Kamis, 06 Juni 2013


Garis besar arahan Gereja tentang Pembaruan Karismatik Katolik


Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) mengakui bahwa di hampir semua keuskupan di Indonesia telah ada Pembaruan Karismatik Katolik (PKK). Maka sudah menjadi tugas para Uskup untuk membimbing dan mengarahkan PKK demi kesatuan, persaudaraan dan kesepahaman seluruh umat. Hal inilah yang melatarbelakangi dikeluarkannya dokumen KWI tentang PKK, sebagaimana yang akan kami bahas di sini, yaitu: 1) Surat Gembala mengenai PKK: Aneka Karunia, Satu Roh, 1993; 2) Pedoman PKK: Pembaruan Hidup Kristiani sebagai Karisma Roh, 1995. Beberapa butir arahan dari KWI yang dapat kami sarikan, adalah agar PKK:

1. Bertumbuh dalam kesatuan dengan seluruh Gereja Katolik

Penekanan tentang kesatuan jelas sekali disampaikan oleh kedua dokumen yang dikeluarkan KWI tersebut tentang PKK. Dasarnya tentu adalah ajaran iman kita, bahwa Roh Kudus adalah Roh pemersatu yang telah dan senantiasa menyertai Gereja Katolik sepanjang sejarah. Adanya kebhinekaan harus dijadikan kesempatan untuk saling menghargai dan saling memahami sebagai saudara-saudara dalam satu keluarga besar, yang mempunyai satu Bapa, satu Tuhan, satu Roh[1].
a. PKK ada dalam kesatuan dengan sejarah pembaruan dalam Gereja Katolik

Perlu untuk disadari bahwa pembaruan di dalam Gereja bukan hanya baru pernah terjadi di zaman sekarang ini oleh gerakan Karismatik. Sejak zaman para Rasul, kita melihat bagaimana Gereja tidak membeku dalam kebiasaan lama (lih. Kis 15) atas gerakan Roh Kudus yang melaksanakan pembaruan oleh kasih karunia Allah.[2] Pembaruan juga terjadi di abad ke-3 oleh St. Antonius dari Mesir yang kemudian dianggap sebagai Bapa pelindung kehidupan monastik/ biarawan; dan di abad ke-5/6 oleh St. Benediktus yang mendirikan banyak biara yang membangun peradaban di Eropa, yang dengan demikian membawa pengaruh memajukan Gereja dan dunia. Semangat Benediktin ini dilanjutkan oleh St. Bernardus di abad ke-11/12 sehingga ajaran iman Kristiani semakin tertanam di dalam kehidupan masyarakat pada masa itu. Di Abad Pertengahan kita mengenal banyak tokoh orang kudus yang membangun Gereja dengan pembaruan yang mereka ajarkan, seperti St. Dominikus, St. Fransiskus dan St. Klara dari Asisi, dan St. Thomas Aquinas. Demikian pula, setelah Martin Luther memisahkan diri dari Gereja Katolik di abad ke-16, Gereja Katolik mengenal beberapa orang kudus yang justru membangun jemaat dari dalam, seperti St. Ignatius dari Loyola, St. Theresia dari Avila, St. Yohanes dari Salib, yang diikuti oleh para pendiri tarekat di abad ke 19. Semua ini menunjukkan karya Roh Kudus yang selalu memperbarui Gereja. Di abad ke-20 ini pembaruan banyak melibatkan kaum awam yang melakukan gerakan untuk membangun spiritualitas awam, untuk pembaruan iman. PKK yang lahir dan tumbuh dalam arus pembaruan ini, tak terlepas dari pembaruan yang terus terjadi di dalam sejarah Gereja. Pembaruan ini bertujuan untuk menjadikan iman sebagai sesuatu yang relevan dalam hidup, dan bahwa iman itu dapat menyentuh lubuk hati manusia.
b. PKK adalah salah satu gerakan gerejawi dalam Gereja Katolik

Sejalan dengan pengakuan dari Tahta Suci akan keberadaan gerakan Karismatik Katolik, maka para Uskup di Indonesia juga mengakui bahwa PKK adalah “salah satu dari sekian banyak upaya dan bentuk dalam Gereja”[3] yang mewujudkan tersentuhnya hati manusia oleh kekuatan Roh Kudus. Sebagaimana gerakan lainnya dalam Gereja, PKK juga menerima tuntutan untuk memadukan diri dalam kebersamaan seluruh Umat Allah.[4] Sebab karunia Roh Kudus sifatnya mempersatukan dan bukan malah memisahkan PKK dengan Gereja, ataupun menjadikannya sebagai kelompok yang tertutup bagi kalangannya sendiri.

Dengan demikian, diperlukan komunikasi dan kerjasama antara PKK dengan badan-badan pembaruan yang lain, seperti Kelompok Pembaruan Hidup Kristiani, Legio Mariae, Marriage Encounter, Couples for Christ, dsb.[5] Kerjasama ini dapat dipakai sebagai kesempatan untuk saling belajar, dan saling memperkaya satu sama lain.
c. PKK perlu untuk terlibat dalam pembangunan jemaat yang lebih luas

KWI mengajak agar para aktivis PKK juga turut terlibat dalam pembangunan jemaat yang lebih luas.[6]. Artinya diperlukan kesediaan anggota PKK ini untuk juga terlibat dalam kegiatan-kegiatan di lingkungan, wilayah dan paroki. Dengan demikian kelompok PKK tidak hanya menjadi kelompok yang tertutup dan eksklusif, namun kelompok yang berbaur dengan komunitas lainnya di paroki. Maka walaupun ada dari sejumlah persekutuan doa (PDKK) yang mempunyai kelompok basis yaitu terdiri dari kelompok-kelompok kecil anggotanya- namun dihimbau agar jangan sampai hal ini memisahkan mereka dari kegiatan umat basis di paroki, ataupun kelompok gerejawi lainnya.

BPN (Badan Pelayanan Nasional) melalui Badan Pelayanan Regional maupun Keuskupan, “perlu mengarahkan semua persekutuan doa untuk memadukan kegiatan mereka dengan arah Gereja yang lebih luas…. ”[7]. Dengan demikian PKK tidah menjadi gerakan yang berdiri sendiri dalam Gereja Katolik, namun menjadi gerakan yang tumbuh, berkembang, dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan Gereja Katolik.
d. Para pemimpin PKK agar memelihara ketaatan kepada Pimpinan Gereja

Selanjutnya, KWI mengingatkaan agar PKK “memelihara persatuan lahir batin dalam kesetiaan dewasa dengan Pimpinan Gereja setempat”[8], yaitu pastor paroki, bapa Uskup dalam kesatuan dengan Bapa Paus. Adalah suatu rahmat Allah yang patut disyukuri bahwa Gereja Katolik mempunyai para pemimpin yang terhubung dengan para Rasul melalui tahbisan suci. Roh Kudus yang sama telah membimbing mereka, bahkan secara terus menerus sampai 2000 tahun. Oleh karena itu, sudah sepantasnya, bahwa pembaruan yang otentik dari PKK juga menjaga kesatuan dengan para pemimpin Gereja yang sama-sama dibimbing oleh Roh Kudus yang satu dan sama itu.

Di saat yang sama, KWI juga mengingatkan para imam untuk memberikan bimbingan pastoral kepada seluruh umat, termasuk PKK, walaupun ia sendiri tidak merasa terpanggil untuk bergabung dengan PKK. KWI mengingatkan imam “agar menjauhi sikap menolak mentah-mentah atau memusuhi PKK.”[9]. Oknum atau kelompok yang ‘sulit’ sekalipun tidak dapat menjadi dalih untuk diabaikan, sebab para imam dipanggil untuk menjadi gembala yang menyelamatkan semua umat.[10]

2. Menghadirkan kasih Allah di dunia

Di tengah dunia kita yang kini makin sekular, konsumtif, materialistik, PKK dalam kesatuan dengan Gereja dipanggil untuk menghadirkan kasih Allah.[11]. Kasih Allah ini perlu diwujud-nyatakan misalnya dengan kepedulian dan perhatian dengan sesama yang sedang berduka, yang sakit, yang kehilangan tempat tinggal, dan dalam mengusahakan kesatuan kasih di antara sesama anggota Kristus. Maka persekutuan doa karismatik selayaknya menjadi keluarga umat beriman yang penuh kasih satu sama lain, saling pengertian dan saling menguatkan. Persekutuan kasih ini hendaknya dibawa juga ke lingkungan paroki, dan bahkan ke masyarakat sekitar, sebagai tanda akan hadirnya Roh Allah yang memperbarui hidup.

Maka pelayanan doa syafaat, memberikan konsultasi, kunjungan kepada yang sakit ataupun bakti sosial dst, semuanya ini menjadi kesatuan yang tak terpisahkan dari pembaruan diri oleh Roh Kudus. Sebab Roh Kudus adalah Roh kasih Allah, sehingga pembaruan oleh Roh Kudus selayaknya menghasilkan kasih yang mempersatukan sebagai buahnya. Oleh karena itu, kesatuan kasih dalam keluarga, antara sesama anggota dalam komunitas, antara sesama komunitas gerejawi dalam paroki, maupun dengan masyarakat yang lebih luas menjadi salah tujuan utama kegiatan PKK.

Selanjutnya KWI memberikan petunjuk untuk memeriksa, sejauh mana kita didorong oleh Roh Kudus yang sejati, yaitu “bagaimana kita bersikap kepada kepentingan umat dan masyarakat yang lebih luas.”[12] Singkatnya, sejauh mana kita sudah berbuat kasih. Atau dengan kata lain, sejauh mana kita telah mencerminkan buah-buah Roh Kudus (Gal 5:22-23) dalam kehidupan keseharian kita.[13]
 
3. Pembaharuan diri sebagai murid Kristus dalam kerendahan hati

Pengalaman kasih Allah yang telah dialami oleh setiap anggota PKK, merupakan pengalaman yang mengubah dan memperbarui hidup sampai ke inti diri.[14] Pembaruan diri adalah penting, namun perlu disadari bahwa pembaruan ini merupakan suatu proses yang panjang dan karenanya perlu dijalani dengan semangat kerendahan hati. KWI mengingatkan, bahwa “karunia fisik ataupun kejiwaan apapun tidak berarti jika tidak dirangkum dalam kerendahan hati dan kasih Kristus, serta berguna bagi umat.”[15]
a. PKK bukan satu-satunya cara pembaruan Gereja

Kerendahan hati ini ditunjukkan dengan kesediaan untuk menerima bahwa PKK bukan satu-satunya cara pembaruan Gereja,[16] dan dengan demikian menganggap bahwa orang yang belum mengikuti PKK adalah orang yang belum dipenuhi dengan Roh Kudus. Pemahaman ini keliru, sebab setiap orang yang sudah menerima sakramen Baptis, ia telah menerima Roh Kudus[17] dan menerima ketujuh karunia Roh Kudus (lih. Yes 11:2-3). Bahwa oleh pencurahan Roh Kudus dalam PKK maka rahmat Baptisan itu disegarkan kembali, itu benar, tetapi tidak mengubah kenyataan bahwa semua orang yang telah dibaptis telah menerima Roh Kudus. Melalui Baptisan itulah mereka memasuki pintu gerbang kehidupan kekal, karena kehidupan ilahi yang dikaruniakan oleh Roh Kudus yang adalah Roh Allah sendiri.

Secara lebih spesifik, KWI mengingatkan agar jangan PKK berpendapat seakan-akan PKK saja-lah yang terbaik bagi umat Katolik. Atau kemudian menganggap bahwa cara berdoa dalam Roh sebagai cara berdoa yang terbaik. Terhadap kecenderungan ini KWI mengatakan, “Marilah kita setia kepada Roh….. sehingga Roh sajalah satu-satunya yang mutlak, bukannya cara berdoa kita. Janganlah kita berpendapat, seakan-akan cara pembaruan kita sajalah yang menyelamatkan umat. Tidak seyogyanya kita memiliki kesombongan rohani…. seperti umat Korintus yang ditegur Paulus.” (lih. 1 Kor 3:4).[18]
b. PKK agar memiliki kerendahan hati untuk menafsirkan Kitab Suci dalam terang ajaran Gereja Katolik

Salah satu buah dari pencurahan Roh Kudus adalah kerinduan untuk membaca dan merenungkan Kitab Suci. Maka kecintaan terhadap Sabda Tuhan dalam Kitab Suci memang merupakan salah satu ciri-ciri PKK. Namun perlu disadari bahwa untuk menginterpretasikan Kitab Suci secara benar, diperlukan bimbingan Gereja, sebab kepada Gereja-lah, Allah memberikan Sabda-Nya. KWI mengingatkan agar kita tidak “mencupliki ayat-ayat yang sesuai dengan kebutuhan kita tanpa memperhitungkan konteks yang lebih luas”[19] dan karena itu mengartikannya hanya semata sesuai dengan keinginan kita, tanpa mempelajari makna yang lebih dalam yang terkandung di dalamnya, dalam hubungannya dengan keseluruhan isi Kitab Suci. Oleh karena itu kesediaan untuk mempelajari ajaran Gereja menjadi sangat penting.
c. PKK tidak berarti menjamin seseorang pasti sudah di puncak kekudusan

Pencurahan Roh Kudus yang dialami dalam Seminar Hidup dalam Roh Kudus, hendaknya tidak dianggap sebagai segala-galanya, yang sudah menghantar kepada puncak kekudusan.[20]. Sebab kekudusan merupakan proses yang harus terus diusahakan. Para anggota PKK tetap harus bertumbuh dalam pengenalan akan Allah dan dalam menghadirkan Kristus Sang Pengudus dalam hidup dan perbuatan sehari-hari. Caranya adalah: dengan terus mengusahakan saat teduh setiap hari, dengan mengambil bagian dalam sakramen-sakramen Gereja, bertumbuh dalam komunitas dan pelayanan kepada sesama yang menderita ataupun yang membutuhkan bantuan. KWI mengingatkan kita bahwa jalan kekudusan itu merupakan jalan yang panjang,[21] yang senantiasa harus diusahakan. Sebab kekudusan itu berhubungan dengan kesediaan kita untuk menghadirkan Kristus di dalam pikiran, perkataan dan perbuatan kita dalam kehidupan sehari-hari. Ini merupakan proses yang melibatkan jatuh bangunnya kita sebagai murid Kristus, dan kesediaan untuk “terus menerus mengarahkan diri kepada Tuhan dengan sikap pertobatan tanpa henti”.[22]
 
4. Mengikuti teladan Bunda Maria

Teladan pemuridan ini secara sempurna kita temui di dalam diri Bunda Maria. Diperlukan kerendahan hati dari kita semua untuk mengakui bahwa betapapun intens pengalaman rohani kita oleh pencurahan Roh Kudus, tidaklah akan dapat dibandingkan dengan kesatuan Bunda Maria dengan Roh Kudus. Bunda Maria telah dinaungi oleh Roh Kudus, sehingga Kristus, Putera Allah dapat menjelma menjadi manusia di dalam rahimnya. Jika pengalaman pencurahan Roh Kudus yang mungkin dialami dalam sekian menit dalam SHDR dapat dianggap sebagai pengalaman rohani yang menakjubkan, bagaimana mungkin itu dapat dibandingkan apalagi disejajarkan dengan pengalaman Bunda Maria, yang mengandung Sang Putera Allah di dalam rahimnya selama 9 bulan, dan hidup bersama dengan Kristus di bawah satu atap selama 30 tahun? Bahkan sejak di kandungan ibunya, St. Anna, Bunda Maria sudah dikuduskan Allah dan tidak bernoda dosa, dan dengan demikian menunjukkan kesatuannya dengan Roh Kudus. Bunda Maria yang dalam keadaan erat bersatu dengan Tuhan-pun tetap menyebut dirinya sebagai “hamba Tuhan” (Luk 1:38), memberikan teladan kerendahan hati, bahwa seberapapun dekatnya kita dengan Kristus Tuhan kita; Ia tetaplah Tuhan kita, dan kita ini adalah ciptaan-Nya.

Itulah sebabnya tak berlebihan jika KWI mengingatkan kepada kita bahwa “Bunda Maria adalah manusia pertama yang secara mendasar adalah ‘orang yang berkarisma’ (lih. Luk 1:28).[23] Dengan demikian, tepatlah jika PKK “menemukan teladan dan pembimbing surgawinya dalam diri Santa Perawan Maria.”[24]. Jika PKK ingin semakin erat bersatu dengan Roh Kudus, maka tak ada teladan yang lebih tepat untuk dicontoh daripada Bunda Maria.
 
5. Jangan mengejar karunia- karunia

Roh Kudus memberikan karunia pada tiap-tiap orang demi kepentingan bersama,[25] artinya untuk membangun jemaat (lih. 1 Kor 12:8-10). Karunia-karunia yang disebutkan oleh Rasul Paulus dalam suratnya itu adalah karunia-karunia karismatis. Karena karunia itu sifatnya adalah pemberian yang cuma-cuma, maka tidak dapat dikejar ataupun direbut.[26] Karunia bahasa lidah, yang umum dicurahkan dalam SHDR merupakan suatu cara berdoa dengan bahasa cinta[27], entah itu doa pujian atau permohonan. Betapapun indahnya cara berdoa ini, namun tidak untuk dimutlakkan bagi semua umat. Sebab yang mutlak adalah Roh Kudusnya, dan bukan cara berdoanya.[28] Selanjutnya KWI menghimbau agar penggunaan ‘bahasa Roh’ ini dilakukan secara bijaksana.[29]

Karunia selanjutnya adalah karunia nubuat, “yang biasanya merupakan hiburan untuk meneguhkan atau mendorong orang lebih berbakti dalam jemaat”[30]. Karunia nubuat memerlukan tafsir dari orang yang mempunyai karunia discernment, yaitu dapat memilah-milah jenis pengaruh Roh dan akibat-akibatnya. Di sini penting peran pemimpin doa yang bijak agar dapat menyampaikan kepada umat yang bersekutu dalam doa tersebut, entah itu penghiburan, peneguhan, ataupun dorongan ke arah yang baik. Nubuat yang sejati mengungkapkan kehendak Allah “pada saat dan tempat tertentu dan perlu selalu diuji oleh umat, melalui orang yang bertanggung jawab. Pada kasus- kasus tertentu karunia ini malah perlu diuji oleh Uskup.”[31].

Karunia penyembuhan yang sering menonjol dalam PKK harus diarahkan tidak semata-mata kepada penyembuhan jasmani dan rohani, tetapi kepada penyadaran akan karya Roh Kudus dan kehadiran Kerajaan Allah.[32] Selanjutnya perlu disadari bahwa dalam Gereja Katolik penyembuhan yang otentik adalah penyembuhan yang menyeluruh bagi hubungan manusia dengan Tuhan, dan ini terungkap dengan lengkap dalam sakramen-sakramen, terutama sakramen Tobat dan sakramen Pengurapan Orang Sakit. Maka PKK diundang untuk turut menghidupkan kembali perayaan-perayaan kedua sakramen tersebut. Sedangkan sakramen Ekaristi, yang adalah perayaan kurban Kristus di salib demi penebusan kita dan persatuan kita dengan Dia dan dengan sesama, adalah perayaan penyembuhan yang paling utama. Jika dihayati dengan sungguh maka perayaan ini dapat membawa ketenangan hati, kesembuhan rohani dan pemulihan hubungan dengan sesama,[33] sebab kita diarahkan untuk menyadari bahwa Allah memilih jalan Salib untuk menyembuhkan dan memulihkan hubungan antara Allah dan manusia. Maka kitapun diajak untuk dengan tabah memikul penderitaan yang Tuhan izinkan terjadi dalam kehidupan kita, dan menyatukannya dengan penderitaan Kristus, demi keselamatan diri kita sendiri maupun sesama. Dengan cara inilah kita mengambil bagian dalam Salib Kristus, agar dapat mengambil bagian pula dalam Kebangkitan-Nya. Maka Gereja Katolik tidak menekankan hanya kebangkitan dan kemenangan tanpa Salib, sebab Kristus sendiri menunjukkan bahwa Ia memilih Salib untuk sampai kepada kemuliaan-Nya (lih. Ibr 2:10).

KWI mengingatkan kita juga agar tidak terpaku kepada karunia-karunia karismatik yang mencolok, seperti karunia berbahasa Roh dan bernubuat; tetapi kepada buah-buah Roh yang nampak sederhana tetapi penting, yaitu pengendalian diri, kesetiaan, yang nyata dalam disiplin dan ketekunan, dan kebijaksanaan.[34]. Tuhan berbicara kepada umat-Nya melalui banyak cara dan membagi-bagikan karunia-Nya seturut kehendak-Nya. Dengan demikian, kita terhindar dari sikap mendesak-desak Tuhan untuk melakukan mukjizat ataupun membagikan karunia-Nya dengan cara yang kita inginkan.[35] Kita perlu menyadari bahwa Allah-lah Sang pemberi karunia, dan karunia karismatik Roh Kudus itu diberikan untuk membangun jemaat (1 Kor 14:12). Maka karunia itu bukan keistimewaan dan teknik tertentu untuk berdoa ataupun melayani umat, namun merupakan cara mewujudkan iman Kristiani. Sebab segala karunia tidaklah berarti jika tidak dibarengi oleh iman, pengharapan dan kasih (lih. 1 Kor 13:4-7).

6. PKK agar setia bertumbuh dalam ajaran iman Katolik

Ada pepatah: “Rumput tetangga nampak lebih hijau daripada rumput dalam halaman rumah sendiri”. Agaknya kita perlu merenungkan juga betapa pepatah ini menjadi relevan bagi umat Katolik yang kerap kurang menghargai warisan iman Gerejanya sendiri. Semoga hal ini tidak terjadi di kalangan PKK.

PKK dapat membuka kesempatan bagi banyak umat Katolik untuk berjumpa dengan umat Kristen non-Katolik. Pertemuan ini dapat membuka kepada dialog yang membangun iman atas dasar saling menghormati. Namun demikian, hal persekutuan ekumenis ini juga perlu diwaspadai, sebab jika tidak diimbangi dengan pemahaman ajaran iman Katolik yang baik, maka dapat terjadi, pihak Katolik itulah yang menjadi terpengaruh, meragukan ajaran imannya, dan bahkan mulai meninggalkan kehidupan sakramental Katoliknya. Ini berlawanan dengan arahan KWI tentang ekumene, yang mengatakan demikian:

“…. ekumene tidak dapat disamaratakan dengan asal berdoa bersama dan menerima apa-apa saja yang dilakukan oleh umat atau gereja lain. Ekumene yang baik memiliki tolok ukur sebagai berikut: pesertanya saling menghargai, memiliki sikap tahu diri yang sehat, serta mengenal tradisi maupun ajaran gerejanya masing-masing. Ekumene dan Pembaruan Karismatik dapat didukung kalau sekaligus mendorong meningkatkan pengetahuan dan pengamalan kebiasaan, maupun prinsip ajaran serta hidup sakramental Katolik.”[36]

Oleh karena itu KWI menghimbau agar Badan-badan Pelayanan perlu menjaga dan melindungi anggota PKK, terutama mereka yang baru menjadi Katolik, agar tidak mengikuti persekutuan doa ekumenik[37], agar terhindar dari kebingungan ataupun keraguan akan iman Katolik.

Maka berikut ini adalah beberapa prinsip yang dapat diterapkan agar PKK dapat menjadi ‘semakin Katolik’:
a. Bersikaplah bijak terhadap ajaran-ajaran non-Katolik.

Kita kerap mendengar bahwa kerabat ataupun sahabat-sahabat kita -yang karena pengaruh persekutuan doa ekumenis- malah meninggalkan penghormatan kepada Bunda Maria dan para orang kudus, dan kurang menghargai sakramen-sakramen Gereja; karena mereka menganggap bahwa semua itu adalah aturan manusia, merupakan ajaran tambahan dari Gereja dan tidak sesuai dengan Kitab Suci. KWI menyadari adanya fenomena ini, bahwa keterlibatan anggota PKK dalam persekutuan ekumenis berpotensi membawa pemisahan, terutama jika memutlakkan Kitab Suci sebagai satu-satunya sumber ajaran iman.[38] Karena perbedaan yang mendasar ini, maka KWI pun mengingatkan agar jangan meminta seorang yang non-Katolik untuk mengajar dalam persekutuan doa umat Katolik[39], karena mau tidak mau, hal ini akan mewarnai pengajarannya yang dapat mempengaruhi penghayatan umat Katolik yang mendengarkannya. Konsekuensi logisnya adalah, bahwa para pengajar Katolik dalam PKK juga selayaknya tidak menimba pengetahuan di luar Gereja Katolik, karena berpotensi memasukkan juga ajaran-ajaran yang tidak sesuai dengan ajaran iman Katolik. Maka kesetiaan untuk bertumbuh dalam iman Katolik ini ditunjukkan salah satunya dengan tidak mengadopsi ajaran ataupun tradisi non-Katolik untuk diterapkan di dalam PKK.

Sebaliknya, PKK, terutama para pemimpin dan pewartanya, memiliki tugas untuk semakin ‘mengisi pundi-pundi rohaninya’ dengan pemahaman dan penghayatan akan ajaran iman Katolik. Sebab dalam Gereja Katolik yang telah berdiri selama 2000 tahun, telah tersimpan banyak harta rohani yang dipercayakan kepadanya oleh tuntunan Roh Kudus. Maka sesungguhnya para anggota PKK tidak perlu mencari jauh-jauh untuk menimba pengetahuan ajaran iman di persekutuan-persekutuan doa non- Katolik, karena hal ini sedikit banyak akan berpotensi mengaburkan penghayatan imannya sendiri sebagai seorang Katolik. Kita semua, terutama para pewarta Katolik, perlu mempelajari dan menghayati ajaran Gereja Katolik, agar apa yang diwartakannya tidak berseberangan dengan ajaran Katolik itu sendiri. Beberapa topik krusial yang perlu diwaspadai, contohnya adalah sumber ajaran iman hanya Kitab Suci saja, hanya iman saja yang perlu untuk keselamatan, teologi kemakmuran (asal ikut Tuhan pasti diberkati secara jasmani), berbagai klaim wahyu pribadi, akhir zaman, paham bahwa semua Gereja sama saja, bahwa semua orang berdosa, maka tak ada orang kudus, dan tak ada yang istimewa dari Bunda Maria, tak ada gunanya mendoakan jiwa-jiwa orang meninggal dst. Jika kita merasa bahwa kita kurang memahami tentang ajaran- ajaran ini, sudah seharusnya kita mencari tahu penjelasan dasar-dasarnya dari Gereja Katolik tentang hal ini, dan bukannya menerima begitu saja pemahaman pribadi. Perlu kembali kita ingat di sini bahwa Tuhan Yesus menjamin kuasa mengajar yang tidak mungkin salah, kepada Rasul Petrus, para rasul lainnya dan penerus mereka (lih. Mat 16:18-19, 18:18, 28:19-20), namun tidak kepada semua individu. Hal ini seharusnya menumbuhkan kerendahan hati di setiap umat Katolik untuk tidak menempatkan pemahaman pribadinya di atas ajaran Gereja.
b. Galilah kekayaan iman Katolik dalam Gereja Katolik

“Pewartaan dalam Gereja Katolik bukanlah pewartaan pendapat sendiri melainkan pewartaan Sabda Allah, seperti yang diakui dan diajarkan oleh Gereja Semesta.”[40]. Sudah saatnya para anggota PKK, terutama para pewartanya, mempelajari dan mendalami ajaran Gereja Katolik, agar yang diwartakan bukan pemahaman pribadi, melainkan ajaran Gereja. Ungkapan pewarta seperti, “Roh Kudus berbicara kepada saya demikian….. ” sejujurnya agak problematik, terutama jika kemudian yang disampaikan malah bertentangan dengan yang diajarkan oleh Gereja yang jelas-jelas sudah dibimbing oleh Roh Kudus selama 2000 tahun. Diperlukan kerendahan hati, terutama dari pihak pewarta, untuk menerima bahwa Roh Kudus juga ‘berbicara’ kepada kita melalui ajaran Gereja untuk menjelaskan Sabda Allah. Hal ini telah teruji selama 2000 tahun mempersatukan Gereja.

Adalah sesuatu yang menjadi ajakan atau bahkan anjuran bagi kita semua umat Katolik, termasuk anggota PKK, untuk mau membaca Katekismus Gereja Katolik atau Kompendium Katekismus Gereja Katolik. Kini bahkan Penerbit Kanisius sudah menerbitkan terjemahan UCat- Katekismus untuk kaum muda. Semoga kehausan kita akan pemahaman Sabda Allah membawa kita untuk mau mempelajari bagaimana Gereja memahami dan mengajarkannya, agar hidup kita semakin dipimpin oleh Sabda Allah itu sebagaimana dikehendaki oleh-Nya.

Demikianlah, pendalaman akan Sabda Allah yang diwartakan Gereja, akan menghantar pada pemahaman bahwa penghormatan kepada Bunda Maria dan para kudus, serta ajaran mengenai sakramen-sakramen Gereja justru merupakan pelaksanaan secara lengkap ajaran Kristus, dan mempunyai dasarnya dari Sabda Tuhan dalam Kitab Suci dan Tradisi Suci para Rasul. Sebab Tradisi Suci ada lebih dulu dari Kitab Suci dan Kitab Suci itu lahir dari Tradisi Suci. Karena keduanya berasal dari sumber yang sama, yaitu dari Allah, maka Tradisi Suci dan Kitab Suci tak dapat dipisahkan.

Menyadari akan begitu pentingnya peran pewarta dalam PKK, maka KWI mendukung keinginan Badan Pelayan Nasional, Badan Pelayanan Regional dan Badan Pelayanan Keuskupan, untuk menciptakan kader-kader untuk mewartakan Sabda Tuhan secara benar. KWI mendukung keinginan untuk meningkatkan kemampuan para pewarta, entah melalui sekolah pewarta, kerjasama dengan Lembaga Pendidikan Imam, Lembaga Pendidikan Kateketik, dan berbagai pakar, untuk maksud tersebut.[41]. Para Moderator mempunyai tugas untuk mengusahakan agar program-program pendidikan peserta maupun pewarta, benar-benar sesuai dengan kebutuhan umat dan selaras dengan ajaran Gereja, sebab pewartaan Gereja adalah pewartaan Sabda Tuhan.[42]
c. Jangan mengambil tradisi non-Katolik

Kita memang perlu mengakui, bahwa ada banyak lagu-lagu rohani Kristen non- Katolik yang indah yang dapat membantu untuk mengarahkan ataupun mengangkat hati untuk berdoa. Tentu jika liriknya sesuai dengan ungkapan iman kita, maka lagu-lagu ini dapat dipergunakan dalam persekutuan. Namun, perlu juga diperhatikan, terutama oleh para pemimpin PDKK, agar “tidak mudah mengambil alih kebiasaan dan lagu-lagu yang berasal dari tradisi dan teologi yang tidak sesuai dengan khasanah Gereja Katolik”[43]. Adalah penting disadari bahwa tidak semua lirik lagu-lagu rohani tersebut sesuai dengan ajaran Gereja Katolik.

Contoh sederhana, misalnya lagu ini:

Abba, kupanggil Engkau ya Bapa
Kau layakkan aku jadi anak-Mu,
memanggil-Mu, Yesus….

Lagu ini enak didengar, namun secara teologis liriknya agak rancu. Sebab kita memanggil Allah Bapa sebagai ‘Bapa’ (sebagaimana dalam doa Bapa Kami), dan Putera-Nya Yesus, sebagai Yesus, dan kita tidak mengacaukan antara kedua-Nya. Kedua Pribadi Allah tersebut tidak sama, walaupun hakekat Keduanya satu dan sama. Jika kita menganggap lagu pujian sebagai doa dan ungkapan iman kita, maka kita perlu memilih lagu dengan lirik yang sesuai, agar menambah pemahaman akan iman kita sendiri.
d. Tumbuhkan penghargaan terhadap sakramen-sakramen dan devosi.

KWI juga menghimbau agar dalam usaha pembinaan iman bagi anggota PKK dipadukan dengan penerimaan sakramen-sakramen.[44] Ini penting, sebab kita sebagai umat Katolik selayaknya menyadari bahwa peran persekutuan tidak dapat menggantikan peran sakramen-sakramen Gereja. Penghayatan akan hidup dalam Roh Kudus selayaknya mendorong kita untuk lebih menghayati sakramen-sakramen, yang melaluinya kita menerima rahmat Allah, yang turun atas kita, karena kuasa Roh Kudus. Terutama di sini adalah sakramen Ekaristi dan sakramen Tobat.[45]

Demikian pula, peran persekutuan tidak dapat menghilangkan pentingnya doa-doa pribadi dan devosi, termasuk di sini adalah devosi kepada Bunda Maria. Sebab melalui devosi kepada Bunda Maria yang memberi teladan yang sempurna tentang hidup dalam pimpinan Roh Kudus, kita dapat semakin bertumbuh dalam iman, pengharapan dan kasih, sebagaimana yang telah dinyatakan oleh Bunda Maria. Maka devosi kepada Bunda Maria perlu semakin dipupuk dengan kasih sejati, dengan cara yang tepat[46], supaya dalam bimbingan Bunda Maria, setiap anggota PKK dapat menghasilkan buah-buah Roh Kudus di dalam hidup sehari-hari.

7. Penutup: Roh Kudus adalah Roh Persatuan

Akhirnya mari senantiasa menyadari bahwa Roh Kudus, yaitu Roh yang senantiasa memperbarui Gereja, adalah Roh Persatuan.[47] Maka, segala gerakan pembaruan dalam Gereja selayaknya mempererat persatuan sesama anggota Gereja, dan bukan sebaliknya. Dengan demikian, terpenuhilah apa yang ditulis dalam surat Rasul Paulus tentang karunia-karunia Roh Kudus, yaitu bahwa yang terbesar dari semua karunia tersebut adalah kasih (lih. 1Kor 13:1-13), yaitu kasih yang mempersatukan.

Mari memohon dukungan doa Bunda Maria, Bunda yang selalu menyertai Gereja yang hidup dalam bimbingan Roh Kudus, agar kita semua dapat bertumbuh dalam kasih dalam peziarahan hidup kita, menuju Allah Bapa, dalam kesatuan dengan Kristus dan Roh Kudus.
 
Sumber : katolisitas.org

Tidak ada komentar: