Minggu, 09 Juni 2013

(Lagi) Kisah-Kisah Menakjubkan
dari Purgatorium (Api Penyucian)


"Aku tahu apabila kalian berdoa untukku, begitu pula dengan semua jiwa-jiwa lain di sini di api penyucian. Sangat sedikit dari kami di sini yang mendapatkan doa-doa; sebagian besar dari kami sama sekali ditinggalkan, tanpa pemikiran ataupun doa yang diperuntukkan bagi kami dari mereka yang di bumi." ~ (Pesan dari suatu jiwa di api penyucian) 

BEATO HENRY SUSO (1295 - 1366)
Kisah berikut diceritakan oleh sejarahwan Ferdinand dari Castile. Tahun 1324-1327 di Cologne ada dua orang rohaniwan Dominikan yang terkenal berbakat, salah satunya adalah Beato Henry Suso. Keduanya menempuh studi yang sama, memiliki cara hidup yang sama, dan di atas segalanya memendam kerinduan yang sama untuk mencapai kekudusan, yang membuat keduanya bersahabat karib. Ketika mereka telah menamatkan studi mereka, melihat bahwa mereka akan segera berpisah untuk kembali masing-masing ke biaranya sendiri, mereka sepakat dan berjanji satu sama lain bahwa apabila salah seorang dari keduanya meninggal, maka ia haruslah dibantu oleh yang lain selama setahun penuh melalui perayaan Misa dua kali dalam seminggu - pada hari Senin Misa Requiem, sebagaimana kebiasaan yang berlaku, dan pada hari Jumat Sengsara, sepanjang keadaan mengijinkan. Mereka saling berikrar satu sama lain bahwa mereka akan melakukan ini, saling memberikan ciuman damai, dan meninggalkan Cologne.

Selama beberapa tahun kemudian mereka berdua terus melayani Allah dengan semangat berkobar. Imam yang namanya tidak disebutkan adalah yang pertama dipanggil Tuhan, dan Pater Suso menerima berita duka dengan penyerahan diri kepada kehendak Allah. Ikrar yang mereka buat, dengan berlalunya waktu, telah terlupakan. Meski demikian, ia banyak berdoa untuk sahabatnya itu, menerapkan matiraga baru pada dirinya dan melakukan banyak perbuatan baik lainnya, namun tak terpikir olehnya untuk mempersembahkan Misa sebagaimana ia ikrarkan beberapa tahun silam.


Suatu pagi, saat undur diri dalam meditasi di kapel, sekonyong-konyong ia melihat muncul di hadapannya jiwa sahabatnya yang telah berpulang, yang, menatapnya dengan lembut, menegurnya sebab tidak setia kepada janjinya yang ia andalkan dengan penuh keyakinan. Beato Suso, yang amat terkejut, berdalih dengan mengatakan betapa banyak doa dan matiraga yang telah ia persembahkan, dan masih terus ia persembahkan, demi sahabatnya itu, yang keselamatannya dianggapnya sebagai keselamatannya sendiri.


"Apakah mungkin, saudaraku terkasih," tambahnya, "bahwa begitu banyak doa dan perbuatan baik yang aku persembahkan kepada Allah tidak cukup bagimu?" "Oh tidak, saudaraku terkasih," jawab jiwa yang menderita itu, "itu belumlah cukup. Adalah Darah Yesus Kristus yang diperlukan untuk memadamkan api-api yang membakarku; adalah Kurban Kudus yang akan membebaskanku dari siksa mengerikan ini. Aku mohon padamu untuk menepati janjimu, dan janganlah menolak memberikan kepadaku apa yang seturut keadilan adalah hutangmu kepadaku."


Beato Suso bergegas menanggapi penampakkan jiwa yang malang itu; ia menghubungi sebanyak mungkin imam dan mendesak mereka untuk mempersembahkan Misa bagi intensi sahabatnya dan, untuk memperbaiki kesalahannya, ia merayakan, dan menyebabkan banyak Misa dipersembahkan pada hari yang sama itu. Keesokan harinya beberapa imam, atas permintaan Pater Suso, bersatu dengannya dalam mempersembahkan Kurban Kudus bagi almarhum, dan dia terus melakukan tindakan amal kasih selama beberapa hari.


Tak berapa lama kemudian imam sahabat Pater Suso menampakkan diri kembali kepadanya, tetapi sekarang dalam kondisi yang sangat berbeda; wajahnya penuh sukacita, dan ia dikelilingi cahaya cemerlang. "Terima kasih, sahabatku," katanya "lihatlah, oleh Darah Juruselamat-ku aku dibebaskan dari penderitaanku. Sekarang aku pergi ke surga untuk merenungkan Dia yang begitu sering kita puja bersama di bawah selubung Ekaristi."


Sesudah itu, Beato Suso prostratio guna mengucap syukur kepada Allah yang kerahiman-Nya tak terbatas, sebab ia sekarang mengerti lebih dari sebelumnya nilai yang tak terhingga dari sebuah Misa.

DAYA KUASA LUAR BIASA MISA BAGI JIWA-JIWA DI PURGATORIUM 

Berikut dikutip dari buku yang sangat bagus "Purgatory - Explained by the Lives and Legends of the Saints" tulisan Pater F.X. Schouppe, S.J., diterbitkan oleh Tan Books, 1986. Kisah di bawah ini merupakan suatu kesaksian tulus dari seorang perempuan yang mendapatkan beberapa kunjungan dari jiwa di api penyucian.

Pada tanggal 13 Oktober 1849, ada yang meninggal pada usia limapuluh dua tahun, di Paroki Ardoye, di Flanders, yakni seorang perempuan bernama Eugenie Van de Kerckove, yang suaminya, John Wybo, adalah seorang petani. Eugenie adalah seorang perempuan saleh dan banyak amal, yang dengan murah hati memberikan amal kasih seturut kemampuannya. Dia, hingga akhir hidupnya, memiliki devosi mendalam kepada Santa Perawan Maria, dan berpantang daging demi menghormatinya setiap hari Jumat dan Sabtu. Meski perilakunya tak lepas dari cacat cela, dia mengamalkan hidup yang patut dianggap sebagai teladan dan panutan. Eugenie mempunyai seorang pelayan bernama Barbara Vennecke, berusia duapuluh delapan tahun, yang dikenal sebagai gadis yang saleh dan berbakti, dan yang melayani majikannya dalam sakitnya yang terakhir, dan setelah kematian Eugenie, tetap melayani tuannya, John Wybo.

Sekitar tiga minggu sesudah kematiannya, almarhumah menampakkan diri kepada pelayannya. Kala itu tengah malam; Barbara tidur nyenyak, ketika sekonyong-konyong ia mendengar namanya dipanggil dengan jelas tiga kali. Dia terbangun kaget, dan melihat Eugenie ada di hadapannya, duduk di sisi pembaringannya, berbalut gaun kerja, terdiri dari rok dan jaket pendek. Barbara terpana takjub atas penglihatan yang luar biasa ini. "Barbara," katanya. "Apakah yang engkau inginkan, Eugenie?" tanya si pelayan.

"Tolong ambil," kata sang nyonya, "penggaruk kecil yang sering aku minta kau letakkan di tempatnya; garuklah tumpukan pasir di ruang kecil itu; kau tahu mana yang aku maksudkan. Di sana kau akan menemukan 500 francs; gunakan itu untuk intensi Misa, 2 francs setiap kali Misa, untuk intensiku, sebab aku masih menderita." "Aku akan melakukannya, Eugenie," jawab Barbara, dan pada saat yang sama penampakan pun berakhir. Sebentar kemudian ia tertidur lagi, dan beristirahat dengan tenang hingga pagi.

Ketika bangun, Barbara berpikir bahwa mungkin itu hanyalah sebuah mimpi, namun demikian kesan itu begitu kuat, hingga tidak dapat tidak ia mengatakan, "Ini pastilah bukan mimpi. Aku melihat nyonyaku secara pribadi; dia sendiri tampil di hadapan mataku dan pastilah ia berbicara kepadaku. Ini bukan mimpi, tapi kenyataan. "

Oleh karena itu ia segera pergi dan mengambil penggaruk sebagaimana diperintahkan, menggaruk pasir, dan menemukan sebuah dompet berisi 500 francs. Dalam keadaan yang tak lazim dan luar biasa seperti itu si gadis yang baik berpikir bahwa adalah kewajibannya untuk meminta nasehat pastor sebelum menggunakan 500 francs untuk intensi Misa, dan ia pun menceritakan kepada pastor semua yang terjadi. Abbe R., Pastor Paroki Ardoye pada waktu itu, mengatakan bahwa Misa yang diminta oleh jiwa yang telah meninggal itu mutlak harus dirayakan, akan tetapi, menggunakan uang sebanyak itu, persetujuan dari suami, John Wybo, diperlukan, sebab uang itu ditemukan di rumahnya. Sang suami dengan suka hati setuju dan Misa pun dirayakan, dengan stipendium dua francs untuk setiap Misa.

Dua bulan setelah penampakan pertama, sementara Misa masih dipersembahkan untuk intensi Eugenie, Barbara sekonyong-konyong terbangun kembali tengah malam. Kali ini kamarnya diterangi suatu cahaya cemerlang, dan majikannya menampakkan diri di hadapannya dengan senyum bahagia, cantik dan segar; penampilannya seperti pada masa mudanya, dan ia berbalut jubah kemilau. "Barbara," katanya dengan suara jelas, "Terima kasih! Sebab aku sekarantelah dibebaskan dari tempat penyucian." Seusai mengucapkan kata-kata ini, dia pun lenyap, dan kamar menjadi gelap seperti sebelumnya. 

EUGENIE VON DER LEYEN (1867 - 1929)
Ada banyak orang kudus yang telah dikanonisasi yang adalah penolong bagi jiwa-jiwa menderita. Yang paling terkenal adalah St Yohanes Macias (yang dikenal membebaskan ribuan jiwa-jiwa dari api penyucian sepanjang hidupnya yang kudus), St Agustinus, St Dominikus, St Fransiskus Xaverius, St Victor, St Fransiskus dari Assisi, St Nicolas dari Tolentino, St Margareta Maria Alacoque, St Katarina dari Genoa, St Bernardus dari Clairvaux, St Gregorius Agung, St Odilon dari Cluny, St Fransiska Romana, St Bridget dari Swedia , St Ambrosius, St Bonaventura, St Thomas Aquinas, St Efraim, St Petrus Damianus, St Fransiskus de Sales, St Katarina dari Genoa, St Gemma Galgani, St Padre Pio, dan St Faustina Kowalska, serta masih banyak lagi.

Karena kerahiman -Nya yang tak terbatas, selain dari orang-orang kudus yang telah dikanonisasi, sejarah penuh dengan orang "sehari-hari" yang diijinkan Allah untuk membantu jiwa-jiwa di api penyucian. Allah mengijinkan suatu jiwa dari purgatorium menampakkan diri agar jiwa dapat dibebaskan dari purgatorium, atau sekurangnya, penderitannya diringankan; dan jiwa pada umumnya menampakkan diri kepada seorang yang saleh dan penuh kasih dalam hidupnya sebab orang yang demikian lebih besar kemungkinannya menanggapi permintaan jiwa dengan mempersembahkan kurban-kurban, penderitaan dan doa-doa yang adalah sarana yang amat berguna bagi jiwa-jiwa malang.


Salah seorang di antara mereka yang kerap dikunjungi jiwa-jiwa dari purgatorium adalah Eugenie von der Leyen. Eugenie adalah seorang perempuan terpelajar dari kalangan bangsawan tinggi Jerman; Eugenie memiliki gelar puteri dan tinggal di kastil leluhur di Waal, Bavaria, Jerman. Seturut perintah bapa pengakuannya, dia menulis buku catatan harian mengenai kontaknya dengan jiwa-jiwa malang di purgatorium. Setelah wafat Eugenie, buku catatan hariannya diserahkan kepada Uskup Eugenio Pacelli, yang kelak menjadi Paus Pius XII.



ST GEMMA GALGANI (1878 - 1903)
Kisah berikut dikutip dari buku yang sangat bagus "The Life of St Gemma Galgani" oleh Venerabilis Pater Germanus Ruoppolo CP.

Gemma melalui inspirasi Ilahi tahu bahwa di Biara Para Biarawati Passionis di Corneto [Italia] ada seorang biarawati yang sungguh berkenan di hadapan Allah sedang mendekati ajal. Dia bertanya kepadaku mengenainya, dan ketika aku menjawab bahwa memang benar, dia segera mulai memohon kepada Yesus untuk membuat sang biarawati menyilih segala kesalahannya di ranjang kematiannya, sehingga saat menghembuskan napas terakhir dia dapat langsung masuk ke Firdaus. Doanya, setidaknya sebagian, didengarkan. Sang biarawati menderita hebat dan meninggal dunia beberapa bulan kemudian. Gemma mengabarkan berita tersebut kepada orang-orang di rumahnya agar mereka dapat mendoakan almarhumah, dan dia memberi nama Maria Teresa dari Kanak-kanak Yesus, sebab ia tidak dikenal di Lucca. Setelah kematiannya, jiwa ini menampakkan diri kepada Gemma dengan diliputi kesedihan, memohon pertolongannya sebab ia sedang mengalami siksaan besar di api penyucian untuk cacat-cela tertentu.

Tidak ada yang lebih diperlukan demi menggerakkan hati Gemma untuk bertindak. Sejak saat itu dia tiada memberi dirinya sendiri istirahat; dia dengan tekun dan sungguh mempersembahkan doa-doa, airmata dan permohonan kasih kepada Tuhan kita.


"Yesus, sudi selamatkan dia," demikian terdengar dia berseru. "Yesus, bawalah Maria Teresa ke Firdaus tanpa berlambat. Dia adalah jiwa yang paling terkasih bagi-Mu. Ijinkan aku menderita banyak demi dia; aku ingin dia ada di surga."


Dan sepanjang waktu itu Gemma menulis dalam buku catatan hariannya sebagai berikut:


"Sekitar pukul 9:30 dan aku sedang membaca; sekonyong-konyong aku diguncang oleh tangan yang dengan lembut beristirahat di bahu kiriku. Aku berbalik takut; aku ketakutan dan berusaha berteriak, tapi aku ditahan. Aku berpaling dan melihat seorang berpakaian putih; aku mengenalinya sebagai seorang perempuan; aku memandangnya dan ekspresi wajahnya meyakinkanku bahwa tak ada yang perlu aku takutkan. 'Gemma,' katanya setelah beberapa saat, 'apakah kau mengenaliku?' Aku katakan tidak, sebab itulah kenyataannya. Ia menjawab: 'Aku adalah Moeder Maria Teresa dari Kanak-kanak Yesus. Aku sangat berterima kasih kepadamu atas kepedulian besar yang engkau berikan kepadaku sebab segera aku akan dapat memperoleh kebahagiaan abadiku.'


Semua ini terjadi ketika aku masih terjaga dan sepenuhnya sadar akan diriku. Lalu ia menambahkan: 'Teruslah, sebab aku masih harus mengalami beberapa hari penderitaan.' Dan sembari mengatakan demikian ia membelaiku dan lalu pergi. Raut wajahnya, perlu aku katakan, mengilhamkan banyak keyakinan dalam diriku. Sejak saat itu aku menggandakan doa-doaku demi jiwanya, agar ia segera mencapai tujuan; akan tetapi doa-doaku terlalu lemah; betapa aku merindukan bahwa bagi jiwa-jiwa di purgatorium hendaknya doa-doaku memiliki kekuatan seperti doa-doa para kudus."


Dan kurban silih yang terkasih ini menderita tanpa henti selama enambelas hari, hingga pada akhirnya Allah berkenan menerima kurbannya dan membebaskan sang jiwa. Beginilah sebagaimana diceritakan Gemma sendiri kepadaku:


'Menjelang setengah dua tampak olehku bahwa Bunda Maria sendiri datang guna memberitahuku bahwa jam suci yang aku panjatkan sudah hampir berakhir. Lalu nyaris seketika itu aku pikir aku melihat Sr. Maria Teresa datang menghampiriku dengan berbalutkan jubah Passionis, dengan disertai oleh Malaikat Pelindungnya dan oleh Yesus. Oh, betapa ia telah berubah sejak hari aku pertama kali melihatnya! Dengan tersenyum, ia mendekatiku dan mengatakan: 'Aku sungguh bahagia, dan aku pergi untuk menikmati Yesus-ku selamanya.' Ia berterima kasih lagi kepadaku. Lalu ia membuat tanda dengan tangannya mengucapkan selamat tinggal kepadaku, beberapa kali, dan bersama Yesus dan Malaikat Pelindungnya ia terbang ke surga. Saat itu sekitar pukul setengah tiga dini hari."


ST. LIDWINA DAN DOSA-DOSA PERCABULAN YANG BELUM DISILIH
Seorang laki-laki yang telah lama menjadi budak iblis ketidakmurnian, pada akhirnya beroleh kebahagiaan dipertobatkan. Dia mengakukan dosa-dosanya dengan sesal mendalam, akan tetapi, karena nyawanya direnggut kematian, dia tak beroleh kesempatan untuk menyilih dosa-dosanya yang banyak itu dengan penitensi yang sepantasnya. Lidwina, yang mengenalnya dengan baik, banyak berdoa untuknya. Duabelas tahun sesudah kematiannya Lidwina masih terus berdoa, ketika, di salah satu ekstasi dan dibawa ke purgatorium oleh malaikat pelindungnya, ia mendengar suara sedih keluar dari sebuah lubang yang dalam. "Ini adalah jiwa dia," kata sang malaikat, "yang untuknya engkau berdoa dengan sungguh dan tekun." Lidwina tercengang melihatnya begitu dalam di purgatorium duabelas tahun sesudah kematiannya. Sang malaikat, yang melihat Lidwina begitu sangat berbelas-kasihan, bertanya apakah ia bersedia menderita sesuatu demi pembebasannya. "Dengan segenap hatiku," jawab gadis yang murah hati itu.

Sejak saat itu Lidwina menanggung penderitaan-penderitaan baru dan siksa yang mengerikan, yang tampaknya melampaui kekuatan daya tahan manusia. Namun demikian, ia menanggungnya dengan keberanian, ditopang oleh cinta kasih yang lebih kuat dari kematian, hingga Allah berkenan mengirimkan kelegaan baginya.


Ia kemudian menarik napas sebagai orang yang dipulihkan ke suatu hidup baru, dan, pada saat yang sama, ia melihat jiwa yang untuknya ia begitu banyak menderita itu muncul dari jurang, putih bagai salju dan terbang menuju surga. (Dikutip dari: "Purgatory Explained" by Father F.X. Shouppe, S.J.)




ST LUTGARDA DAN SI PENGKHOTBAH JOHN DE LIERRE

Seorang pengkhotbah termasyhur bernama John de Lierre, adalah seorang imam yang sangat saleh dan dikenal baik oleh Santa Lutgarda. John de Lierre membuat perjanjian dengan Lutgarda, mereka saling berjanji bahwa barangsiapa meninggal terlebih dahulu, dengan perkenanan Allah, hendaknya menampakkan diri kepada yang lain.


John terlebih dahulu meninggalkan dunia ini. Sesudah melakukan suatu perjalanan ke Roma untuk suatu urusan demi kepentingan religius, ia menemui ajal di antara pegunungan Alpen. Setia pada janjinya, ia menampakan diri pada Lutgarda di biara terkenal Aywieres.


Ketika melihatnya, sang santa yang sama sekali tak berpikiran bahwa ia sudah meninggal, mengundangnya, seturut regula, ke ruang tamu agar ia dapat berbincang dengannya. "Aku tak lagi dari dunia ini," jawab si tamu, "aku datang ke sini hanya demi memenuhi janjiku." Mendengar ini, Lutgarda jatuh berlutut dan beberapa waktu lamanya merasa bingung. Kemudian, mengarahkan mata pada sahabatnya yang terberkati itu, ia bertanya, "Mengapakah engkau berpakaian sebegitu semarak? Apakah yang dilambangkan oleh tiga jubah rangkap tiga yang aku lihat engkau kenakan?"


"Pakaian putih," jawabnya, "melambangkan kemurnian perawan, yang selalu aku pelihara; jubah merah menyiratkan segala kerja dan penderitaan yang menghabiskan kekuatanku sebelum waktunya, dan mantol biru, yang menyelubungi semua, melambangkan kesempurnaan kehidupan rohani."


Setelah mengucapkan kata-kata ini, sekonyong-konyong ia meninggalkan Lutgarda, yang perasaannya terbagi antara sedih sebab telah kehilangan seorang Pater yang begitu baik, dan sukacita yang dialaminya karena kebahagiaan sahabatnya. (Dikutip dari: "Purgatory Explained" by Father F.X. Shouppe, S.J.)

 
ST MALACHY DAN SAUDARINYA
St Bernardus sangat mengagumi St Malachy karena devosinya kepada jiwa-jiwa di purgatorium. Semasa masih seorang diakon, ia suka melayani di pemakaman kaum miskin, menyertai jenazah mereka ke pemakaman dengan semangat pelayanan yang berkobar sebab ia biasa melihat mereka yang malang ini diabaikan sesudah kematian mereka. St Malachy mempunyai seorang saudari, yang dipenuhi roh duniawi dan yang berpikir bahwa saudaranya itu telah merendahkan diri dan keluarga dengan bergaul dengan kaum miskin. Saudarinya ini tidak mengenal cinta kasih Kristiani pun nilai Kurban Kudus Misa. St Malachy menegur saudarinya bahwa ia telah melupakan ajaran Yesus dan bahwa ia akan suatu hari nanti menyesali perkataan-perkataannya yang diucapkan tanpa pikir panjang.

Saudarinya ini mati muda dan pergi mempertanggung-jawabkan hidup duniawinya kepada Hakim yang Mahakuasa. St Malachy mempersembahkan Kurban Kudus dan berdoa banyak untuknya. Sementara itu, karena banyak orang-orang lain yang harus didoakan juga, ia lupa akan saudarinya yang malang. Saudarinya itu menampakkan diri kepadanya pada waktu ia tidur. Ia melihat saudarinya berdiri di tengah suatu area di depan gereja, bersedih, berpakaian kabung, dan memohon belas-kasihannya, mengeluh bahwa tigapuluh hari belakangan ini saudaranya telah melupakannya. St Malachy segera terbangun dan teringat bahwa sesungguhnya tigapuluh hari telah berlalu sejak ia merayakan Misa bagi saudarinya. Keesokan harinya ia mulai lagi mempersembahkan Kurban Kudus untuk saudarinya. Kemudian saudarinya itu menampakkan diri lagi kepadanya di pintu gereja, berlutut di ambang pintu, dan menangis sebab ia tidak diperkenankan masuk. St Malachy melanjutkan doanya. Beberapa hari kemudian ia melihat saudarinya masuk ke dalam gereja dan melangkah maju hingga ke lorong bangku tengah, tanpa dapat mencapai altar. St Malachy menganggap perlu untuk terus bertekun, jadi ia terus mempersembahkan Kurban Kudus demi kedamaian kekal jiwanya. Pada akhirnya, beberapa hari kemudian, ia melihat saudarinya dekat altar, berbusanakan gaun semarak, bercahaya dalam sukacita, dan bebas dari penderitaan.


"Dengan ini kita lihat," tambah St Bernardus, "betapa ampuhnya Kurban Kudus dalam menghapus dosa, dalam memerangi kuasa-kuasa kegelapan, dan dalam membukakan gerbang-gerbang surga bagi jiwa-jiwa yang telah meninggalkan dunia ini."

 

ST PETER CLAVER & DUA PEREMPUAN  
St Peter Claver, dari Serikat Yesus, Rasul Para Negro Cartagena [Kolumbia], membujuk seorang perempuan negro yang saleh, Angela, untuk menerima di rumahnya seorang perempuan negro bernama Ursula, yang lumpuh kedua kaki tangannya dan tubuhnya dipenuhi luka.

Suatu hari ketika ia pergi mengunjungi mereka, seperti yang dilakukannya dari waktu ke waktu untuk mendengarkan pengakuan dosa mereka dan membawakan mereka sedikit perbekalan, nyonya rumah yang murah hati itu mengatakan kepadanya dengan sedih bahwa Ursula berada di ambang kematian. "Tidak, tidak," jawab Pater, "ia masih memiliki empat hari lagi, dan dia tidak akan meninggal sampai hari Sabtu."


Ketika Sabtu tiba, ia mempersembahkan Misa untuk intensi Ursula, dan pergi mempersiapkan kematiannya. Setelah berdoa beberapa waktu lamanya, ia berkata kepada nyonya rumah dengan penuh keyakinan, "Tenanglah, Allah mengasihi Ursula; dia akan meninggal hari ini; dia akan berada tiga jam saja di purgatorium. Kiranya dia mengingatku apabila ia telah berada bersama Allah, kiranya ia berdoa untukku, dan untuk dia yang hingga saat ini telah menjadi seorang ibu baginya." Ursula meninggal dunia siang hari itu, dan pemenuhan satu bagian dari nubuat ini memberikan alasan kuat untuk percaya akan pemenuhan bagian nubuat yang lain.


Suatu hari lain, setelah pulang dari melayani pengakuan dosa seorang miskin yang sakit yang biasa dikunjunginya, St Peter mendapat kabar bahwa perempuan itu sudah mati. Orangtuanya sangat sedih, dan St Peter sendiri, yang tidak percaya bahwa ia telah sebegitu dekat dengan ajal, menjadi gelisah tanpa dapat dihiburkan sebab memikirkan bahwa ia tak dapat membantunya di saat-saat terakhir.


St Peter berlutut untuk berdoa dekat jenazah, ketika sekonyong-konyong ia bangkit; dengan raut wajah tenang ia mengatakan, "Kematian yang demikian ini lebih pantas mendapatkan iri kita daripada airmata kita; jiwa ini dihukum di purgatorium, tapi hanya untuk selama duapuluh empat jam. Marilah kita berusaha mempersingkat waktu ini dengan doa-doa kita yang sungguh. "


Cukup sudah dikatakan mengenai lamanya sakit di purgatorium. Kita lihat rentang waktu itu dapat diperpanjang ke tingkat yang mengerikan; bahkan yang tersingkat, jika kita mempertimbangkan tingkat kedahsyatannya, terasa panjang. Mari kita berupaya mempersingkatnya bagi orang lain dan menguranginya bagi diri kita sendiri, atau terlebih baik lagi mencegahnya sama sekali. (Dikutip dari: "Purgatory Explained" by Father F.X. Shouppe, S.J.)

 

 
ST GERTRUDE DAN JIWA-JIWA MENDERITA  
St Gertrude memiliki cinta kasih yang mendalam kepada jiwa-jiwa di api penyucian. Pada waktu Komuni Kudus ia biasa memanjatkan doa kepada Juruselamat terkasih kita permohonan penuh cinta dan sungguh untuk berbelas-kasihan kepada jiwa-jiwa menderita tersayang ini. Suatu ketika Gertrude berdoa dengan berkobar-kobar bagi jiwa-jiwa menderita kaum beriman. Ia bertanya kepada Tuhan kita berapa banyak jiwa yang akan dibebaskan kerahiman-Nya, dan ia menerima jawaban ini: "Kasih-Ku mendesak-Ku untuk membebaskan jiwa-jiwa menderita. Jika seorang raja yang baik hati meninggalkan temannya yang bersalah di penjara demi keadilan, ia akan menanti penuh harap salah seorang dari para bangsawan memohon dan menawarkan sesuatu demi pembebasannya. Kemudian raja dengan sukacita akan membebaskannya. Demikian pula, Aku menerima dengan teramat senang apa yang ditawarkan kepada-Ku demi jiwa-jiwa menderita, sebab Aku rindu tak terkira mereka - yang untuknya Aku bayar dengan harga begitu mahal - ada dekat-Ku. Dengan doa-doa jiwamu yang penuh kasih, Aku terdorong untuk membebaskan seorang tahanan dari api penyucian sesering engkau menggerakkan lidahmu untuk mengucapkan sepatah kata doa!"

Juruselamat kita juga mengajarkan kepada Gertrude bagi siapa ia harus berdoa paling banyak. Pada hari ketika komunitas memperingati bersama kematian orangtua mereka, santa kita melihat jiwa-jiwa bahagia naik dari kegelapan pekat bagai bunga-bunga api dari bengkel tukang besi. Ia bertanya apakah semua ini adalah sanak kerabat. Yesus menjawab: "Aku-lah kerabat terdekatmu, Bapamu dan Ibundamu. Oleh karenanya, sahabat-sahabat istimewaku adalah sanak kerabat terdekatmu, dan mereka ini ada di antara mereka yang Aku bebaskan." (dikutip dari "St. Gertrude the Great" by Tan Books and Publishers)



 

ST MAGDALENA DE PAZZI
(CATATAN MENGENAI PURGATORIUM)  
Berikut adalah catatan St Magdalena de Pazzi, seorang Karmelit Florentine, sebgaimana diceritakan dalam Riwayatnya oleh Pater Cepare.

Beberapa waktu sebelum wafatnya pada tahun 1607, abdi Allah, Magdalena de Pazzi, yang suatu sore ada bersama beberapa religius lain di taman biara, tenggelam dalam ekstasi, dan melihat purgatorium terbuka di hadapannya. Pada saat yang sama, suatu suara mengundangnya untuk mengunjungi segenap tahanan Keadilan Ilahi, dan melihat bagaimana jiwa-jiwa yang ditahan di sana sungguh layak beroleh kasih sayang.


Pada saat itu terdengar ia berkata, "Ya, aku akan pergi." Dia setuju untuk melakukan perjalanan menyakitkan ini. Sesungguhnya, ia berjalan selama dua jam mengelilingi taman, yang sangat besar, berhenti dari waktu ke waktu. Setiap kali dia berhenti berjalan, mengkontemplasikan dengan penuh perhatian penderitaan yang diperlihatkan kepadanya. Dia kemudian terlihat meremas tangannya dalam kasih sayang, wajahnya menjadi pucat, tubuhnya menjadi bongkok di bawah beban penderitaan, di hadapan penglihatan mengerikan yang ditunjukkan kepadanya.


Dia mulai berseru nyaring dalam ratapan, "Kasihanilah, Allah-ku, kasihanilah! Turunlah, O Darah Mulia, dan bebaskan jiwa-jiwa ini dari penjara mereka. Jiwa-jiwa Menderita! kalian menderita begitu dahsyat, namun begitu kalian merasa puas dan gembira. Ruang bawah tanah para martir dibandingkan dengan ini adalah taman sukacita. Meskipun demikian ada yang lain-lain yang lebih dalam. Betapa aku akan menganggap diriku bahagia andai aku tak harus turun ke sana. "


Walau demikian, dia turun, sebab dia dipaksa untuk melanjutkan perjalanannya. Tetapi ketika dia telah mengambil beberapa langkah, ia berhenti karena ngeri, dan mendesah dalam-dalam, dia berseru, "Apa! Kaum religius juga dalam kediaman suram ini! Allah yang Baik! betapa mereka tersiksa! Ah, Tuhan!" Dia tidak menjelaskan jenis penderitaan mereka; tetapi kengerian yang ia ekspresikan dalam mengkontemplasikannya menyebabkannya mendesah di setiap langkah.


Dia kemudian masuk ke tempat-tempat yang berkurang suramnya. Tempat-tempat ini adalah ruang-ruang bawah tanah jiwa-jiwa sederhana, dan anak-anak yang karena ketidaktahuan dan kurangnya pengertian diperingan dari banyak kesalahan. Siksaan mereka tampak olehnya jauh lebih tertahankan dibandingkan yang lain. Tiada yang lain selain dari es dan api di sana. Dia memperhatikan bahwa jiwa-jiwa ini didampingi para malaikat pelindung mereka, yang sangat menguatkan mereka dengan kehadirannya; tetapi dia juga melihat roh-roh jahat yang bentuk mengerikannya menambah penderitaan mereka.


Maju beberapa langkah, ia melihat jiwa-jiwa yang lebih malang, dan dia terdengar berteriak, "Oh! betapa mengerikan tempat ini; penuh roh-roh jahat mengerikan dan siksa yang luar biasa! Siapakah gerangan, ya Allah-ku, kurban-kurban dari siksaan keji ini? Kasihan! mereka ditembusi pedang-pedang tajam, mereka sedang dipotong-potong." Dia mendapat jawaban bahwa mereka adalah jiwa-jiwa yang perilakunya dicemari dengan kemunafikan.


Maju sedikit, ia melihat suatu himpunan besar jiwa-jiwa yang memar, seolah demikian, dan remuk di bawah sebuah himpitan; dan dia mengerti bahwa mereka adalah jiwa-jiwa yang dikuasai ketidaksabaran dan ketidaktaatan semasa hidup. Sementara mengkontemplasikannya, ekspresinya, desahannya, seluruh sikapnya adalah kasih sayang dan kengerian.


Sesaat kemudian ketegangannya meningkat, dan dia menjerit ngeri. Itu ruang bawah tanah kebohongan yang sekarang terbuka di hadapannya. Setelah memikirkannya dengan seksama, ia berteriak keras, "Para pembohong dikurung di sebuah tempat dekat neraka, dan penderitaan mereka luar biasa dahsyat. Timah cair dituangkan ke dalam mulut mereka; aku melihat mereka terbakar, sekaligus pada saat yang sama gemetar kedinginan."


Dia kemudian pergi ke penjara jiwa-jiwa yang telah berdosa melalui kelemahan mereka, dan dia terdengar berseru, "Kasihan! Aku pikir akan menemukan kalian di antara mereka yang berdosa karena ketidaktahuan, tapi aku salah; kalian dibakar dengan api yang lebih hebat."


Lebih jauh, dia melihat jiwa-jiwa yang memiliki terlalu banyak kelekatan pada barang-barang dunia ini, dan berdosa karena ketamakan. "Betapa buta," katanya, "begitu bersemangat mencari peruntungan yang fana! Mereka yang kekayaannya tak dapat cukup memuaskan dirinya, di sini kenyang dengan siksaan. Mereka dilebur seperti logam dalam tungku api."


Dari situ ia masuk ke tempat di mana jiwa-jiwa yang cemar dengan ketidakmurnian dipenjara. Dia melihat mereka dalam ruang bawah tanah yang begitu kotor dan menjijikkan hingga pemandangan itu membuatnya mual. Dia berpaling cepat dari penglihatan yang memuakkan itu.


Melihat mereka yang ambisius dan sombong, dia berkata, "Lihatlah mereka yang ingin bersinar di hadapan manusia; sekarang mereka dikutuk untuk tinggal dalam keremangan yang menakutkan."


Kemudian kepadanya ditunjukkan jiwa-jiwa yang bersalah karena tidak tahu berterima kasih kepada Allah. Mereka menjadi mangsa siksaan yang tak terkatakan, dan, seolah, tenggelam di sebuah danau timah cair, sebab dengan kedurhakaannya mereka telah mengeringkan sumber kesalehan.


Akhirnya, dalam ruang bawah tanah terakhir, kepadanya ditunjukkan jiwa-jiwa yang belum dikuasai kebiasan buruk tertentu, akan tetapi yang, karena kurangnya kewaspadaan yang pantas atas diri mereka sendiri, telah melakukan segala macam kesalahan sepele. Dia mengatakan bahwa jiwa-jiwa ini ikut ambil bagian dalam hukuman semua kejahatan, dalam tingkat sedang, karena kesalahan-kesalahan itu dilakukan hanya dari waktu ke waktu membuat mereka kurang bersalah dibandingkan mereka yang melakukannya melalui kebiasaan.


Sesudah perhentian terakhir ini sang santa meninggalkan taman, memohon kepada Tuhan untuk jangan pernah lagi menjadikannya saksi dari pemandangan yang begitu menyayat hati: dia merasa bahwa dia tak memiliki kekuatan untuk menanggungnya. Ekstasinya masih berlanjut, dan bercakap dengan Yesus, dia bertanya kepada-Nya, "Katakan kepadaku, Tuhan, apakah gerangan rencana-Mu dalam menyingkapkan kepadaku penjara-penjara yang mengerikan itu, yang begitu sedikit aku ketahui, apalagi aku pahami? ... Ah! Sekarang aku tahu; Engkau ingin memberiku pengetahuan akan kekudusan-Mu yang tak terbatas, dan membuatku semakin dan semakin membenci bahkan dosa yang teremeh sekalipun, yang begitu keji di mata-Mu."

 
VENERABILIS CATHERINE PALUZZI DAN SUSTER BERNARDINE

Catherine Paluzzi mengamalkan hidup saleh di Keuskupan Nepi, Italia, di mana ia mendirikan sebuah Biara Dominikan. Di sana tinggal bersamanya seorang religius bernama Bernardine, yang jauh lebih maju dalam kehidupan rohani. Kedua orang kudus ini saling meneladani satu sama lain dalam semangat, dan saling membantu untuk semakin dan semakin maju dalam kesempurnaan ke mana Tuhan memanggil mereka.


Bernardine wafat karena suatu sakit yang menyakitkan, yang ia tanggung dengan kesabaran Kristiani, yang membawanya ke liang kubur. Ketika akan meninggal, dia mengatakan kepada Catherine bahwa dia tidak akan melupakannya di hadirat Allah, dan, jika Allah mengijinkan, dia akan kembali untuk berbicara dengan Catherine mengenai hal-hal rohani yang akan bermanfaat bagi kekudusannya.


Catherine berdoa banyak bagi jiwa sahabatnya, dan pada saat yang sama ia meminta Allah untuk mengijinkan sahabatnya menampakkan diri kepdanya. Satu tahun berlalu dan almarhumah tidak kembali. Pada akhirnya, pada hari peringatan kematian Bernardine, Catherine yang sedang berdoa melihat sebuah lubang dari mana muncul kepulan asap dan api; lalu dia melihat keluar dari lubang suatu sosok dikelilingi oleh awan gelap. Perlahan awan lenyap, dan penglihatan menjadi bercahaya dengan kecemerlangan luar biasa. Dalam pribadi mulia ini Catherine mengenali Bernardine dan berlari ke arahnya.


"Engkaukah itu, saudariku terkasih?" serunya. "Tetapi dari manakah gerangan engkau datang? Apakah maksudnya lubang ini, asap berapi ini? Adakah purgatoriummu baru berakhir hari ini?"


"Kau benar," jawab sang jiwa; "selama setahun aku ditahan di tempat silih, dan hari ini, untuk pertama kalinya, aku akan masuk surga. Mengenai dirimu, bertekunlah dalam latihan kekudusanmu: teruslah penuh kasih sayang dan berbelas-kasihan, dan kau akan beroleh belas-kasihan." (Dikutip dari: "Purgatory Explained" by Father F.X. Shouppe, S.J.)
  
 

ST NIKOLAUS DARI TOLENTINO Salah satu keutamaan terbesar dari imam Allah yang mengagumkan ini adalah cinta kasihnya dan devosinya kepada Gereja Menderita. Suatu hari Sabtu, pada waktu malam ia melihat dalam mimpi suatu jiwa menderita, yang memohonnya untuk merayakan Misa kudus keesokan paginya untuknya dan beberapa jiwa lain yang menderita hebat di purgatorium. Nikolaus mengenali suaranya, tapi tiada dapat mengingat dengan jelas siapa yang berbicara kepadanya. "Aku adalah temanmu yang sudah meninggal, Pellegrino d Osimo. Sebab Kerahiman Ilahi aku lolos dari penghukuman abadi karena tobat dan berada di penghukuman sementara karena dosa-dosaku. Aku datang dalam nama banyak jiwa yang semalang diriku demi memohon kepadamu untuk mempersembahkan Misa Kudus bagi kami esok hari; dari Misa kami mengharapkan pembebasan kami, atau setidaknya keringanan."

Sang santo menjawab, dengan kelembuatannya yang khas, "Semoga Tuhan kita berkenan membebaskan kalian demi jasa-jasa Darah-Nya Yang Mahasuci! Akan tetapi aku tak dapat mempersembahkan Misa Arwah esok hari; aku harus mempersembahkan Misa Biara di paduan suara." "Ah! Setidaknya marilah pergi bersamaku," pinta sang jiwa di tengah keluhan dan airmata; "Aku mohon kepadamu, demi kasih kepada Allah, datang dan lihatlah penderitaan kami, dan kau tiada lagi akan menolak; engkau terlalu baik hati untuk meninggalkan kami dalam penderitaan yang mengerikan demikian."


Kemudian tampak olehnya ia dibawa ke purgatorium. Ia melihat suatu lapangan yang sangat luas, di mana amat banyak jiwa-jiwa, dari segala tingkat usia dan keadaan, menjadi korban dari berbagai aniaya yang mengerikan. Dengan gerakan tubuh dan kata-kata mereka dengan sangat mengiba memohon pertolongannya. "Lihatlah," kata Pellegrino, 'keadaan mereka yang mengutusku kepadamu. Sebab engkau berkenan di mata Allah, kami yakin bahwa Ia tiada akan menolak apapun pada persembahan Kurban yang engkau sampaikan, dan bahwa Kerahiman Ilahi-Nya akan membebaskan kami."


Melihat pemandangan yang menyayat hati ini sang santo tiada dapat menahan airmatanya. Keesokan paginya ia menghadap Prior, menceritakan penglihatannya dan permohonan yang disampaikan Pellegrino. Pater Prior memberinya dispensasi untuk hari itu, dan sepanjang pekan itu, agar ia dapat mempersembahkan Kurban Kudus bagi jiwa-jiwa, dan membaktikan diri sepenuhnya demi kelegaan jiwa-jiwa menderita. Dengan gembira Nikolaus merayakan Misa dengan semangat yang berkobar. Sepanjang pekan ia terus merayakan Kurban Kudus untuk intensi yang sama, disamping memanjatkan doa-doa pagi dan malam, disiplin dan segala macam perbuatan baik.


Pada akhir pekan, Pellegrino menampakkan diri kembali, tetapi tidak lagi dalam keadaan menderita; ia berbusanakan pakaian putih dan diselubungi cahaya surgawi, ia menunjuk pada sejumlah besar jiwa-jiwa bahagia. Mereka semua mengucapkan terima kasih kepadanya, menyebutnya sebagai pembebas mereka; dan lalu naik ke surga, mereka memadahkan kata-kata dari sang pemazmur (Mazmur 44:8): "Salvasti nos de affligentibus nos, et odientes nos confudisti" [Engkaulah yang memberi kami kemenangan terhadap para lawan kami, dan orang-orang yang membenci kami Kau beri malu.] Para lawan yang dimaksudkan di sini adalah dosa, dan roh-roh jahat adalah penghasutnya. (dikutip dari: "PURGATORY Illustrated by the Lives and Legends of the Saints" by: Father F.X. Shouppe, S.J.)

 
"MERVEILLES DU PURGATOIRE" PATER ROSSIGNOLI

Simak kisah nyata yang diceritakan Pater Rossignoli dalam bukunya "Merveilles du Purgatoire". Seorang pelukis handal suatu ketika mengerjakan sebuah lukisan yang sama sekali tidak sesuai dengan kaidah kesopanan Kristiani. Lukisan itu, atas nama karya seni, dianggap sebagai salah satu yang terbaik dalam kategorinya; lukisan yang menyebabkan sesatnya begitu banyak jiwa yang memandangnya.


Akan tetapi, sang pelukis meninggalkan gaya lukisnya itu, dan membatasi diri dengan mengerjakan hanya lukisan-lukisan religius, atau yang setidaknya lukisan-lukisan yang sempurna tanpa cemar. Pada akhirnya, ia sedang mengerjakan sebuah lukisan besar di Biara Karmelit Tak Berkasut, ketika ia diserang suatu penyakit mematikan. Merasa ajalnya sudah dekat, ia meminta Prior untuk mengijinkannya dimakamkan dalam gereja biara, dan mewariskan kepada komunitas pendapatannya, yang sangat besar jumlahnya, dan meminta mereka mempersembahkan Misa demi kedamaian kekal jiwanya. Ia meninggal dengan saleh, dan beberapa hari berlalu, ketika seorang biarawati yang ada di paduan suara sesudah ibadat pagi melihatnya menampakkan diri di tengah api dan mengeluh mengibakan hati.


"Apa!" seru sang biarawati, "haruskah engkau mengalami sengsara yang demikian, setelah mengamalkan hidup yang begitu saleh dan meninggal dengan kudus?"


"Sayang!" jawabnya, "ini karena lukisan yang tidak sopan yang aku lukis beberapa tahun yang silam. Ketika aku menghadap di hadapan pengadilan Hakim yang Mahakuasa, suatu himpunan pendakwa datang guna memberikan kesaksian melawan aku. Mereka menyatakan bahwa mereka dibangkitkan pada pikiran-pikiran yang tidak pantas dan pada hasrat nafsu jahat oleh sebuah lukisan, yakni karya tanganku. Akibat pikiran dan hasrat buruk itu sebagian dari mereka berada di purgatorium, sementara yang lain di neraka. Mereka yang di neraka berteriak-teriak menuntut balas dendam, mengatakan bahwa, sebagai penyebab hukuman abadi mereka maka aku layak, setidaknya, mendapatkan hukuman yang sama. Kemudian Santa Perawan dan para kudus yang aku muliakan dengan lukisan-lukisanku membelaku. Mereka mengatakan kepada sang Hakim bahwa lukisan itu adalah karya masa mudaku, dan yang telah aku sesali; bahwa aku telah memperbaiki kesalahanku sesudahnya dengan melukis obyek-obyek rohani yang adalah sumber peneguhan iman bagi jiwa-jiwa. Dengan pertimbangan ini dan alasan-alasan lain, Hakim yang Mahakuasa memaklumkan bahwa, mengingat tobatku dan perbuatan-perbuatan baikku, aku dibebaskan dari kebinasaan; tetapi pada saat yang sama Ia menghukumku berada di api ini hingga lukisan itu dibakar, hingga tak lagi dapat menyesatkan siapapun."


Jika yang demikian adalah konsekuensi dari sebuah lukisan yang tidak pantas, lalu, apakah hukuman bagi penyesatan-penyesatan yang masih terlebih celaka yang berasal dari buku-buku, tulisan-tulisan, pergaulan sekolah dan percakapan-percakapan yang tidak pantas? (Dikutip dari: "Purgatory Explained" by Father F.X. Shouppe, S.J.) 
Sumber : YESAYA: yesaya.indocell.net 
 

Tidak ada komentar: