Tahap-Tahap Kesombongan
Ajaran Rohani St. Bernardus dari Clairvaux
Ajaran Rohani St. Bernardus dari Clairvaux
(Ditulis kembali dari kaset pengajaran Rm Yohanes Indrakusuma, O.Carm oleh Fr Serafim Maria, CSE)
Edit oleh yesaya.indocell.net
Pengantar
Ajaran
rohani ini diberikan oleh St Bernardus dari Clairvaux, seorang abbas
Biara Cistersian yang termasyhur. St Bernardus terkenal karena
kefasihannya berbicara mengenai perkara-perkara rohani. Ia memiliki hati
yang lemah lembut dan penuh kasih. Pada suatu hari, ia menyampaikan
khotbah yang begitu memukau kepada para rahibnya; sementara ia
berkhotbah sekonyong-konyong terjadilah banjir. Yang mencengangkan, para
rahib begitu terpukau oleh khotbahnya hingga mereka tak menyadari bahwa
banjir telah masuk ke dalam kapel!
St
Bernardus memiliki karisma untuk menghancurkan jerat-jerat iblis yang
berusaha menjerat setiap orang yang ingin bertumbuh dalam kerendahan
hati, supaya orang tidak jatuh dalam dosa kesombongan. Atas permintaan
seorang rahib, St Bernardus mulai menguraikan keutamaan kerendahan hati
dan dosa kesombongan. Ia menguraikan tahap-tahap kesombongan, di mana
orang mulai turun dari kerendahan hati dan mulai naik pada
tingkat-tingkat kesombongan, dan perlahan-lahan orang sampai pada dasar
jurang kesombongan. St Bernardus membagi tingkat-tingkat ini menjadi
duabelas tingkat atau tangga kesombongan yang menghantar manusia menuju
kehancuran jiwanya.
Dua Belas Tangga Kesombongan menurut St Bernardus :
Tangga Pertama: Rasa Ingin Tahu
St Bernardus memberikan tanda-tanda yang terjadi pada seorang rahib. Karena
ia hidup di tengah para rahib, maka contoh yang diberikan adalah para
rahibnya sendiri. Akan tetapi, hal ini juga bisa terjadi pada semua
orang dewasa ini. Coba perhatikanlah seorang rahib yang baik, lalu rahib
ini mulai membiarkan matanya berkeliaran ke mana-mana dan tidak
mengekang matanya; apapun yang dilakukannya, entah dia berdiri atau
berjalan, bahkan sementara ia duduk matanya berkeliaran ke mana-mana. Ia
membiarkan pancainderanya melihat dan mendengar apa saja. Begitu besar
rasa ingin tahunya hingga telinganya seolah bagai telinga seekor anjing.
Sikap fisik sang rahib dikatakan oleh St Bernardus mengalami perubahan
akibat perubahan yang terjadi di dalam batinnya. Ia seringkali
mengedipkan matanya, seperti dikatakan dalam Amsal 6:13, “yang mengedipkan matanya, yang bermain kaki dan menunjuk-nunjuk dengan jari.”
Sikap badan seperti ini telah mempengaruhi jiwanya, dan menjalar ke
dalam jiwanya. Orang seperti ini tak lagi mengintrospeksi diri atau
mengadakan pemeriksaan batin terhadap dirinya sendiri, tetapi sebaliknya
mulai memeriksa orang lain. Karena tak mengenal diri sendiri, maka ia
cenderung mengamati orang lain. Dalam hal ini Kidung Agung mengatakan:
“Orang disuruh memelihara kambing-kambing” (bdk Kidung Agung 1:8).
Kambing-kambing ini dimaksudkan sebagai dosa. Secara khusus, yang
dimaksudkan menjaga kambing adalah mata dan telinga. Mata dan telinganya
diarahkan kepada segala sesuatu yang menghantar kepada dosa. Karena
kematian masuk ke dalam dunia melalui dosa, demikianlah dosa masuk
melalui mata dan telinga. Dikatakan dalam suatu adagium atau amsal bahwa
impian masuk ke dalam jendela manusia adalah melalui mata dan
telinganya.
“Jika
engkau memperhatikan dirimu dengan sungguh-sungguh, maka engkau tidak
akan mempunyai waktu lagi untuk memperhatikan hal-hal lain yang sia-sia;
terlebih-lebih jagalah hatimu” seperti dikatakan Amsal 4:23, “Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan.” Dengan kata lain, jagalah pancainderamu demi menjaga sumber kehidupan.
Seseorang
yang dikuasai oleh rasa ingin tahu yang sia-sia, tidak bisa lari dari
dirinya sendiri. Oleh karena itu, ia juga tidak bisa mengarahkan matanya
ke langit untuk memohon bantuan Tuhan. Kita harus sadar bahwa manusia
itu adalah debu dan abu, seperti dikatakan dalam Kejadian 3:19, “dengan
berpeluh engkau akan mencari makananmu, sampai engkau kembali lagi
menjadi tanah, karena dari situlah engkau diambil; sebab engkau debu dan
engkau akan kembali menjadi debu.” Melalui
kesadaran yang demikian dimaksudkan agar kita tidak jatuh dalam
kesombongan. Bila sadar akan hal tersebut, kita dapat mengarahkan mata
ke surga dan kepada Tuhan. Karena manusia dewasa ini hanya memandang ke
bawah dan tidak pernah mengarahkan mata ke surga, seperti seekor ayam
yang terus-menerus mencari cacing makanannya.
Jika
sungguh menyadari bahwa kita ini hanyalah debu, maka kita akan
mengangkat hati kepada Tuhan untuk meminta pertolongan dari-Nya. St
Bernardus memberikan contoh yang menarik, yakni tentang Hawa yang jatuh
ke dalam godaan yang besar, mula-mula hanya karena “kuriositas” atau
rasa ingin tahu yang pada akhirnya membuatnya jatuh ke dalam jerat si
iblis. Mengenai Hawa dikatakan, “Bagaimana engkau, hai Hawa, engkau
telah ditempatkan di taman Eden supaya engkau bekerja bersama dengan
suamimu dan memelihara dia. Seandainya engkau melakukan tugasmu dengan
baik pastilah engkau akan pergi ke tempat yang lebih baik. Engkau diberi
ijin untuk makan dari segala buah, hanya saja tentang pohon pengetahuan
yang baik dan yang jahat, tidak boleh engkau makan. Pohon-pohon lain
sudah cukup baik bagimu, mengapakah engkau masih makan buah pengetahuan
tentang yang baik dan yang jahat? Janganlah berpikir tentang dirimu
lebih daripada kenyataannya.” St Bernardus mengutip Roma 12:3, “Berdasarkan
kasih karunia yang dianugerahkan kepadaku, aku berkata kepada setiap
orang di antara kamu: Janganlah kamu memikirkan hal-hal yang lebih
tinggi dari pada yang patut kamu pikirkan, tetapi hendaklah kamu
berpikir begitu rupa, sehingga kamu menguasai diri menurut ukuran iman,
yang dikaruniakan Allah kepada kamu masing-masing.”
Seringkali
kita berpikir bahwa diri kita lebih baik daripada kenyataannya, tetapi
sesungguhnya “Bijaksana dalam kejahatan adalah kebodohan. Peganglah apa
yang telah dipercayakan kepadamu dan tunggulah apa yang dijanjikan
kepadamu. Jauhkan dirimu dari apa yang dilarang dan engkau tidak akan
kehilangan apa yang engkau telah miliki.” St Bernardus mengatakan bahwa
dengan menjauhkan diri dari apa yang dilarang, kita tidak akan
kehilangan apa yang sudah kita miliki. Mengapalah engkau mencari
kematian? Mengapalah matamu tidak kau kekang dengan baik? Kalau tidak
boleh makan buah itu, kenapa melihatnya? Gambaran St Bernardus sungguh
nyata seperti Hawa yang tergoda dan makan buah pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat.
Seolah Hawa mengatakan, “Hanya melihat-lihat, tetapi tidak
menyentuhnya.” Semula hanya melihat-lihat dan tidak menyentuhnya, namun
dari rasa ingin tahu perlahan-lahan pada akhirnya tergoda dan makan buah
itu. Mulailah manusia jatuh ke dalam dosa akibat rasa ingin tahu yang
berlebihan.
Timbul
suatu pembelaan diri yang lain: “Mengapakah tidak boleh melihat,
bukankah Tuhan telah memberikan mata untuk melihat?” Akan tetapi, yang
benar ialah mata harus digunakan untuk melihat yang baik dan bukan untuk
melihat yang buruk dan jahat. St Bernardus mengutip yang dikatakan St
Paulus, “Segala sesuatu halal bagiku, tetapi
bukan semuanya berguna. Segala sesuatu halal bagiku, tetapi aku tidak
membiarkan diriku diperhamba oleh suatu apapun” (1 Korintus 6:12).
Semuanya boleh, tetapi tidak semuanya berguna. Pandangan itu bukanlah
dosa, tetapi dosa mengintip di belakangnya. Oleh karena itu, jika kita
memperhatikan diri kita sendiri dengan baik, yaitu dengan mengarahkan
hati kepada Allah untuk memperbaiki diri, maka kita tidak akan punya
waktu untuk keingintahuan yang sia-sia. Pandangan itu seperti pandangan
Hawa yang memandang itu sebagai bukan dosa, tetapi dapat membawa kepada
dosa dan de facto membawa kepada dosa.
Karena Hawa mulai memandang buah itu, setan mulai menggoda dengan licik dan berkata, “Tentulah Allah berfirman: Semua pohon dalam taman ini jangan kamu makan buahnya, bukan?” (Kejadian 3:1).
Seolah setan menjatuhkan Allah dengan mengatakan apa yang disebut
sebagai “separuh kebenaran”; jadi yang dikatakan sebagian ada benarnya,
tetapi yang lainnya adalah kebohongan. Setan menyatakan bahwa Allah itu
jahat dan semua buah-buah yang baik itu tidak boleh dimakan manusia,
tetapi Hawa menjawab: “Buah pohon-pohonan dalam
taman ini boleh kami makan, tetapi tentang buah pohon yang ada di
tengah-tengah taman, Allah berfirman: Jangan kamu makan ataupun raba
buah itu, nanti kamu mati” (Kejadian 3:2-3).
Hawa
mulai berdialog dengan si penggoda, disinilah kesalahannya; Hawa mulai
mengikuti godaan dengan melihat, lalu memandang buah itu, dan mulai
melupakan perintah Allah untuk tidak memakannya. Lagipula keindahan dan
kelezatan buah itu mengundang seleranya hingga akhirnya Hawa jatuh ke
dalam dosa dengan mengambil dan memakan buah itu. Maka jika ada
godaan-godaan, kita harus menghentikannya segera dan tidak berdialog
dengan godaan tersebut. Kita tahu kelihaian setan yang tahu kelemahan
manusia; ia tidak menggoda secara langsung tetapi perlahan-lahan,
sedikit demi sedikit hingga manusia jatuh ke dalam dosa. Maka setan
telah memberikan buah terlarang kepada Hawa dan mengambil kehidupan
dalam diri Hawa, semacam pertukaran seperti yang dikatakan oleh St
Bernardus, “Lihatlah Hawa, ia memberikan apel tetapi setan telah mencuri
kehidupan di taman Firdaus itu.” Hawa telah makan racun dan mati, oleh
karena itu Hawa menjadi ibu orang yang binasa, artinya ia jatuh ke dalam
dosa.
Tangga Kedua: Pikiran dan Sikap yang Sembrono
Rahib
yang tidak memperhatikan dirinya sendiri, melainkan ingin tahu tentang
orang-orang lain, perhatiannya tidak terarah kepada Allah yang hadir
dalam dirinya, tetapi perhatiannya tercerai-berai keluar. Ia lebih
senang memperhatikan orang lain. Rahib ini mudah iri hati jika melihat
orang lain lebih baik daripadanya, dan meremehkan orang lain yang
dianggapnya lebih rendah darinya. Pikirannya kosong karena tidak ada hal
baik yang dipikirkannya, ia sering menghakimi orang lain, bahkan
pikirannya melayang-layang tinggi karena kesombongannya, dan di saat
lain ia tenggelam dalam kedengkian dan iri hati. Terkadang ia
menunjukkan kesedihan atas kesalahan-kesalahannya, tetapi di lain waktu
ia berbangga-bangga akan kehebatannya seperti anak kecil. Dengan kata lain, ia menyatakan kelemahan di dalam kebajikan dan ini merupakan kesombongan di dalam kebajikan-kebajikannya.
Semua
itu menunjukkan tanda-tanda kesombongan karena ia mencintai kebaikannya
secara berlebihan sehingga ia menghargai kehebatan dirinya. Maka ia
bersedih hati jika melihat orang lain lebih baik daripada dia.
Sebaliknya, ia akan bergembira yang sifatnya dangkal jika ia bisa
mengungguli orang lain. Suatu saat rahib ini akan diam dengan sedih,
namun di lain waktu akan berbicara terus dengan omong-kosong yang tiada
habis-habisnya, dan ini menunjukkan kepribadiannya yang tidak seimbang.
Tangga Ketiga: Suka Bersenang-senang
Tangga
ketiga ialah suka bersenang-senang. Orang ini selalu mencari
kesenangannya dan menghindari kesusahan. Seperti itulah rahib yang telah
turun ke tangga ketiga. Setiap kali melihat kebaikan pada orang lain,
ia tidak senang, karena kebaikan yang dijumpai pada orang lain itu
merendahkannya. Orang seperti itu tak segan-segan meremukkan dan
menghancurkan orang lain yang mulai tumbuh; hal ini seringkali terjadi,
bahkan terjadi di mana-mana, kerap pula terjadi dalam biara. Perhatiannya hanya terarah pada bagaimana ia bisa tampak lebih baik dari orang lain. Ia tak mau merasa
gagal atau direndahkan, karena itu ia melarikan diri dalam
hiburan-hiburan palsu. Ia tidak memperhatikan keadaannya sendiri, juga
tidak memperhatikan kehebatan orang lain. Seluruh perhatian hanya
diarahkan kepada hal-hal dimana ia tampaknya lebih baik dari yang lain.
Ia tidak lagi bersedih hati, yang ia tahu hanya bergembira. Pada
akhirnya, kegembiraan yang dangkal dan bodoh ini menguasainya.
Orang
ini tak lagi mengeluh atau bersedih, tetapi sudah melupakan
kesalahan-kesalahannya. St Bernardus mengatakan orang ini bertindak
seperti seorang badut. Ia seperti pelawak yang memperhatikan
penampilannya. Ia selalu siap untuk membuat lelucon dan tidak pernah
melewatkan kesempatan tanpa tertawa; selalu menarik perhatian untuk
tertawa dan membuat lelucon-lelucon. Ia tak pernah mengingat-ingat
sesuatu yang merendahkan dia dan karena itu tak pernah memikirkan
kegagalan atau apapun. Sebaliknya, orang seperti ini hanya mengarahkan
pandangannya kepada jasa-jasanya sendiri dan senang sekali membicarakan
dirinya sendiri. Dia hanya berpikir mengenai hal-hal yang menyenangkan
dan tidak menahan tawanya atau menyembunyikan kegembiraannya yang bodoh
itu. St Bernardus melambangkan orang pada tahap ini seperti balon yang
besar, namun bila ditusuk cepat mengempis. Inilah gambaran orang yang
mengisi pikirannya dengan sesuatu yang kosong dan murahan.
Tangga Keempat: Suka Membual
Orang
ini tidak tahu bahwa ia memancarkan kebodohan, namun hanya tertawa
saja. Ia seperti anggur yang dimasukkan ke dalam kerbat kulit yang siap
meledak. Orang ini harus berbicara, jika tidak ia akan stress. Ia
mencari orang-orang untuk mendengarkan obrolannya supaya ia dapat
menyalurkan sesuatu dalam dirinya. Seperti anggur dalam kerbat yang
mengalami proses fermentasi harus dikeluarkan, demikian juga orang ini
harus berbicara, jika tidak ia akan stress. Dengan berbicara, ia dapat
mencurahkan perasaan-perasaannya dan supaya orang tahu betapa hebatnya
dia. Jika orang ini mempunyai kesempatan untuk berbicara, ia akan
mengungkapkan ide-ide dan gagasan-gagasannya supaya pada akhirnya orang
tahu bahwa ia hebat. Ia melakukannya demi mendapatkan pujian.
Pada
umumnya ia tidak pernah bisa mendengarkan orang lain; jika orang mulai
berbicara sudah dipotongnya untuk mendengarkannya. Ia senang memberikan
nasehat-nasehat. Orang seperti ini suka melontarkan
pertanyaan-pertanyaan dan dijawabnya sendiri. Orang seperti ini tidak
peduli dan tidak berminat untuk menambah pengetahuan orang lain, tetapi
lebih-lebih hanya untuk membual tentang dirinya sendiri demi bahwa dia
itu hebat.
Dalam
biara, dijumpai seorang rahib yang senang sekali berbicara mengenai
puasa dan matiraga. Akan tetapi, hidup doanya dilakukan hanya untuk
dilihat orang saja. Ia suka bercerita mengenai pengalaman rohani,
visiun-visiun dan sebagainya. Rahib ini suka mengatakan betapa
pentingnya berjaga-jaga dalam doa dan berbicara tentang macam-macam
kebajikan, tetapi semuanya itu bukan dari hati yang tulus, melainkan
untuk mendapatkan pujian. Orang seperti ini hanya ingin dipuji supaya
sesuai dengan Kitab Suci, yakni `ia berbicara dari kelimpahan hatinya'.
Ia selalu pandai berbicara supaya dikagumi orang lain, seringkali
percakapan-percakapannya dilebih-lebihkan.
Tangga Kelima: Suka Berbuat Aneh
Orang
ini membanggakan diri seolah ia lebih baik dari orang lain dan ingin
melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan orang lain, agar lebih lagi
tampak bahwa ia lebih “superior”. Peraturan yang biasa dari biara dan
teladan dari yang berpengalaman tidaklah cukup baginya. Orang ini tak
ingin menghayati hidup yang lebih baik, tetapi ia ingin tampak lebih
baik dari yang lain-lain. Semua dilakukannya dengan tujuan agar tampak
lebih baik, agar “aku tidak seperti orang-orang lain.” St Bernardus
mengutip perumpamaan tentang orang Farisi dan pemungut cukai. Orang
Farisi berkata, “Aku bersyukur kepada-Mu ya Tuhan, aku tidak seperti
orang-orang lain, seperti pencuri, perampok dan sebagainya. Aku berpuasa
dua kali seminggu; aku memberi persepuluhan,” dan mulai memuji dirinya
sendiri. Orang ini seperti orang Farisi di atas, selalu memandang diri
hebat. Misalnya, jika dalam biara orang makan tiga kali sehari, ia hanya
makan satu kali saja, tetapi di lain kesempatan, ia makan lagi tanpa
sepengetahuan orang lain. Atau jika ada orang yang berpuasa, ia tidak
mau kalah dengan terus berpuasa mengalahkan yang lain. Motivasinya
berpuasa `sudah lain arahnya'; berpuasa bukan untuk menguasai diri,
tetapi supaya dikagumi orang. Orang ini lebih takut kehilangan
penghargaan daripada lapar; `lebih baik lapar daripada tidak dihargai'.
St
Bernardus mengatakan, orang pada tahap ini “tidak bisa melihat muka
yang dilihat orang lain, melainkan memeriksa tangannya yang dapat
dilihatnya” yang hanya melihat kelebihan-kelebihannya saja. Orang
seperti ini senang melakukan devosi-devosi pribadi agar kelihatan saleh,
tetapi ia malas dalam ibadat bersama. Ia akan berjaga-jaga di
kamarnya, tetapi tidur di dalam kapel. Apabila yang lain mendaraskan
mazmur, ia tidur. Akan tetapi, apabila ada rahib yang lewat, ia
akan berdoa sendiri, sedangkan yang lain sudah mulai tidur. Sementara
berdoa, ia akan seringkali berdehem-dehem atau terbatuk-batuk atau juga
mendesah, hingga mereka yang lewat tahu ia sedang berdoa. Agar sesuai
dengan yang dikatakan Injil, “Jika dalam perjamuan, janganlah mencari
tempat yang terdepan, melainkan yang terbelakang,” maka ia akan mencari
tempat yang pojok atau belakang supaya orang melihat bahwa ia rendah
hati. Itu semua dilakukannya demi mendapatkan reputasi yang baik,
dikagumi oleh orang lain. Tetapi orang yang bijaksana tidak akan mudah
tertipu, karena yang utama adalah tumbuh dalam kerendahan hati dalam
iman, pengharapan dan kasih.
Tangga Keenam: Suka Menerima Sanjungan
Ia
suka sekali dipuji dan disanjung; jika dipuji orang, semuanya ditelan
bulat-bulat. Orang ini pun memuji pekerjaannya sendiri tanpa
memperhatikan apa motivasinya. Semua sanjungan diterimanya dengan lahap.
Ia lebih percaya pada pandangannya sendiri daripada pandangan orang
lain. Jika orang mempunyai pandangan lain terhadap dirinya, meski suara
hatinya mendakwanya, ia akan mengabaikan suara hatinya. Jika pembimbing
rohani mengatakan ia sombong, ia tidak akan menerimanya. Jika dipuji dan
disanjung, ia mulai besar kepala atau `berbinar-binar matanya'. Apabila
suara hatinya menuduh, ia tak akan mempercayainya dan menganggap pujian
orang banyak itu benar, dan ia mengabaikan suara hatinya.
Ia
menganggap dirinya superior karena penghayatan religiusnya yang baik,
yang dihayati bukan karena ibadat yang sejati melainkan untuk “show atau
pamer”. Orang ini tidak hanya berbicara tentang dirinya sendiri, tetapi
di dalam hati ia percaya dirinya sendiri lebih dari orang lain. Ada
juga kelompok tertentu yang membuat pujian atau sanjungan kosong.
Kelompok yang melakukan ini jahat, karena dapat menjatuhkan orang yang
dipujinya. Untuk itu jangan mudah menyanjung orang, karena sebenarnya
memberikan racun, bukan melakukan yang baik. Bagi orang yang rendah hati
sanjungan itu tidak ada artinya, tetapi yang mulai menyanjung itu mulai
menjatuhkan orang. Dan orang yang pada tahap ini, dengan sombongnya
menyatakan “saya patut dipuji”, orang ini akan jatuh ke tangga keenam
dan semakin turun lagi ke tangga ketujuh.
Tangga Ketujuh: Kecandangan atau Presumsi
Bila
seseorang mengira bahwa ia lebih baik dari orang lain, maka ia akan
berusaha tampil ke depan umum agar selalu menjadi yang nomor satu dalam
pertemuan ataupun diskusi. Seringkali tanpa diundang datang ke suatu
pertemuan, dan kalau ada persoalan atau diskusi yang sudah selesai, ia
akan mengungkit-ungkit lagi dan membahas hal-hal yang sudah selesai.
Karena ia menganggap tidak ada sesuatu yang baik, semuanya dicela bahkan
ia berani mengkritik orang-orang yang tidak melakukan apa yang tidak ia
lakukan. Orang ini berani juga mengkritik orang-orang yang duduk
sebagai pengambil keputusan atau bahkan hal apapun selalu dikritiknya.
Pada jaman kita, orang seperti ini begitu sombongnya bahkan menyatakan
dirinya lebih hebat dari Paus, hingga kalau Paus berbicara selalu
dikritik habis-habisan untuk menunjukkan `saya tahu atau saya hebat'.
Bukan hanya Paus, semua orang dikritik habis-habisan; ia juga mengkritik
apa yang dikerjakan orang lain dan sebagainya.
Jika
diberi tugas yang tak begitu penting, ia akan marah dan memberontak. Ia
mengambil tugas-tugas yang melampaui kekuatannya hingga akhirnya ia
melakukan kesalahan-kesalahan. Dengan demikian, pimpinanlah yang
bertugas untuk menegur dia, tetapi umumnya orang seperti itu tak akan
mau mengakui kesalahannya. Jika ditegur, ia tak akan terima teguran
tersebut. Apabila kepadanya ditunjukkan kesalahannya, maka ia semakin
menjadi-jadi. Jikalau seseorang berusaha mencari-cari dalih, maka ia
sudah di tangga ke delapan.
Tangga Kedelapan: Pembelaan atau Pembenaran Diri
Pembenaran
diri sebenarnya membela kesalahan; orang membela diri artinya membela
kesalahan. Tidak mau mengakui kesalahan melainkan membela diri, inilah
tangga yang kedelapan. Banyak sekali cara untuk melakukan pembelaan diri
yang sebenarnya merupakan pembelaan terhadap dosa. Orang ini bisa
mengatakan `saya tidak melakukannya' terhadap suatu kesalahan atau
kelalaian yang ia perbuat dan menyalahkan orang lain. Jika ia berbuat
salah dan dipersalahkan, ia tidak terima; ia berputar-putar untuk
membenarkan diri. Jika ia melakukan kesalahan besar, orang ini akan
memberikan alasan bahwa ia tidak bermaksud melakukan kesalahan itu. Ini
merupakan pembelaan terhadap kesalahan, dan bukannya membela kebenaran.
Jika ia tidak bisa lolos, seperti Adam dan Hawa yang “tertangkap basah”
melakukan dosa, maka orang-orang ini akan saling menyalahkan dan tidak
berani bertanggung jawab atas kesalahan yang diperbuatnya.
Orang
ini selalu mengatakan bahwa ia digoda oleh orang-orang lain dan tidak
merasa malu melakukan kejahatan tertentu, bahkan kalau `ketahuan' ia
berusaha membela atau menutupinya. Jika terjadi dalam biara, ia tidak
terbuka kepada pemimpin atau pembimbing rohaninya, sehingga orang ini
sulit ditolong apabila jatuh dalam kelemahannya. Kalaupun ia mengaku
dosa, ia mengakukan dosa pada orang yang tak dikenal, itupun seringkali
ditutupinya. Bila mengalami godaan-godaan ia tidak akan membicarakan
pada pembimbingnya karena takut nilainya akan turun.
Tangga Kesembilan: Pengakuan yang Tidak Jujur
Yang
dimaksud di sini ialah orang melakukan pengakuan pura-pura supaya
dilihat rendah hati, tetapi sebenarnya menunjukkan kesombongan yang
lebih besar. Pengakuan ini lebih berbahaya daripada membela kesalahan
dengan keras kepala. Ada orang-orang tertentu yang ditegur karena
perbuatan-perbuatan salah dan tidak bisa menghindar sebab faktanya
sangat jelas. Orang ini memberikan dalih-dalih yang tidak bisa diterima
lalu mencoba mencari jalan keluar dengan pembelaan diri yang cerdik,
yaitu menjawab dengan pengakuan yang sombong. St Bernardus mengatakan,
“Wajahnya akan menjadi sedih dan kemudian membungkuk sampai mencium
tanah”; bahkan ia sampai mencucurkan air mata, supaya dilihat orang ia
sedang bertobat dengan penuh kesungguhan.
Mereka
memberikan penjelasan, diselingi dengan seruan mengaduh seolah-olah ia
sungguh menyesal. Orang seperti ini tidak berusaha membela kesalahan,
tetapi justru melebih-lebihkan kesalahannya. Kemudian ia mengakukan
kejahatan seolah-olah kesalahan yang dilakukannya tersebut tidak dapat
diampuni, sehingga orang yang menegurnya menjadi bingung karena timbul
suatu pertanyaan, “Benarkah ia melakukan kesalahan itu, mungkinkah
tuduhan itu keliru?” Orang ini berusaha menutupi kejahatan mereka dengan
pengakuan palsu. Pada waktu berbicara, pengakuannya patut dipuji,
tetapi sebetulnya ia menutupi hati yang jahat. Selanjutnya, orang yang
mendengarkan pengakuannya dapat berpikir apa yang dikatakannya tidak
terlalu tepat tetapi mengagumi kerendahan hatinya, sehingga dia teringat
akan sabda Kitab Suci, “orang benar menjadi pendakwa bagi dirinya
sendiri,” artinya menyadari dosanya dan mendakwa dirinya sendiri di
hadapan Allah.
St
Bernardus mengatakan, “Di hadapan manusia orang itu lebih senang
diadili bahwa ia tidak benar daripada dipandang tidak memiliki
kerendahan hati, tetapi dalam pandangan Allah ia tidak memiliki
kedua-duanya.” Tidak ada kebenaran dan tidak ada kerendahan hati di
dalam hatinya; ia sungguh-sungguh bersalah dan tidak dapat menutupi
kesalahannya, namun ia mencoba untuk mengambil sikap bertobat, tetapi
bukan dengan hati yang sungguh bertobat. Semua pertobatannya hanyalah
sandiwara belaka. Orang ini berharap kesalahannya dilupakan orang,
supaya dianggap orang ia itu memiliki kerendahan hati mau mengakui
kesalahan-kesalahannya, tetapi sebetulnya semua hanya sandiwara. Hal
itu tidak datang dari hatinya, selain itu dosanya tetap tinggal dalam
dirinya. Di sini kesombongan memakai topeng kerendahan hati supaya tidak
diketahui orang lain dan disebut kerendahan hati yang menggelikan.
Seorang abbas yang bijaksana akan cepat mengetahui hal ini karena ia
tidak mau ditipu dalam permainan kerendahan hati yang palsu. Abbas akan
segera mengambil tindakan untuk menjatuhkan hukuman atau penitensi untuk
kebaikan umum demi pertobatan orang itu sendiri. Orang itu tidak akan
bisa terima, namun dari pihak lain ia akan berusaha untuk menerima
dengan tenang; ia akan mencoba menunjukkan bahwa ia seorang yang rendah
hati, padahal hanya “suatu kepura-puraan saja”. Orang ini
tidak bisa menerima dan merasa diperlakukan tidak adil oleh pimpinan dan
ia mulai mengeluh. Dalam hal ini, ia tidak berada dalam kerendahan
hati, melainkan ia sudah jatuh ke dalam tangga kesembilan, yakni
pengakuan yang tidak benar. Orang seperti ini merasa bahwa orang lain
tidak percaya kepadanya dan usaha sandiwaranya diketahui, maka ia akan
mulai berontak dan jatuh ke dalam tangga pemberontakan.
Tangga Kesepuluh: Pemberontakan
Hanya
rahmat Tuhan yang besar saja yang dapat memberikan kepada orang ini
kemampuan untuk menerima hukumannya dengan tenang. Akan tetapi, bagi
orang seperti ini akan sangat sulit sekali. Kadang terjadi, apabila
sudah terdesak ia bertobat; dan memang terjadi bahwa dengan teguran yang
keras orang bertobat atau sebaliknya ia memberontak sampai pada tahap
ini. Jika sebelumnya ia memperlakukan saudara-saudaranya dengan
kesopanan yang pura-pura, sekarang ia terang-terangan menyatakan
ketidaktaatan dengan meremehkan wibawa pimpinan.
Menurut
St Bernardus, tangga-tangga yang dibagi menjadi duabelas tangga
sebetulnya dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama
ialah keenam tangga pertama di mana dijumpai adanya penghargaan yang
kurang terhadap saudara-saudara atau memandang remeh saudara-saudara
yang lain. Kelompok kedua ialah empat tangga berikutnya, ia mulai
meremehkan kewibawaan, dan kelompok ketiga, yakni dua tangga terakhir,
mengandung unsur penghinaan kepada Allah.
St
Bernardus mengatakan bahwa seseorang sebelum masuk biara harus memiliki
kerendahan hati yang melawan kesombongan ini. Jika seseorang masuk ke
dalam biara, ia harus mempunyai kerelaan untuk taat, jika tidak, ia tak
dapat masuk biara. Orang yang mencintai Allah harus sungguh taat dan
dengan segenap hati patuh kepada pimpinan. Di dalam ketaatan kepada
Allah melalui pemimpinnya dan pembimbing rohaninya orang tersebut
dibentuk dan bertumbuh dalam kerendahan hati sejati. Akan tetapi, jika
seseorang mulai meremehkan pimpinan, ia akan mudah jatuh dalam
kelemahannya. Salah satunya ialah membuat skandal dalam biara. Artinya
ia melakukan tindakan-tindakan yang menjadi batu sandungan bagi orang
lain, dan terus jatuh sampai pada tangga kesombongan yang kesebelas,
yaitu bebas berbuat dosa.
Tangga Kesebelas: Bebas Berbuat Dosa
Sesudah
tangga kesepuluh, yaitu pemberontakan, orang akan turun ke tangga
kesebelas. Ia akan menempuh jalan yang menarik bagi manusia, tetapi akan
berakhir di neraka. Bila Allah dalam kerahiman-Nya yang tak terhingga
tidak mencegah orang tersebut, maka ia akan sampai pada suatu keadaan
“meremehkan Allah”. Apabila kejahatan itu terus berkembang, ia akan
jatuh pada tangga kesebelas, yaitu bebas berbuat dosa: orang meremehkan
bahkan melecehkan wibawa sesama dan pimpinan sehingga ia melecehkan
wibawa Allah Sendiri. Seringkali orang ini menjadi sangat `mengerikan'.
Oleh karena itu ada ungkapan yang mengatakan: “Kejatuhan orang yang baik
itu sangat mengerikan” atau dalam bahasa Latinnya “Corruptio Optimi
Pessima”.
Cukup sering kita
jumpai orang-orang yang murtad dan keluar dari Gereja Katolik karena
pemberontakan-pemberontakannya, misalnya seorang imam yang murtad akan
menjadi jauh lebih jahat dari awam yang jahat. Karena dari keadaannya
yang baik dan tinggi turun merosot semakin dalam, kita jumpai
musuh-musuh Gereja Katolik yang hebat berasal dari mantan imam atau
mantan biarawati. Contohnya seperti yang dijumpai di Amerika, mereka
yang banyak menyerang Gereja Katolik adalah mantan imam dan mantan biarawati.
Suatu ketika di televisi ditayangkan perdebatan antara tokoh komunis dan seorang kardinal dari Gereja Katolik. Pihak komunis menampilkan
seorang saksi yang adalah mantan imam yang berbicara penuh kepahitan
dan kebencian serta mengecam Gereja Katolik dengan keras, sedangkan
Kardinal ini menampilkan seorang perempuan muda sebagai saksi. Dari
seorang komunis yang bertobat, perempuan muda ini berbicara tentang Cinta kasih Allah dengan
wajah yang berseri-seri penuh sukacita. Perempuan ini bersyukur bahwa
dalam Gereja Katolik ia mampu mengalami kasih-Nya yang memperbaharui
seluruh hidupnya. Jadi, kita lihat kejatuhan orang baik itu sungguh
mengerikan, seperti yang kita lihat pada mantan imam ini yang berbicara
dengan penuh kepahitan dan mengecam keras Gereja Katolik. Berbeda jauh
sekali dengan perempuan muda ini yang berbicara dengan wajah
berseri-seri, dipenuhi dengan sukacita dari Tuhan, mengatakan betapa
Allah mengasihinya dan menerimanya dalam Gereja-Nya yang kudus.
Orang
yang jatuh pada tangga kesebelas tidak bisa dikendalikan. Ia dengan
bebas berbuat dosa dan tak takut pada sesama dan pimpinan. Namun ia
belum kehilangan takut akan Allah; ia masih memilih akal budi yang baik.
Ia terus melakukan pemberontakan dan ragu-ragu. Pada akhirnya, jika
tidak bertobat dan terus jatuh pada dosa kesombongan ini, ia akan terus
merosot sampai pada tangga yang keduabelas, yakni kebiasaan berbuat
dosa.
Tangga Keduabelas: Kebiasaan Berbuat Dosa
Orang
ini sedikit demi sedikit kehilangan rasa “takut akan Allah” karena
seringkali berbuat dosa. Mula-mula timbul keraguan dalam dirinya ketika
berbuat dosa, namun karena terus jatuh dalam dosa, bahkan dosa yang
besar dan terus mengulangi dosa-dosanya, ia mulai kehilangan rasa
berdosa dan meremehkan Allah. Suara hatinya perlahan-lahan menjadi mati,
dan orang ini mulai dikuasai hawa nafsu dan kejahatan. Ia diperbudak
oleh hawa nafsu, dan dalam hatinya mengatakan “tidak ada Allah”; dan ia
menyangkal Allah.
Apabila
seorang bertumbuh dalam kerendahan hati, dengan mudah ia melakukan
kebaikan setiap hari dengan kerinduan yang besar. Sebaliknya, orang yang
jahat yang terus merosot dalam tangga kesombongan; ia menyongsong
kematian tanpa takut, yang berarti ia tidak takut melakukan kejahatan.
Sebab kejahatan itu sudah di luar kendalinya, akal budi dan takut akan
Allah, bahkan rasa berdosa tak lagi menguasainya, ia terus berbuat dosa.
Orang yang berada di tengah-tengah, entah sedang naik atau sedang
turun, biasanya berjuang untuk naik dan tidak turun; hanya orang yang
mencapai tingkat kerendahan hati yang tinggi atau yang bertumbuh dalam
kebajikan-kebajikan dapat dengan mudah maju, seolah tanpa perjuangan.
Demikian pula orang bergerak dari dasar kesombongan dalam kejahatan akan
semakin jatuh dalam kejahatan dengan lebih mudah. Orang yang memiliki
kerendahan hati sejati akan memiliki cinta kasih yang besar. Cinta kasih
itu akan mendorongnya dan menolongnya, sebaliknya hawa nafsu membuat
orang tak mampu bekerja hingga ia tidak mempedulikan orang lain.
Sumber: yesaya.indocell.net
3 komentar:
saya suka blog ni..saya follower baru..:)
Terima kasih...semoga dapat memberikan manfaat dan berkat bagi kehidupan Mbak Prisca..amin GBU
Posting Komentar