Rabu, 11 Juni 2014


Paus Fransiskus: 
" Kita bisa tidak setia, tetapi Allah tidak bisa"


 
 

Berikut ini adalah terjemahan homili Paus Fransiskus pada Hari para Maria dalam Tahun Iman:
Dalam Mazmur kita berkata: “Nyanyikanlah bagi Tuhan nyanyian baru, karena Ia telah melakukan perbuatan-perbuatan yang ajaib” (Mzm 98:1).

Hari ini kita perhatikan satu dari perbuatan-perbuatan ajaib yang Tuhan telah lakukan: Maria! Seorang wanita yang rendah dan lemah seperti kita, dia dipilih menjadi Bunda Allah, Bunda dari Penciptanya.

Menilik Maria dalam terang bacaan-bacaan yang baru saja kita dengar, saya ingin merefleksikan dengan kalian pada tiga hal: pertama, Allah mengejutkan kita, ke-dua, Allah meminta kita untuk setia, dan ke-tiga, Allah adalah kekuatan kita.

1. Pertama: Allah mengejutkan kita. Kisah Naaman, panglima tentara raja Aram, adalah luar biasa. Agar disembuhkan dari penyakit kusta, ia berpaling menuju nabi Allah, Elisa, yang tidak melakukan sihir atau menuntut sesuatu yang tidak biasa darinya, tapi hanya meminta dia untuk percaya pada Allah dan untuk mandi di perairan sungai. Bukan di salah satu sungai besar di Damaskus, akan tetapi di sungai kecil dari sungai Yordan. Naaman dibiarkan terkejut, bahkan terperanjat. Allah macam apa ini yang meminta sesuatu sedemikian sederhana? Dia ingin berpaling pulang, tapi kemudian dia melanjutkan, dia menenggelamkan dirinya di Sungai Yordan dan langsung sembuh (lih. 2 Kg 5:1-4). Demikian adanya: Allah mengejutkan kita. Justru dalam kemiskinan, dalam kelemahan dan dalam kerendahan hati yang Ia nyatakan diri-Nya dan memberi kita kasih-Nya, yang menyelamatkan kita, menyembuhkan kita dan memberi kita kekuatan. Dia meminta kita hanya untuk mentaati firman-Nya dan percaya kepadaNya.

Berikut ini adalah pengalaman Perawan Maria. Saat mendapat kabar dari malaikat, dia tidak menyembunyikan rasa terkejutnya. Ini adalah ketakjuban dari perwujudan bahwa Allah, menjadi manusia, telah memilih dia, seorang gadis sederhana dari Nazaret. Bukan seseorang yang tinggal di sebuah istana di tengah kekuasaan dan kekayaan, atau seseorang yang telah melakukan hal-hal yang luar biasa, melainkan hanya seseorang yang terbuka kepada Allah dan menaruh kepercayaannya dalam Dia, bahkan tanpa memahami segalanya: “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu”(Luk 1:38). Itulah jawabannya. Tuhan terus mengejutkan kita, ia meledakkan kategori-kategori kita, Dia membuat kekacauan dengan rencana-rencana kita. Dan Dia katakan kepada kita: Percayalah, jangan takut, biarkan diri kalian dikejutkan, biarkan diri kalian di belakang dan ikuti Aku!

Hari ini mari kita semua bertanya pada diri sendiri apakah kita takut akan apa yang Allah mungkin minta, atau akan apa yang Dia sesungguhnya minta. Apakah aku membiarkan diriku dikejutkan oleh Allah, seperti halnya Maria, atau apakah aku tetap terjebak dalam zona aman-ku sendiri: dalam bentuk-bentuk materi, keamanan intelektual atau ideologis, yang berlindung dalam proyek-proyek dan rencana-rencanaku sendiri? Apakah aku benar-benar membiarkan Allah ke dalam hidupku? Bagaimana aku menjawabnya?

2. Dalam kutipan pendek dari Santo Paulus yang telah kita dengar, Rasul itu memberitahu muridnya Timotius: Ingatlah Yesus Kristus; jika kita bertahan dengan Dia, kita juga akan ikut memerintah dengan Dia (lih. 2 Tim 2:8-13). Hal ini adalah hal kedua: mengingat Kristus selalu – menjadi penuh perhatian akan Yesus Kristus – dan dengan demikian bertekun dalam iman. Allah mengejutkan kita dengan kasih-Nya, tetapi Ia menuntut agar kita setia dalam mengikutiNya. Kita bisa tidak setia, tapi Dia tidak bisa: Dia adalah “Yang setia” dan Ia menuntut kita kesetiaan yang sama itu. Pikirkan semua saat-saat ketika kita bersemangat tentang sesuatu atau yang lain, beberapa inisiatif, beberapa tugas, tapi setelah itu, pada tanda kesulitan pertama, kita mengaku kalah. Sayangnya, hal ini juga terjadi dalam kasus keputusan-keputusan mendasar, seperti misalnya pernikahan. Yang adalah kesulitan untuk tetap teguh, setia kepada keputusan-keputusan yang telah kita buat dan kepada komitmen-komitmen yang telah kita buat. Seringkali cukup mudah untuk mengatakan “ya”, tapi kemudian kita gagal untuk mengulang “ya” ini setiap hari dan sehari-harinya. Kita gagal untuk setia.

Maria telah berkata “ya”-nya kepada Allah: sebuah “ya” yang menghabiskan kehidupannya yang sederhana di Nazaret ke dalam kekacauan, dan tidak hanya sekali. Beberapa kali dia telah ucapkan “ya”-nya yang tulus pada saat-saat suka dan duka, yang berpuncak dalam “ya”-nya dia telah tunjukkan di kaki Salib. Di sini saat ini ada banyak ibu-ibu yang hadir; ingatlah segenap kesetiaan Maria kepada Allah: yang melihat Putra Tunggalnya tergantung di kayu Salib. Wanita setia itu, masih berdiri, benar-benar hancur hati, namun setia dan kuat.

Dan saya bertanya pada diri sendiri: Apakah aku seorang Kristen secara tak beraturan [secocok dan sesukanya], ataukah aku seorang Kristen penuh waktu? Budaya kefanaan kita, relativitas itu, juga menelan korban pada cara kita menjalani iman kita. Allah meminta kita untuk setia kepadaNya, sehari-hari, dalam kehidupan sehari-hari kita. Dia terus mengatakan itu, sekalipun kita kadang-kadang tidak setia kepadaNya, Dia tetap setia. Dalam belas kasihan-Nya, Dia tidak pernah lelah merentangkan tangan-Nya untuk mengangkat kita, mendorong kita untuk melanjutkan perjalanan kita, untuk kembali dan menceritakan kepadaNya akan kelemahan kita, sehingga Dia dapat memberikan kita kekuatan-Nya. Hal ini adalah perjalanan yang nyata: berjalan bersama Tuhan selalu, juga pada saat-saat lemah, juga dalam dosa-dosa kita. Jangan pernah lebih menyukai jalan pintas kita sendiri. Yang membunuh kita. Iman adalah dasar kesetiaan, seperti kesetiaan Maria.

3. Hal terakhir: Allah adalah kekuatan kita. Saya mengingat sepuluh orang kusta di Injil yang disembuhkan oleh Yesus. Mereka mendekatiNya dan, menjaga jarak mereka, mereka berteriak: “Yesus, Guru, kasihanilah kami!” (Luk 17:13). Mereka sakit, mereka membutuhkan kasih dan kekuatan, dan mereka sedang mencari seseorang untuk menyembuhkan mereka. Yesus menanggapi dengan membebaskan mereka dari penyakit mereka. Dengan cara yang menyolok, namun hanya salah satu dari mereka datang kembali, memuliakan Allah dan bersyukur kepadaNya dengan suara keras. Yesus memperhatikan hal ini: sepuluh [orang]telah meminta untuk disembuhkan dan hanya satu [orang]yang kembali untuk memuji Allah dengan suara keras dan mengakui bahwa Dia adalah kekuatan kita. Mengetahui bagaimana untuk bersyukur, untuk memberikan pujian atas segala sesuatu yang telah Tuhan telah lakukan bagi kita.

Mengutip Maria. Setelah Kabar Gembira, tindakan pertamanya adalah satu dari kebaikan hati menuju kakak perempuan sanak keluarganya, Elizabeth. Kata-kata pertamanya adalah: “Jiwaku memuliakan Tuhan”, dengan kata lain, sebuah lagu pujian dan syukur kepada Allah tidak hanya untuk apa yang Dia lakukan untuknya, tetapi untuk apa yang Dia telah lakukan sepanjang sejarah keselamatan itu. Semuanya adalah karunia-Nya. Jika kita dapat menyadari bahwa segala sesuatu adalah karunia Allah, betapa bahagianya hati kita! Semuanya adalah karunia-Nya. Dia adalah kekuatan kita! Mengatakan “terima kasih ” adalah semacam hal yang mudah, dan belum begitu sulit! Seberapa sering kita katakan “terima kasih” kepada satu sama lain dalam keluarga kita? Kata-kata ini penting bagi kehidupan kita bersama. “Maaf”, “permisi”, ” terima kasih”. Jika keluarga-keluarga bisa mengatakan tiga hal ini, mereka akan baik-baik saja. “Maaf”, “permisi”, “terima kasih”. Seberapa sering kita katakan “terima kasih” dalam keluarga kita ? Seberapa sering kita katakan “terima kasih” kepada mereka yang membantu kita, mereka yang dekat dengan kita, mereka yang berada di sisi kita sepanjang hidup? Terlalu sering kita menganggap segala sesuatu sudah semestinya! Hal ini terjadi dengan Allah juga. Sangat mudah untuk mendekati Tuhan untuk meminta akan sesuatu, tapi untuk pergi dan bersyukur padaNya: ” Yah, aku tidak perlu”.

Sambil kita melanjutkan perayaan Ekaristi kita, marilah kita memohon perantaraan Maria. Semoga ia membantu kita untuk terbuka akan kejutan Allah, untuk menjadi setia kepadaNya setiap hari dan sehari-harinya, dan untuk memuji dan bersyukur padaNya, karena Dia adalah kekuatan kita. Amin.
 
 
Sumber :  katolisitas.org
 
 

Tidak ada komentar: