Senin, 10 November 2014

Empat Sifat Gereja

oleh: P. William P. Saunders *


Mohon penjelasan mengenai empat sifat Gereja.
~ seorang pembaca di Winchester

Dalam Syahadat Nikea-Konstantinopel, kita mengaku iman kita: “Aku percaya akan Gereja yang satu, kudus, katolik, dan apostolik”. Inilah keempat sifat Gereja. Keempat sifat ini, yang tidak boleh dipisahkan satu dari yang lain, melukiskan ciri-ciri hakikat Gereja dan perutusannya. Gereja tidak memilikinya dari dirinya sendiri. Melalui Roh Kudus, Kristus menjadikan Gereja-Nya itu satu, kudus, katolik dan apostolik. Ia memanggilnya supaya melaksanakan setiap sifat itu.

GEREJA YANG SATU. Katekismus Gereja Katolik menjelaskan bahwa Gereja itu satu, karena tiga alasan. Pertama, Gereja itu satu menurut asalnya, yang adalah Tritunggal Mahakudus, kesatuan Allah tunggal dalam tiga Pribadi - Bapa, Putra dan Roh Kudus. Kedua, Gereja itu satu menurut pendiri-Nya, Yesus Kristus, yang telah mendamaikan semua orang dengan Allah melalui darah-Nya di salib. Ketiga, Gereja itu satu menurut jiwanya, yakni Roh Kudus, yang tinggal di hati umat beriman, yang menciptakan persekutuan umat beriman, dan yang memenuhi serta membimbing seluruh Gereja (#813).

“Kesatuan” Gereja juga kelihatan nyata. Sebagai orang-orang Katolik, kita dipersatukan dalam pengakuan iman yang satu dan sama, dalam perayaan ibadat bersama terutama sakramen-sakramen, dan struktur hierarkis berdasarkan suksesi apostolik yang dilestarikan dan diwariskan melalui Sakramen Tahbisan Suci. Sebagai misal, entah kita ikut ambil bagian dalam Misa di Surabaya, Alexandria, San Francisco, Moscow, Mexico City, atau di manapun, Misanya sama - bacaan-bacaan, tata perayaan, doa-doa, dan lain sebagainya terkecuali bahasa yang dipergunakan dapat berbeda - dirayakan oleh orang-orang percaya yang sama-sama beriman Katolik, dan dipersembahkan oleh Imam yang dipersatukan dengan Uskupnya, yang dipersatukan dengan Bapa Suci, Paus, penerus St Petrus.

Namun demikian, Gereja yang satu ini memiliki kemajemukan yang luar biasa. Umat beriman menjadi saksi iman dalam panggilan hidup yang berbeda-beda dan dalam beraneka bakat serta talenta, tetapi saling bekerjasama untuk meneruskan misi Tuhan kita. Keanekaragaman budaya dan tradisi memperkaya Gereja kita dalam ungkapan iman yang satu. Pada intinya, cinta kasih haruslah merasuki Gereja, sebab melalui cinta kasihlah para anggotanya saling dipersatukan dalam kebersamaan dan saling bekerjasama dalam persatuan yang harmonis.

GEREJA YANG KUDUS. Tuhan kita Sendiri adalah sumber dari segala kekudusan: “Sebab hanya satulah Pengantara dan jalan keselamatan, yakni Kristus. Ia hadir bagi kita dalam tubuh-Nya, yakni Gereja” (Konstitusi Dogmatis tentang Gereja, #14). Kristus menguduskan Gereja, dan pada gilirannya, melalui Dia dan bersama Dia, Gereja adalah agen pengudusan-Nya. Melalui pelayanan Gereja dan kuasa Roh Kudus, Tuhan kita mencurahkan berlimpah rahmat, teristimewa melalui sakramen-sakramen. Oleh karena itu, melalui ajarannya, doa dan sembah sujud, serta perbuatan-perbuatan baik, Gereja adalah tanda kekudusan yang kelihatan.

Namun demikian, kita patut ingat bahwa masing-masing kita, sebagai anggota Gereja, telah dipanggil kepada kekudusan. Melalui Sakramen Baptis, kita telah dibebaskan dari dosa asal, dipenuhi dengan rahmat pengudusan, dibenamkan ke dalam misteri sengsara, wafat dan kebangkitan Tuhan, dan dipersatukan ke dalam Gereja, “umat kudus Allah”. Dengan rahmat Tuhan, kita berjuang mencapai kekudusan. Konsili Vatican Kedua mendesak, “Segenap umat Katolik wajib menuju kesempurnaan Kristen, dan menurut situasi masing-masing mengusahakan, supaya Gereja, seraya membawa kerendahan hati dan kematian Yesus dalam tubuhnya, dari hari ke hari makin dibersihkan dan diperbaharui, sampai Kristus menempatkannya di hadapan Dirinya penuh kemuliaan, tanpa cacat atau kerut” (Dekrit tentang Ekumenisme, #4).

Gereja kita telah ditandai dengan teladan-teladan kekudusan yang luar biasa dalam hidup para kudus sepanjang masa. Tak peduli betapa gelapnya masa bagi Gereja kita, selalu ada para kudus besar melalui siapa terang Kristus dipancarkan. Ya, kita manusia yang rapuh, dan terkadang kita jatuh dalam dosa; tetapi, kita bertobat dari dosa kita dan sekali lagi kita melanjutkan perjalanan di jalan kekudusan. Dalam arti tertentu, Gereja kita adalah Gereja kaum pendosa, bukan kaum yang merasa diri benar atau merasa yakin akan keselamatannya sendiri. Salah satu doa terindah dalam Misa dipanjatkan sebelum Tanda Damai, “Tuhan Yesus Kristus, jangan memperhitungkan dosa kami, tetapi perhatikanlah iman Gereja-Mu.” Meski individu-individu warga Gereja rapuh dan malang, jatuh dan berdosa, Gereja terus menjadi tanda dan sarana kekudusan.

GEREJA YANG KATOLIK. St Ignatius dari Antiokhia (± tahun 100) mempergunakan kata ini yang berarti “universal” untuk menggambarkan Gereja (surat kepada jemaat di Smyrna). Gereja bersifat Katolik dalam arti bahwa Kristus secara universal hadir dalam Gereja dan bahwa Ia telah mengutus Gereja untuk mewartakan Injil ke seluruh dunia - “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku” (Matius 28:19).

Di samping itu, patut kita ingat bahwa Gereja di sini di dunia - yang kita sebut Gereja Pejuang - dipersatukan dengan Gereja Jaya di surga dan Gereja Menderita di purgatorium. Inilah pengertian dari persekutuan para kudus - persatuan umat beriman di surga, di api penyucian, dan di bumi.

Dan akhirnya, GEREJA YANG APOSTOLIK. Kristus mendirikan Gereja dan mempercayakan otoritas-Nya kepada para rasul-Nya, para uskup yang pertama. Ia mempercayakan otoritas khusus kepada St Petrus, Paus Pertama dan Uskup Roma, untuk bertindak sebagai Vicar-Nya (= wakil-Nya) di sini di dunia. Otoritas ini telah diwariskan melalui Sakramen Tahbisan Suci dalam apa yang kita sebut suksesi apostolik dari uskup ke uskup, dan kemudian diperluas ke imam dan diakon. Uskup kita sendiri, andai mau, dapat menelusuri kembali suksesi apostoliknya sebagai seorang uskup hingga ke salah satu dari para rasul. Ketika Bapa Uskup mentahbiskan tujuh imam bagi keuskupan kita pada tanggal 15 Mei yang lalu, beliau melakukannya dengan otoritas suksesi apostolik. Ketujuh imam itu, pada gilirannya ikut ambil bagian dalam imamat Tuhan kita Yesus Kristus. Tak ada uskup, imam atau diakon dalam Gereja kita yang mentahbiskan dirinya sendiri atau memaklumkan dirinya sendiri, melainkan, ia dipanggil oleh Gereja dan ditahbiskan ke dalam pelayanan apostolik yang dianugerahkan Tuhan kita kepada Gereja-Nya untuk dilaksanakan dalam persatuan dengan Paus.

Gereja adalah juga apostolik dalam arti warisan iman seperti yang kita dapati dalam Kitab Suci dan Tradisi Suci dilestarikan, diajarkan dan diwariskan oleh para rasul. Di bawah bimbingan Roh Kudus, Roh kebenaran, Magisterium (= otoritas mengajar Gereja yang dipercayakan kepada para rasul dan penerus mereka) berkewajiban untuk melestarikan, mengajarkan, membela dan mewariskan warisan iman. Di samping itu, Roh Kudus melindungi Gereja dari kesalahan dalam otoritas mengajarnya. Meski seturut berjalannya waktu, Magisterium harus menghadapi masalah-masalah terkini, seperti perang nuklir, eutanasia, pembuahan in vitro, prinsip-prinsip kebenaran yang sama diberlakukan di bawah bimbingan Roh Kudus.

Keempat sifat Gereja ini - satu, kudus, katolik dan apostolik - sepenuhnya disadari dalam Gereja Kristus. Sementara Gereja Kristen lainnya menerima dan mengaku syahadat dan mempunyai unsur-unsur kebenaran dan pengudusan, tetapi hanya Gereja Katolik Roma yang mencerminkan kepenuhan dari sifat-sifat ini. Konsili Vatican Kedua mengajarkan, “Gereja itu [yang didirikan Kristus], yang didunia ini disusun dan diatur sebagai serikat, berada dalam Gereja Katolik, yang dipimpin oleh pengganti Petrus dan para Uskup dalam persekutuan dengannya” (Konstitusi Dogmatis tentang Gereja, #8), dan “Hanya melalui Gereja Kristus yang Katolik-lah, yakni upaya umum untuk keselamatan, dapat dicapai seluruh kepenuhan upaya-upaya penyelamatan” (Dekrit tentang Ekumenisme, #3). Sebab itu, adalah kewajiban kita untuk menjadikan keempat sifat ini kelihatan nyata dalam kehidupan ktia sehari-hari.
 
 Sumber: yesaya.indocell.com


 
 

Tidak ada komentar: