dan sakristan. Redemptus adalah seorang yang amat menyenangkan, bersahabat dan periang. Ketika ditugaskan pergi dalam ekspedisi ke Sumatera, ia berkelakar dengan teman-teman sebiara agar mereka melukis dirinya, kalau-kalau ia nanti wafat sebagai martir.

Pada tahun 1638 Raja Muda Portugis di Goa, Peter da Silva, bermaksud mengirim utusan ke Aceh, yang baru saja berganti penguasa dari Sultan Iskandar Muda ke Sultan Iskandar Thani. Ia bermaksud menjalin hubungan persahabatan karena hubungannya dengan sultan terdahulu tidak begitu baik. Raja Muda meminta Karmelit untuk mengijinkan Dionisius ikut dalam rombongan delegasi sebagai pembimbing rohani, sekaligus sebagai ahli maritim, pula seorang yang fasih berbicara bahasa Melayu. Komunitas Karmel harus taat pada keputusan pemerintah. Karenanya, studi Dionisius dipercepat agar ia dapat ditahbiskan sebagai imam. Dan akhirnya, pada tanggal 24 Agustus 1638, Dionisius ditahbiskan menjadi imam oleh Mgr. Alfonso Mendez. Untuk perjalanan ke Aceh ini, P Dionisius minta ijin agar Broeder Redemptus diperkenankan ikut bersamanya sebagai rekan seperjalanan.

Pada tanggal 25 September 1638, Pater Dionisius dan Broeder Redemptus pun meninggalkan Goa bersama rombongan misi perdamaian dan perdagangan Portugis. Perjalanan yang lancar membawa mereka tiba dengan selamat di Aceh pada tanggal 25 Oktober 1638. Mereka berlabuh di Ole-Ole (sekarang bernama Kotaraja) dan disambut dengan ramah oleh penduduk setempat. Tetapi keramahan masyarakat Aceh ternyata hanya merupakan tipu-muslihat saja. Orang-orang Belanda telah menghasut Sultan Iskandar Thani dengan menyebarkan isu bahwa bangsa Portugis datang untuk mengkatolikkan bangsa Aceh yang sudah memeluk agama Islam. Sekonyong-konyong kedua biarawan ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara hingga sebulan lamanya. Karena tetap menolak untuk mengingkari iman, kedua biarawan dijatuhi hukuman mati. Di pesisir pantai, P Dionisius, dengan salib di tangannya, dipaksa menyaksikan mereka menggorok leher Redemptus yang lebih dulu menjadi martir. Selanjutnya, algojo yang beringas dengan sekuat tenaga menghunuskan kelewang dan tombak ke arah Dionisius. Tetapi sungguh ajaib, seolah ada suatu kekuatan dahsyat yang menahan, sehingga para algojo tidak berani maju. Sadar akan hal itu, P Dionisus segera mengatupkan kedua tangannya berdoa memohon kepada Tuhan agar kerinduannya menjadi seorang martir dikabulkan. Dan permohonan orang kudus ini didengarkan Tuhan. Seorang algojo - seorang Kristen Malaka yang murtad - mengangkat gada dan disambarkan keras-keras ke kepala P Dionisius, disusul dengan kelewang yang memisahkan kepala Dionisius dari tubuhnya.

Kemartiran Dionisius dan Redemptus sungguh berkenan di mata Tuhan. Selama tujuh bulan, jenazah tidak hancur, melainkan tetap segar seolah sedang tidur. Menurut saksi mata, jenazah P Dionisius amat merepotkan masyarakat sekitar, karena setiap kali dibuang, entah ke dalam laut maupun ke tengah hutan, senantiasa kembali lagi ke tempat di mana ia dimartir. Akhirnya, jenazah dengan hormat dimakamkan di Pulau Dien (`pulau buangan') dan di kemudian hari dipindahkan ke Goa, India. Para saksi iman itu wafat sebagai martir pada tanggal 29 Nopember 1638. Dionisius dan Redemptus dimaklumkan sebagai `beato' oleh Paus Leo XIII pada tanggal 10 Juni 1900. Pesta kedua biarawan Karmel ini dirayakan oleh segenap Karmelit pada tanggal 29 November. Di Indonesia, pesta B Dionisius dan B Redemptus dirayakan sebagai peringatan wajib setiap tanggal 1 Desember.
 
Sumber : yesaya.indocell 
 
 
 
 
 

Rabu, 11 Juni 2014


Paus Fransiskus: 
" Kita bisa tidak setia, tetapi Allah tidak bisa"


 
 

Berikut ini adalah terjemahan homili Paus Fransiskus pada Hari para Maria dalam Tahun Iman:
Dalam Mazmur kita berkata: “Nyanyikanlah bagi Tuhan nyanyian baru, karena Ia telah melakukan perbuatan-perbuatan yang ajaib” (Mzm 98:1).

Hari ini kita perhatikan satu dari perbuatan-perbuatan ajaib yang Tuhan telah lakukan: Maria! Seorang wanita yang rendah dan lemah seperti kita, dia dipilih menjadi Bunda Allah, Bunda dari Penciptanya.

Menilik Maria dalam terang bacaan-bacaan yang baru saja kita dengar, saya ingin merefleksikan dengan kalian pada tiga hal: pertama, Allah mengejutkan kita, ke-dua, Allah meminta kita untuk setia, dan ke-tiga, Allah adalah kekuatan kita.

1. Pertama: Allah mengejutkan kita. Kisah Naaman, panglima tentara raja Aram, adalah luar biasa. Agar disembuhkan dari penyakit kusta, ia berpaling menuju nabi Allah, Elisa, yang tidak melakukan sihir atau menuntut sesuatu yang tidak biasa darinya, tapi hanya meminta dia untuk percaya pada Allah dan untuk mandi di perairan sungai. Bukan di salah satu sungai besar di Damaskus, akan tetapi di sungai kecil dari sungai Yordan. Naaman dibiarkan terkejut, bahkan terperanjat. Allah macam apa ini yang meminta sesuatu sedemikian sederhana? Dia ingin berpaling pulang, tapi kemudian dia melanjutkan, dia menenggelamkan dirinya di Sungai Yordan dan langsung sembuh (lih. 2 Kg 5:1-4). Demikian adanya: Allah mengejutkan kita. Justru dalam kemiskinan, dalam kelemahan dan dalam kerendahan hati yang Ia nyatakan diri-Nya dan memberi kita kasih-Nya, yang menyelamatkan kita, menyembuhkan kita dan memberi kita kekuatan. Dia meminta kita hanya untuk mentaati firman-Nya dan percaya kepadaNya.

Berikut ini adalah pengalaman Perawan Maria. Saat mendapat kabar dari malaikat, dia tidak menyembunyikan rasa terkejutnya. Ini adalah ketakjuban dari perwujudan bahwa Allah, menjadi manusia, telah memilih dia, seorang gadis sederhana dari Nazaret. Bukan seseorang yang tinggal di sebuah istana di tengah kekuasaan dan kekayaan, atau seseorang yang telah melakukan hal-hal yang luar biasa, melainkan hanya seseorang yang terbuka kepada Allah dan menaruh kepercayaannya dalam Dia, bahkan tanpa memahami segalanya: “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu”(Luk 1:38). Itulah jawabannya. Tuhan terus mengejutkan kita, ia meledakkan kategori-kategori kita, Dia membuat kekacauan dengan rencana-rencana kita. Dan Dia katakan kepada kita: Percayalah, jangan takut, biarkan diri kalian dikejutkan, biarkan diri kalian di belakang dan ikuti Aku!

Hari ini mari kita semua bertanya pada diri sendiri apakah kita takut akan apa yang Allah mungkin minta, atau akan apa yang Dia sesungguhnya minta. Apakah aku membiarkan diriku dikejutkan oleh Allah, seperti halnya Maria, atau apakah aku tetap terjebak dalam zona aman-ku sendiri: dalam bentuk-bentuk materi, keamanan intelektual atau ideologis, yang berlindung dalam proyek-proyek dan rencana-rencanaku sendiri? Apakah aku benar-benar membiarkan Allah ke dalam hidupku? Bagaimana aku menjawabnya?

2. Dalam kutipan pendek dari Santo Paulus yang telah kita dengar, Rasul itu memberitahu muridnya Timotius: Ingatlah Yesus Kristus; jika kita bertahan dengan Dia, kita juga akan ikut memerintah dengan Dia (lih. 2 Tim 2:8-13). Hal ini adalah hal kedua: mengingat Kristus selalu – menjadi penuh perhatian akan Yesus Kristus – dan dengan demikian bertekun dalam iman. Allah mengejutkan kita dengan kasih-Nya, tetapi Ia menuntut agar kita setia dalam mengikutiNya. Kita bisa tidak setia, tapi Dia tidak bisa: Dia adalah “Yang setia” dan Ia menuntut kita kesetiaan yang sama itu. Pikirkan semua saat-saat ketika kita bersemangat tentang sesuatu atau yang lain, beberapa inisiatif, beberapa tugas, tapi setelah itu, pada tanda kesulitan pertama, kita mengaku kalah. Sayangnya, hal ini juga terjadi dalam kasus keputusan-keputusan mendasar, seperti misalnya pernikahan. Yang adalah kesulitan untuk tetap teguh, setia kepada keputusan-keputusan yang telah kita buat dan kepada komitmen-komitmen yang telah kita buat. Seringkali cukup mudah untuk mengatakan “ya”, tapi kemudian kita gagal untuk mengulang “ya” ini setiap hari dan sehari-harinya. Kita gagal untuk setia.

Maria telah berkata “ya”-nya kepada Allah: sebuah “ya” yang menghabiskan kehidupannya yang sederhana di Nazaret ke dalam kekacauan, dan tidak hanya sekali. Beberapa kali dia telah ucapkan “ya”-nya yang tulus pada saat-saat suka dan duka, yang berpuncak dalam “ya”-nya dia telah tunjukkan di kaki Salib. Di sini saat ini ada banyak ibu-ibu yang hadir; ingatlah segenap kesetiaan Maria kepada Allah: yang melihat Putra Tunggalnya tergantung di kayu Salib. Wanita setia itu, masih berdiri, benar-benar hancur hati, namun setia dan kuat.

Dan saya bertanya pada diri sendiri: Apakah aku seorang Kristen secara tak beraturan [secocok dan sesukanya], ataukah aku seorang Kristen penuh waktu? Budaya kefanaan kita, relativitas itu, juga menelan korban pada cara kita menjalani iman kita. Allah meminta kita untuk setia kepadaNya, sehari-hari, dalam kehidupan sehari-hari kita. Dia terus mengatakan itu, sekalipun kita kadang-kadang tidak setia kepadaNya, Dia tetap setia. Dalam belas kasihan-Nya, Dia tidak pernah lelah merentangkan tangan-Nya untuk mengangkat kita, mendorong kita untuk melanjutkan perjalanan kita, untuk kembali dan menceritakan kepadaNya akan kelemahan kita, sehingga Dia dapat memberikan kita kekuatan-Nya. Hal ini adalah perjalanan yang nyata: berjalan bersama Tuhan selalu, juga pada saat-saat lemah, juga dalam dosa-dosa kita. Jangan pernah lebih menyukai jalan pintas kita sendiri. Yang membunuh kita. Iman adalah dasar kesetiaan, seperti kesetiaan Maria.

3. Hal terakhir: Allah adalah kekuatan kita. Saya mengingat sepuluh orang kusta di Injil yang disembuhkan oleh Yesus. Mereka mendekatiNya dan, menjaga jarak mereka, mereka berteriak: “Yesus, Guru, kasihanilah kami!” (Luk 17:13). Mereka sakit, mereka membutuhkan kasih dan kekuatan, dan mereka sedang mencari seseorang untuk menyembuhkan mereka. Yesus menanggapi dengan membebaskan mereka dari penyakit mereka. Dengan cara yang menyolok, namun hanya salah satu dari mereka datang kembali, memuliakan Allah dan bersyukur kepadaNya dengan suara keras. Yesus memperhatikan hal ini: sepuluh [orang]telah meminta untuk disembuhkan dan hanya satu [orang]yang kembali untuk memuji Allah dengan suara keras dan mengakui bahwa Dia adalah kekuatan kita. Mengetahui bagaimana untuk bersyukur, untuk memberikan pujian atas segala sesuatu yang telah Tuhan telah lakukan bagi kita.

Mengutip Maria. Setelah Kabar Gembira, tindakan pertamanya adalah satu dari kebaikan hati menuju kakak perempuan sanak keluarganya, Elizabeth. Kata-kata pertamanya adalah: “Jiwaku memuliakan Tuhan”, dengan kata lain, sebuah lagu pujian dan syukur kepada Allah tidak hanya untuk apa yang Dia lakukan untuknya, tetapi untuk apa yang Dia telah lakukan sepanjang sejarah keselamatan itu. Semuanya adalah karunia-Nya. Jika kita dapat menyadari bahwa segala sesuatu adalah karunia Allah, betapa bahagianya hati kita! Semuanya adalah karunia-Nya. Dia adalah kekuatan kita! Mengatakan “terima kasih ” adalah semacam hal yang mudah, dan belum begitu sulit! Seberapa sering kita katakan “terima kasih” kepada satu sama lain dalam keluarga kita? Kata-kata ini penting bagi kehidupan kita bersama. “Maaf”, “permisi”, ” terima kasih”. Jika keluarga-keluarga bisa mengatakan tiga hal ini, mereka akan baik-baik saja. “Maaf”, “permisi”, “terima kasih”. Seberapa sering kita katakan “terima kasih” dalam keluarga kita ? Seberapa sering kita katakan “terima kasih” kepada mereka yang membantu kita, mereka yang dekat dengan kita, mereka yang berada di sisi kita sepanjang hidup? Terlalu sering kita menganggap segala sesuatu sudah semestinya! Hal ini terjadi dengan Allah juga. Sangat mudah untuk mendekati Tuhan untuk meminta akan sesuatu, tapi untuk pergi dan bersyukur padaNya: ” Yah, aku tidak perlu”.

Sambil kita melanjutkan perayaan Ekaristi kita, marilah kita memohon perantaraan Maria. Semoga ia membantu kita untuk terbuka akan kejutan Allah, untuk menjadi setia kepadaNya setiap hari dan sehari-harinya, dan untuk memuji dan bersyukur padaNya, karena Dia adalah kekuatan kita. Amin.
 
 
Sumber :  katolisitas.org
 
 

Jika sudah diberi “Penolong”, sudahkah kita menghargainya?
 
 

[Hari Minggu Paskah ke VI: Kis 8: 5-8,14-17; Mzm 66:1-20; 1Pet 3:15-18; Yoh 14:15-21]

Siapa sih, yang kalau sedang butuh pertolongan tidak ingin ditolong? Kita semua senang ditolong, dan Tuhan mengetahui bahwa kita membutuhkan pertolongan. Oleh karena itu, Tuhan Yesus menjanjikan Penolong yang akan terus menyertai kita, ketika Ia harus beralih dari kehidupan sebagai manusia di dunia ini. Sang Penolong itu telah diutus kepada kita, yang percaya kepada-Nya .

Bacaan Injil pada hari ini mengingatkan kita akan janji Tuhan Yesus itu. Tuhan Yesus menghendaki agar kita bertumbuh dalam kasih dan menuruti segala perintah-Nya, agar kelak kita dapat sampai kepada kehidupan kekal di Surga. Namun, Tuhan mengetahui bahwa akan sangat sulit bagi kita untuk melakukan kehendak-Nya itu, jika Ia sendiri tidak memampukan kita. Bukankah cukup sulit bagi kita untuk berbuat yang benar dan jujur, jika orang-orang di sekitar kita mencemooh kita? Bukankah tak mudah bagi kita untuk terus mengasihi dan mengampuni? Memang, jika kita mengandalkan kekuatan sendiri, akan mustahil bagi kita untuk melaksanakan perintah Tuhan. Itulah sebabnya, Tuhan Yesus memberikan Roh Kudus yang adalah Roh Kebenaran dan Kasih itu, untuk memampukan kita. Ini seumpama orang tua yang memberikan kemampuan dan modal yang cukup kepada anak-anaknya, agar mereka dapat melakukan usaha dengan baik. Atau, seumpama guru yang meneruskan seluruh ilmu dan kemampuannya kepada anak-anak didiknya. Sekarang tergantung kepada tanggapan anak-anak itu sendiri: sejauh mana mereka mau menggunakan kemampuan dan modal yang sudah diberikan oleh orang tua dan guru mereka itu agar sukses dalam usaha dan studi mereka.

Sungguh, Tuhan Yesus telah melakukan sesuatu yang jauh melampaui apa yang diberikan oleh orang tua dan guru yang baik itu. Kristus telah memberikan segala-galanya kepada kita semua para murid-Nya. Setelah menyerahkan nyawa-Nya bagi kita, Ia tidak meninggalkan kita sebagai yatim piatu (lih. Yoh 14:18). Ia selalu menyertai kita dengan Roh Kudus-Nya sendiri yang berdiam di dalam kita (Yoh 14:17). Ya, Tuhan berdiam di dalam kita. Betapa kita perlu meresapkan perkataan ini. Bukankah bagi orang yang saling mengasihi, hal yang terpenting adalah kebersamaan dengan orang yang dikasihi? Allah telah melakukannya untuk kita! Katekismus Gereja Katolik mengajarkan bahwa secara khusus, melalui sakramen- sakramen Gereja kita menerima kuasa Roh Kudus yang tetap hidup dan menghidupkan kita sebagai murid-murid Kristus (lih. KGK 1116). Melalui sakramen- sakramen itulah, kita menerima kepenuhan hidup di dalam Yesus; dan oleh kuasa Roh Kudus-Nya kita dibimbing kepada seluruh kebenaran yang dijanjikan oleh Kristus itu (lih. KGK 1117).

Belum lama ini kita membaca berita, bahwa Ulf Ekman, seorang pendeta yang mendirikan sekolah Alkitab terbesar di Skandinavia, memutuskan untuk menjadi Katolik. Sekolah itu berperan dalam mendirikan lebih dari 1000 gereja di Rusia. Tentu pergumulan yang dilalui Ekman dan istrinya sebelum memutuskan hal ini, tidaklah kecil. Mereka siap menerima segala konsekuensi dari keputusan mereka, termasuk menjelaskannya kepada sekitar 3,300 orang jemaat yang dipimpinnya selama 30 tahun; dan bahwa dengan menjadi Katolik, Ekman tidak lagi dapat menerima apa-apa yang tadinya menjadi haknya semasa menjadi pendeta di kongregasi tersebut. Namun semua ini mereka tempuh, sebab mereka merindukan kepenuhan janji Tuhan yang mereka sadari ada dalam Gereja Katolik. Kehidupan sakramen, kesatuan dan otoritas kepemimpinan Gereja, itulah yang mendorong Ekman dan istrinya untuk bergabung dalam Gereja Katolik. Mereka rindu untuk menerima kepenuhan pertolongan rahmat Tuhan untuk menjalani kehidupan sebagai seorang murid Kristus. Telah bertahun-tahun lamanya mereka membawa pergumulan ini dalam doa-doa dan permenungan akan firman Tuhan, dan baru pada tahun inilah mereka mewujudkannya. “Saya memerlukan, kita semua memerlukan, apa yang Tuhan sudah berikan kepada Gereja Katolik untuk hidup sepenuhnya sebagai umat Kristen. Itulah sebabnya, mengapa kami mau menjadi Katolik”, demikian ujar Ekman.

Semoga kisah singkat seorang Ulf Ekman, dapat membuka mata hati kita, untuk semakin menghargai kepenuhan sarana keselamatan yang Tuhan sudah berikan di dalam Gereja Katolik, yang melaluinya Allah berdiam dan tinggal di dalam kita. Roh Kudus, Sang Penolong itu, telah diberikan Allah dalam Gereja-Nya, untuk membantu kita hidup dalam kebenaran dan kasih. Kini pertanyaannya adalah: sudahkah kita menyadarinya, merindukannya dan menghargainya? 
 
 
Sumber : katolisitas.org
 
 

Paus Fransiskus: Berapa banyak ibu yang meneteskan air mata agar anak – anak mereka kembali kepada Kristus? 
 
paus fransiskus tersenyum lebar




Berikut ini adalah terjemahan homili Paus Fransiskus saat membuka Sidang Umum ordo Agustinian:
“Engkau telah menciptakan kami bagi diri-Mu, dan hati kami gelisah, sampai ia beristirahat di dalam Engkau” (Pengakuan-pengakuan, 1, 1, 1). Dengan kata-kata yang terkenal ini St Agustinus menyapa (merujuk kepada) Allah dalam Pengakuan-pengakuan imannya, dan kata-kata ini meringkas seluruh kehidupannya.

“Kegelisahan”: kata ini berkesan bagi saya dan membuat saya berpikir. Saya ingin memulai dengan sebuah pertanyaan: Kegelisahan mendasar apakah yang Agustinus jalani dalam hidupnya? Atau mungkin saya harus katakan: Jenis kegelisahan apakah yang orang agung dan suci ini minta kepada kita untuk bangkit dan untuk terus hidup dalam keberadaan kita sendiri? Saya mengusulkan tiga jenis ini: kegelisahan pencarian yang rohani, kegelisahan perjumpaan dengan Allah, kegelisahan kasih.

1. Yang pertama: kegelisahan pencarian yang rohani. Agustinus menjalani pengalaman hidup yang cukup umum seperti masa kini: yang cukup umum di antara orang-orang muda saat ini. Ia dibesarkan dalam iman Kristiani oleh ibunya, Monika, meskipun ia tidak menerima baptisan. Namun, saat ia tumbuh dewasa ia jatuh menjauh dari iman, yang gagal untuk menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya, keinginan-keinginan hatinya, dan tertarik dengan ide-ide lainnya. Dia kemudian bergabung dengan sekelompok kaum Manichaean [red-kepercayaan pada suatu dualisme agama sinkretis di Persia pada abad ke-tiga AD yang mengajarkan pelepasan roh dari materi melalui asketisme/pertapaan], mengabdikan diri dengan rajin pada studinya, tidak meluangkan waktu untuk kesenangan hura-hura, tontonan pertunjukan di masanya itu dan persahabatan-persahabatan yang erat. Ia telah mengalami cinta yang kuat dan memiliki karir yang cemerlang sebagai guru retorika hingga bahkan membawa dia ke istana kekaisaran di Milan. Agustinus adalah seorang pria yang telah “berhasil”, dia punya segalanya. Namun demikian, hatinya masih merindukan makna mendalam kehidupan; hatinya tidak dapat diatasi dengan tidur. Saya boleh katakan seperti hal yang tidak terbius oleh keberhasilan, oleh harta benda, atau oleh kekuasaan. Agustinus tidak menarik ke dalam dirinya sendiri, ia tidak tinggal diam, ia terus melanjutkan usahanya mencari kebenaran, makna hidup. Dia terus mencari wajah Allah. Tentu saja dia telah berbuat kesalahan, ia telah mengambil pilihan-pilihan yang salah, ia telah berdosa, ia adalah seorang pendosa. Namun dia telah memelihara kegelisahan pencarian yang rohani itu. Dengan cara ini dia menemukan bahwa Allah sedang menunggunya, dan memang, bahwa Ia tidak pernah berhenti untuk menjadi yang lebih dulu untuk mencari dia. Saya ingin beritahu mereka yang merasa acuh tak acuh terhadap Allah, terhadap iman, dan mereka yang jauh dari Allah atau yang telah menjauhkan diri dari-Nya, bahwa kita juga, dengan sikap kita yang “menjauhkan” dan “meninggalkan” Allah, yang mungkin nampaknya tidak signifikan tetapi begitu banyak dalam kehidupan kita sehari-hari: lihatlah ke dalam lubuk hati kalian, lihat ke dalam batin milik kalian dan tanyakan pada diri sendiri: apakah kalian memiliki hati yang menginginkan sesuatu yang besar, atau hati yang telah terbuai tidur oleh harta benda? Apakah hati kalian telah memelihara kegelisahan pencarian itu atau apakah kalian telah membiarkan itu tercekik oleh harta benda yang berakhir dengan memperkerasnya? Allah menantikan kalian, Ia mencari kalian; bagaimana kalian menanggapinya? Apakah kalian menyadari situasi jiwa kalian? Atau apakah kalian telah tertidur? Apakah kalian percaya bahwa Allah sedang menunggu kalian atau apakah kebenaran ini hanyalah “kata-kata” saja?

2. Dalam diri Agustinus kegelisahan yang luar biasa dalam hatinya inilah yang telah menyadarkan dia kepada sebuah perjumpaan pribadi dengan Kristus, telah membawa dia untuk memahami bahwa Allah yang jauh yang sedang dia cari adalah Allah yang dekat dengan setiap manusia, Allah dekat dengan hati kita, yang “lebih dalam lagi daripada diriku yang terdalam” (cf. ibid. III, 6, 11). Namun bahkan dalam penemuan dan perjumpaannya dengan Allah, Agustinus tidak berhenti, dia tidak menyerah, dia tidak menarik diri ke dalam dirinya sendiri seperti mereka yang telah sampai, tetapi terus melanjutkan pencariannya. Kegelisahan akan pencarian kebenaran, akan pencarian Allah, telah menjadi kegelisahan untuk mengenal Dia semakin lebih baik dan mengetahui yang keluar dari Diri-Nya untuk membuat orang lain mengenal Dia. Justru itu adalah kegelisahan kasih. Dia telah menginginkan sebuah kehidupan yang penuh damai dari belajar dan berdoa tapi Allah memanggilnya untuk menjadi Pastor di Hippo, dalam sebuah periode yang sulit, dengan sebuah komunitas yang terpecah-belah dan perang di pintu-pintu gerbang. Dan Agustinus membiarkan Allah membuatnya gelisah, ia tidak pernah lelah mewartakan Dia, melakukan evangelisasi dengan keberanian dan tanpa rasa takut, ia telah berusaha untuk menjadi gambaran Yesus Gembala yang Baik yang mengenali domba-domba-Nya (bdk. Yoh 10:14). Memang, sebagaimana saya ingin katakan ulang, ia “telah mengenali bau domba-dombanya”, dan pergi keluar untuk mencari mereka yang telah menyimpang. Agustinus menjalani hidup sebagaimana St Paulus telah instruksikan kepada Timotius dan masing-masing dari kita: ia mewartakan Sabda, dia berjuang keras sepanjang musim yang terus berganti, ia menyatakan Injil dengan hati yang murah hati, dengan hati yang besar (lih. 2 Tim 4:2), hati seorang Pastor yang cemas akan domba-dombanya. Harta karun Agustinus adalah sikap yang luar biasa ini: yang selalu pergi menuju Allah, yang selalu keluar menuju kawanan itu…. Dia adalah orang yang secara konstan merentangkan diri di antara kutub-kutub ini; tidak pernah “memprivatisasi” kasih … selalu melakukan perjalanan! Selalu berada dalam perjalanan, kata Bapa. Juga untuk kalian, selalulah siaga!

Dan hal ini merupakan kedamaian dari kegelisahan. Kita mungkin bertanya pada diri kita sendiri: apakah aku cemas bagi Allah, cemas untuk mewartakanNya, untuk membuatNya dikenal? Atau apakah aku mengijinkan keduniawian yang rohani itu untuk memikatku yang mendorong orang-orang untuk melakukan segalanya demi kasih mereka sendiri? Kita telah mengkonsekrasikan orang-orang dengan berpikir tentang kepentingan-kepentingan pribadi kita, tentang fungsi-fungsi pekerjaan kita, karir-karir kita. Eh! Kita bisa berpikir tentang banyak hal …. Apakah aku, demikian dikatakan, “telah membuat diriku sendiri ‘nyaman’” dalam kehidupan Kristianiku, dalam kehidupan imamatku, dalam kehidupan beragamaku, dan juga dalam kehidupan komunitasku? Atau apakah aku mempertahankan kekuatan kegelisahan itu bagi Allah, karena Firman-Nya yang membuat aku “melangkah keluar” dari diriku sendiri terhadap orang lain?

3. Dan mari kita datang pada jenis terakhir dari kegelisahan itu, kecemasan kasih itu. Di sini saya tidak bisa tidak melihat ibu itu: Monika ini! Berapa banyak air mata yang perempuan kudus itu telah tumpahkan demi pertobatan puteranya! Dan saat ini juga berapa banyak ibu-ibu yang meneteskan air mata agar anak-anak mereka akan kembali kepada Kristus! Jangan kehilangan pengharapan dalam rahmat Allah! Dalam Pengakuan-pengakuan kita membaca kalimat ini bahwa seorang uskup berkata kepada St Monika yang meminta dia untuk membantu puteranya menemukan jalan kepada iman: “itu tidaklah mungkin bahwa putera dari begitu banyak air mata harus binasa” (III, 12, 21). Setelah pertobatannya, Agustinus sendiri, yang ditujukan kepada Allah, menulisnya: “Ibuku, orang setia-Mu, menangis di hadapan-Mu melebihi dari pada ibu-ibu yang biasa menangisi kematian badani anak-anak mereka” (ibid, III, 11, 19). Seorang wanita yang gelisah, wanita ini yang pada akhir hidupnya mengucapkan kata-kata yang indah ini: “cumulatius hoc Mihi Deus praestitit!” [Tuhan telah mengganjar pengharapanku dengan berlimpah-limpah] (ibid., IX, 10, 26). Allah dengan boros telah mengabulkan permintaannya yang penuh dengan air mata! Dan Agustinus adalah pewaris Monika, darinya ia telah menerima benih kegelisahan itu. Ini, kemudian, merupakan kegelisahan kasih: yang tak henti-hentinya mencari kebaikan dari yang lain, dari yang dikasihinya, yang tanpa pernah berhenti dan dengan intensitas yang menuntun bahkan sampai mengeluarkan air mata. Lalu saya berpikir tentang Yesus yang menangis di makam sahabat-Nya, Lazarus; tentang Petrus yang, setelah menyangkal Yesus, menjumpai tatapan-Nya penuh belas kasihan dan kasih, menangis getir, dan tentang ayah yang menantikan di teras akan kedatangan kembali puteranya dan ketika ia sudah melihat dia yang masih jauh berjalan untuk menemuinya; Perawan Maria terlintas dalam pikiran dengan penuh kasih yang mengikuti Putranya Yesus bahkan ke kayu Salib. Apakah kita merasakan kegelisahan kasih itu? Apakah kita percaya pada kasih bagi Allah dan bagi orang lain? Atau kita tidak peduli dengan hal ini? Bukan dengan cara yang abstrak, tidak hanya dalam kata-kata, tetapi sebagai seorang saudara yang nyata kepada mereka yang kita temui, saudara yang berada di samping kita! Apakah kita digerakkan oleh kebutuhan-kebutuhan mereka atau kita tetap tertutup pada diri kita sendiri, dalam komunitas-komunitas kita yang seringnya adalah “komunitas-komunitas yang berguna” bagi kita? Pada saat kita bisa hidup dalam sebuah gedung tanpa mengenal tetangga sebelah kita; atau kita bisa berada dalam sebuah komunitas tanpa benar-benar mengenali saudara kita sendiri: Saya berpikir sedih dengan orang-orang yang dikonsekrasikan itu yang adalah “perjaka-perjaka tua” yang tidak subur. Kegelisahan kasih selalu sebuah insentif [dorongan semangat]untuk pergi ke arah lain, tanpa menunggu yang lain untuk mewujudkan kebutuhannya. Kegelisahan kasih memberi kita karunia produktivitas pastoral, dan kita harus bertanya kepada diri kita sendiri, masing-masing dari kita: apakah kesuburan rohaniku sehat, apakah kerasulanku subur?

Mari kita mohon Tuhan untuk kalian, para Agustinian terkasih yang sedang memulai Sidang Umum kalian, dan untuk semua dari kita, agar Dia tetap menghidupi dalam hati kita kegelisahan yang rohani yang mendorong kita untuk mencari Dia selalu, kegelisahan untuk mewartakan Dia dengan berani, kegelisahan kasih bagi setiap saudara dan saudari. Maka jadilah itu.
(AR)

Paus Fransiskus,
Basilika St Agustinus, Campo Marzio, Roma, 28 Agustus 2013

Diterjemahkan dari: www.vatican.va

Sumber katolisitas.org