Senin, 12 Januari 2015

Imam adalah “manusia kepunyaan Allah” (2 Timotius 3:17)

Dia yang Memberikan Yesus kepada Kita

“Imam dari kodratnya adalah sama seperti semua manusia lainnya; dari martabatnya ia melampaui semua manusia lainnya di atas bumi; dari perilakunya ia patut disamakan dengan para malaikat.” ~ St Bernardus


Siapakah gerangan yang mempersiapkan Ekaristi Kudus bagi kita dan memberikan Tuhan kita kepada kita? Imam. Andai tidak ada imam, tidak akan ada Kurban Kudus Misa, pun Komuni Kudus, pun Kehadiran Nyata Yesus dalam tabernakel.

Dan siapakah gerangan imam itu? Imam adalah “manusia kepunyaan Allah” (2 Timotius 3:17). Tuhan Sendiri-lah yang memilihnya dan memanggilnya dari antara manusia untuk suatu panggilan yang sangat istimewa. “Tidak seorang pun yang mengambil kehormatan itu bagi dirinya sendiri, tetapi dipanggil untuk itu oleh Allah, seperti yang telah terjadi dengan Harun” (Ibrani 5:4). Tuhan mengkhususkannya dari semua manusia yang lain; ia “dikuduskan untuk memberitakan Injil Allah” (Roma 1:1). Tuhan membedakannya dari yang lain dengan suatu karakter sakral yang akan berlangsung untuk selama-lamanya, menjadikannya “imam untuk selama-lamanya” (Ibrani 5:6) dan menganugerahkan padanya kuasa-kuasa adikodrati imamat jabatan sehingga ia dikuduskan secara eksklusif untuk hal-hal Allah. Imam, “dipilih dari antara manusia, ditetapkan bagi manusia dalam hubungan mereka dengan Allah, supaya ia mempersembahkan persembahan dan korban karena dosa” (Ibrani 5:1).


Kemiskinan, Kemurnian dan Ketaatan

Dengan imamatnya, imam dikuduskan jiwa dan raga. Ia menjadi sesuatu yang seluruhnya kudus, dijadikan serupa dengan Yesus, sang Imam Agung. Sebab itu, imam adalah sungguh wakil Yesus, yang ikut ambil bagian dalam panggilan dan perutusan Yesus. Imam menempati peran Yesus dalam karya-karya terpenting penebusan semesta, yakni, sembah sujud kepada Allah dan pewartaan Injil. Dalam hidupnya sendiri, imam dipanggil untuk sepenuhnya mengamalkan hidup Yesus - hidup Dia yang Perawan, Dia yang miskin, Dia yang disalibkan. Dengan demikian imam menjadikan dirinya serupa Yesus, bahwa ia adalah “pelayan Kristus Yesus bagi bangsa-bangsa bukan Yahudi” (Roma 15:16), “seorang pengajar dan pembimbing jiwa-jiwa” (bdk. Matius 28:20).

St Gregorius dari Nyassa menulis, “Dia yang dulu adalah salah seorang dari antara orang banyak, sekarang menjadi kepala mereka, ketua mereka, seorang guru dalam hal-hal kudus dan pemimpin dalam misteri-misteri kudus.” Ini terjadi karena karya Roh Kudus; sebab “bukan manusia, bukan malaikat, bukan malaikat agung, bukan pula kuasa makhluk ciptaan manapun, melainkan Roh Kudus-lah yang menganugerahkan imamat kepada seseorang” (St Yohanes Krisostomus). Roh Kudus menjadikan jiwa imam serupa dengan jiwa Yesus, memberikan kuasa pada imam untuk menempati peran Yesus dengan cara begitu rupa hingga “imam di altar ambil bagian dalam pribadi Yesus” (St Siprianus), dan “mempunyai wewenang akan semua yang berhubungan dengan Tuhan” (St Yohanes Krisostomus). Jadi, siapakah yang akan heran jika martabat imamat dimaklumkan sebagai “surgawi” (Cassian), “ilahi” (St Dionisius), “tak terhingga” (St Efrem), sesuatu “yang dengan penuh cinta dihormati oleh para malaikat” (St Gregorius Nazianzen), begitu luar biasa hingga “apabila imam memimpin Kurban Ilahi, para malaikat menempatkan diri sekelilingnya dan dalam suatu paduan suara mereka menyanyikan madah pujian demi memuliakan Kurban yang dipersembahkan” (St Yohanes Krisostomus). Dan ini terjadi dalam setiap Misa!


Hormat dan Takzim

Kita tahu bahwa St Fransiskus Assisi tak bersedia menjadi imam sebab menganggap diri tidak layak untuk suatu panggilan yang sedemikian mulia. Ia menghormati para imam dengan suatu devosi yang istimewa, menganggap para imam sebagai “tuannya”, sebab dalam mereka ia melihat hanya “Putra Allah”. Cintanya kepada Ekaristi melebur dengan cintanya kepada imam yang mengkonsekrasikan dan melayani Tubuh dan Darah Yesus. Ia menyampaikan penghormatan khusus kepada tangan-tangan imam, yang biasa ia cium sambil berlutut dengan amat khidmad. Ia biasa bahkan mencium kaki imam dan bahkan jejak kaki yang ditinggalkan imam.

Penghormatan kepada tangan imam yang telah dikonsekrasikan, yang dengan hormat dicium oleh umat beriman, senantiasa ada dalam Gereja. Patut dicatat bahwa selama masa penganiayaan pada abad pertama, satu bentuk penganiayaan keji terhadap para uskup dan imam adalah memotong tangan-tangan mereka agar mereka tak lagi dapat mengadakan konsekrasi ataupun memberikan berkat. Umat Kristiani biasa pergi mencari tangan-tangan yang dipotong tersebut dan menyimpannya dengan rempah-rempah pengawet sebagai relikwi. Mencium tangan imam merupakan suatu ekspresi halus akan iman dan kasih kepada Yesus yang diwakili oleh imam. Semakin dalam iman dan kasih di antara umat beriman, semakin mereka berani berlutut di depan imam dan mencium “tangan-tangan yang dikuduskan” itu (Kanon Romawi), dengan mana Yesus membuat DiriNya hadir dengan penuh cinta setiap hari.

“Oh martabat imam yang mulia,” seru St Agustinus, “yang dalam tangan-tangannya Putra Allah berinkarnasi seperti yang dilakukan-Nya dalam rahim sang Perawan!” Imam kudus dari Ars mengatakan, “Kita memberikan penghargaan tinggi pada barang-barang yang diwariskan dan disimpan di Loretto, seperti cawan bubur Perawan Tersuci dan Kanak-kanak Yesus. Tetapi jari-jari imam, yang menyentuh Tubuh Yesus Kristus yang kita agungkan, yang menggenggam piala di mana Darah-Nya ditampung dan siborium di mana Tubuh-Nya ditempatkan - tidakkah jari-jari ini jauh terlebih berharga?” Mungkin tidak pernah kita memikirkannya sebelumnya. Tetapi, sungguhlah demikian. Teladan dari para kudus telah menegaskan pernyataan ini.

Dalam suatu ekstasi, Venerabilis Katarina Vannini melihat malaikat-malaikat berkumpul sekeliling tangan imam pada waktu Misa dan menyangga tangan-tangan itu pada saat Hosti dan Piala diunjukkan. Kita dapat membayangkan betapa penghormatan dan kasih dengan mana Venerabilis Abdi Allah ini biasa mencium tangan-tangan itu!

Ratu St Hedwig, setiap pagi ikut ambil bagian dalam semua Misa Kudus yang dirayakan dalam kapel istana, dengan menunjukkan syukur terima kasih dan hormat kepada para imam yang merayakan Misa Kudus. Ia biasa menyampaikan keramah-tamahan kepada mereka, mencium tangan mereka dengan saleh, memastikan bahwa mereka cukup makan dan menunjukkan sikap hormat kepada mereka. Dengan perasaan mendalam ia biasa berseru, “Tuhan memberkati dia yang membuat Yesus turun dari surga dan memberikan-Nya kepadaku!”

St Paskalis Baylon adalah penjaga pintu di sebuah biara. Setiap kali seorang imam tiba, broeder kudus ini berlutut dan dengan hormat mencium kedua tangan imam. Orang biasa berkata mengenainya - seperti yang mereka katakan mengenai St Fransiskus - bahwa ia memiliki devosi kepada tangan-tangan imam yang telah dikonsekrasikan. Ia yakin bahwa tangan-tangan itu memiliki kuasa untuk menangkal yang jahat dan mendatangkan rahmat bagi dia yang memperlakukan tangan-tangan itu dengan hormat sebab tangan-tangan itulah yang dipergunakan Yesus.

Dan bukankah suatu pemandangan yang mencerahkan hati dan budi melihat bagaimana Padre Pio dari Pietrelcina rindu untuk dengan penuh kasih mencium tangan imam, bahkan terkadang ia tampak sekonyong-konyong menyergap sang imam? Kita juga terkesan akan teladan Abdi Allah yang lain, Imam Don Dolindo Ruotolo, yang tak hendak membiarkan seorang imam pun menolak “belas kasih” membiarkan seseorang mencium tangannya.

Kita tahu bahwa Tuhan telah acapkali mengganjari tindakan penghormatan ini dengan mukjizat-mukjizat. Kita baca dalam riwayat St Ambrosius bagaimana suatu hari sesudah merayakan Misa Kudus, ia dihampiri oleh seorang perempuan lumpuh yang ingin mencium tangannya. Perempuan itu mempunyai kepercayaan yang besar pada tangan-tangan imam yang telah mengkonsekrasikan Ekaristi; dan ia disembuhkan seketika itu juga. Begitu pula di Benevento seorang perempuan yang telah menderita lumpuh selama limabelas tahun memohon pada Paus Leo IX untuk menginjinkannya minum air bekas cuci tangan paus dalam Misa Kudus. Bapa Suci mengabulkan permintaan itu, yang diajukan dengan semangat kerendahan hati, seperti yang dilakukan perempuan Kanaan yang memohon “remah-remah yang jatuh dari meja tuannya” (Matius 15:27) pada Yesus. Dan ia pun disembuhkan seketika itu juga.

Iman para kudus merupakan suatu yang sungguh luarbiasa dan menghasilkan buah. Mereka “hidup oleh iman” (Roma 1:17) dan berperilaku seturut iman dan kasih yang tidak menahan sedikitpun apabila menyangkut Yesus. Bagi mereka, imam mewakili tidak lebih dan tidak kurang Yesus Sendiri. “Dalam imam aku melihat Putra Allah,” kata St Fransiskus dari Assisi. Imam kudus dari Ars mengatakan dalam sebuah khotbah, “Setiap kali aku melihat seorang imam, aku memikirkan Yesus.” Apabila berbicara mengenai seorang imam, St Maria Magdalena di Pazzi biasa menyebutnya sebagai “Yesus ini”. Karena penghormatan ini, St Katarina dari Siena biasa mencium lantai atau tanah yang baru saja dilewati imam. Suatu hari, St Veronika Giuliani melihat imam menaiki tangga biara untuk membawakan Komuni Kudus bagi si sakit; St Veronika berlutut di kaki tangga, dan lalu menaiki anak-anak tangga dengan kedua lututnya, sembari mencium setiap anak tangga dan membasahinya dengan airmata yang meluap dari kasihnya. Betapa suatu teladan cinta!

Imam kudus dari Ars biasa mengatakan, “Jika aku berjumpa dengan seorang imam dan seorang malaikat, sudah sepatutnya aku memberi salam terlebih dahulu kepada imam sebelum aku memberi salam kepada malaikat… Jika bukan karena imam, Sengsara dan Wafat Yesus tidak akan ada gunanya bagiku… Apalah gunanya sepeti penuh emas jika tidak ada orang yang dapat membuka peti itu? Imamlah yang memiliki kunci harta pusaka surgawi….” Siapakah gerangan yang membuat Yesus turun dalam Hosti putih? Siapakah gerangan yang menempatkan Yesus dalam tabernakel-tabernakel kita? Siapakah gerangan yang memberikan Yesus kepada jiwa-jiwa kita? Siapakah gerangan yang memurnikan hati kita agar kita dapat menyambut Yesus? Imam, hanya imam. Imam adalah dia “yang melayani tabernakel” (bdk. Ibrani 13:10), yang mengemban “pelayanan pendamaian” (2 Korintus 5:18), “yang bagi kamu adalah pelayan Kristus yang setia” (Kolose 1:7) dan penyalur “rahasia Allah” (1 Korintus 4:1). Oh, betapa banyak peristiwa dapat dilaporkan mengenai imam-imam gagah berani yang mengurbankan diri demi memberikan Yesus kepada kawanannya! Kami laporkan di sini satu dari banyak peristiwa.

Beberapa tahun yang lalu di sebuah paroki di Brittany, seorang pastor tua terbaring menanti ajal di ranjang pembaringannya. Juga pada saat yang sama seorang dari umat parokinya berada di ambang ajal; ia adalah seorang dari mereka yang menyimpang dari Tuhan dan Gereja. Pastor amat berduka karena ia tak dapat bangun dan pergi kepadanya; sebab itu ia mengutus pastor pembantu memintanya untuk mengingatkan orang yang sekarat itu bahwa dulu ia telah berjanji tidak akan mati tanpa menerima sakramen-sakramen. Mendengar ini, umat yang sesat itu berdalih dengan mengatakan, “Aku memang berjanji kepada pastor itu, tetapi bukan kepadamu.” Pastor pembantu harus meninggalkan orang yang sekarat itu, dan melaporkan perkataannya kepada pastor. Pastor tua tak berkecil hati, meski ia sadar dirinya sendiri hanya punya beberapa jam saja yang masih tersisa; ia mengatur agar ia dapat diusung ke rumah si pendosa. Pastor dibawa masuk ke dalam rumah; ia berhasil melayani pengakuan dosanya dan memberinya Tuhan kita dalam Komuni Kudus. Kemudian, pastor berkata kepadanya, “Selamat tinggal, sampai bertemu di Firdaus!” Imam tua yang gagah berani ini diusung kembali ke pastoran. Ketika tiba, selimut yang menutup tubuhnya dibuka, tetapi imam tiada lagi bergerak. Ia telah wafat.

Marilah kita menghormati imam dan berterima kasih kepadanya sebab ia mendatangkan Tuhan bagi kita. Di atas segalanya marilah kita berdoa bagi kegenapan perutusannya yang mulia, yang adalah perutusan Yesus; “Sama seperti Bapa mengutus Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus kamu” (Yohanes 20:21). Suatu perutusan ilahi yang menguasai budi apabila orang merenungkan secara mendalam kasih yang mengilhaminya. Imam “dijadikan sama dengan Anak Allah” (Ibrani 7:3). Imam kudus dari Ars biasa mengatakan bahwa “hanya di surga kelak kita akan dapat memahami sepenuhnya keagungan ini. Andai kita mampu memahaminya di dunia ini, kita akan mati, bukan karena ketakutan, melainkan karena cinta… Sesudah Tuhan, imam adalah segalanya.”

Tetapi, martabat yang luhur mulia ini mendatangkan tanggung jawab yang luarbiasa pula, yang berat menghimpit kodrat manusiawi imam yang lemah, kodrat manusiawi yang sepenuhnya identik dengan semua manusia lainnya. “Imam,” kata St Bernardus, “dari kodratnya adalah sama seperti semua manusia lainnya; dari martabatnya ia melampaui semua manusia lainnya di atas bumi; dari perilakunya ia patut disamakan dengan para malaikat.”

Suatu panggilan ilahi, suatu misi mulia, suatu hidup yang luhur, suatu martabat yang luhur - betapa beban yang sungguh luar biasa, yang kesemuanya ditempatkan di atas bahu fana yang malang! “Imamat adalah salib dan kemartiran” demikian penjelasan yang tepat seperti yang disampaikan oleh imam yang luar biasa, Abdi Allah, Don Edward Poppe.

Renungkanlah betapa berat tanggung jawab atas keselamatan jiwa-jiwa yang dibebankan atas imam. Kewajibannya adalah membawa iman kepada orang-orang yang tidak percaya, mempertobatkan orang-orang yang berdosa, memberi semangat orang-orang yang suam-suam kuku, mendorong orang-orang yang baik untuk menjadi terlebih baik, memelihara orang-orang yang kudus untuk berjalan di tingkat yang tertinggi. Sekarang, bagaimanakah ia dapat melakukan semua ini jika ia tidak memelihara suatu persatuan yang sejati, suatu identitas bersama Yesus? Itulah sebabnya mengapa Padre Pio dari Pietrelcina biasa mengatakan, “Imam jika bukan seorang santo, seorang setan.” Imam menggerakkan jiwa-jiwa jika tidak kepada kekudusan, kepada kebinasaan. Betapa kebinasaan yang tak terkatakan yang diakibatkan oleh imam yang menistakan panggilannya dengan perilaku yang tidak pantas atau yang berani menginjak-injaknya dengan mengingkari statusnya sebagai seorang yang dikuduskan dan dipilih oleh Tuhan (Yohanes 15:16)!

Dalam kanonikal yang mendahului kanonisasi St Yohanes Maria Vianney, dicatat bahwa imam kudus dari Ars mencucurkan banyak airmata “sementara ia memikirkan kebinasaan imam-imam yang hidup tidak sesuai dengan kekudusan panggilannya.” Padre Pio dari Pietrelcina menggambarkan penglihatan-penglihatan yang meremukkan hati akan sengsara ngeri yang diderita Yesus karena dosa imam-imam yang tidak layak dan tidak setia.

Kita tahu bahwa St Theresia dari Lisieux, biarawati Karmelit yang kudus itu, menjelang ajalnya menyambut Komuni Kudusnya yang terakhir untuk intensi mulia ini - memohon kembalinya seorang imam yang sesat yang telah mengingkari panggilannya. Dan kita tahu bahwa imam ini wafat dalam sesal dan tobat, memohon belas kasihan Yesus.

Kita tahu bahwa tidak sedikit jiwa-jiwa, teristimewa jiwa-jiwa perawan, yang telah mempersembahkan diri mereka sebagai kurban untuk dipersembahkan kepada Tuhan bagi imam-imam. Jiwa-jiwa ini dikasihi Yesus dalam suatu cara yang istimewa. Marilah kita juga mempersembahkan doa-doa dan kurban-kurban kita bagi para imam; bagi mereka yang dalam bahaya dan bagi mereka yang berdiri teguh dan mantap, bagi mereka yang menyimpang dan bagi mereka yang melangkah maju dalam kesempuraan.

Dan secara khusus, setiap kali kita melihat seorang imam di altar, marilah kita juga berdoa kepada Madonna, dalam kata-kata Venerabilis Charles Giacinto, “O Madonna terkasih, sudi pinjamkan hatimu kepada imam itu agar ia dapat dengan pantas merayakan Misa.” Terlebih lagi, marilah kita berdoa agar semua imam dapat meneladani St Gaetano, yang biasa mempersiapkan diri untuk merayakan Misa Kudus dengan mempersatukan diri begitu erat pada Maria yang Tersuci, hingga dikatakan orang tentangnya, “Ia merayakan Misa seakan ia adalah Madonna.” Dan sungguh, sebagaimana Madonna menyambut Yesus dalam pelukannya di Betlehem, demikian pula imam menyambut Yesus dalam tangannya dalam Misa Kudus. Sebagaimana Madonna mempersembahkan Yesus sang Kurban di Kalvari, demikian pula imam mempersembahkan Anak Domba Allah yang dikurbankan di altar. Sebagaimana Madonna memberikan Yesus kepada umat manusia, demikian pula imam memberikan Yesus kepada kita dalam Komuni Kudus. Demikianlah, St Bonaventura dengan tepat memaklumkan bahwa setiap imam di altar patut dihubungkan dengan Madonna; sebab melalui Madonna Tubuh Mahasuci ini diberikan kepada kita, oleh tangan-tangan imam Ia dikurbankan. Dan St Fransiskus dari Assisi mengatakan bahwa bagi segenap imam, Madonna adalah cermin kekudusan mereka, mengingat kedekatan erat yang ada antara Inkarnasi Sabda dalam rahim Maria, dengan konsekrasi Ekaristi dalam tangan imam. 
 
 
Sumber: yesaya.indocell