Senin, 30 Maret 2015


Sabar Itu Indah



Hasrat mensharingkan pengalaman akan kuasa Allah tak akan pernah dapat dicegah oleh perjalanan waktu dan perasaan malu. Sharing pengalaman itu menjadi sebuah ungkapan syukur yang melegakan atas kebaikan Tuhan. Itulah yang dilakukan oleh Ibu Riani yang berusia lima puluh tajuh tahun. Ia tinggal di Serpong.

Ibu Riani, pada tanggal 09 Maret 2015, mengunjungiku di Pastoran Gereja Katolik Santo Odilia – Citra Raya. Ia bertandang bersama anak-anak, menantu, dan cucu-cucunya. Ia ingin menyampaikan kepadaku tentang pengalamannya akan kebaikan Tuhan. Ia mengalami kesembuhan dari penyakit kanker rahim, dalam Adorasi Jam Suci pada tahun 2011, di Gereja Santa Odilia – Tangerang itu. Ia sudah menderita kanker rahim yang sangat parah selama bertahun-tahun. Ia tidak mau menjalani kemoterapi seperti yang disarankan tim medis di Singapore. Pada tahun 2011 itu, tim medis di Singapore, menyatakan kankernya telah menyebar ke seluruh tubuhnya. Hidupnya dinyatakan hanya tiga bulan lagi. Ia terkejut, tetapi tidak sampai patah hati. Dari kawannya, ia mendengar ada adorasi jam suci setiap Kamis Malam Jumat Pertama di Gereja Santa Odilia. Ia datang dalam adorasi itu bukan terutama untuk kesembuhan dari kankernya, tetapi lebih sebagai sebuah kesempatan terakhir baginya untuk menyembah Tuhan. Ia memegang erat Velum (kain penyelubung Sakramen Mahakudus), sambil menangis ketika Sakramen Mahakudus aku bawa kehadapannya: “Tuhan, memang semua sudah kelihatan akan lenyap, tetapi masih ada Engkau, Tuhan. Aku menyembahMu. Semoga kekudusan-Mu menyucikan jiwaku dan menjaganya sampai Allah memanggilku untuk pulang ke rumah-Nya dalam waktu dekat ini”. Perkataanku kepadanya “Bu, engkau pasti sembuh” diimaninya sebagai suara Tuhan yang menyembuhkan imannya di kala nyawanya sudah diambang surga. Ia mengisi waktu singkatnya dengan mengubah hidupnya semakin hari semakin seperti yang Tuhan kehendaki.

Pada tahun 2012, ia datang ke dokter Singapore. Ia dengan tenang siap untuk menyambut pernyataan dari tim medis tentang kematiannya. Ia siap menerima kematiannya karena mengimani bahwa kematian merupakan perpindahan hidup yang membahagiakan bagi yang telah mempersiapkan jiwanya. Setelah menjalani berbagai cek medis, tim medis menyatakan bahwa semua tumornya telah hilang dan tidak menyebar. Ia disembuhkan Tuhan secara ajaib. Namun, tim medis itu juga mengatakan bahwa sel-sel kanker itu akan bertumbuh atau berhenti total setelah lima tahun kemudian. Itulah yang membuatnya tidak berani mensharingkan pengalaman imannya ini sebelum lima tahun sejak tahun 2011. Akan tetapi, ia sangat gelisah sampai ia membagikan pengalaman anugerah kesembuhan dari Tuhan ini. Ia mengalami penyembuhan Tuhan sebagai sebuah hidup yang baru. Ia mengisi hidup baru ini dengan penuh syukur, menjaga hidupnya dari dosa, dan berbagi kasih. Ia tidak peduli pada tahun 2016 (tahun kelima) apakah kankernya akan tumbuh lagi atau tidak. Ia sudah merasakan bahwa hidup baru selama empat tahun ini sungguh memberikan kepadanya damai dan sukacita.

Pesan yang dapat kita syukuri dari ceritera ini: Tetaplah kayuh sepeda kita dengan segala kekuatan yang ada ketika angin besar menghantam kita supaya kita tidak jatuh tertimpa olehnya. Kehancuran hidup datang dari kita sendiri yang namanya menyerah dan putus asa. Jalani hidup kita ini dengan penuh kesungguhan. Terimalah kenyataan dengan jiwa besar, yaitu kesabaran. Sabar bukan berarti lemah dan kalah. Sabar adalah obat penangkal terbaik dari keputusasaan sehingga kita yang sabar disebut lebih dari pahlawan: “Orang yang sabar melebihi seorang pahlawan, orang yang menguasai dirinya, melebihi orang yang merebut kota” (Amsal 16:32). Hadiah yang kita terima dari Tuhan adalah kebahagiaan. Kesimpulannya adalah sabar itu susah, sabar itu cape, sabar itu stress, sabar itu sakit, tetapi sabar itu indah.

Tuhan Memberkati

Oleh Pst Felix Supranto, SS.CC


Sumber : http://katolisitas.org/15492/sabar-itu-indah



Minggu, 29 Maret 2015

Maria Mengunjungi Elisabet

Peristiwa Gembira Kedua

Kabar Sukacita kepada Maria terjadi sebelum kepulangan Yosef. Ia masih belum menetap di Nazaret ketika bersama Maria ia memulai perjalanan ke Hebron. Setelah perkandungan Yesus, Santa Perawan merasakan suatu kerinduan yang luar biasa untuk mengunjungi saudari sepupunya, Elisabet. Aku melihatnya bepergian bersama Yosef ke arah selatan. Sekali, aku melihatnya melewatkan malam di sebuah pondok yang terbuat dari anyam-anyaman dan yang penuh dengan anggur dan bunga-bunga putih yang indah. Dari sana ke rumah Zakharia dibutuhkan waktu sekitar duabelas jam perjalanan. Dekat Yerusalem mereka berbelok ke utara untuk mengambil rute yang lebih sepi. Mereka melakukan perjalanan mengelilingi sebuah kota kecil sekitar enam mil dari Emaus, dan mengambil jalan yang biasa dilewati Yesus di tahun-tahun sesudahnya. Meski perjalanan jauh, mereka melakukannya dengan amat cepat. Sekarang mereka harus melintasi dua buah bukit. Aku melihat mereka beristirahat di antara kedua bukit itu, menyantap roti dan menyegarkan diri dengan beberapa tetes balsam yang mereka peroleh dalam perjalanan, dan yang mereka campurkan ke dalam air minum mereka. Bukit itu terbentuk dari batu-batu karang yang menggelantung dan gua-gua. Lembah-lembahnya sangat subur. Aku mengamati suatu bunga istimewa di jalan. Bunga itu memiliki daun-daun hijau yang indah dan segerombolan berisi sembilan bunga yang amat kecil berbentuk lonceng, warnanya putih sedikit bersembur merah.

Maria mengenakan baju dalam wol berwarna coklat; baju luarnya berwarna abu-abu dengan sebuah ikat pinggang, dan sebuah penutup kepala berwarna kekuningan. Dalam sebuah buntalan, Yosef membawa selembar pakaian panjang berwarna kecoklatan dengan tudung kepala dan pita-pita di depannya. Itulah pakaian yang biasa dikenakan Maria apabila ia bepergian entah ke Bait Allah atau ke sinagoga.

Rumah Zakharia berdiri di atas sebuah bukit yang terpencil, sementara rumah-rumah lain berserakan sekelilingnya. Tak jauh dari sana, sebuah sungai yang lumayan besar mengalir turun ke bawah dari gunung.

Elisabet telah mengetahui melalui suatu penglihatan bahwa salah seorang dari sanaknya akan melahirkan sang Mesias; ia terus-menerus memikirkan Maria, begitu amat rindu untuk bertemu dengannya, dan sungguh ia melihat Maria dalam perjalanan menuju Hebron. Di sebuah kamar yang kecil, di sebelah kanan pintu masuk rumah, Elisabet menempatkan kursi-kursi, dan di sini ia menanti, sebentar-sebentar memandang jauh dengan antusias ke arah jalan, dengan harapan segera melihat sosok Maria. Ketika Zakharia sedang dalam perjalanan pulang dari perayaan Paskah, aku melihat Elisabet, terdorong oleh hasrat yang tak tertahankan, bergegas pergi dari rumah cukup jauh jaraknya menyusuri jalanan yang menuju ke Yerusalem. Ketika berpapasan dengan isterinya, Zakharia amat terperanjat mendapati isterinya pergi begitu jauh dari rumah dan lagipula dalam keadaannya yang sekarang. Elisabet mengatakan kepadanya akan ketidaksabarannya dan bahwa ia tak tahan lagi memikirkan bahwa sepupunya, Maria, sedang dalam perjalanan dari Nazaret untuk mengunjunginya. Tetapi, Zakharia beranggapan bahwa adalah tidak mungkin pasangan yang baru saja menikah pada waktu itu mengadakan perjalanan begitu jauh. Keesokan harinya, aku melihat Elisabet menyusuri jalan lagi terdorong oleh perasaan yang sama, dan sekarang aku melihat Keluarga Kudus sedang dalam perjalanan ke arahnya.

Elisabet telah lanjut usianya. Ia berperawakan tinggi, wajahnya kecil dan lembut, dan ia mengenakan sesuatu yang membungkus kepalanya. Ia mengenal Maria hanya dari kabar orang. Begitu Santa Perawan melihat Elisabet, ia langsung mengenalinya dan bergegas menyongsongnya, sementara Yosef sengaja tinggal tenang. Maria telah sampai di rumah-rumah yang ada dekat rumah Zakharia. Para penghuninya terpesona akan keelokan Maria, dan dipenuhi rasa hormat yang sedemikian melihat pembawaannya hingga mereka mundur dengan hormat. Ketika kedua sepupu itu bertemu, mereka saling menyambut satu sama lain penuh sukacita dengan tangan-tangan terentang. Aku melihat suatu sinar dalam diri Maria dan darinya terpancar seberkas sinar yang menembusi Elisabet, yang karena itu dipenuhi sukacita yang luar biasa. Mereka tidak berhenti lama oleh karena tatapan mata para penonton, melainkan dengan bergandengan tangan melintasi halaman menuju pintu rumah, di mana Elisabet sekali lagi menyambut kedatangan Maria. Yosef pergi memutar ke sisi rumah dan lalu masuk ke dalam sebuah serambi terbuka di mana Zakharia duduk. Dengan hormat ia menyampaikan salam kepada imam yang telah lanjut usia itu, yang membalas salamnya dengan menulis di atas batu tulisnya.

Maria dan Elisabet memasuki ruangan di mana terdapat perapian. Di sini, mereka saling berpelukan, saling mendekap dan menempelken pipi dengan pipi. Aku melihat sinar mengalir turun di antara mereka. Saat itulah Elisabet menjadi berkobar-kobar secara batiniah; ia melangkah mundur dengan tangan-tangan terangkat ke atas sambil berseru,

“Terpujilah engkau di antara perempuan, dan terpujilah buah tubuhmu.

Siapakah aku ini sampai ibu Tuhanku datang mengunjungi aku?

Sebab sesungguhnya, ketika salammu sampai kepada telingaku, anak yang di dalam rahimku melonjak kegirangan.

Dan berbahagialah ia, yang telah percaya, sebab apa yang dikatakan kepadanya dari Tuhan, akan terlaksana.”

Sesudah mengucapkan kata-katanya yang terakhir, Elisabet membawa Maria masuk ke dalam sebuah kamar yang kecil yang dipersiapkan untuknya agar ia dapat duduk dan beristirahat. Kamar itu hanya beberapa langkah saja jauhnya dari tempat di mana mereka sebelumnya berada. Maria melepaskan pegangannya pada lengan Elisabet, menyilangkan kedua tangannya di dada dan diilhami oleh yang Ilahi memadahkan kidung syukur:

“Jiwaku memuliakan Tuhan, dan hatiku bergembira karena Allah, Juruselamatku, sebab Ia telah memperhatikan kerendahan hamba-Nya.

Sesungguhnya, mulai dari sekarang segala keturunan akan menyebut aku berbahagia, karena Yang Mahakuasa telah melakukan perbuatan-perbuatan besar kepadaku dan nama-Nya adalah kudus.

Dan rahmat-Nya turun-temurun atas orang yang takut akan Dia.

Ia memperlihatkan kuasa-Nya dengan perbuatan tangan-Nya dan mencerai-beraikan orang-orang yang congkak hatinya;

Ia menurunkan orang-orang yang berkuasa dari takhtanya dan meninggikan orang-orang yang rendah;

Ia melimpahkan segala yang baik kepada orang yang lapar, dan menyuruh orang yang kaya pergi dengan tangan hampa;

Ia menolong Israel, hamba-Nya, karena Ia mengingat rahmat-Nya,

seperti yang dijanjikan-Nya kepada nenek moyang kita, kepada Abraham dan keturunannya untuk selama-lamanya.”

Aku melihat Elisabet, tergerak oleh perasaan yang sama, memadahkan seluruh kidung bersama dengan Maria. Kemudian mereka duduk di bangku-bangku yang rendah. Sebuah cawan kecil ada di atas meja kecil. Dan, - ah, alangkah bahagianya aku! Aku duduk dekat dan berdoa bersama mereka sepanjang waktu itu.

Aku melihat Yosef dan Zakharia masih bersama. Mereka sedang bercakap-cakap lewat batu tulis, dan selalu mengenai kedatangan Mesias. Zakharia adalah seorang yang berperawakan tinggi, seorang lelaki tua yang tampan, berpakaian seperti seorang imam. Ia dan Yosef duduk bersama di samping rumah yang terbuka ke taman, di mana Maria dan Elisabet sekarang sedang duduk di atas sebuah permadani di bawah sebuah pohon yang tinggi dan rindang. Di balik pohon terdapat sebuah mata air dari mana memancar air apabila kerannya ditekan. Aku melihat rerumputan dan bunga-bungaan sekelilingnya, dan pepohonan dengan buah-buah plum kecil berwarna kuning. Maria dan Elisabet sedang makan roti dan buah-buahan dari kantong bekal Yosef. Betapa kesahajaan dan kesederhanaan yang menyentuh hati! Dua pelayan perempuan dan dua pelayan laki-laki ada dalam rumah. Mereka mempersiapkan sebuah meja di bawah pohon itu. Yosef dan Zakharia keluar dan makan sesuatu. Yosef ingin kembali pulang saat itu juga, tetapi mereka membujuknya untuk tinggal selama delapan hari. Yosef tidak tahu menahu perihal kehamilan Maria. Kedua perempuan itu diam seribu bahasa mengenainya. Mereka memiliki suatu pemahaman rahasia bersama mengenai perasaan batin masing-masing.

Ketika semuanya, Maria dan Elisabet, Yosef dan Zakharia, bersama-sama, mereka berdoa menggunakan semacam litani. Aku melihat sebuah salib muncul di tengah-tengah mereka, dan sesungguhnya belum ada salib pada masa itu. Ya, seolah dua salib saling mengunjungi satu sama lain.

Sore hari mereka semua duduk bersama kembali di taman dekat sebuah lampu di bawah pohon. Sebuah tempat perlindungan serupa sebuah tenda dibentangkan di bawah pohon, dan bangku-bangku rendah dengan sandaran diletakkan sekililingnya. Sesudah itu, aku melihat Yosef dan Zakharia pergi ke suatu tempat doa, sementara Maria dan Elisabet beristirahat di kamar tidur mereka. Mereka dikobarkan oleh semangat ilahi dan bersama-sama mendaraskan Magnificat. Santa Perawan mengenakan sebuah kerudung putih transparan, yang diturunkannya apabila berbicara dengan laki-laki.

Keesokan harinya, Zakharia membawa Yosef ke suatu taman lain yang agak jauh dari rumah. Zakharia dalam segala hal amat cermat dan sistematis. Taman kedua ini dipercantik dengan semak dan perdu yang indah, pula pepohonan yang sarat dengan buah-buahan. Di tengah taman terdapat suatu jalan dengan barisan pepohonan, dan di ujung jalan terdapat sebuah rumah mungil yang pintu masuknya ada di samping. Di atasnya terdapat lubang-lubang dengan tabir-tabir seperti jendela. Sebuah dipan dari anyaman yang diisi dengan lelumutan atau tanam-tanaman lain yang lembut, berdiri di satu ruangan di mana terdapat pula dua sosok putih sebesar kanak-kanak. Aku tak memiliki pemahaman yang jelas bagaimana mereka ada di sana atau apa yang dilambangkan oleh mereka, tetapi tampak olehku, kedua sosok tersebut amat mirip dengan Zakharia dan Elisabet, hanya saja jauh lebih muda.

Aku melihat Maria dan Elisabet banyak bersama-sama. Maria membantu segala sesuatu dalam rumah tangga dan mempersiapkan segala yang diperlukan bagi kelahiran sang bayi. Keduanya, Maria dan Elizabet, merajut sebuah selimut yang lebar untuk si bayi, dan mereka juga menjahit untuk orang-orang miskin.

Selama kepergian Maria, Anna kerap mengirim pelayan perempuannya untuk mengurus rumah Maria di Nazaret, dan satu kali aku melihat ia sendiri datang ke sana.

Aku melihat Zakharia dan Yosef melewatkan malam keesokan harinya di taman yang agak jauh dari rumah. Sebagian waktu mereka lewatkan dengan tidur di pondok musim panas yang mungil, dan sebagian waktu lainnya mereka lewatkan dengan berdoa di alam terbuka. Mereka kembali pagi-pagi benar ke rumah di mana Maria dan Elisabet melewatkan malam. Maria dan Elisabet mendaraskan bersama-sama di pagi dan sore hari madah syukur Magnificat, yang diterima Maria dari Roh Kudus sebagai tanggapan atas salam Elisabet. Selama mendaraskan Magnificat, mereka berdiri saling berhadapan membelakangi dinding, seolah dalam paduan suara, tangan mereka tersilang di dada, kerudung hitam menutupi wajah masing-masing. Pada bagian kedua, yang berbicara mengenai janji Tuhan, aku melihat sejarah terdahulu dari Inkarnasi Mahakudus dan Misteri Sakramen Mahakudus dari Altar, sejak dari Abraham hingga ke Maria. Aku melihat Abraham mempersembahkan Ishak, juga Misteri Tabut Perjanjian, yang diterima Musa pada malam sebelum keberangkatan dari Mesir, dan yang dengan mana ia dapat bebas dan menang. Aku mengenali hubungan antara Tabut Perjanjian dengan Inkarnasi Mahakudus, dan tampak padaku seolah misteri ini sekarang digenapi atau hidup dalam Maria. Aku juga melihat Nabi Yesaya dan nubuatnya mengenai sang Perawan, dan dari dia hingga ke Maria penglihatan-penglihatan akan kedatangan Sakramen Mahakudus. Aku masih ingat bahwa aku mendengar kata-kata, “Dari bapa ke bapa hingga ke Maria, ada lebih dari empatbelas keturunan.” Aku juga melihat darah Maria dalam garis keturunan leluhurnya dan mengalir semakin dan semakin mendekati Inkarnasi. Aku tak memiliki kata-kata untuk menggambarkannya dengan jelas. Aku hanya dapat mengatakan bahwa aku melihat, terkadang di sini, terkadang di sana, orang-orang dari berbagai suku bangsa. Tampaknya terpancar dari mereka suatu berkas sinar yang selalu berakhir pada Maria seperti ia tampak pada saat itu bersama Elisabet. Aku melihat berkas ini terpancar pertama kali dari Misteri Tabut Perjanjian dan berakhir pada Maria. Lalu, aku melihat Abraham dan darinya suatu berkas sinar, yang lagi berakhir pada Maria, dst. Abraham pastilah tinggal cukup dekat dengan tempat tinggal Maria pada waktu itu; sebab sepanjang Magnificat aku melihat berkas sinar yang terpancar dari Abraham datang tak jauh dari sana, sementara berkas-berkas dari orang-orang yang lebih dekat pada Bunda Allah pada batas waktu itu, tampaknya datang dari jauh. Berkas-berkas sinar itu seindah dan sejernih berkas-berkas sinar matahari apabila terpancar melalui suatu celah yang sempit. Dalam suatu berkas sinar yang demikian, aku melihat darah Maria tampak merah cemerlang, dan dikatakan kepadaku, “Lihatlah, darah sang Perawan, yang darinya Putra Allah akan berinkarnasi, haruslah semurni sinar merah ini.”

Suatu ketika aku melihat Maria dan Elisabet pergi pada sore hari ke tempat asal Zakharia. Mereka membawa bersama mereka beberapa ketul roti dan buah-buahan dalam keranjang-keranjang kecil, sebab mereka bermaksud menginap di sana. Yosef dan Zakharia menyusul kemudian. Aku melihat Maria pergi menyongsong mereka sementara mereka datang. Zakharia membawa batu tulis kecilnya, tetapi keadaannya terlalu gelap untuk menulis. Aku melihat Maria berbicara kepadanya. Maria mengatakan kepada Zakharia bahwa ia akan dapat berbicara pada malam itu. Zakharia meletakkan batu tulisnya dan berbicara secara lisan dengan Yosef. Aku melihat semuanya ini dengan teramat heran. Lalu, pembimbingku berkata kepadaku, “Mengapa, apakah itu?” dan ia memperlihatkan kepadaku suatu penglihatan akan St Goar, yang menggantungkan mantolnya pada berkas-berkas matahari seolah pada sebuah gantungan. Maka, aku menerima pengajaran bahwa kepercayaan yang hidup, yang kekanak-kanakan menjadikan segalanya nyata dan terjadi. Kedua peristiwa ini memberiku penerangan batin yang besar akan segala macam mukjizat, tetapi aku tak dapat menjelaskannya.

Mereka, Maria, Elisabet, Yosef dan Zakharia, semuanya melewatkan malam di taman. Mereka duduk atau berjalan berdua-dua, terkadang berdoa, atau undur diri ke dalam pondok musim panas untuk beristirahat. Aku mendengar mereka mengatakan bahwa Yosef akan pulang pada sore hari Sabat, dan bahwa Zakharia akan pergi menemaninya hingga Yerusalem. Bulan bersinar terang di langit yang berbintang. Sungguh luar biasa tenang dan menyenangkan tinggal dekat jiwa-jiwa yang kudus itu.

Suatu ketika aku juga mengintip ke dalam kamar tidur Maria. Saat itu malam, dan ia sedang beristirahat. Ia berbaring pada satu sisi dengan satu tangan di bawah kepalanya. Di atas baju dalamnya yang berwarna coklat, ia membalutkan dari kepala hingga ke kaki, sehelai kain wol putih yang lebarnya kira-kira satu ela. Ketika bersiap untuk tidur, ia menempatkan satu ujung kain ini di bawah lengannya dan membalutkannya erat-erat sekeliling kepala dan tubuh bagian atas, lalu ke bawah hingga ke kaki dan ke atas lagi; sehingga ia seluruhnya terbalut, dan tidak dapat melangkah lebar. Ia melakukan ini dekat pembaringannya; di bagian kepala pembaringan terdapat suatu gulungan kecil dari sesuatu sebagai bantal. Kedua lengan dari siku ke bawah dibiarkan bebas, dan kerudung kepala dibentangkan di atas dada.

Aku seringkali melihat di bawah hati Maria suatu kemuliaan yang di tengahnya berkobar-kobar suatu nyala api kecil yang terang tak terlukiskan, dan di atas rahim Elisabet suatu kemuliaan yang serupa, tetapi nyala di dalamnya tidak terlampau terang.

Ketika Sabat dimulai, aku melihat dalam rumah Zakharia, dalam suatu ruangan yang belum pernah aku lihat sebelumnya, lampu-lampu dinyalakan dan hari Sabat dirayakan. Zakharia, Yosef dan sekitar enam orang laki-laki lainnya dari daerah sekitar berdiri dan berdoa di bawah sebuah lampu dan sekeliling sebuah peti kecil yang di atasnya diletakkan dua gulungan tulisan. Di atas kepala mereka terdapat sesuatu serupa tudung kepala kecil. Mereka tidak melakukan begitu banyak gerakan tubuh yang aneh seperti yang dilakukan orang-orang Yahudi di masa-masa sesudahnya, meski mereka sama-sama kerapkali menundukkan kepala dan mengangkat tangan.

Maria, Elisabet dan dua perempuan lainnya berdiri terpisah di suatu sekat yang berjeruji darimana mereka dapat melihat ke dalam ruang doa. Mereka sepenuhnya terbungkus, mantol-mantol doa mereka menyelubungi mereka mulai dari kepala.

Zakharia mengenakan jubah-jubah perayaannya sepanjang hari Sabat. Jubah-jubah itu terdiri dari pakaian panjang berwarna putih dengan lengan-lengan yang agak sempit. Ia berikat pinggang dengan suatu ikat pinggang yang lebar, yang dililitkan banyak kali sekelilingnya. Di atasnya terdapat huruf-huruf, dan daripadanya tergantung tali-tali. Busana ini dilengkapi dengan sebuah tudung kepala, yang tergantung berlipat-lipat dari kepala hingga ke punggung bagaikan suatu kerudung yang berlipat. Apabila ia bergerak atau melakukan suatu gerakan, ia menyibakkan jubah ini yang digulung bersama dengan ujung-ujung ikatan naik ke atas bahu dan menyematkannya ke dalam ikatan di bawah lengannya. Tungkai-tungkai kakinya dibalut longgar, dan kain yang menyelubunginya dikencangkan dengan tali-tali yang menahan alas kaki pada tempatnya di bawah kakinya yang telanjang. Zakharia memperlihatkan mantol imamatnya kepada Yosef. Mantol itu tak berlengan, lebar dan berat dan sungguh indah, berkilauan dengan perpaduan warna putih dan ungu. Mantol itu ditutup pada bagian dadanya dengan gesper bertahtakan tiga permata.

Ketika Sabat usai, aku melihat mereka bersantap kembali untuk pertama kalinya. Mereka bersantap bersama di bawah pepohonan di taman dekat rumah. Mereka makan sayur-sayuran hijau yang terlebih dahulu dicelupkan ke dalam sesuatu, dan menghisap berkas-berkas kecil sayur-mayur yang juga telah dicelupkan. Terdapat mangkuk-mangkuk kecil berisi buah-buahan kecil di atas meja dan hidangan-hidangan lain, dari mana mereka menyantap sesuatu dengan cedok coklat yang transparan. Kemungkinan itu adalah madu yang mereka makan dengan cedok berbentuk tanduk. Ada juga beberapa ketul roti kecil, dan aku melihat mereka menyantapnya.

Setelah bersantap, Yosef dengan ditemani Zakharia memulai perjalanan pulangnya. Malam tenang, bulan bersinar, dan langit bertaburan bintang-bintang. Sebelum berpisah, mereka semuanya berdoa sendiri-sendiri. Yosef membawa bersamanya buntalan kecil berisi beberapa ketul roti dan sebuah kirbat kecil berisi sesuatu. Kedua orang yang bepergian itu masing-masing membawa sehelai papan; tetapi milik Yosef berkait pada bagian atasnya, sementara milik Zakharia panjang dan ujungnya berbentuk bulat. Keduanya mengenakan mantol bepergian yang mereka kenakan dari atas kepala mereka. Sebelum berangkat, mereka memeluk Maria dan Elizabet, dengan bergantian mendekapkannya ke dada mereka. Tetapi aku tidak melihat kecupan pada waktu itu. Perpisahan tersebut tenang dan gembira. Kedua perempuan menyertai mereka tak seberapa jauh, dan lalu kedua orang lelaki meneruskan perjalanan. Malam itu sungguh indah tak terlukiskan.

Maria dan Elisabet sekarang pulang ke rumah dan masuk ke dalam kamar Maria. Sebuah lampu dinyalakan di atas sebuah siku di dinding, seperti yang biasa dilakukan apabila Maria tidur atau berdoa. Kedua perempuan itu berdiri saling berhadapan dan mendaraskan Magnificat. Mereka melewatkan sepanjang malam dalam doa, untuk alasan yang sekarang aku tak dapat mengatakannya. Sepanjang siang hari aku melihat Maria sibuk dengan berbagai macam pekerjaan, menenun selimut, misalnya.

Aku melihat Yosef dan Zakharia masih dalam perjalanan. Mereka melewatkan malam itu di bawah suatu tempat bernaung. Mereka mengambil jalan yang sangat berputar-putar dan, aku pikir, mengunjungi banyak orang, sebab perjalanan mereka memakan waktu hingga tiga hari lamanya.

Lagi, aku melihat Yosef di Nazaret. Pelayan perempuan Anna mengurus rumah untuknya, pergi dan pulang di antara kedua rumah. Dengan pengecualian ini, Yosef sama sekali seorang diri.

Aku juga melihat Zakharia kembali ke rumah, dan aku melihat Maria dan Elizabet mendaraskan Magnificat seperti biasanya, dan melakukan berbagai macam pekerjaan. Menjelang sore, mereka biasa berjalan-jalan di taman. Terdapat sebuah sumur dalam taman, suatu yang langka di bagian wilayah negeri ini; sebab itu para pengelana selalu membawa bersama mereka semacam jus dalam sebuah kirbat kecil sebagai bekal minum. Terkadang juga dan biasanya menjelang sore ketika udara mulai sejuk, Maria dan Elisabet berjalan-jalan agak jauh dari rumah, sebab rumah Zakharia berdiri sendirian di tengah-tengah padang. Mereka biasanya pergi tidur sekitar pukul sembilan dan selalu bangun sebelum matahari terbit.

Santa Perawan tinggal bersama Elisabet tiga bulan lamanya, hingga sesudah kelahiran Yohanes, tetapi Maria kembali ke Nazaret sebelum Yohanes disunat. Yosef pergi menjemputnya separuh perjalanan, dan untuk pertama kalinya memperhatikan bahwa Maria telah mengandung. Tetapi Yosef tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa ia mengetahui hal ini, dan bergulat dalam kebimbangan. Maria, yang telah khawatir akan hal ini, diam seribu bahasa dan asyik dengan pikirannya sendiri, sehingga menambah kegelisahan hati Yosef. Ketika tiba di Nazaret, Maria mengunjungi orangtua diakon Parmenas dan tinggal beberapa hari bersama mereka. Sementara itu kegalauan hati Yosef semakin bertambah-tambah sedemikian rupa hingga, apabila Maria pulang ke rumah, ia memutuskan untuk pergi diam-diam dari rumah. Kemudian malaikat menampakkan diri kepadanya dan menghiburnya.

Penglihatan-penglihatan akan Pesta

Aku melihat suatu penglihatan yang menakjubkan dan yang nyaris tak terlukiskan akan suatu pesta. Aku melihat sebuah gereja yang tampak bagaikan buah segidelapan yang ramping dan lembut, yang akar-akar batangnya menyentuh tanah di atas suatu mata air yang bergelembung. Batang itu tidak tinggi, orang dapat melihatnya antara gereja dan tanah. Pintu masuk gereja berada di atas mata air yang bergelembung dan bergelembung, memuncratkan sesuatu yang putih seperti tanah atau pasir, dan menjadikan sekelilingnya hijau dan subur. Tidak ada akar-akaran di atas mata air di depan gereja. Bagian tengah interior gereja bagaikan bagian tengah buah apel, sel-selnya terbentuk dari banyak benang-benang putih yang halus. Dalam sel-sel ini terdapat organ-organ kecil bagaikan biji-biji buah apel. Melalui sebuah lubang di lantai, orang dapat melihat lurus ke bawah ke dalam mata air yang bergelembung. Aku melihat beberapa biji yang tampak layu dan membusuk, jatuh ke dalam air. Tetapi, sementara aku melihatnya, buah itu tampak semakin dan semakin berkembang menjadi sebuah gereja; bagian tengah itu akhirnya memunculkan sesuatu seperti sebuah mesin, seperti seberkas bunga buatan yang lepas tak berikat di tengahnya. Dan sekarang aku melihat Santa Perawan dan Elisabet berdiri pada berkas bunga itu dan tampak lagi bagaikan dua tabernakel; yang satu adalah tabernakel seorang kudus, sementara yang lainnya adalah tabernakel Yang Mahakudus. Kedua perempuan terberkati itu saling berhadapan dan saling menyampaikan ucapan selamat. Lalu, muncullah dari diri mereka dua sosok, Yesus dan Yohanes. Yohanes, yang lebih besar, terbaring meringkuk di atas tanah, kepalanya pada pangkuannya; tetapi Yesus bagaikan seorang kanak-kanak yang teramat kecil yang terbentuk dari cahaya, seperti begitu sering aku melihat-Nya dalam Sakramen Mahakudus. Berdiri melayang-layang, Yesus bergerak menuju Yohanes dan melintas di atasnya bagaikan suatu kabut putih sementara Yohanes terbaring di sana dengan wajahnya di atas tanah. Pantulan dari kabut yang bagai salju itu terlihat melalui lubang di lantai masuk ke dalam mata air dan ditelan olehnya. Lalu Yesus membangkitkan Yohanes kecil dan memeluknya, setelah itu masing-masing kembali ke dalam rahim bundanya yang sementara itu memadahkan Magnificat.

Aku juga melihat sepanjang madah itu, Yosef dan Zakharia muncul dari dinding-dinding pada sisi-sisi gereja yang berhadapan dan diikuti oleh aliran manusia yang semakin besar jumlahnya, sementara seluruh bangunan terus terbuka, seolah, semakin dan semakin menyerupai sebuah gereja dan peristiwa pesta kudus itu. Pohon-pohon anggur dengan daun-daun yang subur tumbuh merambat sekeliling gereja, dan mereka menjadi begitu rapat hingga harus disiangi.

Sekarang gereja beristirahat di atas tanah. Di dalam gereja terdapat sebuah altar, dan melalui sebuah lubang di atas mata air yang bergelembung muncul sebuah bejana baptis. Banyak orang masuk melalui pintu, dan di sana pada akhirnya diselenggarakan suatu perayaan yang agung dan sempurna. Terdapat suatu pertumbuhan diam-diam dalam segala yang terjadi di dalamnya, baik dalam perkataan maupun dalam perbuatan. Aku tak dapat menceritakan semuanya dengan kata-kata.

Pada pesta Yohanes, aku mendapat suatu penglihatan lain akan suatu perayaan. Gereja yang segidelapan transparan, seolah terbentuk dari kristal atau kaca atau air. Di tengahnya terdapat suatu mata air yang di atasnya berdiri sebuah menara kecil. Aku melihat Yohanes berdiri di tepinya dan membaptis. Penglihatan berganti.

Dari mata air tumbuh setangkai bunga, sekelilingnya berdiri delapan pilar yang menyangga sebuah mahkota piramid. Di atas mahkota berdiri kakek nenek Anna, Elisabet dan Yosef; sedikit jauh dari batang utama terdapat Maria dan Yosef bersama orangtua Yosef dan orangtua Zakharia. Di atas batang tengah berdiri Yohanes. Suatu suara tampaknya berasal dari Yohanes, dan aku melihat bangsa-bangsa dan raja-raja memasuki gereja dan menerima Sakramen Mahakudus dari tangan-tangan seorang Uskup. Aku mendengar Yohanes mengatakan bahwa kebahagiaan mereka jauh lebih besar dari kebahagiaannya [Yohanes tidak pernah menerima Sakramen Mahakudus].
sumber : http://yesaya.indocell.net/id1085.htm


Rabu, 04 Maret 2015


Mengapa ada corpus Yesus di salib Katolik





“Orang Yahudi menuntut tanda dan orang Yunani mencari hikmat,” kata Rasul Paulus, “Tetapi kami memberitakan Kristus yang tersalib. Suatu sandungan bagi orang Yahudi dan kebodohan bagi orang bukan Yahudi, tetapi bagi mereka yang dipanggil… Kristus adalah kekuatan dan hikmat Allah!” (1Kor 1:22-24) Bahkan dengan lebih tegas Rasul Paulus melanjutkan, “Aku memutuskan untuk tidak mengetahui apa-apa di antara kamu selain Yesus Kristus, yaitu Dia yang disalibkan…” (1Kor 2:2). Kristus yang tersalib. Itulah yang menjadi inti pewartaan Rasul Paulus. Tentu, ini tidak berarti bahwa ia tidak percaya Tuhan Yesus telah bangkit, sebab Paulus juga berkata, “Jika Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah pemberitaan kami dan sia-sialah juga kepercayaan kamu” (1Kor 15:14). Maka, pemberitaan Kristus yang tersalib, sesungguhnya mengingatkan kita semua, akan betapa mahal harga yang harus dibayar oleh Kristus Tuhan kita, sebelum Ia bangkit dari kematian-Nya, untuk melepaskan kita—umat manusia—dari ikatan dosa dan maut. Di kayu salib itu, Yesus menggenapi apa yang dikatakan-Nya sendiri kepada para murid-Nya, “Tiada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (Yoh 15:13).

Maka, Gereja Katolik tidak dapat tidak, untuk mewartakan hal yang sama. Di setiap gedung-gedung gereja Katolik, dan rumah umat Katolik, bahkan dikenakan di leher orang Katolik, ada salib yang padanya tergantung suatu penggambaran tubuh atau ‘corpus’ Kristus yang tersalib. Ini menjadi suatu tanda bukti, betapa Gereja dengan setia mengenangkan pengorbanan Kristus, yang dengan salib suci-Nya, telah menebus dunia. “Apakah yang terjadi pada Injil dan pada Kekristenan, jika tanpa Salib Kristus, tanpa kurban penderitaan-Nya?” tanya Paus Paulus VI. “Itu akan menjadi sebuah Injil, sebuah Kekristenan, tanpa Penebusan dosa, tanpa Penyelamatan; sebuah Penebusan dan Penyelamatan yang tentangnya—kita harus mengakuinya di sini dengan ketulusan yang tak dapat dikurangi—kita mutlak membutuhkannya. Tuhan telah menebus kita dengan Salib itu, dengan kematian-Nya. Ia telah memberikan kita kembali, hak untuk hidup…” (Paus Paulus VI, Khotbah, 24 Maret 1967). Dengan memandang kepada Salib Kristus, kita diingatkan akan begitu kejamnya dosa—termasuk dosa-dosa kita—yang membuat-Nya sampai tergantung di sana. Namun juga, kita diyakinkan akan kasih Allah yang tiada bertepi, yang membuat-Nya mau menebus dosa kita, sampai menumpahkan darah-Nya sehabis-habisnya. Penderitaan dan wafat-Nya juga mendorong kita untuk tetap tabah dalam menghadapi berbagai tantangan dan kesulitan hidup sampai akhir hayat, sebab kita percaya, bahwa Tuhan Yesus menyertai kita. Ia telah terlebih dahulu melalui segala derita, untuk sampai kepada kemuliaan-Nya. Kitapun akan sampai ke sana, jika kita setia dan rela memikul salib kehidupan kita.

Namun tak dapat dipungkiri, bahwa penggambaran Kristus yang tersalib kadang mengundang rasa curiga dari sejumlah orang yang mempertentangkan penggambaran itu dengan firman Tuhan yang kita baca hari ini di Bacaan Pertama. Di sana disampaikan bahwa Tuhan melarang orang Israel untuk membuat patung yang menyerupai apapun yang ada di langit, di bumi maupun di bawah bumi (lih. Kel 20:4). Namun Gereja Katolik tidak mengartikan ayat itu terlepas dari ayat-ayat yang lain dalam Kitab Suci. Ayat tersebut berkaitan dengan ayat sebelumnya, yaitu bahwa kita tidak boleh mempunyai allah lain di hadapan Tuhan. Sebab pada zaman kitab itu ditulis, bangsa Israel kerap membuat patung dan menjadikan patung itu sebagai allah lain di hadapan Allah. Mereka menjadikan patung anak lembu emas menjadi allah mereka (lih. Kel 32). Maka tentu Allah tidak berkenan. Namun jika patung dibuat untuk mengarahkan hati kepada Tuhan dan tidak disembah sebagai allah lain, hal itu tidak dilarang. Bahkan Allah sendiri memerintahkannya, seperti pada saat Ia menyuruh bangsa Israel untuk membuat patung kerub (malaikat) untuk diletakkan di atas tabut perjanjian (lih. Kel 25:18-22). Di Perjanjian Baru, Allah sendiri memperbaharui perintah-Nya tentang hal ini, dengan menjadikan Kristus “gambar dari Allah yang tidak kelihatan” (Kol 1:15). Maka Gereja Katolik hanya mengikuti teladan dari Allah sendiri, untuk membuat gambaran Kristus, yang adalah gambaran Allah. Bukti peninggalan dari Gereja perdana juga menunjukkan hal ini. Mereka membuat gambar-gambar dan simbol Yesus di dinding-dinding katakomba (gereja bawah tanah), di mana mereka beribadah. Tentu mereka tidak menduakan Allah dengan gambar-gambar itu. Hal itu justru menunjukkan kesatuan mereka dengan Kristus sehingga walaupun dianiaya karena mengimani Kristus, mereka lebih memilih mati daripada meninggalkan Dia. Mereka mengikuti jejak Kristus yang tersalib untuk sampai kepada kehidupan kekal.

Melalui cermin di hadapanku, kupandang salib Kristus itu yang menggantung di leherku. “Ya, Tuhan Yesus, terima kasih untuk pengorbanan-Mu. Kumohon rahmat-Mu agar aku boleh tetap setia sampai akhir, untuk mengimani Engkau yang disalibkan untukku dan seluruh dunia, demi menebus dosa-dosa kami.”

sumber: katolisitas.org