Rabu, 28 Desember 2011
Rabu, 07 Desember 2011
Asal Usul Perayaan Natal

Secara resmi ditetapkan bahwa Kelahiran Yesus jatuh pada tanggal 25 Desember dan Gereja telah menyadari tanggal ini. Daniel Rops, seorang sejarawan, mengatakan bahwa pada masa penganiayaan Gereja Katolik sampai keluarnya Edict Milan (313) yang memberikan kebebasan beragama kepada Gereja Katolik, umat Katolik telah merayakan Natal secara sembunyi-sembunyi di Katakombe-katakombe yang ada di Kekaisaran Romawi (Katakombe = makam bawah tanah). [Daniel Rops,Prières des Premiers Chrétiens, Paris: Fayard, 1952, pp. 125-127, 228-229]
Di sebagian besar Gereja-gereja Timur, Perayaan ini diperkenalkan sekitar abad keempat dan kelima. Pada akhir abad keempat, Uskup Epifanius dari Salamis (salah satu sejarahwan Gereja) memberikan kronologi kehidupan Tuhan Yesus Kristus di mana menurut Kalender Julian (saat ini Gereja Katolik Roma menggunakan Kalender Gregorian) tanggal 6 Januari adalah hari kelahiran Tuhan dan 8 November adalah hari pembaptisan Tuhan di Sungai Yordan.
Pada permulaan abad kelima, biarawan terpelajar, St. Yohanes Kassianus dari Konstantinopel, pergi ke Mesir untuk mempelajari peraturan-peraturan biara di sana. Antara tahun 418 hingga 425, St. Yohanes Kassianus menulis laporan pengamatannya. Dia memberitahukan kita bahwa uskup-uskup di wilayah itu, pada masa tersebut, menganggap Pesta Epifani (Penampakan Tuhan) sebagai hari kelahiran Tuhan dan tidak ada perayaan terpisah dalam menghormati kelahiran Tuhan. Dia menyebut hal ini “tradisi kuno”.
Kebiasaan lama ini segera memberi jalan bagi tradisi baru. Sementara mengunjungi St. Sirillus, Patriark Alexandria; Uskup Paulus dari Emesa berkhotbah pada perayaan kelahiran Tuhan Yesus pada 25 Desember tahun 432 M. Natal telah diperkenalkan kepada Mesir sebelum waktu kunjungan ini, dapat dikatakan sekitar 418 dan 432 M dan peristiwa ini menjadi bukti kuat berdasarkan kalender yang telah ada.
St. Gregorius dari Nazianzus, Bapa Gereja dan Uskup, selama tinggal di daerah Seleucia di Isauria (Turki sekarang) merayakan Natal untuk pertama kalinya di Konstantinopel pada tanggal 25 Desember 379.
St. Yohanes Krisostomos, Bapa Gereja dan Uskup, berkhotbah di Antiokia pada tanggal 20 Desember 386 dan karena kefasihan pewartaannya, ia berhasil mengajak umat beriman untuk menghadiri Natal 25 Desember 386. Sejumlah besar umat beriman hadir di Gereja ketika Natal dirayakan. Kita memiliki salinan khotbah St. Yohanes Krisostomos. Pada Pengantar khotbah, ia berkata bahwa ia berharap dapat berbicara kepada mereka mengenai perayaan Natal yang telah menjadi kontroversi besar di Antiokia. Dia mengusulkan kepada para pendengarnya untuk menghormati dan merayakan Natal dengan tiga dasar: Pertama, karena Natal telah menyebar dengan cepat dan pesat dan telah diterima dengan baik di berbagai daerah. Kedua, karena waktu pelaksanaan sensus pada tahun kelahiran Yesus dapat ditentukan dari berbagai dokumen kuno yang tersimpan di Roma; ketiga, waktu kelahiran Tuhan Yesus dapat dihitung dari peristiwa penampakan malaikat kepada Zakarias, ayah Yohanes Pembaptis, di Bait Allah. Zakarias, sebagai Imam Agung, masuk ke dalam Tempat Mahakudus pada Hari Penebusan Dosa Yahudi (The Jewish Day of Atonement). Hari Penebusan Dosa jatuh pada bulan September menurut kalender Gregorian. Enam bulan sesudah peristiwa ini, malaikat Gabriel datang kepada Maria dan enam bulan kemudian Yesus Kristus lahir, yaitu pada bulan Desember. St. Yohanes Krisostomos menyimpulkan khotbahnya dengan sanggahan telak terhadap orang-orang yang menolak bahwa Sang Allah telah menjadi manusia dan tinggal di dunia. St. Yohanes Krisostomos, dengan mengacu pada khotbah di atas, mengatakan dengan jelas bahwa pada masa tersebut, ketika perayaan Natal diperkenalkan di Timur, Natal telah dirayakan di Roma lebih dulu.
Kembali ke Gereja Barat. Bapa Gereja Yohanes, Uskup Nicea, memberitahu kita bahwa Gereja Roma mulai merayakan kelahiran Tuhan Yesus pada tanggal 25 Desember, pada masa Paus St. Julius I (337-352). Paus Kudus ini, dengan bantuan tulisan-tulisan dari sejarawan Yahudi, Josephus, telah memastikan bahwa Kristus lahir pada tanggal 25 Desember.
Dengan demikian, Perayaan Natal memang memiliki asal usul yang sangat tua dan telah dirayakan sejak zaman Gereja Perdana. Natal bukanlah perayaan pagan yang diadopsi masuk ke dalam Kekristenan, tetapi Natal adalah Perayaan Liturgis yang berasal dari dalam Kekristenan itu sendiri.
diterjemahkan dan dikembangkan dari Newsletter of Pope John Paul II Society of Evangelists December 2007
Sumber : www.indonesian-papist.blogspot.com
Kamis, 24 November 2011
St. Nimattulah Kassab Al-Hardini
Santo Nimattulah adalah seorang Santo (Katolik) Ketiga dari Ordo Maronit Libanon. Ia lahir pada tahun 1808 di Hardin Libanon. Ia wafat pada tahun 1858. Ia dihormati baik oleh Gereja Katolik Roma maupun Gereja Katolik Timur. Ia dibeatifikasikan di Vatikan pada tanggal 10 Mei 1998, oleh Paus Yohanes Paulus II, dan Dikanonikasikan pada tanggal 16 Mei 2004, juga oleh Paus Yohanes Paulus II. Hari peringatannya jatuh pada tanggal 14 Desember.
Mukjizat-mukjizat Santo Nimatullah Kassab Al-Hardini
Seumur hidupnya, Pastur Nimatullah melakukan banyak mukjizat oleh kehidupan rohaninya yang dalam, jasa-jasanya yang besar dan jiwanya yang bersinar menyatu dengan Khaliknya melalui doa. "Orang Kudus dari Kfifan" ini memiliki karunia bernubuat dan karena itu dikenal sebagai "orang yang memperoleh penglihatan." Suatu ketika tatkala mengajar murid-muridnya sambil menghadap ke tembok besar di luar biara Kfifan, dia memperoleh firasat bahwa tembok itu akan segera runtuh. Karena itu dia menyuruh murid-muridnya pindah dari tempat itu tak lama sebelum tembok itu benar-benar runtuh, sehingga mereka selamat dari cedera.
Pada kesempatan lain, Pastur Nimatullah memperoleh firasat bahwa kandang ternak milik biara Kfifan akan runtuh menimpa sapi-sapi di dalamnya (di masa itu sapi dianggap sebagai aset vital biara). Pastur Nimatullah meminta rahib yang bertanggung jawab atas kandang tersebut untuk memindahkan sapi-sapi itu. Mula-mula si rahib ragu-ragu, namun Pastur Nimatullah bersikeras memaksa si rahib untuk melakukannya. Begitu sapi-sapi selesai dipindahkan, atap kandang benar-benar runtuh dan tak satu pun sapi yang mati.
Kesembuhan Putera Altar
Pada kesempatan lain, Pastur Nimatullah hendak merayakan misa hariannya namun putera-altar yang biasa membantunya belum tiba di gereja pada waktunya. Pastur Nimatullah kemudian pergi ke kamar anak itu dan menyuruhnya bangun untuk melayani misa. Si putera-altar tidak dapat bangun karena terserang demam tinggi. Pastur Nimatullah lalu menyuruh anak itu bangkit berdiri, dan memerintahkan demam itu "Pergi darinya..." Dengan segera, anak itu sembuh dan pergi melayani misa yang dirayakan Pastur Nimatullah dengan suka cita dan penuh semangat.
Lumbung
Pastur Nimatullah pernah berdoa dan memberkati lumbung (berisi gandum dan berbagai bahan pangan) biara El-Kattara yang sudah sangat berkurang isinya. Beberapa saat kemudian, lumbung itu penuh dan tumpah-ruah. Semua orang takjub dan memuji Allah atas apa yang mereka saksikan.
Saat masih hidup, rekan-rekannya sesama rahib serta masyarakat yang mengenalnya menganggap Pastur Nimatullah seorang Santo. Mereka kerap mendatanginya untuk minta didoakan bahkan memintanya memberkati air yang digunakan untuk ladang dan ternak mereka. Kehadirannya senantiasa membangkitkan rasa hormat, suasana takzim dan khusyuk.
Moussa Saliba
Sesudah wafatnya, Allah mengaruniakan banyak kesembuhan dan mukjizat melalui perantaraan-doa si "Orang Kudus dari Kfifan." Salah satu kesembuhan itu dikaruniakan kepada seorang pria Orthodox tuna-netra, Moussa Saliba, dari kota Btegrin (El-Maten). Moussa Saliba mengunjungi makam Nimatullah, berdoa dan meminta berkatnya. Moussa Saliba kemudian tertidur nyenyak, dan Pastur Nimatullah tampak padanya dalam mimpi lalu menyembuhkan matanya, sehingga dia dapat melihat dengan jelas.
Mickael Kfoury
Mukjizat lainnya dialami oleh seorang pria Katolik Melkit, Mikael Kfoury dari kota Watta El-Mrouge. Sejenis penyakit tak-tersembuhkan menyerang kedua tungkainya hingga mengering, tinggal kulit membungkus tulang, dan melengkung hingga membuatnya tak dapat melakukan apa-apa. para dokter yang merawatnya telah kehilangan segala harapan untuk dapat menyembuhkannya. Setelah mendengar mukjizat yang dilakukan Pastur Nimatullah, pria ini berziarah ke makam Pastur Nimatullah di Kfifan dan meminta kesembuhan darinya. Malam itu dia tidur di biara, dan dalam mimpinya tampak padanya seorang rahib tua yang berkata: "Bangkitlah dan pergilah membantu para rahib mengangkut buah-buah anggur dari kebun anggur." Dia langsung menanggapi: "Tidakkah kau lihat bahwa saya lumpuh, bagaimana mungkin saya berjalan dan mengangkut buah-buah anggur itu?" Si rahib menjawab: "Ambillah sepasang sepatu ini, kenakanlah dan berjalanlah." Pria itu mengambil sepatu yang ditunjukkan padanya dan mencoba meluruskan kaki kanannya, dan dengan penuh keheranan dia dapat melakukannya! Dia terbangun dan mulai merasa kedua kakinya kembali berbalut darah dan daging, dan sesudah dia berdiri dia mendapati dirinya sepenuhnya sembuh.
Andre Najm
Pada 26 September 1987, Andre disertai keluarga dan teman-temannya berziarah ke biara Kfifane di mana dia berdoa dengan khusyuk di makam Pastur Al-Hardini. Orang-orang di dekatnya mendengarnya berkata "Saya mohon kepadamu, Pastur Al-Hardini, berilah saya setetes darah karena saya sangat kelelahan sampai bahkan tidak mampu mengemis darah di jalanan." Dia kemudian meminta mengenakan seragam biara, beberapa saat kemudian di sembuh, lalu berseru-seru dengan suka cita, "Saya mengenakan seragam biara, saya sembuh, saya tidak butuh darah lagi!" Andre tidak lagi membutuhkan transfusi darah sejak hari itu, dan pada tahun 1991 dia menikahi Rola Salim Raad. Mereka memiliki tiga anak, seorang putera bernama Syarbel dan dua puteri bernama Rafka dan Maria. Kini, Andre berada dalam kondisi kesehatan yang prima dan telah menjadi seorang imam Maronit.
Pada 2 Mei 1996, Yang Mulia Uskup Khalil Abi-Nader, pensiunan uskup dari keuskupan Maronit Beirut, memperoleh izin dari Yang Berbahagia Nasrallah Boutros Kardinal Sfeir untuk memulai investigasi atas mukjizat yang dialami Andre Najm. Pada 26 September 1996, Kongregasi untuk Para Kudus mulai mempelajari mukjizat tersebut. Pada 27 Februari 1997, kelima anggota tim medis sepakat menerima penyembuhan ajaib Andre Najm, dan pada 9 Mei 1997, ketujuh anggota tim teologis juga sepakat menerima mukjizat tersebut. Pada 1 Juli 1997, Sidang Umum Kongregasi untuk Para Kudus, yang mencakup dua puluh empat kardinal, menerima mukjizat tersebut.
Pada 7 Juli 1997, dan disaksikan Almarhum Bapa Suci Paus Yohanes Paulus II, Kongregasi untuk Para Kudus mempublikasikan sebuah dekrit mengenai penerimaan mukjizat sehubungan dengan perantaraan-doa dari Hamba Allah, Romo Al-Hardini.
Beatifikasi Nimatullah al-Hardini oleh Paus Yohanes Paulus II diselenggarakan di Basilika Santo Petrus di Roma pada hari Minggu 10 Mei 1998. Gereja Maronit memperingatinya tiap tanggal 14 Desember. Santo Nimatullah dikanonisasikan pada hari Minggu, 16 Mei 2004 oleh Sri Paus Yohanes Paulus II di Basilika Santo Petrus, roma.
Catatan: Sebutan Pastur dalam bahasa Aram/Syria adalah Aban
Sumber : Wikipedia
Kamis, 17 November 2011
St. Padre Pio dari Pietrelcina
Karunia Adikodrati

ST PADRE PIO DAN MALAIKAT PELINDUNG




Padre Pio mulai mendapatkan penampakan semenjak ia masih seorang kanak-kanak. Francesco kecil tidak menceritakannya sebab ia yakin bahwa penampakan demikian merupakan hal yang biasa terjadi pada semua orang. Penampakan tersebut meliputi para malaikat, para kudus, Yesus dan Bunda Maria, tetapi, terkadang juga akan setan.


Sungguh sulit mendefinisikan kata “mukjizat”. Mukjizat dapat dianggap sebagai wujud dari tindakan adikodrati. Juga, dapat kita katakan bahwa mukjizat adalah fenomena di mana hati tunduk pada kekuatan batin: kehendak Tuhan!
Kehidupan Padre Pio penuh dengan mukjizat, tetapi kodrat dari mukjizat itu sendiri selalu ilahi. Oleh sebab itulah, Padre Pio mengundang orang untuk mengucap syukur kepada Tuhan, satu-satunya sumber mukjizat.




Banyak orang kudus dalam Gereja Katolik memiliki karisma yang memampukan mereka mengetahui sesuatu yang jauh, atau melihat masa depan, atau melihat serta merasakan sesuatu di tempat yang jauh dengan mempergunakan pancaindera dan kemampuan intelektual normal mereka. Padre Pio memiliki karisma indera adikodrati ini. Hanya dengan melihat seseorang, ia dapat melihat ke dalam bagian-bagian jiwanya yang paling rahasia.


Beberapa orang kudus dianugerahi karunia yang dikenal sebagai “harum kekudusan”. Fenomena ini disebut osmogenesia. Karunia ini memampukan orang untuk mengenali kehadiran orang kudus tersebut melalui bau harum yang khas. St Padre Pio dianugerahi harum tanda kesucian yang disebut harum kekudusan, sebab itu, orang yang berada di dekatnya, dapat seringkali mencium harumnya yang khas. Bau harum ini kerapkali terpancar dari tubuhnya atau dari benda-benda yang disentuhnya atau dari pakaiannya. Terkadang bau harum ini dapat tercium pada tempat-tempat yang ia lalui.


Bilokasi dapat didefinisikan sebagai kehadiran serentak seseorang di dua tempat yang berbeda. Berbagai kesaksian sehubungan dengan tradisi Kristiani melaporkan adanya peristiwa-peristiwa bilokasi berkenaan dengan para kudus. Padre Pio dianugerahi karisma ini; banyak saksi mata melihatnya berada di tempat-tempat yang berbeda pada waktu yang bersamaan. Berikut adalah beberapa di antaranya:


Levitasi dapat didefinisikan sebagai fenomena di mana orang terangkat dari tanah dan tinggal melayang di udara. Fenomena yang demikian jelas merupakan suatu karunia yang diberikan Tuhan kepada para Mistikus Gereja Katolik. St Yosef dari Cupertino, misalnya, termashyur karena fenomena levitasinya. Juga Padre Pio dari Pietrelcina dianugerahi karunia yang demikian.


PERGULATAN DENGAN SETAN
Salah satu kontak pertama Padre Pio dengan penguasa kegelapan terjadi pada tahun 1906. Suatu malam, Padre Pio tiba kembali ke Biara Santo Elia dari Pianisi. Ia tak dapat tidur malam itu karena hawa musim panas yang menyengat. Terdengar langkah-langkah kaki seseorang yang datang dari suatu ruangan dekat sana. Pikirnya, “Tampaknya, Biarawan Anastasio juga tak dapat tidur.” Padre Pio bermaksud memanggilnya agar mereka dapat duduk dan bercakap-cakap sejenak. Maka, ia pergi ke jendela dan berusaha memanggil rekannya, namun tak ada suara yang keluar. Di salah satu jendela dekat sana, ia melihat seekor anjing yang sangat besar. Sesudahnya, dengan kengerian dalam suaranya, Padre Pio menceritakan, “Aku melihat anjing besar itu masuk melalui jendela; dari mulutnya keluar asap. Aku terjatuh ke atas tempat tidur dan mendengar suara yang berasal dari anjing itu mengatakan, `dia, dialah itu.' Sementara aku masih di tempat tidur, binatang itu meloncat ke jendela, dan lalu ke atas atap dan kemudian menghilang.”
Iblis menyerang Padre Pio dengan berbagai macam cara. Padre Augustine juga menegaskan bahwa iblis menampakkan diri kepada Padre Pio dalam berbagai macam rupa. “Iblis menampakkan diri sebagai gadis-gadis muda yang menari-nari telanjang, sebagai salib, sebagai seorang pemuda sahabat para biarawan, sebagai bapa rohani atau sebagai bapa provincial, sebagai Paus Pius X, sebagai malaikat pelindung, sebagai St Fransiskus dan sebagai Santa Perawan.” Iblis juga menampakkan diri dalam rupanya yang menyeramkan dengan disertai suatu bala tentara roh-roh jahat. Ada kalanya iblis menghampiri Padre Pio tanpa penampakan, melainkan dengan suara ribut yang memekakkan telinga, dengan semburan ludah, dll. Padre Pio berhasil membebaskan diri dari serangan-serangan iblis ini dengan menyerukan Nama Yesus.
Pertempuran antara Padre Pio dan setan menjadi semakin sengit apabila Padre Pio membebaskan orang-orang yang kerasukan setan. Padre Tarcisio dari Cervinara mengatakan, “Lebih dari sekali, sebelum meninggalkan tubuh orang yang kerasukan, iblis berteriak, `Padre Pio, engkau menimbulkan lebih banyak masalah bagi kami daripada St Mikhael'; atau `Padre Pio, janganlah mencuri tubuh orang-orang dari kami, maka kami tak akan mengganggumu.'”
Padre Pio menggambarkan serangan-serangan iblis dalam banyak suratnya yang ditujukan kepada para bapa rohaninya:







Berikut adalah wawancara Andrea Monda dengan P Gabriel Amorth, pakar eksorsisme Gereja Katolik, mengenai aniaya setan yang dialami Padre Pio.
AM | : | Di samping jutaan pengagumnya, bukankah Padre Pio juga mempunyai banyak musuh? |
GA | : | Padre Pio sangat dicintai, tetapi ia juga menderita penganiayaan dari musuh-musuh yang mengerikan. Saya tidak berbicara mengenai musuh manusia, yang mungkin sesat karena dusta, prasangka ataupun salah paham. Musuh Padre Pio yang sesungguhnya adalah roh-roh jahat yang mengepungnya. Tidak seperti yang diberitakan beberapa laporan, Padre Pio senantiasa menghormati serta menjunjung tinggi para superiornya; ia senantiasa taat kepada mereka, walau seringkali ketaatan itu harus dibayar dengan pengorbanan besar dari pihaknya. Pertempuran yang sengit dan terus-menerus dalam hidup Padre Pio adalah dengan musuh-musuh Tuhan dan musuh-musuh jiwa manusia, yaitu setan yang berusaha menjerat jiwanya. |
AM | : | Bilamanakah pertempuran itu dimulai? Apakah hal itu menyangkut pertempuran fisik atau penglihatan-penglihatan dari setan? |
GA | : | Setan senantiasa adalah roh halus, tetapi guna menyatakan dirinya, ia mengambil aspek yang dapat sangat provokatif dan mencelakakan jiwa: kengerian, bujuk rayu, tipu muslihat. Sejak masa kanak-kanak, Padre Pio menikmati penglihatan-penglihatan surgawi, namun demikian ia juga mengalami kehadiran roh-roh jahat yang mengerikan, yang menyiksanya dengan cara yang paling menakutkan. Terkadang mereka menderanya dengan rantai-rantai yang berat, meninggalkannya dalam keadaan memar lebam dan berdarah. Terkadang mereka menampakkan diri dalam rupa biantang-binatang yang menyeramkan. Banyak sekali biografi yang menceritakan pertempuran antara Padre Pio dengan roh-roh jahat. |
AM | : | |
GA | : | Untungnya, Padre Pio sendiri banyak bercerita mengenai pertempurannya dengan roh-roh jahat. Terutama, tulisan-tulisan yang ditujukan kepada pembimbing rohaninya pada tahun 1911 di biara Venafro, sangat terang dan jelas. Itulah untuk pertama kalinya Padre Pio mengungkapkan kehidupan rohaninya yang kaya, baik penglihatan-penglihatan surgawi maupun aniaya roh-roh jahat. Adakalanya Padre Pio berbicara begitu bebas dengan Santa Perawan dan Tuhan, tanpa menyadari bahwa biarawan-biarawan yang lain mungkin ada di dekatnya dan mendengarkannya. |
AM | : | |
GA | : | Setan akan menampakkan diri kepadanya dalam rupa seekor kucing hitam yang buruk, atau dalam rupa seekor binatang yang sungguh menjijikkan. Jelas, tujuannya adalah untuk menerornya dengan kengerian. Di lain waktu, roh-roh jahat datang sebagai gadis-gadis muda, telanjang dan menggairahkan, menarikan tari-tarian mesum, guna mencobai kemurnian imam muda ini. Tetapi, Padre Pio merasa bahwa bahaya yang terbesar adalah ketika iblis berusaha menipunya dengan mengambil rupa salah seorang dari para superiornya (superior provincial atau pembimbing rohani) atau dalam rupa para kudus (Tuhan, Santa Perawan, atau St Fransiskus Asisi). |
AM | : | Bagaimana Padre Pio melindungi diri? |
GA | : | Ia belajar “ilmu ibu jari,” yang juga kita dapati dalam tulisan-tulisan St Theresia dari Avila, dan yang diajarkannya pula pada sebagian dari anak-anak rohaninya. Padre Pio memperhatikan adanya suatu sikap perlahan-lahan apabila Santa Perawan atau Tuhan pertama kali muncul, diikuti perasaan damai ketika penglihatan berakhir. Sebaliknya, setan yang mengambil rupa tokoh kudus membangkitkan dengan segera perasaan sukacita dan keterpikatan, yang sesudahnya digantikan oleh rasa sesal dan kesedihan. |
AM | : | Apakah Padre Pio pernah mengalami kehadiran setan dalam diri orang-orang yang datang kepadanya? |
GA | : | Ya, dalam hal ini ia dapat dengan jelas melihat apakah seseorang dirasuki setan. Ia akan menyampaikan bahaya tersebut kepada orang yang bersangkutan secara pribadi. Saat-saat genting kadang terjadi dalam kamar pengakuan. Dalam pengakuan dosa, kadang kala Padre Pio membuat suatu gerakan seolah mengusir sesuatu. Mungkin, ia memohon kepada Tuhan agar membebaskan peniten dari suatu pencobaan atau kebiasaan jahat. St Alfonsus, yang ahli dalam hal-hal demikian, menyarankan agar dalam kasus-kasus tertentu bapa pengakuan dapat melakukan eksorsisme-mini, bahkan sebelum pengakuan dimulai. Sebagian besar dari pertermpuran-pertempuran paling sengit antara Padre Pio dengan roh-roh jahat terjadi saat ia berusaha menyelamatkan seseorang dari kerasukan setan, baik saat berada di kamar pengakuan ataupun saat ia berdoa bagi salah seorang anak rohaninya. |
AM | : | |
GA | : | Padre Pio tidak pernah melakukan eksorsisme resmi. Namun demikian, ia memiliki ketajaman discernment yang luar biasa atas jiwa-jiwa yang berada dalam bahaya. Banyak orang yang dianggap kerasukan setan dibawa kepada Padre Pio, dan setiap kali sikap yang diambilnya berbeda dalam setiap kasus yang berbeda pula. Dapat kita katakan bahwa ia dapat mengetahui apakah orang yang kerasukan setan tersebut dapat dengan mudah dibebaskan atau tidak. Suatu ketika Padre Pio membebaskan seorang anak muda hanya dengan mengucapkan kata-kata “Pergi!” Tetapi, pembebasan seketika yang demikian amat jarang terjadi. Dalam suatu kesempatan, Padre Faustino Negrini menyertai seorang pemudi bernama Agnese Salamoni, yang dikutuk menjadi “gadis model paroki” dan sekonyong-konyong dirasuki setan. Padre Pio mengucapkan suatu berkat sederhana atas gadis itu, yang tampaknya menghasilkan buah. Padre Faustino sendiri menuntaskan pembebasan sang pemudi setelah berdoa selama 13 tahun! Tampaknya Padre Pio mengetahui bahwa waktu pembebasannya belum tiba. |

SEKILAS RIWAYAT HIDUP
Francesco Forgione dilahirkan pada tanggal 25 Mei 1887 di sebuah kota kecil bernama Pietrelcina, Italia selatan, dalam wilayah Keuskupan Agung Benevento. Ia adalah anak kelima dari delapan putera-puteri keluarga petani Grazio Forgione dan Maria Giuseppa De Nunzio (Mamma Peppa). Mamma Peppa mengenangnya sebagai anak yang berbeda dari anak-anak lain sebayanya, “ia tidak pernah tidak sopan ataupun bersikap tidak pantas.” Sejak usia lima tahun, Francesco dianugerahi penglihatan-penglihatan surgawi dan juga mengalami penindasan-penindasan setan; ia melihat dan berbicara dengan Yesus dan Santa Perawan Maria, juga dengan malaikat pelindungnya; sayangnya, kehidupan surgawi ini disertai pula oleh pengalaman tentang neraka dan setan. Ketika usianya duabelas tahun, Francesco kecil menerima Sakramen Penguatan dan menyambut Komuni Kudus-nya yang Pertama.
Pada tanggal 6 Januari 1903, terdorong oleh semangat yang bernyala-nyala, Francesco yang kala itu berusia enambelas tahun masuk novisiat Biarawan Kapusin di Morcone. Pada tanggal 22 Januari, Francesco menerima jubah Fransiskan dan menerima nama Broeder Pio. Di akhir tahun novisiat, Broeder Pio mengucapkan kaul sederhana, yang dilanjutkan dengan kaul meriah pada tanggal 27 Januari 1907. Karena kesehatannya yang buruk, setelah ditahbiskan sebagai imam pada tanggal 10 Agustus 1910 di Katedral Benevento, Padre Pio harus tinggal kembali bersama keluarganya. Para dokter yang mendiagnosanya memaklumkan bahwa ia mengidap infeksi paru-paru dan bahwa masa hidupnya hanya tinggal sebulan saja.
Meski demikian, setelah enam tahun bergulat dengan penyakitnya, kesehatan Padre Pio mulai membaik. Pada bulan September 1916, Padre Pio diutus ke rumah Biara San Giovanni Rotondo, di mana ia tinggal hingga akhir hayatnya. Bagi Padre Pio, iman adalah hidup: ia menghendaki segala sesuatu dan mengerjakan segala sesuatu dalam terang iman. Seringkali ia tampak tenggelam dalam doa-doa yang khusuk. Ia melewatkan siang hari dan sebagian besar malam hari dalam percakapan mesra dengan Tuhan. Padre Pio akan mengatakan, “Dalam kitab-kitab kita mencari Tuhan, dalam doa kita menemukan-Nya. Doa adalah kunci yang membuka hati Tuhan.” Iman membimbingnya senantiasa untuk menerima kehendak Allah yang misterius.
Pada tanggal 20 September 1918, sementara berdoa di depan sebuah Salib di kapel tua, sekonyong-konyong suatu sosok seperti malaikat memberinya stigmata. Stigmata itu terus terbuka dan mencucurkan darah selama limapuluh tahun. Dalam surat tertanggal 22 Oktober 1918 kepada Padre Benedetto, pembimbing rohaninya, Padre Pio mengisahkan pengalaman penyalibannya:
“… Apakah yang dapat kukatakan kepadamu mengenai penyalibanku? Ya Tuhan! Betapa aku merasa bingung dan malu apabila aku berusaha menunjukkan kepada orang lain apa yang telah Engkau lakukan kepadaku, makhluk-Mu yang hina dina!
Kala itu pagi hari tanggal 20 [September] dan aku sedang berada di tempat paduan suara setelah perayaan Misa Kudus, ketika suatu istirahat, bagaikan suatu tidur yang manis menghampiriku. Segenap indera, lahir maupun batin, pula indera jiwa ada dalam ketenangan yang tak terlukiskan. Ada suatu keheningan mendalam di sekelilingku dan di dalamku; suatu perasaan damai menguasaiku dan lalu, semuanya terjadi dalam sekejab bahwa aku merasa bebas sepenuhnya dari segala keterikatan. Ketika semuanya ini terjadi, aku melihat di hadapanku, suatu penampakan yang misterius, serupa dengan yang aku lihat pada tanggal 5 Agustus, yang berbeda hanyalah kedua tangan, kaki dan lambung-Nya mencucurkan darah. Penglihatan akan Dia mengejutkanku: apa yang kurasakan pada saat itu sungguh tak terkatakan. Aku pikir, aku akan mati; dan pastilah aku mati jika Tuhan tidak campur tangan dan memperkuat hatiku, yang nyaris meloncat dari dadaku! Penglihatan berakhir dan aku tersadar bahwa kedua tangan, kaki dan lambungku ditembusi dan mencucurkan darah. Dapat kau bayangkan siksaan yang aku alami sejak saat itu dan yang nyaris aku alami setiap hari. Luka di lambung tak henti-hentinya mencucurkan darah, teristimewa dari Kamis sore hingga Sabtu. Ya Tuhan, aku mati karena sakit, sengsara dan kebingungan yang aku rasakan dalam kedalaman lubuk jiwaku. Aku takut aku akan mencucurkan darah hingga mati! Aku berharap Tuhan mendengarkan keluh-kesahku dan menarik karunia ini daripadaku….”
Padre Pio adalah imam pertama yang menerima stigmata Kristus. Para superiornya berusaha merahasiakan kejadian itu, kendati demikian, berita segera menyebar dan ribuan orang berduyun-duyun datang ke biara yang terpencil itu, baik mereka yang saleh maupun mereka yang sekedar ingin tahu. Sesungguhnya, setiap pagi, sejak pukul empat dini hari, selalu ada ratusan orang dan terkadang bahkan ribuan orang menantinya.
Padre Pio tidur tak lebih dari dua jam setiap harinya dan tak pernah mengambil cuti barang sehari pun selama limapuluh tahun imamatnya! Ia biasa bangun pagi-pagi buta guna mempersiapkan diri mempersembahkan Misa Kudus. Setelah Misa, Padre Pio biasa melewatkan sebagian besar harinya dalam doa dan melayani Sakramen Pengakuan Dosa. Hidupnya penuh dengan berbagai karunia mistik, termasuk kemampuan membaca batin para peniten, bilokasi, levitasi dan jamahan yang menyembuhkan. Darah yang mengucur dari stigmatanya mengeluarkan bau harum mewangi atau harum bunga-bungaan.
Padre Pio memiliki dua prakarsa dalam dua arah: arah vertikal kepada Tuhan, dengan membentuk “Kelompok Doa” pada tahun 1920 yang masih aktif hingga kini dengan 400.000 pendoa yang tersebar di seluruh dunia. Arah horizontal kepada komunitas yang menderita, dengan mendirikan sebuah rumah sakit modern “Casa Sollievo della Sofferenza” (Rumah untuk Meringankan Penderitaan) yang dibuka pada tanggal 5 Mei 1956, dan hingga kini melayani sekitar 60.000 pasien setiap tahunnya.
Selama lima puluh tahun imamatnya, Padre Pio menjalin persatuan yang akrab mesra dengan Tuhan melalui Ekaristi Kudus. Yang paling luar biasa dalam hidupnya bukanlah mukjizat, penyembuhan ataupun pertobatan orang dengan perantaraannya, melainkan pelayanannya di altar, mempersembahkan Kurban Kudus Misa, dimana ia menjadi satu dengan Kristus yang tersalib.
“… kalian akan datang kepada Tuhan dan menempatkan diri di hadirat-Nya karena dua alasan utama. Pertama, kita menyampaikan kepada Tuhan penghormatan dan ketaatan yang memang sudah sepatutnya. Hal itu dapat dilakukan tanpa Ia berbicara kepada kita, dan tanpa kita berbicara kepada-Nya, sebab kewajiban ini dapat ditunaikan dengan mengakui Dia sebagai Tuhan kita, dan mengenali diri sebagai makhluk ciptaannya yang hina dina, yang secara rohani rebah di hadapan-Nya, menanti perintah-perintah-Nya. Betapa banyak para kudus yang kerapkali menempatkan diri di hadapan Raja kita, tanpa berbicara kepada-Nya ataupun mendengarkan-Nya, melainkan hanya sekedar dilihat oleh-Nya, agar dengan ketekunan mereka ini mereka boleh dianggap sebagai hamba-hamba-Nya yang setia? Perilaku ini, menghaturkan diri di hadapan Tuhan semata-mata guna memberikan diri secara sukarela sebagai hamba-hamba-Nya adalah yang paling kudus, paling unggul, paling murni dan juga paling sempurna.
Alasan kedua menghaturkan diri di hadirat Allah sementara berdoa adalah untuk berbicara kepada-Nya dan mendengarkan suara-Nya lewat inspirasi dan pencerahan batin…. apabila kalian berdoa di hadirat Tuhan, hadapilah kebenaran, berbicaralah kepada-Nya jika kalian dapat, dan jika kalian tak dapat mengatakannya, berdiam diri sajalah, biarlah dirimu dilihat oleh-Nya, dan janganlah khawatir lagi mengenainya….”
Padre Pio dengan tulus menganggap diri sebagai tidak berguna, tidak layak menerima anugerah-anugerah Tuhan, penuh kelemahan dan cacat cela, walau demikian diberkati dengan karunia-karunia ilahi. Di tengah kekaguman orang terhadap dirinya, Padre Pio akan mengatakan, “Aku hanya ingin menjadi seorang biarawan miskin yang berdoa.”
Sejak masa muda, kesehatan Padre Pio amat rapuh, dan semakin memburuk keadaannya pada tahun-tahun terakhir masa hidupnya. Pada tanggal 23 September 1968, pukul 2.30 dini hari, dalam usia delapanpuluh satu tahun, Saudari Maut menjemputnya dalam keadaan siap lahir batin dan damai tenang. Segera setelah ia wafat, kamarnya dipenuhi bau harum semerbak selama beberapa saat lamanya, seperti bau harum yang memancar dari luka-lukanya selama limapuluh tahun penderitaannya; stigmata tak lagi tampak, tak terlihat sama sekali adanya darah ataupun tanda-tanda bekas luka.
Pada tanggal 20 Februari 1971, belum genap tiga tahun setelah wafat Padre Pio, Paus Paulus VI berbicara mengenainya kepada para Superior Ordo Kapusin, “Lihat, betapa masyhurnya dia, betapa seluruh dunia berkumpul sekelilingnya! Tetapi mengapa? Apakah mungkin karena ia seorang filsuf? Karena ia bijak? Karena ia cakap dalam pelayanan? Karena ia mempersembahkan Misa dengan rendah hati, mendengarkan pengakuan dosa dari fajar hingga gelap dan - tak mudah mengatakannya - ia adalah dia yang menyandang luka-luka Tuhan kita. Ia adalah manusia yang berdoa dan yang menderita.”
Padre Pio dinyatakan sebagai Venerabilis pada tanggal 18 September 1997 oleh Paus Yohanes Paulus II; pada tanggal 2 Mei 1999 dibeatifikasi; dan akhirnya dikanonisasi pada tanggal 16 Juni 2002 di Roma, oleh Paus yang sama. Gereja memaklumkan pesta liturgis St Padre Pio dari Pietrelcina dirayakan pada tanggal 23 September.
“disarikan dan diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya”
Langganan:
Postingan (Atom)