Rabu, 22 Februari 2012

Dukacita Sengsara Tuhan Kita Yesus Kristus (Bagian 5)

 

Dukacita Sengsara Tuhan Kita Yesus Kristus
mistikus, stigmatis, visionaris (1774 - 1824)


“THE DOLOROUS PASSION OF OUR LORD JESUS CHRIST
FROM THE MEDITATIONS OF ANNE CATHERINE EMMERICK”
as recorded in the journal of Clemens Brentano
  


Bab XIII
Pengadilan Pagi


Kayafas, Hanas, para tua-tua, dan para ahli Taurat berkumpul kembali pagi harinya di aula pengadilan guna mengadakan pengadilan resmi, sebab pertemuan-pertemuan pada malam hari tidak sah menurut hukum dan hanya dapat dipandang sebagai persiapan. Sebagian besar anggota sidang menginap di kediaman Kayafas, di mana tempat-tempat tidur telah dipersiapkan bagi mereka. Tetapi, sebagian yang lain, di antaranya Nikodemus dan Yusuf dari Arimatea, pulang ke rumah dan kembali ketika fajar menyingsing. Pertemuan itu penuh sesak, dan para anggota mulai melaksanakan tugas mereka dengan cara yang paling tergesa-gesa. Mereka ingin sesegera mungkin menjatuhkan hukuman mati atas Yesus. Tetapi, Nikodemus, Yusuf, dan beberapa yang lainnya menentang keputusan tersebut dan menuntut agar keputusan ditangguhkan hingga berakhirnya perayaan, mengingat khawatir akan timbulnya pergolakan di antara rakyat; mereka juga bersikeras bahwa tak ada penjahat yang dapat dijatuhi hukuman secara adil jika tuduhan-tuduhan tidak dapat dibuktikan, dan bahwa dalam perkara yang sedang mereka hadapi ini, semua saksi-saksi saling bertentangan satu sama lain. Para imam besar dan pengikut mereka menjadi sangat berang. Mereka mengatakan kepada Yusuf dan Nikodemus secara terus terang bahwa mereka tidak terkejut keduanya menyatakan kekecewaan atas apa yang telah terjadi, sebab keduanya adalah pengikut Orang Galilea itu dan penganut ajaran-Nya, dan bahwa keduanya pasti gelisah jika Ia terbukti bersalah. Imam besar bahkan bertindak lebih jauh dengan berusaha mengeluarkan dari sidang semua anggotanya yang menaruh bahkan sedikit simpati sekalipun terhadap Yesus. Para anggota ini mengajukan protes dengan menyatakan cuci tangan atas segala yang akan terjadi terhadap sidang di masa mendatang, mereka meninggalkan ruang pengadilan, lalu pergi ke Bait Allah. Sejak saat itu, tak pernah lagi mereka duduk dalam sidang.

Kayafas lalu memerintahkan para pengawal untuk menghadirkan Yesus sekali lagi ke hadapannya, dan mempersiapkan segala sesuatu untuk membawa-Nya ke pengadilan Pilatus segera setelah ia menjatuhkan hukuman mati. Para pesuruh sidang bergegas menuju penjara, dan dengan kebrutalan seperti biasanya, mereka melepaskan ikatan tangan Yesus, merenggut mantol usang yang tadinya mereka kenakan di atas pundak-Nya, menyuruh Yesus mengenakan jubah-Nya sendiri yang dekil, mengencangkan tali-temali yang mereka lilitkan sekeliling pinggang-Nya, lalu menyeret-Nya keluar dari sel. Penampilan Yesus, saat Ia berjalan lewat di antara khalayak ramai yang telah berkumpul di halaman depan rumah, bagaikan kurban yang digiring untuk dibantai. Wajah-Nya telah sama sekali berubah dan bengkak serta memar di sana-sini karena perlakuan bengis atas-Nya, jubah-Nya penuh noda lumpur dan terkoyak-koyak. Tetapi, pemandangan akan sengsara-Nya ini, jauh dari membangkitkan rasa belas-kasihan dalam diri orang-orang Yahudi yang keras hati, malahan hanya menimbulkan perasaan jijik dan semakin mengobarkan murka mereka. Rasa belas-kasihan, sungguh, tak ada dalam hati makhluk-makhluk keji ini.

Kayafas, yang sedikit pun tak berusaha menyembunyikan rasa dengkinya, dengan angkuh berbicara kepada Yesus, “Jika Engkau adalah Kristus, katakanlah terus terang.” Lalu, Yesus mengangkat kepala-Nya dan menjawab dengan keagungan dan ketenangan yang luar biasa, “Sekalipun Aku mengatakannya kepada kamu, namun kamu tidak akan percaya; dan sekalipun Aku bertanya sesuatu kepada kamu, namun kamu tidak akan menjawab, ataupun melepaskan Aku. Tetapi, mulai sekarang Anak Manusia sudah duduk di sebelah kanan Allah Yang Mahakuasa.” Para imam besar saling memandang satu sama lain dan berkata kepada Yesus dengan tertawa mengejek, “Kalau begitu, Engkau ini Anak Allah?” Yesus menjawab dengan suara kebenaran kekal, “Kamu sendiri mengatakan, bahwa Akulah Anak Allah.” Mendengar kata-kata ini, mereka semua berteriak-teriak, “Untuk apa kita perlu kesaksian lagi? Kita telah mendengar dari mulut-Nya sendiri.”

Mereka semua segera bangkit dan saling berlomba satu sama lain siapakah yang paling hebat dalam melancarkan penghinaan terhadap Yesus, yang mereka sebut sebagai pengacau rendahan yang berambisi menjadi Mesias dan berpura-pura berhak duduk di sebelah kanan Allah. Kemudian mereka memerintahkan para prajurit pembantu untuk membelenggu kedua tangan-Nya kembali dan mengenakan rantai sekeliling leher-Nya (hal ini biasa dilakukan terhadap para penjahat yang dijatuhi hukuman mati), serta bersiap untuk menggiring-Nya ke hadapan Pilatus. Seorang pesuruh telah diutus untuk memohon pada Pilatus agar bersiap mengadili seorang penjahat, sebab hal ini penting agar jangan sampai tertunda mengingat akan segera dimulainya perayaan.

Para imam Yahudi bersungut-sungut di antara mereka karena wajib mengajukan permohonan persetujuan hukuman kepada Gubernur Romawi. Tetapi hal itu wajib dilakukan, sebab mereka tak memiliki hak untuk menjatuhkan hukuman kepada para penjahat, terkecuali untuk hal-hal yang berhubungan dengan agama dan Bait Allah saja, juga mereka tak dapat menjatuhkan hukuman mati. Mereka berusaha membuktikan bahwa Yesus adalah musuh kaisar, dan tuduhan ini berhubungan dengan departemen yang ada di bawah wewenang Pilatus. Segenap prajurit berdiri di depan rumah, dengan dikelilingi oleh sekelompok besar musuh Yesus, dan juga rakyat biasa yang ingin memuaskan rasa ingin tahu mereka. Para imam besar dan sebagian anggota sidang berjalan di bagian depan arak-arakan, lalu Yesus, yang digiring oleh para prajurit pembantu dan dikawal oleh para prajurit yang mengikuti, sementara khalayak ramai berjalan di bagian belakang. Mereka harus menuruni Bukit Sion dan melintasi suatu daerah di kota bawah agar dapat sampai ke istana Pilatus. Banyak imam yang tadinya menghadiri sidang segera pergi ke Bait Allah, sebab mereka harus mempersiapkan diri untuk perayaan.

Bab XIV
Keputusasaan Yudas
Sementara orang-orang Yahudi menggiring Yesus ke hadapan Pilatus, Yudas sang pengkhianat berjalan mondar-mandir mendengarkan percakapan khalayak ramai yang mengikuti. Telinganya sakit mendengar kata-kata seperti ini, “Mereka membawa-Nya ke hadapan Pilatus; para imam besar telah menjatuhkan hukuman mati atas Orang Galilea itu; Ia akan disalibkan; mereka akan segera mengeksekusi-Nya; Ia telah disiksa begitu keji; kesabaran-Nya sungguh mengagumkan; Ia tidak membuka mulut-Nya; satu-satunya perkataan-Nya ialah bahwa Ia adalah Mesias dan bahwa Ia akan duduk di sebelah kanan Allah; mereka akan menyalibkan-Nya karena kata-kata-Nya itu; andai Ia tak mengatakannya, mereka tak akan dapat menjatuhkan hukuman mati atas-Nya. Pecundang yang menjual-Nya adalah salah seorang murid-Nya sendiri, bahkan baru saja ia makan anak domba Paskah bersama-Nya; demi apa pun aku tak akan melakukan perbuatan seperti itu; bagaimanapun mungkin besarnya kesalahan Orang Galilea itu, sungguh tak pantas ia menjual Teman-nya demi uang; orang tak bermoral seperti murid ini jauh lebih pantas dijatuhi hukuman mati.”

Maka, kesedihan, keputusasaan dan sesal meliputi benak Yudas. Namun, semuanya terlambat sudah. Segera setan mendorongnya untuk melarikan diri. Yudas pun berlari seolah seribu musuh menghendaki nyawanya. Sementara ia berlari, kantong yang tergantung di pinggang memukul-mukul kakinya serta memacunya bagaikan suatu cemeti dari neraka. Yudas menggenggam kantong itu dalam tangannya agar jangan ia memukul-mukulnya lagi. Ia berlari sekencang mungkin, tetapi ke manakah ia hendak pergi? Tidak kepada khalayak ramai itu, agar ia dapat menjatuhkan diri di kaki Yesus, Juruselamat-nya yang penuh belas-kasihan, untuk mohon pengampunan daripada-Nya, mohon diperkenankan mati bersama-Nya. Tak hendak pula ia mengakui segala kesalahannya dengan tobat sempurna di hadapan Allah, melainkan berusaha melepaskan tanggung jawab atas kejahatannya, atas ganjaran pengkhianatannya di hadapan dunia. Sebaliknyalah Yudas berlari bagaikan seorang gila dan masuk ke dalam Bait Allah, di mana beberapa orang anggota sidang berkumpul setelah pengadilan Yesus. Mereka saling berpandangan satu sama lain dengan tercengang, lalu memandang Yudas dengan senyum sinis. Yudas, dengan gerakan kalut mencabut kantong berisi tigapuluh keping perak dari pinggang, mengulurkannya dengan tangan kanannya, seraya berseru dengan nada putus asa, “Ambillah kembali kepingan perak kalian - kepingan perak dengan mana kalian menyuapku agar mengkhianati Orang Benar ini. Ambillah kembali kepingan perak kalian, bebaskan Yesus, persekongkolan kita telah berakhir. Aku telah berdosa karena menyerahkan darah orang yang tak bersalah.” Para imam menjawabnya dengan cara yang paling menghina, dan, seolah khawatir kalau-kalau menajiskan diri dengan menyentuh upah sang pengkhianat, mereka tak mau menyentuh kepingan perak yang ia sodorkan, melainkan menjawab, “Apa urusan kami dengan itu? Jika kau berpikir telah menjual darah orang yang tak bersalah, itu urusanmu sendiri! Kami tahu apa yang kami lakukan, dan kami telah mengadili bahwa Ia pantas dihukum mati. Ambillah uangmu dan jangan berkata apa-apa lagi.” Mereka mengucapkan kata-kata ini dengan nada gusar, seperti yang biasa diucapkan orang apabila hendak segera menyingkirkan seorang pengacau, lalu segera bangkit dan berjalan pergi. Hal ini membangkitkan murka dan keputusasaan yang begitu hebat dalam diri Yudas hingga ia nyaris gila. Rambutnya berdiri tegak, ia merobek kantong berisi tigapuluh keping perak itu menjadi dua, melemparkannya ke Bait Allah, lalu melarikan diri ke pinggiran kota.

Lagi, aku melihatnya berlarian kesana kemari bagaikan seorang yang tidak waras di lembah Hinnom. Setan ada di sampingnya dalam bentuk yang menyeramkan, berusaha membuatnya putus-asa sama sekali dengan membisikkan segala kutuk yang diucapkan para nabi atas lembah ini, di mana orang-orang Yahudi dulu biasa mengurbankan anak-anak mereka sebagai persembahan kepada berhala-berhala.    

Tampak seakan-akan segala kutuk itu ditujukan kepadanya: “Mereka akan keluar dan akan memandangi bangkai orang-orang yang telah memberontak kepada-Ku. Di situ ulat-ulatnya tidak akan mati, dan apinya tidak akan padam.” Lagi, “Kain, di mana Habel, adikmu itu? Apakah yang telah kauperbuat ini? Darah adikmu itu berteriak kepada-Ku dari tanah. Maka sekarang, terkutuklah engkau, terbuang jauh dari tanah; engkau menjadi seorang pelarian dan pengembara di bumi.” Ketika Yudas tiba di Sungai Kidron dan melayangkan pandangannya ke Bukit Zaitun, ia gemetar, lalu berbalik pergi. Kata-kata ini terngiang-ngiang di telinganya, “Sahabat, darimanakah engkau? Hai Yudas, engkau menyerahkan Anak Manusia dengan ciuman?” Kengerian menguasai jiwanya, pikirannya semakin kacau, dan iblis berbisik lagi, “Di sinilah Daud melintasi Kidron ketika ia melarikan diri dari Absalom. Absalom mengakhiri nyawanya dengan menggantung diri. Kaulah yang dimaksudkan Daud ketika ia berkata, `Mereka membalas kejahatan kepadaku ganti kebaikan dan kebencian ganti kasihku. Biarlah seorang pendakwa berdiri di sebelah kanannya; apabila dihakimi, biarlah ia keluar sebagai orang bersalah. Biarlah umurnya berkurang, biarlah jabatannya diambil orang lain. Biarlah kesalahan nenek moyangnya diingat-ingat di hadapan TUHAN, dan janganlah dihapuskan dosa ibunya. Oleh karena ia tidak ingat menunjukkan kasih, tetapi mengejar orang sengsara dan miskin dan orang yang hancur hati sampai mereka mati. Ia cinta kepada kutuk - biarlah itu datang kepadanya. Ia memakai kutuk sebagai bajunya - biarlah itu merembes seperti air ke dalam dirinya, dan seperti minyak ke dalam tulang-tulangnya. Biarlah itu baginya seperti pakaian yang dikenakannya, sebagai ikat pinggang yang senantiasa dipakainya.'” Dihantui oleh pikiran-pikiran ngeri ini, Yudas berlari dan berlari hingga tiba di kaki bukit. Tempat itu suram dan terpencil, penuh dengan sampah dan bangkai-bangkai busuk. Suara-suara sumbang dari kota bergema di telinganya. Setan terus-menerus mengulang, “Sekarang mereka akan melaksanakan hukuman mati atas-Nya. Engkau telah menjual-Nya. Tidak tahukah engkau akan pepatah, `Ia yang menjual nyawa saudaranya dan menerima upahnya, biarlah ia mati'? Akhirilah deritamu, derita yang ngeri. Akhirilah sengsaramu.” Dikuasai keputusasaan yang hebat, Yudas melepaskan ikat pinggangnya dan menggantung diri di sebuah pohon yang tumbuh di suatu ceruk karang. Setelah ia tewas, tubuhnya hancur berkeping-keping dan isi perutnya berceceran di atas tanah.

Bab XV
Yesus Dibawa Ke Hadapan Pilatus

Para musuh-Nya yang keji menggiring Juruselamat kita melewati bagian kota yang paling ramai untuk membawa-Nya ke hadapan Pilatus. Arak-arakan berjalan perlahan menuruni sebelah utara Bukit Sion, lalu melintasi daerah sebelah timur Bait Allah yang disebut Acre, menuju istana dan balai pengadilan Pilatus, yang terletak di sebelah baratlaut Bait Allah, menghadap suatu alun-alun yang luas. Kayafas, Hanas dan banyak pemimpin sidang lainnya berjalan di bagian depan dengan jubah perayaan. Dibelakang mereka sejumlah besar ahli Taurat dan orang-orang Yahudi, di antaranya adalah saksi-saksi palsu dan kaum Farisi yang licik, yang berperan utama dalam melancarkan tuduhan terhadap Yesus. Tuhan kita berjalan agak sedikit di belakang. Ia dikelilingi sepasukan prajurit dan digiring oleh para prajurit pembantu. Khalayak ramai berduyun-duyun datang dari segala penjuru dan ikut serta dalam iring-iringan, riuh-rendah melontarkan segala kutuk dan umpatan yang paling ngeri, sementara gerombolan-gerombolan orang berjalan bergegas, saling mendesak dan mendorong. Pakaian Yesus dilucuti, hanya pakaian dalam-Nya saja yang masih tinggal, yang penuh noda dan dekil karena kotoran-kotoran yang mereka lemparkan ke atasnya. Suatu rantai panjang tergantung sekeliling leher-Nya, memukul-mukul kedua lutut-Nya sementara Ia berjalan; kedua tangan-Nya dibelenggu seperti hari sebelumnya. Para prajurit pembantu menyeret-Nya dengan tali-tali tampar yang dililitkan sekeliling pinggang-Nya. Yesus lebih tepat dikatakan terhuyung-huyung daripada berjalan. Nyaris Ia tak dapat dikenali lagi akibat siksa dan aniaya sepanjang malam. Wajah-Nya pucat, kusut, bengkak, memar dan bahkan berdarah. Walau demikian, alogojo-algojo yang tak kenal belas kasihan terus menyiksa-Nya setiap saat dengan lebih lagi. Mereka telah mengumpulkan sekelompok besar sampah masyarakat, agar menjadikan kedatangan-Nya ke dalam kota penuh aib, guna memutarbalikkan kedatangan-Nya dengan jaya pada hari Minggu Palma. Mereka mencemooh-Nya dan dengan gerakan-gerakan tubuh yang mengejek menyebut-Nya raja. Di jalanan berbatu yang dilewati-Nya, mereka menebarkan ranting-ranting dan kain-kain kotor. Dengan seribu satu caci-maki mereka mengolok-olok-Nya, meniru-nirukan mereka yang menyambut kedatangan-Nya dengan jaya di Yerusalem.


Di sudut sebuah bangunan, tak jauh dari kediaman Kayafas, Bunda Yesus yang berduka, bersama Yohanes dan Magdalena, berdiri menyaksikan semuanya. Jiwa sang bunda senantiasa bersatu dengan jiwa Putranya. Namun demikian, terdorong oleh kasihnya yang begitu besar, segala daya upaya dilakukannya agar ia sungguh dapat berada dekat jantung hatinya. Setelah kunjungannya tengah malam ke balai pengadilan Kayafas, Bunda Maria tinggal di ruang perjamuan beberapa waktu lamanya, tanpa daya dan tanpa sepatah kata pun keluar dari bibirnya karena dukacita yang dahsyat. Tetapi, ketika Yesus diseret keluar dari bilik penjara-Nya untuk dibawa kembali ke hadapan hakim-hakim, ia bangkit berdiri, mengenakan kerudung dan mantolnya, serta berkata kepada Magdalena dan Yohanes, “Marilah kita pergi mengikuti Putraku ke pengadilan Pilatus. Aku harus melihat-Nya lagi.” Mereka pergi ke suatu tempat yang pasti akan dilewati arak-arakan dan menanti. Bunda Yesus tahu bahwa Putranya menderita hebat, tapi tak pernah terbayangkan olehnya keadaan yang begitu mengenaskan serta menyayat hati seperti Ia telah dihinakan oleh kebrutalan para musuh-Nya. Dalam bayangannya, ia melihat Yesus menanggung sengsara yang ngeri, namun ditopang serta diterangi oleh kekudusan, kasih dan kesabaran. Tetapi, sekarang, kenyataan yang memilukan ini menembusi hatinya yang terdalam.


Di barisan depan arak-arakan tampaklah para imam, musuh terbesar Putra Ilahinya. Mereka mengenakan jubah yang indah anggun, tetapi ah, ngeri dikata; bukannya menampilkan martabat agung jabatan imamat dari Yang Mahakuasa, melainkan mereka telah berubah menjadi imam-imam setan. Sebab, orang tak dapat menatap wajah mereka yang bengis tanpa melihat pula di sana, terpancar dengan jelas, hasrat iblis yang merasuki jiwa mereka, - kemunafikan, kelicikan, dan dendam kesumat untuk melaksanakan tindak kejahatan yang paling keji, kematian Tuhan dan Juruselamat kita, Putra tunggal Allah. Di belakang para imam adalah saksi-saksi palsu, para pendakwa yang penuh tipu daya, di antara khalayak ramai yang hiruk-pikuk. Dan akhirnya - Ia Sendiri - Putranya - Yesus, Putra Allah, Putra Manusia, dibelenggu dengan rantai, hampir-hampir tak mampu menyangga tubuh-Nya Sendiri, tetapi, tanpa belas kasihan diseret oleh para musuh-Nya yang tak berperikemanusiaan, pukulan bertubi didaratkan pada tubuh-Nya, ditinju oleh yang lainnya, dan dari keseluruhan orang banyak itu kutuk, cemooh, segala cerca yang paling hina, riuh-rendah diteriakkan kepada-Nya.


Ia akan sama sekali tak dikenali, bahkan oleh mata BundaNya Sendiri, dalam keadaan setengah telanjang, hanya berbalut sisa-sisa jubah-Nya yang telah koyak di sana-sini, andai Bunda-Nya tak segera mengenali tingkah laku-Nya yang kontras dengan tingkah laku para penganiaya-Nya yang biadab. Hanya Ia Seorang yang di tengah segala aniaya dan sengsara-Nya tetap tenang dan berserah total kepada Tuhan, jauh dari sikap membalas, tak pernah mengangkat tangan-Nya selain untuk memanjatkan doa kepada BapaNya yang Kekal demi pengampunan dosa para musuh-Nya. Sementara Ia berjalan mendekat, Bunda Maria tak dapat menahan diri lagi, ia berteriak dengan suara gemetar, “Sungguh malang! adakah itu Putraku? Ah, benar! Aku melihat-Nya, Dia-lah Putraku terkasih. Ah, Yesus, Yesusku terkasih!” Ketika arak-arakan hampir tepat tiba di hadapan Bunda Maria, Yesus memandang kepadanya dengan tatapan mata penuh sayang dan belas kasihan. Tatapan mata ini tampaknya terlalu dahsyat bagi seorang ibunda yang dirundung duka. Ia lemas tak sadarkan diri sama sekali beberapa waktu lamanya. Yohanes dan Magdalena berusaha memapahnya pulang, tetapi sekonyong-konyong ia bangkit berdiri dan, dengan ditemani kedua murid terkasih, melangkahkan kaki menuju istana Pilatus.


Segenap penduduk kota Ophel berkerumun di suatu tempat terbuka untuk melihat Yesus. Tetapi, jauh dari memberikan penghiburan kepada-Nya; mereka malahan menambahkan duka baru dalam piala sengsara-Nya; mereka menghujamkan ke dalam hati-Nya kesedihan mendalam yang biasa dirasakan oleh mereka yang melihat para sahabatnya meninggalkan mereka di saat-saat sulit. Yesus telah melakukan demikian banyak bagi penduduk Ophel, tetapi, begitu mereka melihat-Nya direndahkan hingga keadaan penuh sengsara dan hina, segera saja iman mereka terguncang. Mereka tak lagi percaya bahwa Ia adalah raja, nabi, Mesias, Putra Allah. Kaum Farisi tertawa mengejek serta memperolok mereka karena rasa hormat yang dulu mereka nyatakan kepada Yesus. “Lihatlah rajamu sekarang,” seru mereka; “sambutlah Dia; tidakkah kalian mengucapkan selamat kepada-Nya sekarang sebab Ia akan segera dimahkotai dan akan duduk di atas tahta-Nya? Segala tipu mukjizat-Nya telah berakhir; para imam besar telah mengakhiri segala muslihat dan sihir-Nya.”


Sekalipun ada pada orang-orang malang ini kenangan akan mukjizat-mukjizat dan penyembuhan-penyembuhan ajaib yang dilakukan Yesus di hadapan mata mereka; sekalipun banyak kebajikan yang Ia limpahkan atas mereka, iman mereka terguncang oleh sebab melihat-Nya begitu dihinakan dan dijadikan sasaran olok-olok oleh imam besar dan para anggota Sanhedrin, yang dipandang sebagai kalangan terhormat di Yerusalem. Sebagian orang pergi dengan keraguan di hati, sebagian lainnya tinggal dan berusaha menggabungkan diri dengan khalayak ramai, namun mereka dihalang-halangi oleh para prajurit yang dikirim oleh kaum Farisi guna mencegah timbulnya pergolakan dan keruwetan.
Bersambung........ 
sumber : “The Dolorous Passion of Our Lord Jesus Christ from the Meditations of Anne Catherine Emmerich”

“diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya”

Tidak ada komentar: