Kamis, 17 Oktober 2013

B. Alexandrina Maria da Costa

13 Tahun Hidup Hanya dari Ekaristi Saja

“Seorang `mempelai darah', ia secara mistik mengalami sengsara Kristus dan mempersembahkan diri sebagai kurban bagi para pendosa, dengan mendapatkan kekuatan dari Ekaristi: yang menjadi satu-satunya sumber makanan baginya selama tigabelas tahun terakhir masa hidupnya.”
~ Paus Yohanes Paulus II, 25 April 2004


MASA KECIL

JIWA YANG SIAP BERKURBAN

MENDAKI KE KALVARI

TAHUN-TAHUN DERITA



MASA KECIL

Alexandrina Maria da Costa dilahirkan pada tanggal 30 Maret 1904 di Balasar, Oporto, Portugal, sekitar 200 mil dari Fatima. Tak lama setelah kelahirannya, ibunya menjadi janda. Meski hidup dalam kemiskinan, ibu dan kakak perempuannya, Deolinda, membesarkan Alexandrina dengan prinsip-prinsip dasar hidup Kristiani yang baik. Alexandrina seorang anak yang periang dan santun, membuatnya disukai semua orang. Ia juga memiliki kekuatan fisik dan stamina yang luar biasa yang memampukannya bekerja di ladang berjam-jam lamanya, dan dengan demikian dalam usia amat muda telah ikut menopang hidup keluarga.

Ketika usianya duabelas tahun, Alexandrina sakit parah karena suatu infeksi dan nyaris direnggut maut; akibat dari sakit ini tinggal padanya sementara ia tumbuh dewasa, dan menjadi “tanda pertama” dari apa yang Tuhan kehendaki darinya: menderita sebagai suatu “jiwa yang berkurban.”


JIWA YANG SIAP BERKURBAN

Pada hari Sabtu Suci 1918, ketika Alexandrina berusia empatbelas tahun, sementara ia dan Deolinda serta seorang gadis magang sibuk menjahit, tiga lelaki memasuki rumah mereka secara paksa dengan niat melakukan kejahatan seksual terhadap mereka. Demi memelihara kemurnian dan menghindari dosa, Alexandrina melompat dari sebuah jendela, dan jatuh sekitar empat meter dari permukaan tanah. Sakitnya tak terperi, namun dengan kertak gigi dan dengan menghapus darah yang membasahi wajahnya, Alexandrina merenggut sepotong kayu yang kuat dan dengan terhuyung-huyung kembali demi membela kawan-kawannya. Beberapa pukulan yang diayunkannya mengenai sasaran. Para lelaki itu melarikan diri karena terkena hantaman dan terlebih lagi karena terkejut atas serangan balik yang tak terduga. Kedua gadis yang lain pun selamatlah.

Alexandrina mengalami luka-luka parah yang serius. Para dokter mendiagnosa kondisinya sebagai “tak dapat disembuhkan”. Mereka memprediksi kelumpuhan yang dideritanya hanya akan semakin bertambah buruk keadaannya.

Hingga usia sembilanbelas tahun, Alexandrina masih dapat “menyeret dirinya” ke gereja di mana, dengan tubuh terbungkuk, ia akan tinggal dalam doa. Akan tetapi, keadaannya semakin memburuk. Sejak tanggal 14 April 1924 hingga akhir hayatnya - yakni selama 31 tahun - ia sama sekali lumpuh dan harus tinggal terus-menerus di atas pembaringan.

Di awal tahun-tahun penderitaan ini, Alexandrina memohon dengan sangat rahmat mukjizat kesembuhan. Ia berjanji untuk menjadi seorang misionaris jika ia disembuhkan. Ia berjanji untuk membagi-bagikan segala yang ia miliki, memotong rambutnya dan mengenakan pakaian kabung sepanjang hidupnya, asal saja ia disembuhkan. Akan tetapi, bukannya membaik, kondisinya malahan semakin parah hingga gerakan sekecil apapun akan membuatnya kesakitan. Beberapa kali sudah ia berada di ambang maut dan Sakramen Pengurapan Orang Sakit diterimakan kepadanya.

Perlahan-lahan, Tuhan membantu Alexandrina melihat bahwa penderitaan adalah panggilannya dan bahwa ia mempunyai suatu panggilan istimewa untuk menjadi “kurban” bagi Tuhan. Semakin Alexandrina “memahami” bahwa ini adalah misinya, semakin ia bersuka-hati memeluknya. Ia mulai merindukan suatu hidup dalam persatuan yang akrab mesra dengan Yesus. Persatuan ini, demikian sebagaimana dimengertinya, hanya dapat terwujud melalui menanggung sakit dan kelemahan demi kasih kepada-Nya. Ia mempersembahkan diri kepada Tuhan sebagai jiwa yang berkurban demi pertobatan orang-orang berdosa.

Alexandrina senantiasa memiliki devosi mendalam kepada Santa Perawan Maria. Malam-malam, kala demam menyerang, terbaring tanpa dapat memejamkan mata dan dengan napas tersengal-sengal, ia berusaha untuk berdoa; kepalanya membasahi bantal, jari-jemarinya mencengkeram Rosario seolah mengupayakan kelegaan dari untaian manik-manik itu. “O, Yesus,” demikian ia akan mendesah, mengulang doa yang diajarkan Santa Perawan Maria dari Fatima, “Ini demi kasih kepada-Mu, demi pertobatan orang-orang berdosa, dan demi silih atas hujat yang dilakukan melawan Hati Maria yang Tak Bernoda.”

Mengenai Bunda Maria dan permohonannya semula untuk kesembuhan, Alexandrina mengatakan, “Bunda Maria telah memberiku rahmat yang bahkan terlebih besar: pertama kelepasan; kemudian ketaatan penuh pada kehendak Allah; dan akhirnya, haus akan penderitaan.”

Setiap hari sepanjang bulan Mei, ia mempersembahkan diri kepada Bunda Maria: “Bunda Yesus dan Bundaku, sudi dengarkanlah doaku. Aku mempersembahkan tubuhku dan segenap hatiku kepadamu. Murnikanlah aku, ya Bunda Tersuci, limpahilah aku dengan kasihmu yang suci. Tempatkanlah aku dekat tabernakel Yesus agar aku dapat menjadi lampu Tuhan sepanjang dunia ada. Berkatilah aku, kuduskanlah aku, o Bunda terkasih dari Surga!”

Kerapkali sepanjang hari-hari yang panjang dan sepi, ia mengarahkan budi dan hati ke tabernakel dalam gereja setempat, sembari mengulang doanya:

“Yesus-ku yang baik, Engkau adalah seorang tawanan dan aku juga seorang tawanan. Kita berdua adalah tawanan. Engkau seorang tawanan demi keselamatan dan kebahagiaanku, dan aku seorang tawanan dalam tangan-tangan-Mu. Engkau adalah Raja dan Tuan atas segalanya, dan aku adalah seekor cacing tanah. Aku telah mengabaikan-Mu, dengan memikirkan hanya yang dari dunia ini, yang adalah kebinasaan jiwa-jiwa. Tetapi sekarang, dalam tobat dengan segenap hatiku, aku menghendaki hanya apa yang Engkau kehendaki, dan menderita dalam penyerahan diri. O Yesus-ku, aku menyembah-Mu di manapun Engkau tinggal dalam Sakramen Mahakudus. Apabila Engkau dihinakan, aku disamping-Mu. Aku mengasihi Engkau demi mereka yang tidak mengasihi Engkau. Aku melakukan silih demi mereka yang menghinakan Engkau. Sudi datanglah ke dalam hatiku.”


MENDAKI KE KALVARI

Sementara bulan-bulan terentang menjadi tahun-tahun panjang yang menyakitkan, Alexandrina mulai merindukan Kurban Kudus Misa dirayakan dalam kamarnya yang sederhana. Ia sadar bahwa keinginannya itu terlalu muluk dan karenanya ia hanya memendamnya dalam hati. Tetapi, pada musim gugur 1933, mendengar seorang imam kudus, P Mariano Pinho SJ, akan datang untuk berkhotbah di daerahnya, Alexandrina mengungkapkan kerinduannya yang tak terbendung kepada Deolinda yang berjanji untuk mengupayakan yang terbaik. Demikianlah pada tanggal 20 November 1933, P Pinho, SJ merayakan Misa pertama dalam kamar Alexandrina, yang sekarang menjadi tujuan peziarah dari segenap penjuru dunia.

Tak lama sesudah Misa pertama dirayakan dalam kamarnya, Alexandrina dikarunia suatu penampakan Kristus.

“Suatu malam Yesus menampakkan diri kepadaku, seolah Ia baru saja diturunkan dari salib. Aku dapat melihat luka-luka menganga di kedua tangan, kaki dan lambung-Nya. Darah memancar dari luka-luka-Nya, dan dari dada darah memancar begitu deras hingga, sesudah membasahi kain yang melilit pinggang-Nya, darah membanjiri lantai. Yesus menghampiri sisi pembaringanku. Dengan kasih yang besar aku dapat mencium luka-luka di kedua tangan-Nya dan aku rindu mencium juga luka-luka di kedua kaki-Nya. Tetapi karena kelumpuhanku, aku tak dapat melakukannya. Meski aku tiada berkata apapun mengenai kerinduan ini kepada Yesus, Ia tahu apa yang ada dalam benakku dan dengan kedua tangan-Nya Ia menaikkan satu kaki dan lalu kaki yang lain dan menawarkan kepadaku untuk menciumnya…. Mabuk kepayang, aku merenungkan luka di lambung-Nya dan darah yang memancar dari-Nya hingga, dikuasai kasih, aku melemparkan diri ke dalam pelukan-Nya dan berseru, `O Yesus-ku, betapa dahsyat Engkau telah menderita bagiku!' Aku tinggal dalam pelukan-Nya untuk beberapa waktu lamanya dan Ia pada akhirnya lenyap dari pandangan.”

Pada tanggal 6 September 1934, Alexandrina mengalami suatu ekstasi yang luar biasa, di mana suara Kristus yang penuh belas kasih mengundangnya untuk mendekati Hati-Nya yang Mahakudus dan ikut ambil bagian dalam dahsyatnya api derita penebusan-Nya:

“Serahkanlah tanganmu kepada-Ku, sebab Aku hendak memakukannya bersama tangan-Ku. Serahkanlah kakimu, sebab Aku hendak memakukannya bersama kaki-Ku. Serahkanlah kepalamu, sebab Aku hendak memahkotainya dengan duri sebagaimana mereka lakukan terhadap-Ku. Serahkanlah hatimu, sebab Aku hendak menembusinya dengan tombak sebagaimana mereka menembusi Hati-Ku. Persembahkanlah tubuhmu kepada-Ku; persembahkanlah keseluruhan dirimu kepada-Ku… Bantulah Aku dalam penebusan umat manusia.”

“Pada malam hari, dari Sabtu hingga Minggu, aku tak tahu apa yang melintasi kepalaku. Aku tidur dan terbangun: aku seperti mau mati. Kejadian aneh ini berlangsung sebentar, tetapi kerap berulang. Aku pikir ini disebabkan oleh tulang belakangku. Aku harap Tuhan kita mendengarkanku, tetapi Kehendak-Nya terjadilah... Seringkali aku memohon, “O, Yesus-ku, apakah yang Engkau kehendaki dariku?” Dan setiap kali aku mendengar hanya jawaban ini, “Derita, kasih dan silih” (28 Maret 1933).

“Terpujilah Tuhan yang telah memanggilku ke dalam dunia ini untuk menderita dan menanggung begitu banyak pencobaan! Kepada semua ini, aku persatukan banyak dosa-dosa yang menyedihkanku lebih dari segala yang lain. Aku memohon setiap hari untuk boleh menderita dan aku merasakan penghiburan rohani yang besar apabila aku terlebih lagi menderita, sebab dengan demikian aku mempunyai lebih banyak untuk dipersembahkan kepada Yesus-ku. Meski begitu, ada hal-hal yang sungguh teramat berat, tetapi Kehendak Tuhan, bukan kehendakku, terjadilah (30 Desember 1933).

Aku telah mengulang kepada Yesus: kirimkanlah penderitaan sebanyak yang Engkau kehendaki, asal saja aku dapat melakukan silih bagi penghinaan-penghinaan yang Engkau terima (15 Agustus 1934).


TAHUN-TAHUN DERITA

Penderitaan Alexandrina demi silih atas dosa sekarang harus menghadapi tantangan kuasa kegelapan. Sejak tahun 1934, ia mulai diserang oleh penglihatan-penglihatan yang menyeramkan dan seruan-seruan hujat yang mengejek bahwa Tuhan telah meninggalkannya, bahwa bunuh diri merupakan satu-satunya alternatif bagi hidup penuh penderitaan yang sia-sia. Sadar bahwa roh setanlah yang berkarya untuk memberonak, Alexandrina mempercayakan diri sepenuhnya ke dalam tangan Pater Pinho SJ yang menjadi pembimbing rohaninya dari tahun 1934 hingga 1941.

Pada tanggal 14 September 1934, Alexandrina menulis sebagai berikut:

“Adakah Pater ingin tahu apa itu `wajah hitam dari neraka' yang belakangan ini mengacaukan kepalaku? Beginilah: 'Apapun yang kutulis kepada Pater akan menjadi penyebab kebinasaanku… dan jika aku tidak mentaatinya… yang terburuk akan terjadi.' Ini membuatku menangis.”

Iblis menyerang,

“Ekskomunikasi, seribu kali ekskomunikasi jika engkau terus menulis kepada pembimbing rohanimu! Engkau sudah terbakar di neraka. Bertobatlah, orang sial! Bertobatlah, orang celaka! Adalah kasih kepadamu yang membuatku berbicara seperti ini. Aku datang sekarang dari Kristus-mu yang mengatakan padaku untuk mengambilmu, sebab Ia tak lagi dapat menyelamatkanmu. Ia sedih… dengan tulisan-tulisanmu.”

Iblis menambahkan bahwa adalah sia-sia ia berdoa, bahwa tak ada keselamatan baginya, bahwa tak ada seorangpun yang dapat menolongnya, bahwa ia akan dikutuk.

Selanjutnya Alexandrina mengenang: “Suatu malam terang bulan sesudah berdoa, aku merasa ingin tidur, ketika sekonyong-konyong masuk ke dalam kamarku suatu kegelapan besar… Aku melihat suatu bayangan hitam yang meloncat ke arahku dan berkata, `Aku datang atas nama Kristus-mu untuk membawamu ke neraka.' Aku mencium salib dan suara itu melanjutkan, `Engkau mencium benda jahat itu!' Ia kemudian memerintahkanku untuk melakukan hal-hal yang tak dapat aku katakan… Hanya setelah aku mengambil air suci, aku ditinggalkan dalam damai.”

“Sesekali aku melihat suatu kilasan cahaya. Dua kali aku melihat dua mata yang amat besar, membelalak lebar, menatap padaku, namun segera lenyap. Pada hari Minggu, aku mendengar suara yang amat lemah lembut mengatakan, `Puteriku, aku datang untuk mengatakan kepadamu agar jangan menulis apapun mengenai apa yang engkau lihat: penglihatanmu menipumu. Tidakkah engkau merasa betapa lemahnya engkau? Engkau menyedihkanku dengan ini; ini Yesus-mu yang berbicara kepadamu, bukan setan.' Aku menaruh curiga dan mulai mencium salib. Suara itu menjadi murka dan menggelegar, `Jika engkau terus menulis, aku akan menghancurkan tubuhmu. Apakah engkau pikir aku tak dapat melakukannya?”

Dalam surat kepada P Pinho SJ tertanggal 14 Februari 1935, Alexandrina menulis, “Iblis menghendakiku menyingkirkan benda-benda suci yang aku kenakan dan salib yang aku genggam dalam tanganku. Ia mengatakan bahwa ada rahasia-rahasia yang hendak ia percayakan kepadaku, tetapi pertama-tama aku harus melepaskan benada-benda itu yang dibencinya.”

Untuk jangka waktu yang lama, sementara Alexandrina menanggung penderitaan ini, Tuhan tampaknya meninggalkannya seorang diri, sebab ia tak lagi mendengar suara penghiburan-Nya. Iblis memanfaatkan sebaik-baiknya kesempatan ini dengan menanamkan dalam jiwanya benih-benih kebimbangan yang hebat mengenai nilai penderitaannya, dengan berupaya meyakinkannya bahwa ia akan binasa, dan lagi dengan berusaha membujuknya untuk bunuh diri.

“Aku mengambil air suci, seperti yang biasa aku lakukan dalam peristiwa-peristiwa serupa,” demikian katanya kepada P Pinho. “Aku berdoa dengan tekun dan sungguh, `O Yesus-ku, janganlah, janganlah pernah aku ingin menghinakan-Mu. Aku telah berbulat hati untuk tidak mengatakan atau melakukan sesuatu yang dapat menghinakan-Mu.'”

Berurai airmata Alexandrina memohon kepada Tuhan untuk ikut campur tangan dan mengakhiri serangan-serangan iblis. Dalam beberapa ekstasi Yesus mengatakan kepadanya:

“Puteri-Ku, penderitaan adalah kunci ke surga. Aku menanggung begitu banyak penderitaan demi membuka surga bagi segenap umat manusia, tetapi bagi sebagian besar dari mereka hal itu sia-sia belaka. Mereka mengatakan, `Aku hendak menikmati hidup; aku datang ke dalam dunia hanya demi kenikmatan.' Mereka mengatakan, `Neraka tidak ada.' Aku telah wafat bagi mereka dan mereka katakan mereka tidak minta Aku melakukannya. Mereka membentuk bidaah-bidaah melawan Aku. Demi menyelamatkan mereka, Aku memilih jiwa-jiwa tertentu dan menempatkan salib di atas bahu mereka. Berbahagialah jiwa yang memahami nilai penderitaan! Salib-Ku terasa manis apabila dipanggul demi kasih kepada-Ku… Aku telah memilihmu sejak dari kandungan ibumu. Aku melindungimu dalam kesulitan-kesulitanmu yang terbesar. Adalah Aku yang memilihnya untukmu, agar Aku dapat mempunyai suatu kurban yang mempersembahkan kepada-Ku banyak silih. Bersandarlah pada Hati-Ku yang Mahakudus dan temukanlah di sana kekuatan untuk menderita semuanya.”

Setelah sepuluh tahun terror yang tak kunjung henti, pada akhirnya iblis meninggalkan Alexandrina dan bertindak hanya dalam imaginasinya di kejauhan, seolah iblis dibelenggu dan menggelepar-gelepar dalam murka yang sia-sia, tiada dapat atau dilarang menyentuh Alexandrina lagi.

Yesus mempercayakan kepada Alexandrina penyebarluasan pesan Santa Perawan Maria dari Fatima. Setelah menyambut Komuni suatu pagi, Yesus berkata kepadanya,

“Dengan kasih yang engkau miliki bagi BundaKu Tersuci, katakanlah kepada pembimbing rohanimu bahwa sebagaimana Aku meminta Margareta Maria [St Margareta Maria Alacoque] devosi kepada Hati Ilahi-Ku, demikianlah aku memintamu untuk mendorong penyerahan dunia kepada Hati Tak Bernoda BundaKu.”

Sejak hari itu, Alexandrina mempersembahkan diri sebagai kurban demi tercapainya tujuan ini. Pada bulan September 1936, P Pinho menyampaikan hal ini kepada Kardinal Pacelli [kelak Paus Pius XII] dan Paus Pius XII mempersembahkan dunia kepada Hati Maria yang Tak Bernoda pada tanggal 31 Oktober 1942 dengan mempergunakan gelar-gelar seperti diwahyukan kepada Alexandrina: “Ratu Alam Semesta, Ratu Rosario Tersuci, Pengungsian Umat Manusia, Pemenang dalam Semua Pertempuran Allah.”

Tuhan meminta dengan sangat silih ekaristik:

“Temanilah Aku dalam Sakramen Mahakudus. Aku tinggal dalam tabernakel siang dan malam, menanti untuk melimpahkan kasih-Ku dan rahmat-Ku kepada semua yang mengunjungi-Ku. Tetapi, begitu sedikit yang datang. Aku begitu diabaikan, begitu kesepian, begitu dihinakan… Berdoalah bagi para pendosa yang malang yang, karena menjadi budak nafsu mereka, tidak ingat bahwa mereka mempunyai jiwa yang perlu diselamatkan dan bahwa suatu keabadian menanti mereka sebentar lagi… Banyak manusia tidak percaya akan kehadiran-Ku, mereka tidak percaya bahwa Aku tinggal dalam tabernakel. Mereka menghujat-Ku. Yang lain percaya, namun tidak mengasihi-Ku dan tidak mengunjungi-Ku; mereka hidup seolah Aku tidak di sana. Aku telah memilihmu untuk menemani-Ku dalam tempat-tempat pengungsian yang kecil itu. Kebanyakan dari tempat-tempat itu begitu terbengkalai, tetapi betapa kekayaan yang terkandung di dalamnya! ... Seperti Maria Magdalena, engkau telah memilih bagian yang terbaik. Engkau telah memilih untuk mengasihi-Ku dalam tabernakel di mana engkau dapat mengkontemplasikan-Ku, bukan dengan mata jasmani, melainkan dengan mata hati. Aku sungguh hadir disana seperti di surga - Tubuh, Darah, Jiwa dan Ke-Allah-an. Engkau telah memilih yang termulia.” 
Sumber : http://yesaya.indocell.net/id1273.htm