Rabu, 17 Agustus 2011

Dukacita Sengsara Tuhan Kita Yesus Kristus (Bagian 4)

Dukacita Sengsara Tuhan Kita Yesus Kristus
mistikus, stigmatis, visionaris (1774 - 1824)


“THE DOLOROUS PASSION OF OUR LORD JESUS CHRIST
FROM THE MEDITATIONS OF ANNE CATHERINE EMMERICK”
as recorded in the journal of Clemens Brentano
  


Bab X
Penyangkalan Petrus


Pada saat Yesus mengucapkan kata-kata, “Engkau telah mengatakannya,” dan imam besar mengoyakkan jubahnya, seluruh ruangan bergema dengan teriakan hiruk-pikuk. Petrus dan Yohanes, yang berduka begitu hebat sepanjang segala peristiwa itu berlangsung, dan yang harus menyaksikan semuanya tanpa mampu berbuat apa-apa, tak sanggup lagi melihatnya. Sebab itu, Petrus bangkit berdiri meninggalkan ruangan. Yohanes menyusul sesudahnya. Yohanes pergi kepada Santa Perawan, yang tinggal di rumah Marta bersama para perempuan kudus. Tetapi kasih Petrus terhadap Yesus begitu besar, ia tak dapat memutuskan untuk meninggalkan-Nya. Hatinya meledak dalam duka, dan ia pun menangis dengan pedih, walau ia telah berusaha keras menahan serta menyembunyikan airmatanya. Mustahil baginya untuk tetap tinggal di balai pengadilan, sebab emosinya yang meluap melihat sengsara Guru-nya terkasih pastilah akan mengungkapkan jati dirinya. Sebab itu ia pergi ke serambi dan mendekati perapian, di mana sekelilingnya para prajurit dan orang banyak duduk berdiang sambil membicarakan dengan cara yang paling menyebalkan dan tanpa perasaan mengenai sengsara Yesus, menceritakan apa yang telah mereka sendiri perbuat terhadap-Nya. Petrus diam saja. Tetapi kebisuannya dan raut wajahnya yang sedih membuat orang-orang yang ada di sana menaruh curiga. Tengah mereka berbicara, seorang hamba perempuan datang ke perapian. Ia menatap Petrus dengan tajam dan berkata, “Engkau juga selalu bersama-sama dengan Yesus, orang Galilea itu.” Kata-kata ini mengagetkan Petrus dan membuatnya gelisah. Ia gemetar membayangkan apa yang akan terjadi jika ia mengatakan kebenaran di hadapan kawan-kawannya yang brutal itu. Karenanya, ia segera menjawab, “Bukan, aku tidak kenal Dia!”  Petrus bangkit berdiri dan beranjak meninggalkan serambi. Saat itu ayam berkokok di suatu tempat di pinggiran kota. Aku tidak ingat aku mendengarnya, tetapi aku merasakan bahwa ayam berkokok. Sementara Petrus berjalan keluar, seorang hamba perempuan lain menatapnya dan berkata kepada mereka yang bersamanya, “Engkau juga seorang dari mereka!” Orang-orang yang bersama perempuan itu segera menanyai Petrus apakah benar perkataan hamba perempuan itu, “Bukankah engkau salah seorang dari murid Orang itu?” Petrus bahkan lebih terkejut lagi dari sebelumnya, dan ia mempertegas penyangkalannya dengan mengatakan, “Bukan, aku tidak kenal Dia!”
Petrus meninggalkan pengadilan bagian dalam dan pergi ke bagian luar. Ia menangis. Begitu hebat rasa cemas dan dukanya, hingga sedikit pun ia tidak memikirkan kata-kata yang baru saja ia ucapkan. Pengadilan bagian luar dipadati banyak orang, beberapa orang bahkan memanjat dinding atas agar dapat mendengarkan apa yang terjadi dalam ruang pengadilan, di mana mereka tidak diperkenankan masuk. Beberapa dari antara para murid juga ada di sana, sebab rasa cemas mereka terhadap Yesus begitu besar hingga mereka tak dapat tinggal menyembunyikan diri di gua-gua Hinnom. Mereka bergegas datang kepada Petrus dan dengan airmata bercucuran menghujaninya dengan pertanyaan seputar Guru mereka terkasih. Tetapi Petrus begitu gelisah dan khawatir identitasnya akan terungkap. Sebab itu, dengan singkat ia menyuruh mereka pergi, sebab berbahaya keadaannya apabila mereka tinggal. Lalu ia cepat-cepat pergi. Petrus melampiaskan dukacitanya yang hebat, sementara mereka bergegas meninggalkan kota. Aku mengenali di antara para murid itu, yang berjumlah sekitar enambelas orang: Bartolomeus, Nataniel, Saturninus, Yudas Barsabeas, Simon, yang kelak menjadi Uskup Yerusalem, Zakheus, dan Manahem, yang buta sejak lahir dan dicelikkan oleh Tuhan kita.

Petrus tak dapat merasa tenang di mana pun. Kasihnya yang begitu besar kepada Yesus mendesaknya untuk kembali ke pengadilan bagian dalam. Ia diperkenankan masuk ke bagian dalam, sebab sebelumnya Yusuf dari Arimatea dan Nikodemus telah membawanya masuk. Ia tidak masuk kembali ke serambi, melainkan berbelok ke kanan, menuju ruangan bundar yang ada di belakang ruang pengadilan, di mana Yesus sedang menderita segala penghinaan dan aniaya dari para musuh-Nya yang kejam. Petrus berjalan takut-takut menuju pintu. Ia sepenuhnya sadar bahwa mereka semua yang ada di sana mencurigainya sebagai pengikut Yesus, namun demikian ia tak dapat tinggal di luar. Kasihnya kepada Guru-nya mendorongnya untuk melangkah maju. Ia memasuki ruangan, melangkahkan kaki, dan segera berdiri di tengah gerombolan orang-orang brutal yang memuaskan mata mereka yang keji dengan sengsara Yesus. Saat itu mereka sedang menyeret-Nya dengan bengis ke depan dan ke belakang dengan mahkota jerami di atas kepala-Nya. Yesus menatap sekilas kepada Petrus dengan tatapan duka yang tajam, yang menyayat hatinya yang terdalam. Sementara ia begitu cemas dan was-was, saat itulah ia mendengar beberapa orang di sana berteriak, “Siapa gerangan orang itu?” Petrus berbalik kembali dan mendapati orang-orang di serambi sedang mengamatinya. Petrus berjalan menuju perapian dan berdiang di sana beberapa waktu lamanya. Beberapa orang, yang mengamat-amati wajahnya yang gelisah, mulai berbicara mengenai Yesus dengan kata-kata mengejek. Salah seorang dari antara mereka berkata kepadanya, “Pasti engkau juga salah seorang dari murid-Nya; apalagi engkau seorang Galilea! itu nyata dari bahasamu.” Petrus bangkit berdiri, hendak meninggalkan tempat itu, ketika saudara lelaki Malkhus menghampirinya dan berkata, “Bukankah aku melihatmu di taman itu bersama-Nya? Bukankah engkau yang menetak telinga saudaraku hingga putus?”   

Petrus nyaris pingsan ketakutan. Ia mulai mengutuk dan menyumpah, “Aku tidak kenal orang itu!” Lalu, ia lari keluar dari serambi menuju pengadilan bagian luar. Ayam berkokok lagi, dan Yesus, yang pada saat itu digiring melintasi halaman, menatap pada rasul-Nya dengan tatapan antara belas kasihan bercampur dukacita. Tatapan Yesus ini menembusi hati Petrus hingga ke bagian yang terdalam - mengingatkan dalam benaknya, dengan cara yang paling tegas dan ngeri, akan kata-kata yang disampaikan Yesus sore sebelumnya: “Sebelum ayam berkokok dua kali, engkau telah menyangkal Aku tiga kali.” Ia telah lupa akan segala janji dan protes kerasnya kepada Tuhan kita, bahwa ia lebih suka mati daripada menyangkal-Nya. Ia telah lupa sama sekali akan peringatan yang disampaikan Tuhan kepadanya. Tetapi, saat Yesus menatapnya, ia merasakan betapa ngeri kesalahannya, dan hatinya hancur remuk karena kesedihan yang hebat. Ia telah menyangkal Tuhan-nya, ketika Guru-nya terkasih itu dianiaya, dihina, dan diserahkan ke dalam tangan para hakim yang tidak adil; - ketika Ia menanggung segala sengsara-Nya itu dengan penuh kesabaran dan tanpa membuka mulut. Rasa sesalnya yang mendalam sungguh tak terlukiskan. Ia kembali ke pengadilan, menyelubungi wajahnya dan menangis sejadi-jadinya. Tak ada lagi rasa takut akan dikenali orang, ia siap memaklumkan kepada seluruh dunia, baik kesalahannya maupun tobatnya.

Adakah orang yang berani memastikan bahwa ia akan memperlihatkan keberanian yang lebih daripada Petrus jika, dengan perangainya yang emosional dan berkobar-kobar, dihadapkan pada bahaya, perkara ataupun kesedihan yang sedemikian rupa, juga pada saat ketika segalanya berbaur antara ngeri, duka, dan letih oleh penderitaan sepanjang malam yang menyedihkan ini? Tuhan kita meninggalkan Petrus pada kekuatannya sendiri. Dan ia lemah, sama seperti kita semua yang melupakan kata-kata ini, “Berjaga-jagalah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan.


Bab XI
Bunda Maria di Kediaman Kayafas

Santa Perawan senantiasa dipersatukan dengan Putra Ilahinya melalui hubungan batin rohani. Sebab itu, Bunda Maria senantiasa sepenuhnya sadar akan segala yang terjadi pada Yesus. Ia menderita bersama-Nya, serta mempersatukan diri dalam doa Putranya yang tak kunjung henti bagi para pembunuh-Nya. Namun demikian, naluri keibuan mendorongnya untuk memohon dengan sangat kepada Allah Yang Mahakuasa agar penderitaan ngeri itu dijauhkan daripada-Nya, dan agar Putranya diselamatkan dari sengsara yang demikian keji. Betapa ia rindu berada di sisi-Nya. Ketika Yohanes, yang meninggalkan balai pengadilan saat seruan mengerikan itu dimaklumkan, “Ia harus dihukum mati!”, datang ke rumah Lazarus guna menemuinya serta menceritakan secara terinci peristiwa ngeri yang baru saja ia saksikan, Bunda Maria, dan juga Magdalena serta beberapa perempuan kudus lainnya, meminta dengan sangat agar diantarkan ke tempat di mana Yesus menderita sengsara. Yohanes, yang meninggalkan sang Juruselamat hanya demi menghibur dia yang paling dikasihinya sesudah Guru Ilahi-nya, segera memenuhi permintaan mereka. Ia membimbing mereka menyusuri jalan-jalan yang hanya diterangi oleh cahaya rembulan yang temaram, dan yang dipadati oleh orang-orang yang bergegas pulang ke rumah masing-masing. Para perempuan kudus itu berkerudung rapat, tetapi isak-tangis yang tak kuasa mereka bendung membuat orang-orang yang berpapasan dengan mereka mengamati mereka dengan heran. Hati para perempuan kudus itu tersayat pilu oleh kata-kata ejekan dan cemooh yang mereka dengar tentang Yesus, yang dilontarkan oleh orang-orang yang ramai membicarakan penangkapan-Nya. Santa Perawan, yang senantiasa melihat dalam roh segala perlakuan biadab yang diderita Putranya terkasih, terus “menyimpan semua perkara itu di dalam hatinya.” Seperti Putranya, ia menderita tanpa membuka mulut. Tetapi, lebih dari satu kali ia sama sekali tak sadarkan diri. Beberapa murid Yesus, yang sedang dalam perjalanan kembali dari rumah Kayafas, melihatnya jatuh pingsan dalam pelukan para perempuan kudus. Tergerak oleh belas kasihan, mereka berhenti untuk memandangnya dengan penuh kasih sayang, serta menyalaminya dengan kata-kata ini, “Salam! Bunda yang berduka - salam, Bunda dari Yang Mahakudus dari Israel, yang paling berduka di antara semua ibunda!” Bunda Maria mengangkat kepalanya, menyampaikan terima kasih setulus hati, dan melanjutkan perjalanan dukanya.

Ketika tiba dekat kediaman Kayafas, duka mereka disegarkan kembali oleh pemandangan akan sekelompok orang yang sedang sibuk bekerja di bawah tenda mempersiapkan salib untuk penyaliban Tuhan kita. Para musuh Yesus telah memberikan perintah bahwa salib harus segera dipersiapkan begitu Ia ditangkap, agar mereka, tanpa ditunda-tunda lagi, dapat melaksanakan hukuman mati. Mereka berharap dapat membujuk Pilatus agar menjatuhkan hukuman mati atas-Nya. Para prajurit Romawi telah mempersiapkan salib bagi kedua penyamun. Para pekerja yang sekarang sedang mempersiapkan salib bagi Yesus sungguh mendongkol dipaksa mengerjakannya sepanjang malam. Mereka tidak berusaha menyembunyikan kedongkolan hati mereka, melainkan meluapkannya dengan kutuk dan sumpah serapah yang paling keji, yang menembusi hati Bunda Yesus yang amat lemah lembut dengan luka yang semakin dalam. Tetapi Bunda Maria berdoa bagi makhluk-makhluk ciptaan yang buta ini, yang tanpa mereka sadari, dengan berbuat demikian mereka telah menghujat Juruselamat yang akan segera wafat demi keselamatan mereka.

Bunda Maria, Yohanes, dan para perempuan kudus melintasi pengadilan bagian luar yang berdampingan dengan tempat tinggal Kayafas. Mereka berhenti di bawah terop pintu gerbang yang menuju ke pengadilan bagian dalam. Hati Bunda Maria bersama Putra Ilahinya dan betapa sangat ingin ia melihat pintu itu terbuka, agar ia beroleh kesempatan untuk memandang-Nya lagi, sebab ia tahu bahwa hanya pintu itu saja yang memisahkannya dari penjara di mana Ia dikurung. Pintu itu akhirnya terbuka juga. Petrus menghambur keluar, wajahnya diselubungi mantolnya, ia meremas-remas tangannya, dan menangis dengan teramat sedihnya. Dengan bantuan sinar suluh, ia segera mengenali Yohanes dan Santa Perawan. Tetapi, melihat mereka hanya semakin memperdalam perasaan sesalnya yang hebat yang telah dibangkitkan oleh tatapan Yesus dalam hatinya. Bunda Maria segera menghampirinya dan berkata, “Simon, katakanlah, aku mohon padamu, bagaimanakah keadaan Yesus, Putraku!” Kata-kata ini serasa mengiris-iris hati Petrus yang paling dalam. Ia bahkan tak sanggup menatap padanya, melainkan memalingkan muka, dan lagi, meremas-remas tangannya. Bunda Maria menghampirinya lebih dekat seraya berkata dengan suara gemetar menahan emosi, “Simon, anak Yohanes, mengapakah engkau tak menjawab aku?” - “Bunda!” jerit Petrus dengan nada duka, “Ya, Bunda, janganlah bertanya padaku - Putramu menderita sengsara lebih dari yang dapat diungkapkan kata-kata: janganlah bertanya padaku! Mereka telah menjatuhi-Nya hukuman mati, dan aku telah menyangkal-Nya tiga kali.” Yohanes datang untuk menanyakan beberapa pertanyaan lagi, tetapi Petrus sekonyong-konyong melarikan diri seolah telah kehilangan akal, ia tidak berhenti sejenak pun hingga tiba di gua di Bukit Zaitun - gua batu di mana jejak-jejak tangan Juruselamat kita secara ajaib tertera di atasnya. Aku percaya inilah gua di mana Adam melarikan diri dan menangis setelah ia jatuh dalam dosa.

Santa Perawan hancur-luluh dalam kesedihan yang hebat mendengar dukacita yang menimpa hati Putra Ilahinya yang penuh belas kasih, mendengar dukacita DiriNya disangkal oleh murid yang pertama-tama mengenali-Nya sebagai Putra Allah yang Hidup. Ia tak kuasa menopang tubuhnya dan jatuh di atas lantai batu, di mana jejak-jejak tangan dan kakinya tertera hingga hari ini. Aku melihat batu-batu itu, yang disimpan di suatu tempat, tetapi saat ini aku tidak dapat mengingatnya di mana. Pintu gerbang tidak lagi tertutup, orang banyak itu membubarkan diri. Ketika Santa Perawan telah siuman kembali, ia mohon agar dibawa ke tempat di mana ia dapat berada sedekat mungkin dengan Putra Ilahinya. Sebab itu, Yohanes membimbingnya, dan juga para perempuan kudus lainnya, ke depan penjara di mana Yesus dikurung. Bunda Maria ada bersama Yesus dalam roh, dan Yesus bersama BundaNya. Tetapi, bunda yang penuh kasih sayang ini begitu ingin mendengar dengan telinganya sendiri, suara Putra Ilahinya. Ia mendengarkan dengan seksama, tetapi yang terdengar bukan hanya erangan-Nya, melainkan juga kata-kata cercaan yang dilontarkan oleh mereka yang di sekelilingnya. Mustahil bagi para perempuan kudus itu untuk tinggal lebih lama lagi di pengadilan tanpa menarik perhatian. Dukacita Magdalena begitu hebat, hingga ia tak sanggup lagi menyembunyikannya. Dan meskipun Santa Perawan, dengan bantuan rahmat istimewa dari Allah yang Mahakuasa, dapat tinggal tenang dan berwibawa di tengah sengsaranya, toh ia pun dikenali orang dan harus mendengar kata-kata cemooh yang keji seperti, “Bukankah ia ini ibunda dari Orang Galilea itu? Putranya pastilah dihukum mati, tetapi tidak sebelum perayaan, kecuali, jika Ia sungguh seorang penjahat besar.”

Bunda Maria meninggalkan pengadilan dan pergi ke perapian di serambi, di mana sejumlah orang masih berdiri di sana. Ketika tiba di tempat di mana Yesus memaklumkan bahwa Ia adalah Putra Allah, dan orang-orang Yahudi yang jahat itu berteriak, “Ia harus dihukum mati!”, lagi, Bunda Maria lemas tak sadarkan diri. Yohanes dan para perempuan kudus menggendongnya pergi dalam keadaan lebih serupa mayat daripada seorang yang hidup. Orang-orang yang berada di sana tak mengatakan sepatah kata pun. Tampaknya mereka terkesima dan takjub, seperti yang akan terjadi di neraka apabila suatu makhluk surgawi lewat.

Para perempuan kudus sekali lagi melewati tempat di mana salib sedang dipersiapkan. Para pekerja tampaknya harus menghadapi banyak kesulitan dalam menyelesaikannya, seperti yang dihadapi para hakim dalam menjatuhkan hukuman mati atas-Nya. Setiap saat mereka harus mengambil kayu-kayu baru, sebab yang ini tidak cocok, dan yang lain pecah. Hal ini berlangsung terus hingga potongan-potongan kayu yang berbeda dipasangkan pada salib, sesuai kehendak Penyelenggaraan Ilahi. Aku melihat malaikat-malaikat yang membantu para pekerja ini untuk meneruskan pekerjaan mereka, dan tidak membiarkan mereka beristirahat hingga seluruhnya diselesaikan dengan cara yang layak dan pantas. Tetapi, ingatanku akan penglihatan ini tidak terlalu jelas.


Bab XII
Yesus Dikurung Dalam Penjara Bawah Tanah
 
Orang-orang Yahudi, setelah kehabisan tenaga melampiaskan kebiadaban mereka, mengurung Yesus dalam suatu bilik penjara yang kecil sepanjang sisa hari itu. Hanya dua prajurit pembantu saja yang masih tetap bersama-Nya; mereka pun segera digantikan oleh dua orang lainnya. Yesus masih terbalut dalam mantol usang yang kotor dan tubuh-Nya penuh ludah serta kotoran-kotoran lain yang mereka lemparkan kepada-Nya. Mereka tidak memperkenankan Yesus mengenakan jubah-Nya sendiri, melainkan membelenggu kedua tangan-Nya dalam satu ikatan yang erat.

Ketika Tuhan kita memasuki sel-Nya, Ia berdoa dengan sungguh-sungguh agar Bapa SurgawiNya sudi menerima segala sengsara yang telah diderita-Nya, pun segala sengsara yang akan diderita-Nya, sebagai suatu kurban silih, bukan hanya bagi para algojo-Nya, melainkan juga bagi mereka semua, yang di masa mendatang mungkin harus mengalami sengsara seperti yang akan segera ditanggung-Nya, dan dicobai dalam ketidaksabaran dan amarah.

Para musuh Yesus tidak membiarkan-Nya beristirahat barang sejenak, bahkan dalam penjara yang pengap ini. Mereka membelenggu-Nya ke sebuah pilar yang berdiri di tengah penjara dan bahkan tidak membiarkan-Nya menyandarkan diri padanya, walau tenaga-Nya sudah terkuras habis oleh perlakuan keji mereka. Beratnya rantai besi dan akibat jatuh berulang kali, menyebabkan Yesus hampir-hampir tak dapat menopang tubuh-Nya sendiri di atas kedua kaki-Nya yang bengkak dan terkoyak-koyak. Tak sekejap pun mereka berhenti menganiaya-Nya, dan jika mereka telah letih menyiksa-Nya, yang lain akan menggantikan mereka.

Mustahil menggambarkan segala penderitaan Yang Mahakudus dari Yang Kudus akibat perlakuan makhluk-makhluk yang tak punya hati ini. Pemandangan sengsara itu menyiksaku begitu luar biasa hingga aku sungguh jatuh sakit dan merasa bahwa aku tak akan mampu bertahan. Sungguh, patutlah kita malu akan segala kelemahan dan kerapuhan kita yang menjadikan kita tak mampu mendengarkan dengan sabar atau pun berbicara tanpa rasa enggan, gambaran akan derita dan sengsara yang ditanggung Tuhan kita dengan begitu tenang dan sabar demi keselamatan kita. Rasa ngeri yang kita rasakan begitu hebat bagaikan rasa ngeri seorang pembunuh yang dipaksa untuk meletakkan tangannya ke atas luka-luka yang ia sendiri akibatkan pada kurbannya. Yesus menanggung semuanya tanpa membuka mulut-Nya. Manusia, manusialah yang berdosa, yang melakukan segala kekejian ini terhadap Dia yang sekaligus adalah Saudara mereka, Penebus mereka, dan Tuhan mereka. Aku juga seorang pendosa besar, dan dosa-dosaku mengakibatkan sengsara-Nya. Pada hari penghakiman, ketika segala hal yang paling tersembunyi pun akan dinyatakan, kita akan melihat partisipasi kita dalam aniaya yang diderita Putra Allah. Kita akan melihat bagaimana jauh kita telah melakukan aniaya itu melalui dosa-dosa yang begitu sering kita lakukan, dan yang, sesungguhnya, merupakan semacam persetujuan yang kita berikan dan keikutsertaan kita dalam aniaya yang dilakukan para musuh yang keji terhadap-Nya. Andai, sayang sekali! kita merenungkan dalam-dalam hal ini, pastilah kita akan mengulang dengan kesungguhan yang lebih khidmad kata-kata yang begitu sering kita dapati dalam buku-buku doa, “Tuhan, lebih baiklah aku mati, daripada dengan sengaja menghina Engkau lagi dengan dosa-dosaku.”

Yesus terus berdoa bagi para musuh-Nya. Para prajurit itu akhirnya kelelahan juga dan meninggalkan-Nya seorang diri sejenak. Ia menyandarkan diri pada pilar untuk beristirahat. Suatu cahaya terang cemerlang bersinar di sekeliling-Nya. Hari di ambang fajar - hari Sengsara-Nya, hari Penebusan kita. Suatu sinar samar masuk melalui celah udara yang sempit di bilik penjara, jatuh di atas Anak Domba yang kudus dan tanpa cela, yang telah menanggungkan atas DiriNya Sendiri dosa-dosa dunia. Yesus memandangi berkas sinar matahari itu, mengangkat kedua tangan-Nya yang terbelenggu, dan, dengan cara yang sungguh menyentuh hati, mengucap syukur kepada Bapa SurgawiNya atas tibanya fajar hari itu, yang telah demikian lama dinanti-nantikan dengan penuh harap oleh para nabi, dan yang Ia Sendiri damba serta rindukan sejak saat kelahiran-Nya di dunia, dan yang tentangnya telah Ia katakan kepada para murid-Nya, “Aku harus menerima baptisan, dan betapakah susahnya hati-Ku, sebelum hal itu berlangsung!” Aku berdoa bersama-Nya, tetapi aku tak dapat mengulangi perkataan dalam doa-Nya, sebab aku sepenuhnya tenggelam di dalamnya, dan begitu terharu mendengar-Nya mengucap syukur kepada BapaNya atas sengsara ngeri yang telah Ia derita bagiku, dan atas sengsara lebih besar lagi yang akan Ia derita. Aku hanya dapat mengulang dan mengulang lagi dengan setulus hati, “Tuhan, aku mohon pada-Mu, anugerahkanlah padaku sengsara ini; sengsara ini adalah ganjaranku; aku layak menerimanya sebagai ganjaran atas dosa-dosaku.” Aku dikuasai oleh perasaan kasih dan belas kasihan ketika aku melihat-Nya begitu rupa menyambut datangnya fajar pagi hari Kurban-Nya yang agung. Dan seberkas sinar itu, yang masuk menembus bilik penjara-Nya, mungkin, sungguh, dapat diperbandingkan dengan kunjungan seorang hakim yang menghendaki didamaikan dengan seorang penjahat sebelum dilaksanakannya hukuman mati yang ia jatuhkan atasnya.

Para prajurit pembantu, yang terkantuk-kantuk, terjaga sebentar, dan melihat kepada-Nya dengan terperanjat. Mereka tak mengatakan apa-apa, tetapi tampaknya mereka takjub dan takut. Tuhan Ilahi kita dikurung dalam bilik penjara ini satu jam lamanya, atau kurang lebih begitu.

Sementara Yesus berada dalam penjara bawah tanah, Yudas, yang berkeliaran naik turun lembah Hinnom bagaikan seorang gila, mengarahkan langkah menuju kediaman Kayafas, dengan tigapuluh keping perak, upah pengkhianatannya, masih tergantung di pinggang. Sekelilingnya sunyi sepi, ia berbicara kepada beberapa orang penjaga, tanpa mengungkapkan jati dirinya, dan bertanya apakah yang hendak dilakukan terhadap Orang Galilea itu. “Ia telah dijatuhi hukuman mati. Ia pasti akan segera disalibkan,” jawab mereka. Yudas berjalan mondar-mandir sembari mendengarkan dengan seksama berbagai percakapan orang mengenai Yesus. Sebagian berbicara tentang tindak kekejian yang dilakukan terhadap-Nya, sebagian lain berbicara tentang kesabaran-Nya yang mengagumkan, sementara yang lain berbicara mengenai pengadilan serius yang akan dilangsungkan esok hari di hadapan sidang agung. Sementara sang pengkhianat mendengarkan dengan cermat segala pendapat berbeda yang mereka sampaikan, fajar mulai tiba. Para anggota pengadilan mulai bersiap. Yudas menyelinap di balik bangunan agar tak terlihat. Seperti Kain, ia berusaha menyembunyikan diri dari hadapan manusia; keputusasaan mulai menguasai segenap jiwanya. Tempat di mana ia bersembunyi adalah tempat di mana para pekerja sepanjang malam mempersiapkan kayu salib bagi Tuhan kita. Segala sesuatu telah siap, dan para pekerja tidur di sampingnya. Yudas diliputi perasaan ngeri melihatnya, ia bergidik dan melarikan diri ketika melihat alat kematian keji yang demi sejumlah uang, ia telah menyerahkan Tuhan-nya dan Guru-nya. Ia berlari ke sana kemari dalam penyesalan yang dalam, dan akhirnya menyembunyikan diri di sebuah gua terdekat, di mana ia memutuskan untuk menunggu pengadilan yang akan dilangsungkan pagi itu.
 
Bersambung........
sumber : “The Dolorous Passion of Our Lord Jesus Christ from the Meditations of Anne Catherine Emmerich”

“diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya”

Tidak ada komentar: