Selasa, 28 Januari 2014


Interpretasi Why 6


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjFB71LxBipY5ECeC1m-SyD8NxTfAn7o6g9DYTNF241j853dvBZIrJA2XMRV0kH4gIqhDrqn3PKJ9HoWt7mrGBd5iydCrdcO9Ixmzm7aoAVzFTOl0RypUbkuQqoj4Kp8_g3_HHDUEHalkoX/s1600/4h.jpg


Berikut ini adalah interpretasi perikop Why 6:1-17, yang kami sarikan dari sumber utama, Haydock’s Commentary on Holy Scripture:

Para ahli Kitab Suci mempunyai pandangan yang berbeda-beda tentang penafsiran perikop ini, tentang apakah yang harus dimengerti mengenai isi yang dimeteraikan. Ada yang menghubungkannya dengan sejumlah penganiayaan, orang-orang tertentu, ataupun kejadian tertentu.

1-2. Meterai pertama: seorang yang menunggangi kuda putih. Ini dihubungkan dengan ‘Sabda Tuhan’ yang disebutkan juga di bab 19, menunggangi kuda, dan diberi mahkota. Kuda putih melambangkan kemenangan. Ini diartikan sebagai Kristus yang menang mengatasi semua musuh Gereja-Nya (yang dilambangkan dengan ketiga pengendara kuda lainnya). Ia membawa busur panah di tangan-Nya, yaitu ajaran Injil, yang menembus bagaikan anak panah di hati para pendengar-Nya. Mahkota diberikan sebagai tanda kemenangan. Kuda merah melambangkan perang; kuda hitam, bencana kelaparan; dan kuda pucat, wabah penyakit.

3-4: Meterai kedua. Kuda merah melambangkan perang dan penganiayaan. Dapat diartikan sebagai penganiayaan kejam yang dilakukan oleh para kaisar Romawi terhadap agama Kristen, di mana mereka dengan kejam telah membunuh orang-orang yang percaya kepada Kristus.

5-6: Meterai ketiga: Kuda hitam dengan penunggang yang membawa timbangan: sejumlah gandum untuk sedinar (gaji sehari), tiga ukuran jelai juga sedinar, tapi jangan merusakkan minyak dan anggur. Ini menggambarkan hasil dari perang yang dimenangkan: pemenangnya bahkan juga menjadi miskin, dengan hanya gaji sehari, minimal agar dapat bertahan hidup. Maka kuda hitam ini melambangkan musibah kelaparan, seperti yang dialami oleh daerah kekuasaan Romawi sepanjang pemerintahan para kaisar yang melakukan penganiayaan.

7-8: Meterai keempat: Kuda yang pucat, penunggangnya adalah Maut. Ini juga menggambarkan penganiayaan/ perang, dan secara khusus wabah penyakit yang mengikutinya, yang terjadi di empat bagian dunia daerah kekuasaan Romawi. Kuda pucat dan pengendaranya yang diikuti oleh kerajaan maut (neraka) menggambarkan keadaan kematian yang mengenaskan. Ini terjadi pada bangsa Romawi, dan sejarah telah mencatat kenangan tentang hal ini, yang menunjukkan bahwa nubuat Rasul Yohanes tentang hal ini telah tergenapi. Selanjutnya dikatakan bahwa hanya seperempat bumi yang dihancurkan.

9-11: Meterai kelima dan keenam: Doa-doa dari para martir di Surga. Mereka memohon keadilan, mohon agar para musuh Kristus dapat ditundukkan agar semua orang dapat mengakui keadilan Tuhan, dengan adanya hukuman bagi para musuh Kristus dan iman Kristen, dan penghargaan bagi para pelayan-Nya yang setia. St. Hieronimus, dengan ungkapan ‘di bawah altar/ mezbah’, memahami bahwa altar itu adalah gambaran Kristus sendiri dan di bawah-Nya adalah semua martir-Nya yang wafat di bawah Sang Kepala. Demikianlah jiwa para kudus itu hidup di Surga, sementara tubuh mereka disimpan di bawah altar-altar dalam gereja kita.

“Membalaskan darah kami”, yang dimohonkan oleh para orang kudus itu bukanlah kebencian terhadap para musuh mereka, tetapi mereka memohon semangat yang kuat bagi kemuliaan Allah dan kehendak bahwa Allah akan mempercepat Penghakiman Terakhir dan kebahagiaan/ pandangan kepada Allah yang sempurna (beatitude) bagi semua orang pilihan-Nya. Mereka memohon Allah membalas darah mereka bukan melalui kebencian terhadap musuh mereka namun melalui semangat yang besar yang telah mendorong mereka, untuk melihat keadilan Tuhan dinyatakan: agar dengan demikian semua orang dapat didorong untuk bertobat. Demikianlah dalam Kitab Suci kita membaca bagaimana para nabi memohon kepada Allah untuk menjadikan para musuh mereka menjadi bingung untuk menjadikan mereka rendah hati. “Jubah putih” adalah tanda kemurnian para martir tersebut, sebagai jaminan bahwa mereka akan memandang Allah. “Beristirahat sedikit waktu” kemungkinan mereka harus bersitirahat hingga terjadinya hari pembalasan terakhir, ketika jumlah orang-orang yang telah ditentukan untuk kebahagiaan, telah tergenapi. Maka mereka akan semua mengalami penghargaan dan para penganiaya mereka akan tercengang (St. Augustine, Serm. xi. de sanctis; St. Gregory the Great, lib. ii. Moral. cap. iv.).

12-17 Meterai keenam: …. gempa bumi yang besar. Banyak orang berpikir bahwa ini adalah tanda-tanda yang mengerikan, tentang matahari yang berubah menjadi hitam, tidak terjadi hingga zaman antikristus, sesaat sebelum akhir dunia (Mat 14, Luk 21, Yes 13, 34, Yeh 33; Dan 12). Namun sejumlah penafsir menggambarkan keajaiban ini sebagai penghukuman Tuhan yang terlihat, terhadap para kaisar dan penganiaya umat Kristen, sebelum kaisar Romawi Kristen yang pertama, Kaisar Konstantin.

St. Yohanes menggambarkan betapa Allah akan membalas kepada para musuh-Nya. Dapat mengacu kepada zaman Kaisar Konstantin, ketika kita melihat kejayaan agama Kristen yang mengalahkan paganisme, dan setelah kematiannya [Konstantin] dan anak-anaknya, kekaisaran Roma menyerah kepada bangsa barbar. Kota Roma sendiri dijarah, propinsi-propinsi menjadi kacau balau, sehingga keadaan itu sendiri menggambarkan kekacauan akhir zaman, ketika Allah yang Mahakuasa akan membuat para pendosa menerima hukumannya di hadapan semua orang benar.

Rasul Yohanes, seperti para nabi, menggunakan istilah gempa bumi, untuk menandakan dengan keras, kejahatan kekaisaran Roma dan para kaisarnya yang menganiaya. Kota Roma sendiri dipenuhi dengan perang. Para kaisar semua dihancurkan oleh Allah: Maxentius, dibuang ke sungai Tiber, Maximin Jovius melalui penyakit yang mengerikan dan tak tersembuhkan, Maximin Daia, kalah dalam perang, dan akhirnya mengidap penyakit aneh, seluruh perutnya hancur, ia kehilangan matanya, wafat seperti tengkorak. Licinius, dipukul, dan digantung. Demikian pula Maximian, yang menggantung diri di Marseilles, tempat ia dikurung.

14. Dalam kebingungan yang dahsyat yang terjadi dalam kekaisaran Romawi, di zaman Konstantin, begitu besarlah revolusi yang terjadi, sehingga gunung-gunung dan pulau-pulau seolah nampak bergeser dari tempat mereka. Dalam waktu 9 tahun itu (305-314) tujuh orang menginginkan untuk naik tahta, Maximin Galerius, Maxentius, Severus Cæsar, Maximin, Alexander, Maximin Hercules, dan Licinius. Keenam orang tersebut, dari Galerius sampai Hercules, wafat dalam jangka waktu 9 tahun (305-314), dan Licinius wafat dengan digantung tahun 324. Mereka semua adalah yang memusuhi agama Kristen. Kaisar Konstantin yang mendukung agama Kristen, dapat bertahan menguasai kerajaannya.

Dengan demikian, tanda-tanda tersebut (gempa, matahari yang menjadi hitam, dst) memang dapat dianggap sebagai ungkapan akhir zaman (lih. Hag 2:6; Nah 1:6, Mal 3:2; Luk 21:36; Yl 2:30-31, Kis 2:29, Yes 34:4, Mat 24:29, Mrk 13:24; Luk 21:35), walaupun juga dapat dikatakan bahwa dalam keadaan kekacauan yang digambarkan di sana sudah tergenapi pada masa kejatuhan kerajaan Romawi. Ungkapan tersebut juga dipergunakan selama berabad-abad untuk menggambarkan kematian bagi sejumlah orang penting di kalangan Yahudi. Demikian pula, kekacauan-kekacauan kosmik dalam Perjanjian Lama juga menggambarkan pemberontakan sosial, yang mengawali akhir dunia atau keteraturan sosial. Maka ungkapan yang menggambarkan berbagai kekacauan yang tercatat dalam kitab Wahyu, memang mempunyai makna ganda/ lebih dari satu. Ini menunjukkan betapa kayanya pesan yang ingin disampaikan dalam Kitab Suci, yang intinya mau mengingatkan kita untuk bertahan dalam iman sampai akhir, sebab pada akhirnya kelak, keadilan Tuhan akan menang. Yang jahat akan dihukum dan yang benar akan memperoleh penghargaan dan kebahagiaan kekal.
 
sumber : katolisitas.org

Tidak ada komentar: