Senin, 02 Februari 2015


Kesaksian: Seniman Tato Menjadi Rahib Benediktin




Enam tahun yang lalu, Biara Mount Angel di puncak bukit yang tenang menjadi gempar, ketika Bobby Love yang berbusana serba kulit tiba dengan sepeda motornya. Love membuka helm dan tampaklah sepasang telinga yang ditindik dan rambut bergaya dreadlock. Dengan tato di kedua tangan, lengan, dan di lehernya, ia tampak seperti pemain cadangan film “Sons of Anarchy” (film serial tentang preman geng motor -ed-), bukan seseorang yang sedang menghadiri retret panggilan untuk menjadi rahib Katolik.

“Salah satu ketakutan saya adalah menjadi seseorang yang klise,” kata Love.

Sebagai seorang anak, Love memberontak dari ayahnya, seorang pebisnis sukses yang tidak pernah menganggap bidang seni sebagai sebuah karir sungguhan.

“Saya membuat komitmen untuk hidup dari kuas saya. Saya akan hidup sebagai seorang seniman, dan saya tidak akan kompromi,” kata Love. “Salah satu hal pertama yang saya lakukan adalah membuat tato untuk buku-buku jari dan leher saya, karena pada waktu itu, di akhir tahun 80-an dan awal 90-an, kami menyebut [tato semacam itu] ‘job stoppers’. Anda tidak akan diberi pekerjaan ketika tangan dan leher anda sudah bertato.”

Seraya turun dari sepeda motornya di tempat retret panggilan, ia menyadari gambar-gambar di kulitnya itu dan betapa anehnya kedatangannya.

“Rasanya agak lucu,” kata Love. “Saya pergi ke sini dengan sepeda motor dan berpikir, ‘Hah?’ Mereka juga sama. Mereka melihat saya dan berpikir, ‘Hah?'”

Pimpinan Biara Mount Angel, Vincent Trujillo masih ingat saat-saat tersebut.

“Kami mencoba untuk tidak menghakimi dari penampilannya, tapi bagaimanapun juga itu meninggalkan kesan tertentu,” kata Trujillo. “Kami menyambut semua yang datang ke retret panggilan tersebut.”

Love menghabiskan akhir minggunya untuk belajar cara hidup Benediktin.

“Pembelajaran terjadi pada kedua belah pihak,” kata Trujillo. “Ia mengamati dan kami pun mengamatinya.”

“Saya tinggal selama akhir minggu, saya menikmatinya, dan kemudian pergi begitu saja,” kata Love, “dengan pemikiran bahwa [cara hidup ini] adalah sebuah pilihan, bukan pilihan saya, tetapi pilihan bagi orang lain.”

 
BIARAWAN

Enam tahun kemudian, tubuh kurus Love menyandang jubah hitam dan skapulir. Rambut cokelatnya dicukur sangat pendek. Ketika ia berdiri di tempat koor mendaraskan Ibadat Siang dengan 50 rahib lainnya, kacamata a la John Lennon dan jenggot kambing 3-incinya membedakan dirinya dari yang lain. Begitu pula tato-tatonya.

Di atas leher jubahnya, tampak tato-tato lehernya masih ada. Tangannya masih bergambar sarang laba-laba, wajah perempuan, simbol alfa dan omega, dan tulisan “HOLD FAST” pada buku-buku jarinya. Gambar hati berwarna merah menandai telapak tangannya. Cocok dengan namanya, Love (cinta -ed-)

Nama depannya tidak lagi Bobby. Ia kini adalah “Bruder Andre”, seperti nama seorang pria tak berpendidikan yang bergabung dengan Ordo Salib Suci yang sangat intelektual. Mereka tidak tahu apa yang harus diperbuat dengannya, sehingga ia dijadikan petugas pintu gereja. Andre berdoa dengan para pengunjung. Doa-doanya senantiasa dikabulkan, dan ia kini diingat sebagai seorang santo.
KURATOR

Pada tahun 2010, kepemimpinan biara Mount Angel menjadikan Love sebagai asisten kurator museum biara.

“Sebenarnya pekerjaan saya adalah mengunci pintu dan membersihkan toilet,” kata Love.

Ketika sang kurator dipindahkan ke Portland, Love menyadari bahwa koleksi museum tersebut memerlukan perawatan dan ia pun menawarkan diri. Dia sama sekali tidak tahu apa yang dia lakukan.

Koleksi biara itu begitu banyak dan beragam, terdiri dari koleksi kulit hewan-hewan Amerika Utara dan koleksi tembikar sejak zaman sebelum kelahiran Kristus. Laci-laci penyimpanan dipenuhi dengan patung-patung orang kudus, artefak Jepang, lampu-lampu minyak, dan ular-ular dan ikan buntal yang diawetkan. Bahkan ada juga sebuah labu yang diukir oleh Walt Disney.

“Ini seperti sebuah taman,” kata Love. “Jika tidak kita siangi, kita akan mendapatkan tanaman-tanaman gila.”

Sejak abad ke-19, orang-orang telah menyumbangkan berbagai koleksi kepada biara. Banyak benda yang belum ditandai. Yang lain dicatat pada kartu-kartu katalog tua yang merupakan usaha yang baik namun sudah ketinggalan zaman.

Love memisahkan artefak dan benda-benda museum dari lukisan-lukisan dan karya seni. Ia menemukan kantung-kantung karya seni yang disimpan di seantero biara di loteng dan ruang bawah tanah. Ia kemudian mengumpulkan semua karya seni tersebut di ruang bawah tanah terpisah.

“Pekerjaan utama saya adalah mencoba menafsirkan semua ini dan menemukan semacam tema yang cocok dengan misi biara,” kata Love.

“Bruder Andre bukan seseorang yang mudah menolak tantangan. Pekerjaan ini betul-betul sebuah tantangan,” kata Trujillo. “Ini bukan sesuatu yang akan ia selesaikan dalam satu tahun. Ini akan memakan waktu yang lama.”

Love berkonsultasi dengan para staf Museum Seni Hallie Ford, Asosiasi Kesenian Salem, dan Pusat Kesenian Bush Barn. Beberapa orang menyumbangkan waktunya, mengajarkan Love bagaimana menangani, membuat katalog, memotret, dan menyimpan artefak-artefak dan karya seni tersebut dengan benar. Love membangun sebuah database digital untuk inventaris yang ia harapkan dapat menjadi sarana belajar untuk umum.

“Sebuah dedikasi yang luar biasa tercurah ke dalam segala sesuatu yang ia kerjakan, termasuk tanggung jawabnya sebagai kurator,” kata Catherine Alexander, mantan kurator Pusat Kesenian Bush Barn. “Ia tidak puas hanya menjadi penjaga barang-barang unik. Ia ingin menaikkan standar tentang bagaimana museum biara menafsirkan dan memamerkan koleksinya.”

 
PENDOA

“Menjadi kurator adalah apa yang membuat saya tetap sibuk dan menjaga saya agar tidak membuat masalah,” kata Love. “[Namun] doa adalah pekerjaan utama saya.”

Pada pukul 05.20, 06.30, 07.55, 11.55, 17.15, dan 19.25, lonceng-lonceng biara berdentang. (Love juga merawat menara lonceng). Saat itulah, sekitar 50 rahib pergi ke kapel.

“Kami tidak hanya berdoa bagi kami. Kami berdoa bagi dunia. Doa ini terus berkelanjutan,” kata Love. “Ini adalah sebuah ritme yang ke dalamnya kami terjun ketika tiba giliran kami.”

Mereka duduk di bangku-bangku barisan koor yang saling berhadapan. Mereka yang telah berada di dalam Ordo tersebut lebih lama duduk di paling belakang. Anggota-anggota terbaru duduk paling depan. Love masih menempati baris terdepan. Trujillo berkata bahwa usia rata-rata komunitas tersebut adalah antara 55 dan 60 tahun.

Lima dari enam waktu doa tersebut adalah untuk Ibadat Harian, di mana mereka mendaraskan Mazmur. Dalam waktu dua minggu mereka telah mendaraskan semua mazmur yang berjumlah 150 mazmur. Waktu yang keenam adalah untuk Misa Kudus.

Banyak ordo monastik (pertapa -ed-) hidup berdasarkan Aturan Santo Benediktus. Beberapa menjalani gaya hidup ketat yang memusatkan diri pada doa dan kontemplasi. Mereka mempraktekkan keheningan dan jarang meninggalkan biara. Beberapa komunitas lain menafsirkan Aturan tersebut dengan lebih longgar, yaittu dengan memusatkan diri pada kerasulan aktif, seperti mengajar dan pelayanan di luar biara.

“Mount Angel mengambil jalan tengah,” kata Love.

Mereka membuka seminari dan berinteraksi dengan dunia luar. Mereka menjalankan keheningan selama Silentium Magnum, yaitu antara Completorium (Ibadat Malam) yang berakhir pada pukul 8 malam, sampai setelah Misa sekitar pukul 9 pagi berikutnya. Selama waktu ini, mereka hanya berbicara dalam doa. Mereka juga hening selama waktu makan ketika seorang rahib membacakan buku. Mereka baru saja menyelesaikan “The Great Comeback” mengenai Richard Nixon.

“Buku yang hebat,” kata Love. “Saya dapat membaca sebanyak setengah lusin buku setiap tahunnya yang tidak mungkin dapat saya lakukan dengan hanya pergi makan.”

Mereka memiliki 30 menit waktu rekreasi setelah makan siang dan 90 menit setelah makan malam. Mereka bermain kartu dan mendiskusikan kehidupan. Kadang-kadang mereka pergi ke bioskop, restoran, dan kafe.

“Ia selalu menyelesaikan pekerjaan namun tahu caranya bersantai,” kata Trujillo tentang Love. “Ia tahu kapan waktu yang tepat untuk fokus dan kapan untuk sedikit santai. Hanya karena kami rahib bukan berarti kami tidak tahu bagaimana cara bersenang-senang.”
SENIMAN

Seni sudah lama menjadi bagian hidup Love. Ia tumbuh di Texas dan Mississippi, dengan dua kakak perempuan dan dua adik perempuan di dalam sebuah keluarga Katolik. Ibunya senang melukis.

“Saya senang menonton ibu saya melukis. Beliau suka membuat lukisan dinding pada kaca pintu geser pada saat musim panas sehingga kami tidak perlu menabraknya,” kata Love.

Love belajar melukis, namun ia berhenti sekolah dan berhenti ke gereja pada kelas 11 (2 SMA -ed-), masuk angkatan darat, dan bergabung dengan Operasi Desert Storm selama lima tahun. Ia meninggalkan ketentaraan dengan perasaan kecewa, kemudian bersumpah untuk hidup dari seni tanpa pekerjaan yang umum, dan menato tangan dan lehernya.

Tinggal di New York, ia menyadari bahwa ia mampu memperoleh $100 per jam membuat tato. Untuk memamerkan desainnya, ia melukis dengan cat air.

“Ada banyak kesamaan antara teknik cat air dengan teknik tato dari segi menempatkan lapisan-lapisan warna dan kejernihan warnanya,” kata Love. “Pada dasarnya prinsip yang digunakan adalah meratakan pigmen-pigmen warna tanpa merusak kertas atau kulit.”

Tetapi ia masih belum menganggap dirinya “seniman sejati” seperti yang ia inginkan. Ia adalah “applied artist”. Semua yang ia lukis—pesawat terbang, kapal, lukisan dinding, pakaian, dan perabotan—memiliki fungsi.

“Saya mau saja disuruh mengecat kuku jari kaki anda,” kata Love. “Intinya jangan memberi saya pekerjaan sungguhan.”

Lambat laun Love memiliki reputasi sebagai seniman tato. Ia berpindah-pindah setiap tahun—New York, New Orleans, Seattle, Austin. Ia memiliki kawan-kawan dan kenyamanan materiil.

“Semuanya bilang bahwa saya seharusnya bahagia, tetapi saya merasa sangat kesepian dan terombang-ambing. Saya melihat diri saya sendiri dan menyadari bahwa saya telah menjadi sebuah produk,” kata Love. “Saya mengerjakan seni bukan sebagai bentuk ungkapan diri, melainkan untuk memenuhi keinginan orang, orang-orang yang tidak segan merogoh kocek untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan.”

Hidupnya telah menjadi seputar uang, merk, dan ego. Seputar narkoba dan minuman keras. Ia meninggalkan keluarganya dan telah bercerai tiga kali.

“Saya tidak tahu apa itu kasih. Saya tidak tahu bagaimana mengasihi dan bagaimana membiarkan orang lain mengasihi saya, dan itulah mengapa hidup saya menyedihkan,” ujar Love.

Love mengakui pernah kecanduan [narkoba].

“Kecanduan hanya sebuah gejala dari masalah yang lebih besar… yaitu kemiskinan rohani,” kata Love. “Saya kemudian menyadari bahwa saya membutuhkan Allah. Saya perlu untuk menjadi manusia utuh dalam arti tidak hanya materi dan fisik, namun ada juga segi spiritual yang waktu itu sudah saya lupakan.”

Ia kemudian mengobati kecanduannya dan sempat mengambil pekerjaan “normal” harian yang menyediakan waktu baginya untuk berpikir. Ia mencoba mendamaikan kehidupannya.

“Saya memandang kedua lengan saya dan menyadari bahwa saya tidak punya apa-apa selain kebencian dan kemarahan. Itu adalah sebuah mekanisme pertahanan diri, dan berhasil,” kata Love.

Ia kini telah berubah, namun penampilannya masih sama. Karena penghapusan tato saat itu belum begitu bagus, ia kemudian menato seluruh lengannya dengan warna hitam. Tinta tato kemudian meracuninya sehingga membuatnya sakit.

“Saya melakukannya karena saya ingin orang-orang bertanya, ‘Apa arti tato itu?’, bukannya berasumsi sesuatu yang tidak benar mengenai saya,” kata Love.

Setelah bergabung dengan biara, ia meminta izin pimpinan biara untuk menghapus tato pada tangan dan lehernya. Pimpinannya memintanya untuk membiarkan tato tersebut.

“Itu bukan hanya sebuah pengingat,” kata Love. “Itu adalah bagian dari diri saya.”

Tahun 2006, ia pindah ke Salem dan kembali ke Gereja Katolik. Ia telah menyelidiki berbagai agama namun memutuskan untuk mempelajari agama masa kecilnya.

“Saya harus mempelajari ulang Iman [Katolik] sebagai seorang dewasa,” kata Love. “Waktu kecil saya punya banyak pertanyaan yang tidak saya pahami. Ketika anda sudah dibesarkan dalam iman tersebut, anda tinggal melakukannya saja. Tetapi saya ingin tahu mengapa kita melakukan hal ini dan itu.”

Ia kemudian mencatat semua dosa-dosanya selama 25 tahun dan membawa catatan itu ke kamar pengakuan. Ia menyelesaikan program katekese dewasa di mana ia mempelajari lagi dasar-dasar imannya. Ia memohon maaf kepada orang-orang yang pernah ia sakiti. Ia tinggal di Newport selama satu tahun.

“Saya suka duduk di pantai selama dua tahun, mencoba memikirkan apa yang baru saja terjadi,” ujarnya. “Apa artinya semua ini ketika saya sudah kembali ke Gereja? Bagaimana saya harus hidup sesuai dengan iman saya?”

Love menjalani hidup sunyi a la pertapa dalam sebuah studio sederhana dan memikirkan apa artinya menjadi seorang seniman Kristiani.

“Dan lagi, tanpa ingin terdengar klise,” kata Love. “Saya tidak ingin hanya duduk dan melukis gambar-gambar Kristus dan para kudus yang terlampau manis dibuat-buat dalam gaya yang sama dengan yang sudah pernah dilakukan. Saya mencoba menemukan suara saya lagi.”
IKONOGRAFER

Kini ia melukis di dalam sebuah studio di biara dalam waktu 20 menit di antara kesibukannya.

“Saya harus melepaskan semua ide-ide saya yang dulu mengenai pekerjaan dan produksi,” kata Love. “Ini bukan tentang apa yang bisa saya selesaikan, namun tentang hubungan saya dengan Allah.”

Saat ini ia sedang mengerjakan sebuah ikon Byzantine tentang hukuman rajam terhadap Santo Stefanus dan ikon a la Beuron tentang Tujuh Dukacita Maria, salah satunya merupakan pesanan dari sebuah paroki.


“Dalam ikon-ikon ini, ada elemen anonimitas,” kata Love. “Ini bukan tentang sang seniman.”

Atas permintaan pimpinan biara, ia mempelajari ikonografi. Ia mempelajari metode seni kuno di mana tokoh-tokoh religius digambarkan dengan warna-warna dan postur yang simbolik.

“Perkembangan dirinya sungguh mengagumkan,” ujar Trujillo. “Ada sebuah perasaan mendalam dalam hasil karyanya. Penggunaan warna dan gayanya sudah sangat halus. Ada sebuah sensitivitas luar biasa dalam caranya menampilkan figur-figur ikon dan lukisannya.”

Love berbicara dengan semangat mengenai cerita di balik setiap ikon yang ia lukis dan setiap benda seni yang ia buat katalognya. Ia masih melanjutkan refleksinya mengenai kisah hidupnya sendiri dan kunjungan pertamanya ke Mount Angel ketika seorang kawan membawa dirinya untuk melihat sebuah gambar yang dulu ingin ia tatokan ke dadanya.

“Dulu saya diperkenalkan ke tempat itu dan langsung terpatri dalam benak saya oleh karena arsitekturnya, seninya, keindahannya, ketenangannya. Benih itu telah disemaikan,” kata Love.

Menengok kembali kehidupannya, Love melihat bahwa gairah semangatnya akan seni membawanya ke dalam kesepian rohani, namun pada akhirnya mendorongnya naik sepeda motor ke retret panggilan Biara Mount Angel. Penjelasannya tentang semua ini hanya terdiri dari satu kata: “ALLAH.”

Meski komitmen utamanya adalah Allah, doa, dan Ordo Santo Benediktus, Love tetap seorang seniman yang teguh yang sama sekali bukan klise.
 
 
Sumber : luxveritatis7.wordpress.com (by Anne) 
 
 
 

Tidak ada komentar: