Apakah Kisah Penciptaan dalam Kitab Kejadian meniru Enuma Elish?
Dewasa ini ada sejumlah orang menganggap bahwa karena ada
kemiripan antara kisah penciptaan dalam Kitab Kejadian dengan kisah
mitos kuno Babilonia, Enuma Elish, maka Kitab Kejadian dianggap meniru/ meng-copy Enuma Elish (EE). Benarkah demikian?
Pertama-tama, sebelum membahas tentang isinya, mari kita melihat dulu
kapan kedua tulisan tersebut ditulis. Para ahli memperkirakan bahwa EE
ditulis sekitar abad 18/17 SM, sedangkan Kitab Kejadian ditulis Musa
sekitar abad 16/15 SM. Maka ada sejumlah orang menganggap bahwa karena
EE ditulis lebih dulu daripada kitab Kejadian, maka kesimpulannya Musa
meng-copy EE. Namun logika macam ini agak
terburu-buru. Sebab kenyataannya jarak yang memisahkan Musa dan bangsa
Babilonia di Mesopotamia itu relatif jauh (sekitar 900 km). Dan zaman
tahun 1600 sebelum Masehi itu adalah zaman yang amat kuno, tidak ada
alat komunikasi dan transportasi seperti zaman sekarang, yang dapat
secara otomatis menghubungkan kedua wilayah sehingga transfer budaya dan
satra dapat dengan begitu saja terwujud seperti sekarang.
Namun sekalipun dianggap demikian, yaitu bahwa Musa dianggap pernah
membaca ataupun mengenal kisah dewa dewi Babilon tersebut (ataupun kisah
serupa di negara-negara tetangga bangsa Yahudi) tidaklah mungkin bahwa
Musa tanpa sengaja ataupun sengaja, terpengaruh oleh kisah politheisme
tersebut. Jangan lupa bahwa Nabi Musa sangatlah menentang kebiasaan
bangsa-bangsa non-Yahudi karena mereka mempunyai dewa/ dewi/ allah-allah
lain (lih. Kel 34:10-13; Ul 7:15). Fakta bahwa nabi Musa menuliskan
kisah penciptaan yang kemudian dianggap mempunyai kemiripan dengan
kisah-kisah mitos Babilon, tentulah mengandung maksud tertentu. Hal yang
lebih masuk akal adalah, bahwa Nabi Musa menuliskan kisah Penciptaan
sedemikian halnya, sebab memang itulah yang diterimanya dari Allah, yang
dikenal Musa “dengan berhadapan muka” (lih. Ul 34:10). Maka itu bukan
atas inisiatifnya sendiri, seperti terjadi pada penulisan kisah- kisah
biasa. Atas ketaatan-Nya kepada Allah, Musa menuliskan kitab Kejadian
itu yang mungkin saja dimaksudkan Allah justru untuk menyatakan
kebenaran tentang kisah awal mula dunia, untuk meluruskan pandangan yang
keliru yang kemungkinan dimiliki oleh bangsa-bangsa yang tidak mengenal
Allah.
Sekarang dari segi isinya. Mari kita melihat sekilas perbandingannya
antara Enuma Elish (EE) dengan Kitab Kejadian (KK) sebagai berikut (teks
perbandingan selengkapnya, silakan klik di link ini):
1. Dari segi awalnya:
EE membuka dengan langit dan bumi,
sedangkan KK memulainya dengan Allah. Dewa dewi dalam EE tidak disebut
sebagai Pencipta, namun yang bercampur dengan ciptaannya, dan melahirkan
ciptaannya. Sebaliknya KK dengan jelas mengatakan bahwa pada mulanya
adalah Allah dan Ia menciptakan langit dan bumi. Maka dunia ciptaan itu
tidak sama dengan Tuhan, namun dunia diciptakan oleh Tuhan. EE berkisah
tentang adanya banyak dewa dewi. KK berkisah tentang adanya satu Allah
yang menciptakan langit dan bumi (Kej 1:1)
2. Tokohnya:
EE menyatakan kisah banyak dewa dewi yang
merupakan mahluk ciptaan dengan banyak sifat buruk seperti manusia EE
menekankan tokoh dewa Marduk, yang adalah ciptaan yang dilahirkan. KK
mengisahkan tentang Allah yang sudah ada sejak awal mula, dan tidak
diciptakan. Ia-lah yang mencipta segala sesuatu. Dalam EE: Marduk
ditentukan oleh para dewa dewi untuk menjadi penguasa alam, sedangkan
Allah dalam KK adalah Pencipta dan Penguasa segala sesuatu yang sudah
ada sebelum segala sesuatunya ada, dan tidak menerima perintah dari
siapapun.
3. Apa yang dilakukan oleh tokohnya:
Dalam EE dikatakan bahwa Marduk dan para
dewa ingin membentuk manusia untuk menjadi budak para dewa, supaya para
dewa itu tidak usah bekerja keras. Dalam KK, Allah menciptakan manusia
menurut gambar dan rupa Allah untuk mencerminkan keagungan Penciptanya.
Dalam EE, para dewa dewi digambarkan
memerlukan dukungan dari manusia. Mereka harus diberi persembahan
makanan, harus diurusi. Dalam KK, Allah dinyatakan sebagai Allah yang
sudah ada sejak awal mula dan tidak membutuhkan apapun dari manusia.
Dengan demikian, walaupun mau ditarik perbandingan sekalipun, apa
yang diperbandingkan itu justru menunjukkan perbedaannya daripada
persamaannya. Maka tidaklah ada masalah peniruan ataupun plagiarisme di
sini. Sebab Tuhan dapat menggunakan berbagai cara untuk menyampaikan
kebenaran. Kebenaran tetap adalah kebenaran, tak peduli alat apapun yang
menyampaikannya (bisa disampaikan lewat media cetak, lagu, puisi, kata
mutiara, cerita rakyat dst). Sekalipun Allah memilih untuk menggunakan
kerangka kisah yang sepertinya telah akrab di telinga manusia
pendengar-Nya, itu adalah hak Tuhan. Sebab Tuhan dapat mengangkat
sesuatu yang sifatnya kodrati menjadi sesuatu yang ilahi. Maka melalui
kisah penciptaan manusia itu, Allah menyampaikan kebenaran tentang
hubungan manusia dengan Penciptanya, yaitu bahwa sejak awal mula,
manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Pencipta-Nya, maka agar
manusia mencapai tujuan akhirnya, manusia perlu diangkat derajatnya ke
dalam hidup ilahi dalam hubungan kasih yang sejati dengan Allah. Hal ini
digenapi Allah dengan mengutus Yesus Kristus Putera-Nya kepada manusia,
sehingga apa yang diciptakan Allah sejak semula, dapat mencapai
kesempurnaannya.
Maka tidak menjadi masalah, sekalipun dipandang orang ada kemiripan
antara EE dan KK. Sebab Kitab Kejadian bermaksud untuk menyampaikan
kebenaran dari Tuhan; dan Allah berhak dengan bebas memilih penggunaan
sarananya. Yang terpenting adalah inti pesan yang disampaikannya tidak
sama, dan bahkan dapat dikatakan bertentangan.
Magisterium Gereja Katolik melalui Paus Pius XII dalam surat ensikliknya, Humanae Generis mengajarkan demikian:
“Meskipun demikian, jika para penulis
kitab suci di zaman kuno telah mengambil apapun dari kisah-kisah popular
… haruslah tidak dilupakan bahwa mereka melakukan itu dengan bantuan
inspirasi ilahi, yang melaluinya mereka telah dilindungi dari kesalahan
apapun dalam memilih dan meng-evaluasi dokumen-dokumen itu.
39. Maka, kisah-kisah popular apapun yang
telah dimasukkan dalam Kitab Suci harus sama sekali tidak dianggap
sama/ sejajar dengan kisah-kisah mitos atau sejenisnya, yang lebih
merupakan hasil imajinasi tak terkendali daripada hasil kerja keras
mencari kebenaran dan kesederhanaan yang dalam Kitab Suci, juga dalam
Kitab Perjanjian Lama, adalah nyata bahwa para penulis kitab suci di
zaman kuno tersebut harus diterima sebagai jauh lebih utama daripada
para penulis profan di zaman tersebut.” (Paus Pius XII, Humanae Generis, 38-39)
Sumber : katolisitas.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar